Tuesday 21 July 2020

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي


بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ
بالقلق أصابني كل حين في الحياة
فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة
حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة

أ طلبتُ منكِ لاستيقاظي ثقيلةً
أم ما على قلبكِ تستوى نيةُ المحبةِ؟
واللهِ أحبكِ في الصباحِ والليلةِ
ومالي في قلبي سواكِ حبيبةٌ

Ku tulis kasidah ini dengan air mata
dengan rasa cemas yang setiap saat melanda hidupku
Sesekali ku berfikir apa salahku padamu?
sampai aku merasakan sebegitu pahitnya  untuk mencintaimu

Apakah memintamu untuk membangunkan ku itu berat?
atau memang dalam hatimu tak lagi bersemayam niat cinta
Demi Allah, aku mencintaimu di pagi dan malamku
dan tiada kekasih di dalam hatiku kecuali dirimu seorang

            Sengaja saya tidak mengurai puisi ini, dengan tujuan agar pembaca mengurai dan memaknainya sendiri. Karena ketika sebuah teks sudah sampai di tangan pemabaca, maka yang menjadi Tuhan dari karya tersebut bukan lagi pengarang, melainkan kalian semua para pembaca. Ouh ya, perlu saya tegaskan kalau puisi ini karya saya, karya yang lahir atas dasar realita ini semoga saja hanya saya yang mengalami cinta yang tidak menentu ini. kalian jangan ya, cukup saya saja, kalian tidak akan kuat!


Monday 20 July 2020

Cinta Mati: dalam Puisinya Khudaifah al-Arje

Penggalan Puisi Khudaifah al-Arje


عشقت وتدري أن حبك هالك
ومت قد شاهدت قبلك ألف ميت

ولم تتريث قبل موتك مثلهم
ولم تتعظ، مما رأيت ولا انتهيت

جنيت على قلب وروح ومهجة
بربك ماذا من محبتهم جنيت؟

Kau mencintai, dan kau tahu
cintamu akan binasa
Kau mati, dan kau tahu
sebelummu ada seribu mayat

Cepat atau lambat kau akan
merasakan seperti mereka
Dan kamu tak sempat berwasiat
tentang sesuatu yang kau liat

Kau lukai hati, ruh, dan jiwamu sendiri
Dan kepada Tuhanmu, kau bertanya
apa yang ku dapat dari mecnintanya?

          Seperti mana puisi, akan selalu menyimpan teka-teki makna tersendiri. Namun pada setiap kata yang tertuang dalam puisi adalah Tuhan bagi pembaca untuk memaknainya. Hal ini disadari atau tidak, para kritkus sastra akan merasakan hal yang demikian, sekali pun memang tidak akan pernah lepas dengan beberapa teori kritik sastra yang dikuasainya.

            Dalam penggalan puisi Khudaifah al-arje ingin menyampaikan suatu pesan penting kepada kita, bahwa cepat atau lambat orang yang kita cintai itu akan meninggalkan kita, begitu juga kita akan menyusulnya. Hal ini dilukiskan pada bait ke dua, ia menggunakan kata لم تتريث yang artinya adalah tidak pelan-pelan (cepat atau lambat) yang disangdingkan dengan kata قبل موتك مثلهم hal ini memiliki estetika makna tersendiri. Artinya sebelum kematian mu, secepatnya dirimu akan menyusul mereka, bahkan sama persis dengan mereka (yang mati disebabkan cinta). Hal ini menandakan bahwa  dicintai atau mencintai memiliki resiko yang sama, kalau tidak ditinggal mati bagi yang mencintai, bisa jadi yang dicintai mati dikarenakan menahan cintanya kepada orang yang telah meninggalkannya. Mungkin jadi hal ini yang disebut dengan cinta mati?

            Karena sangat cepat sekali kematian itu akan menjemput ajal para pecinta, sampai-sampai tak sempat berwasiat (dalam arti memberikan wejangan) kepada kekasihnya. Hal ini menyebabkan hati terluka, ruh yang berpisah dengan jasad, dan jiwa yang terjamah dengan rindu yang tak sempat disalurkan dengan pertemuan. Dan yang menarik adalah ending/bagian akhir dari pada puisinya Khudaifah al-Arje, menyisipkan sebuah pertanyaan sebagai jawaban dari setiap kata yang ada dalam setiap bait di atas. Yaitu; memang benar, kepada Tuhanlah cinta yang layak diabdikan, disetiakan, dijadikan sebagai dalih dalam keutuhan hubungan antar manusia kepada Tuhannya, mau pun manusia sesamanya. Dengan tajuk pertanyaan yang sangat memukau pembaca, apa yang ku dapat dari mecnintanya? Jawabnya adalah kematian! Kenapa? Karena sama seperti sebelumnya, terdapat seribu jiwa yang menjadi mayat disebabkan cinta.

           


Sunday 19 July 2020

Yang Fana Adalah Waktu

موت أحد الشعراء في الإندونيسيا


يا من عرف بالمطر في يونيو

مضت لنا الأيام في يونيو حديثا

ولا نعلم في الأتي نحن متروك

مع رحيلك كان كلمات حزينة

ولا ننكرها أن كلها ذكريات

أنت من رسم قلبنا لكونه فكرة

ثم في كل فكرة تجعلنا فترة

يا من عرف بالمطر في يونيو

لو نفسك عدما في الدنيا

ففي كل كتابتك تظهر على بقائك

لو تحدث الناس عن رحيلك موت

فعندنا موت الشعراء شهيد

يا من عرف بالمطر في يونيو

كل قلوب في الأرض إليك تميل

ونحن نكون شاهدا ودليلا

والدليل إذا ذكرناك في الرحل

فطالت دموعنا في عينينا تسيل

والشاهد بأنك بقاء مع عمل

يعلمناأننا لا نموت بلا عملا

 

 

 

Karyamu Abadi

Duhai sosok yang dikenal dengan hujan di bulan juni...

Baru saja telah kita lalui bersama di bulan juni
dan kita tidak tahu di bulan esok, kita ditinggalkan
bersama dengan kepergianmu kata-kata mendayu-dayu
kita yakin itu,  bahwa di setiap kata-kata ada kenangan
kaulah sosok yang melukis hati ini menajdi sebuah paragraf
lalu pada setiap pragrafnya kita menjadi suci

Duhai sosok yang dikenal dengan hujan di bulan juni...

Sekali pun di dunia dirimu telah tiada
pada setiap tulisanmu menampakkan keabadianmu
walu pun manusia menilai kepergianmu adalah kematian
bagi kami kematian para penyair adalah Syahid

Duhai sosok yang dikenal dengan hujan di bulan juni...

Pada setiap hati di bumi ini tercurahkan padamu
dan kami sebagai saksi dan bukti
sebagai bukti, jikala kami mengingatmu di kepergianmu
pada kedua mata ini tampak berlinang air mata kami
sebagai saksi, dirimu adalah orang yang abadi dg sebuah karya
yang mengajari kita, tidak boleh mati tampa berkarya


Saturday 18 July 2020

Rindu (Dalam Puisi "Kaulah Cerita Cintaku"

الشَوقُ


الشوقُ عمّا لا يُرى
إذاالشوقُ فُتح فيزِيد
إذاالشوقُ غُلق فيزدَد


اللقاءُ عمّا لا يٌنسى
إذااللقاءُ بقِي معه الحسرٌ
فالفراقُ المقدِّم معه الوطرٌ
أليس في كلّ فراقٍ لقاء؟

 

 

Rindu

Rindu tentang sesuatu tak terlihat
Bila dibiarkan, meluap
Jika terbelenggu, semakin membeludak


Pertemuan tentang sesuatu tak terlupakan
Jika pertemuan menyisahkan penyesalan
Maka perpisahan menawarkan harapan
Bukankah setiap perpisahan ada pertemuan?

 

                Malam ini tentang rindu, rindu yang banyak dibicarakan oleh kaum bucin dikalangan kelas mana pun, baik itu dunia pendidikan mau pun di kelas kaum awam. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan tentang rindu akan senantiasa mewarnai hiruk-pikuk dengan pahit dan manisnya rindu di kalangan ummat manusia.

            Tampaknya harus diakui memang, kalau persoalan rindu ini tidak akan lekang oleh waktu dan  tidak akan pupus oleh zaman. Hal ini disebabkan adanya sebuah potensi dalam rindu itu sendiri untuk diri manusia, tepatnya dalam hatinya.  Mari kita bahas bersama puisi di atas ditinjau dari segi maknanya saja.

            Berbicara masalah rindu dalan puisi saya ini, memang sengaja saya buat berdasarkan apa yang ada dalam hati ini. karena itulah  kenapa saya mengatakan “rindu itu tentang sesuatu yang tak terlihat” karena pada hakikatnya rindu hanya bisa dirasakan dan tampa harus dibicarakan panjang lebar. Namun, salah satu untuk mewujudkan sebuah perasaan rindu ini dan obat penawarnya adalah pertemuan. Kiranya jelas sudah, untuk itu sendiri sebenarnya tak terlihat, namun dalam wujud nyatanya, rindu itu bisa ditebus dan bisa terobati bila pertemuan sudah bersahabat.

Dan seperti mana rindu, jika dibiarkan akan senantiasa menuntut balas jasa/budi bagi mereka yang merasakan rindu tersebut.  Namun, bila dibiarkan akan senantiasa tersiksa, karena menahan rasa rindu seumpama menahan rasa sakit yang tak tampak. Hal ini bila dibiarkan akan meluap, terlebih dipaksa untuk memendam rindu itu, akan semakin menjadi-menjadi.

Itulah kenapa dalam bait berikutnya sya tegaskan obat untuk penawar rindu adalah pertemuan. Tapi disisi yang lain saya juga mengingatkan bahwa di setiap pertemuan akan senantiasa diiringi dengan perpisahan, dengan dalih menawarkan harapan akan adanya pertemuan kembali. Dan memberikan susunan kata arab dengan hamzah istifham sebagai fungsi untuk meyakini bahwa disetiap perpisahan itu pasti akan ada pertemua kembali.

 

 


Friday 17 July 2020

Kaulah Perempuan Bercadar dan Bercela

Makna Puisi “Seakan-akan Dirinya”
 Karya Khudaifah El-Irjy


 (كأنها)

جلست أمامي لا أرى منها سوى
عينين ساحرتين تحت نقاب

رمشان ذباحان، كحل ساحر
وبقية من بسمة وعتاب

نظراتها مجنونة، وكأنها
عثرت على درب بوسط ضباب

وكأنها وجدت بوجهي حلمها
ووجودها مخضوضر الأعشاب

وبحثت عني، أين عقلي وأين روحي
والفوأد وأين صوابي

كيف الطفولة في الثلاثينية
تغتال عمدا زاهيات شبابي؟

طفلا رجعت وكنت أكبر عاشق
كيف اقتحمت بنظرة أبوابي؟

وفتحت صدري، حيث ألف صيبة
عجزت تكون وكنت لي أحبابي

أنا ما حكمت من الملوك لمرة
وحكمت من رمش ومن أهداب

إن أنت بالعينين طلت سريرتي
لا ريب إن كشفت طلت رقابي

Seolah-olah ia duduk di depanku hanya kedua mata
yang mempesona di balik cadar yang ku lihat

Seolah-olah kedua matanya berkedip mematikan, 
celak yang indah kini tinggal senyuman dan celaan

Memandangnya suatu kegilaan, seakan-akan dirinya 
berjalan di tengah jalan yang berkabut

Seolah-olah dirinya menemuiku dalam mimpi
keberadaannya sangat jelas di ilalang

Sempat ku berfikir, di mana pikiranku. Ruhku, 
sanubariku dan akal sehatku?

Bagaimana  di usia tiga puluhan
dengan sengaja, hasrat masa mudaku dirampas?

Ingin ku kembali ke masa muda, masa-masa cinta yang membara
bagaimana kau bisa menembus hatiku hanya dengan sekali memandang?

Dirimu telah membuka hatiku, yang tidak ada seribu 
gadis pun mampu menjadi dirimu sebagai kekasihku

Cukup kali ini saja, aku bukanlah seorang raja
aku hanyalah bulu mata saja

Jika dengan kedua matamu perasaanku melulu
tak bisa dipungkiri, kau biarkan setatus budaku selalu

            Menarik sekali puisi ini, puisi yang ingin menyampaikan pesan seorang laki-laki yang jatuh cinta pada perempuan yang bercadar, yang pada kedua matanya terdapat celak dianggap dapat menjerat hati laki-laki yang memandangnya, namun sayangnya, cela itu menjadi celaan/cemohan, kendati demikian setiap memandang kedua matanya adalah suatu kegilaan tersendiri. Hal ini disebabkan ada yang misteri dalam diri wanita itu (terlukis pada bait ke 3 tentang kabut).

            Pada bait ke empat penyair dengan lantang membuka keadaan wanita bercadar dan bercelak itu tampak di rerumputan. Artinya wanita itu tengah bahagia melihat keadaan penyair. Namun sperti mana para penyair lainya, penyair ini merasa kebingungan dengan keberadaanya yang diklaim oleh wanita pernah bermimpi bertemu dengan di ilalang. Dan sampai pada bait seterusnya penyair seantiasa mengajukan pertanyaan kepada wanita bercadaar dan bercela itu.

Di sini penyair menjelaskan usia mudanya, sekaligus bertanya kenapa harus dirampas hasrat/kenginan mencintai wanita tersebut? Dikarenakan wanita yang membuat diri penyair tergila-gila itu hanya sebatas angan dan menjadi beban yang tak terpikulkan. Sementara sang perempuan itu senantiasa dapat mencurahkan dan bahkan mengelabuhi hati sang penyair. Kemudian penyair berharap masa mudanya kembali, masa di mana rindu membuatnya membabibuta oleh sang perempuan. Tapi dengan lantangnya, penyair mengajukan pertanyaan lagi, dengan maksud untuk menyatakan , kalau hanya wanita bercadar dan bercela lah yang mudah meluluhkan hatinya seumpama lilin yang terlahap oleh api yang menjadikanya meleleh habis.

Bukan seorang raja hanya sebata bulu mata saja, bulu mata yang senantiasa menempel pada ke dua mata wanita itu sebagai tanda, jika dengan ke dua matanya diri perasaan seorang penyair itu melulu, maka bisa dipastikan setatus seorang hamba (bucin) akan senantiasa kekal dan abadi dalam diri sang penyair.


Thursday 16 July 2020

Cinta Dalam Prespektif Al-Qur’an

Hakikat Cinta Dalam Pandangan Al-Qur'an


Awalnya penulis merasa keberatan untuk mengangkat topik ini agar dijadikan bahan pembahasan ilmiah, namun penulis sangat terheran bahkan tercengang akan adanya 3 karya besar dari kalangan kaum intlektual muslim timur tengah yang namanya akan penulis sebut setelah pembahasan ini. 

Akan penulis urut sesuai terbitan tiga karya besar ini, yang pertama mulai dari karyanya Dr. Mahmud bin Syarif pada tahun 1983 M, buku ini diterbitkan di Lebanon. Kemudian karyanya Dr. Said Ramdhany al-Buthy pada tahun 2009 M, buku ini dicetak pertama di Damaskus. Lalu yang paling modrean lagi adalah karyanya Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal pada tahun 2015 M, sebagai disertasi dalam memperoleh gelar Doktornya di bidang filsafat di fakultas ushuluddin di Universitas Kairo Mesir.

Tiga tokoh ini memiliki latar belakang yang berbeda tentunya, namun, terlepas dari itu semua penulis ingin menyampaikan bahwa ketiga penulis tersebut menulis buku dengan judul yang sama, yaitu, Cinta dalam prespektif al-Qur’an (الحب في القران) , walaupun demikian, saya selaku pengulas karyanya mereka bertiga ini sangat heran dan menemukan hal yang sangat berbeda dalam konsentrasi kajiannya, sekalipun perlu diakui kesemuanya terambil dari sumber atau data yang sama, namun tidak menutup kemungkinan membuahkan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan pengambilan pendekatanya saja. dan perbedaan itu sangat mencolok pada permulaan kata pengantar bukunya masing-masing atau paling tidak sampai pada prolog bukunya.  

Misalnya, pada karyanya Dr. Mahmud bin Syarif, dalil yang digunakan dalam membuka karyanya itu untuk para pembaca bukunya adalah surta ar-Rum (QS: 21). Tentunya pada ayat ini menggambarkan tentang salah satu tanda kekuasaan Allah yang menjadikan hubungan rumah tangga hambanya dihiasa dengan rasa penuh kasih dan sayang, berbeda halnya dengan pembukaan karyanya Dr. Said Ramdhany al-Buthy, menekankan pada kuliatas cinta Allah kepada hambanya, dengan mengutip firman Allah dalam surat ali Imran (QS: 3-13) di mana Allah mencintai kalian di situ pula ampunan Allah ada, beda lagi dengan karyanya Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal yang memang dapat diketahui dengan jurusan beliau berfokus pada filsafat yang memang beliau di sini memberikan  dan menawarkan cinta yang terambil dari sebuah kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (QS: 50) dengan kata lain memandang sebuah cinta yang ada dalam al-Quran secara historis dan filosfis. Kesemuanya akan saya jabarkan dengan semampunya saya pada paragraf berikut.

Ketika membaca karya Dr. Mahmud bin Syarif rasanya beliau terlalu fokus pada cinta hambanya kepada Allah saja, sampai pada pembagian-pembagian cinta pun antara hambanya dengan Allah di jabarkan secara gamblang sekali, namun sayangnya, cinta di sini hanya ditinjau dari segi rububiyah (ketuhanan) saja, di sini saya berfikir positif saja, apa karenga mungkin pangkal dari segala cinta itu adalah mencintai Allah? Karena di dalam bukunya beliau mengatakan karena Allah ada cinta yang sebenarnya. Terlepas dari itu saya menjumpai puisi yang dikarang oleh Ibnu Mubarok, yang dikutip dalam bukunya beliau,

تعصى الإله وأنت تظهر حبه – هذا لعمري في القياس شنيع

لو كان حبك صادقا لأطعته – إن المحب لمن يحب مطيع

“Kau berbuat maksiat kepada Tuhan tapi kau tampak mencintainya
perbuatan ini dalam hidupku seumpama sesutau yang menjijikkan

Andai dirimu benar-benar mencintainya, niscaya kau akan menta’atinya
karena pecinta akan senantiasa tunduk pada kekasihnya”

           

Syi’ir ini memberikan penjelasan kepada kita tentang cinta dua wajah, dua wajah di hadapan Allah pura-pura cinta namun dibelakangnya dia melakukan maksiat, seumpama dua mata pisau, yang sebanarnya kedua-duanya sama-sama mematikan, melumpuhkan, dan melukai pemiliknya. Saya kira mencintai sesama manusia juga demikian adanya, tidak ada manusia yang ingin dicintai dengan memakai topeng, sekalipun topeng yang ia kenakan berupa topeng emas.

Berbeda dengan penjelasan Dr. Said Ramdhany al-Buthy dalam bukunya, ia membagi pembahasan dalam bukunya menjadi tiga bab besar, 1. Cinta Allah kepada hambanya, 2. Cinta manusia kepada Allah, 3. Cinta manusia pada manusia lainnya (sesamanya). Untuk bagian pertama tidak jauh beda dengan pembahasan di atas, hanya saja pada pembahasan-pembahasan berikutnya pada bab-bab berikutnya inilah yang membuat kedua buku ini berbeda antara buku satu dengan buku lainnya.

Misalkan pada bagian ke dua, cinta manusia kepada Allah, salah satu pembahasannya adalah menjalin cinta dengan Allah bukan hanya sebagai pelantara/mediasi untuk mencapai buah kebahagian hidup, jauh lebih penting dari itu adalah sebagai puncak/akhir dari pada tujuan hidup ini. karena bagi Dr. Said Ramdhany al-Buthy cinta manusia kepada Allah dinilai sebagai ibadah, hal ini selaras sebanarnya dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Mahmud bin Syarif, hanya saja beliau lebih menekankan pada hubungan harmonis cinta antara Allah dengan hambanya.

Pada bagian ke tiga, Dr. Said Ramdhany al-Buthy mengungkap cintai manusia dengan sesama manusianya. Yang sebenarnya harus membuahkan cintai kepada Allah, karena yang dinilai oleh Dr. Said Ramdhany al-Buthy jika sebuah cinta itu tidak mengantarkan manusia lebih dekat kepada Allah (semakin jauh) maka cintai yang demikian dinilai sebagai cinta hawa nafsu saja atau dengan bahasa al-Qur’annya dianggap sebagai cinta dunia semata.

Pada pemabahasan terakhir ini, tepatnya pada bukunya Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal penulis hanya ingin memberikan gambaran besarnya tentang apa yang ingin disampaikan oleh Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal, karena bagaimanapun sebanarnya tidak jauh beda dengan pembahasan sebelumnya.

Misalnya, Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal memberikan sebuah kisah Nabi Yusuf As dengan Zhuleha, dari dua kisah ini kita akan diuji coba untuk berfikir dan menilai hakikat cinta  dalam pandangan al-Qur’an, dan pembagian cinta atas dasar kisah ini akan ditemukan benangmerahnya. Seperti mana yang sudah lumrah cerita antara keduanya, Kisah Nabi Yusuf pada hakikatnya sangat panjang dan penuh lika-liku. Karena menolak ajakan Zulaikha dan dianggap bersalah, ia dipenjara. Selepas Yusuf keluar dari penjara, tak lama kemudian Yusuf menjadi Wazir kerajaan. Ia bertemu dengan Zulaikha yang masih terus mencintainya, kemudian ia pun menikahinya, di hari Jumat.

Syekh Abu Nashr dalam as-Sab’iyyat fi Mawaidz al-Bariyyat menuturkan pendapat sebagian ulama bahwa ada tujuh nabi dan wali yang menikah pada hari Jumat, yaitu Adam-Hawa, Musa-Shafura, Sulaiman-Bilqis, Muhammad-Khadijah, Muhammad-Aisya, Ali-Fathimah, dan Yusuf-Zulaikha. Rasulullah sendiri pernah ditanya oleh Anas Ibnu Malik tentang hari Jumat. Kemudian Rasulullah menjawab bahwa Jumat adalah hari silaturahim dan hari pernikahan. Anas bertanya, mengapa begitu. Rasulullah menjawab bahwa di hari Jumat itu para nabi menikah.

Adapun permintaan Nabi Yusuf agar dimasukkan ke dalam jeruji besi itu dipandang baik dan bernilai filosofis oleh Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal, beliau mengatakan dalam surat Yusuf (QS. 33) Tuhanku penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh". Dalam mengomentari ayat ini beliau sangat jeli, sehingga membandingkan kata Yusuf yang berbunyi قَالَ رَبِّ ٱلسِّجْنُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا يَدْعُونَنِىٓ إِلَيْهِ dari pada kata رب السجن أفضل إلي  hal ini menujukkan kata أَحَبُّ dipandang lebih kenna ketimbang menggunakan kata  , أفضل dikernakan sesutau yang lebih disuka itu mengalahi sesuatu yang lebih diutamakan.

Dalam hal ini, Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal melanjutkan pembahasannya bahwa tampak jelas kiranya, cinta Nabi yusuf itu cinta yang didasarkan dengan nafsu mut’mainnah, sementara cinta yang dirasakan oleh Zkhuleha cinta yang bersumber dari nafsu lawwamah/imarah. Hal ini dilukiskan pula dalam al-Qur’an surat Yusuf (QS. 53). Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

Dari sini dapat disimpulkan cinta dalam prespektif al-Qur’an jika mengacu pada tinjauan historis terbagi menjadi dua, cinta yang berdasarkan nafsu mut’mainnah dan cinta yang berdasarkan dengan nafsu lawwamah/ammarah.

 


 

 

Wednesday 15 July 2020

الحكاية الشهيقة

Kisah Inspirtif


الخبر بتمامه في موافقة هذا الحديث حكاية عن عمر رضي الله تعالى عنه كان يمشي في سكك المدينة فرأى صبيا كان في يده عصفور وكان يلعب به فرحم عمر ذلك العصفور فاشتراه من الصبي فأعتقه فلما توفي عمر رضي الله تعالى عنه رآه الجمهور فى المنام فسألوه عن حاله فقالوا ما فعل الله بك قال غفر لي وتجاوز عني قالوا بأي شيء بجودك أوبعدلك أوبزهدك قال لما وضعتموني فى القبر وسترتموني بالتراب وتركتموني وحيدا فدخل علي ملكان مهيبان طار عقلي وارتعدت مفاصلي من هيبتهما وأخذاني وأجلساني وأرادا أن يسألاني فسمعت نداء من الهاتف اتركا عبدي ولا تخوفاه فإني رحمته وتجاوزت عنه لأنه رحم عصفورا فى الدنيا فرحمته في العقبى

Dikutip dari kitab Mauidahtul Usfuriyyah pada bagian pertama ada sebuah kisah tentang sahabat Umar RA, suatu ketika beliau berjalan kaki di jalanan kota, kemudian beliau melihat seorang anak kecil yang ditangannya ada seekor burung, burung tersebut dibuat mainan oleh anak kecil, lantas Umar RA merasa kasihan terhadap burung tersebut dan dibelilah burung tersebut dari anak kecil itu lalu dilepaskan oleh beliau. ketika Umar RA telah wafat, banyak orang yang melihat beliau dalam mimpi dan mereka menanyakan tentang keadaan beliau, mereka bertanya “apa yang Allah lakukan kepadamu?” beliau menjawab “Allah telah mengampuniku dan memaafkanku, mereka kembali bertanya Dengan amal apa? dengan kedermawananmu atau keadilanmu atau kezuhudannmu? beliau menjawab Ketika kalian meletakkanku di dalam kubur, memendamku dengan tanah dan meninggalkanku sendirian, datanglah kepadaku dua malaikat yang gagah hingga membuat akalku tak bisa berfikir dan persendianku gemetar karena kegagahannya, kedua malaikat itu membawaku, mendudukkanku dan hendak menanyaiku, saat itu aku mendengar suatu panggilan (seruan) berkata tinggalkan hamba-Ku dan jangan kalian menakutinya karena Aku menyayanginya dan memaafkannya karena dia telah menyayangi seekor burung di dunia maka Aku menyayanginya di akhirat”.

Berangkat dari sebuah hadist yang seringkali dilafalkan oleh kaum intlektual kekinian, dan diriwayatkan langsung oleh sahabat nabi Abdullah bin Umar RA, bunyi hadisnya demikian:

عن عبد الله بن عمر رضي الله تعالى عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء.

 

Dari Abdulloh bin Umar RA berkata, Rasululloh SAW bersabda: “Orang-orang yang mengasihi akan dikasihi Allah Sang Maha Pengasih, Kasihilah siapapun yang ada di bumi maka yang di langit akan mengasihimu”.

Kiranya tampak jelas, kisah hadis ini sebagai bukti bahwa cerita yang sumbernya dari sebuah mimpi para ulama yang bertemu dengan sahabat Umar RA ini sangat logis jika hal itu benar adanya. Karena bagaimana pun, hadis ini menjelaskan tentang siapa pun ia, jika berbuat baik di dunia maka penduduk langit akan berbuat baik kepada orang tersebut. Hal ini dirasakan oleh sahabat Umar RA, beliau dimasukkan surga bukan hanya karena hal-ikhwal yang sifatnya baik dan berat, melainkan sebab hal-ikhwal yang sifatnya ringan dilihat, namun dihadapan Allah sangat banyak pahalanya. Jelas sudah sementara kata-kata berkata, “jangan kau remehkan hal baik skalipun kecil perbuatanya, karena tidak ada orang hebat itu bermula dari hal yang besar. Begitu juga jangan kau biarkan hal buruk yang sifatnya kecil perbuatannya, karena tida ada orang jatuh kesandung disebabkan batu yang besar”.

 


Tuesday 14 July 2020

بر الوالدين

Berbakti Kepada Kedua Orangtua



Sekurang-kurangnya ada 6 ayat yang sering dijadikan hujjah/dalil para penceramah kondang dalam menyampaikan pesan yang tersurat dalam al-Qur’an tentang topik pembahsan kita kali ini, yang pertama ada pada surat an-Nisa ayat ke 36, pada surat al-An’am ayat ke 151, pada surat al-Isyra ayat ke 23-24, pada surat al-Luqman ayat ke 14-15, pada surat al-Ankabut ayat ke 8, dan yang terakhir ada pada surat al-Ahqaf ayat ke 15. Kesemua ayat yang disebutkan di atas menjelaskan tentang suatu hal-ikhwal yang didalamnya terdapat perintah dan larangan.

Misalnya, pada surat an-Nisa, al-Ahqaf, al-Isyra, dan surat al-An’am, kesemuanya ini mengandung kata perintah untuk berbuat baik dan kebajikan kepada kedua orangtua. Hal ini selaras dengan apa tertulis dalam al-Qur’an “وبالوالدين احسانا”. (dan dengan dua orang ibu-bapak kebajikan yang sempurna)[1], dalam tafsir lain dijelaskan, dua susunan di atas pada dasarnya membuang fiil dan fa’il, berupa kata "أحسنوا بالوالدين احسانا" sehingga dapat diartikan sebagai (berbuatlah baik, sopan, ramah, patuh, kepada kedua orangtua, dengan sepatuh-patuhnya) pandangan ini menjadikan kata “ihsana” sebagai maful mutlaq dari kata “ahsinu”. Sehingga dapat dipastikan dalam 4 surat di atas bukan hanya sekedar memberikan informasi akan melakukan kebaikan, dalam dari pada itu maknanya adalah ada sebuah perintah yang tidak boleh tidak harus kita lakukan, yaitu berbuat kebajikan (menjadi anak yang taat kepada ke dua orangtua) merupakan kewajiban seorang anak kepada ke dua orangtuanya.[2]

Sama halnya, dengan pernyataan syaikh Muhammad Abduh bahwa bukan hanya sekedar bentuk patuh dan tunduk, tetapi juga harus ada rasa mengagungkan dalam jiwa kepada siapapun yang kepadanya ia mengabdi, demikianlah ibadah dalam pandangan syaikh Muhammad Abduh. Artinya, ta’at dan tunduk itu belum cukup kepada ke dua orangtua, tapi pengabdianlah yang mencakupi semuanya. Karena menurutnya, hakikat ibadah adalah mengabdi. Dan berbudi pekerti baik kepada ke dua orangtua merupakan nilai ibadah di hadapan Allah Swt.[3]

Tampaknya sangat jelas, berbuat kebajika kepada ke dua orangtua merupakan hal yang wajib dan yang sepantasnya patut kita abdikan bersama. Kendati demikian serasi dengan apa yang disabdakan oleh baginda Nabi Muhammad Saw, رضى الله في رضا الولدين وسخط الله في سخط الوالدين hal ini menujukkan hubungan erat antara mematuhi Allah dengan kedua orantua itu suatu hal yang tak bisa dipisahkan. Sebagai penutup dari tulisan ini saya ingin memberikan kata-kata sastrwan Arab, Hafid Ibrahim dalam salah satu antologi puisinya yang berjudul birrul walidaini berkata:

فإذا مرضت تخوفا – ودموع حزنهما سخية

وإذا شفيت تشكّرا – لله ذي النعم السنية

Dikala aku sakit, mereka berdua cemas
hingga dengan rela mencucurkan sedu-sedannya
Dikala aku siuman, mereka berdua bersyukur
kepada Allah Dzat pemberi nikmat yang berlimpah



[1] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 2, Lentera Hati, Ciputat, Cet V 2012, hal, 525. Quriash Shihab, Tafsir al-Lubab, Juz 1, Lentera Hati, Ciputat, Cet I 2012, hal, 180.

[2] jalaluddin al-Mahally, Jalaluddin as-Syuthi, Tafsir hasiyatu as-Shwai, juz 1, Darul Ilmi, Surabaya, hal, 290.

[3] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 2, Lentera Hati, Ciputat, Cet V 2012, hal, 526-527. Quriash Shihab, Tafsir al-Lubab, Juz 1, Lentera Hati, Ciputat, Cet I 2012, hal, 181.

 


Monday 14 January 2019

Fakto-faktor Penghambat Skripsi

Detik-Detik Menggarap Skripsi


Tidak terasa kuliah tingkat sarjana sudah mulai habis kontraknya, tinggal 6 bulan tepatnya. Namun sampai detik ini masih saja diri saya bermalas-malasan dalam menggarapnya. Entah dengan alasan apa? Tapi yang pasti adalah kemalasan ini muncul karena beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Diantaranya adalah seringnya maen game mobile legend, melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat dalam pendidikan saya, dan seringnya menghabiskan waktu demi seorang wanita yang saya cinta padahal waktu yang dihabiskan tidak memberikan efek atau dampak positif kepada diri saya sendiri.
Saya akan berusah memaparkan dampak negatif dari ketiga faktor di atas terhadap mendeknya menggarap skripsi, demikian keteranganya;
1.      Jika kita sering kali berkecimpung dalam ranah digitalisasi yang memang tidak akan bisa lepas dengan keadaan jamannya yang mendukung dan mewajibkan apa-apa harus dengan digital, maka kita akan merasakan dampak positif dan negatifnya era digital ini. salah satunya keseringan menghabiskan waktu kita dengan hal yang tak bermanfaat seperti, bermain game. Memang, awalnya dikatakan sebagai hiburan belaka, menghilangkan rasa buntek dan apalah itu. Namun, lambat laun hal itu menjadi keseringan dilakukan. Dalil yang awalnya dikatakan sebagai “hiburan” kini menjadi kebiasaan yang sangat fatal akibatnya jika dilakukan terus-menerus. Salah satu dampak bagi saya pribadi yang masih dalam tahap peneyusunan skripsi adalah membuat skripsi terhenti atau fakum dengan seketika dan melampiaskan kefakuman itu dengan maen game. Hal inilah yang seharusnya dihindari oleh para mahasiswa dimanapun kalian berada.
2.      Rasa “malas” inilah faktor kedua yang bisa membuat skripsi kita mandek dan tidak bisa lagi digarap. Karena adanya rasa malas ini semua para mahasiswa terjerumus kelembah hitam dan kelingkaran hitam yang sering dikenal dengan istilah “mager”. Melakukan ini dan itu akan senantiasa mager dan mager. Sangat bahaya, kalau rasa ini senantiasa bersemayam di dalam diri kita. Namun, hal yang tidak mungkin ketika rasa ini ingin dibuang, setidaknya kalau rasa ini datang, jangan terlalu lama.  Satu dua kali itu manusiawi, namun jika sampai beermuluk-muluk beda lagi!
3.      Pacaran, nah ini lagi salah satu faktor yang dapat menghambat kelancaran skripsi. Karena sering mementingkan kemauan dan kebutuhan sang kekasih, bukan hanya itu yang akan terjadi, bahkan bisa meluangkan waktu untuk skripsi jauh lebih kecil ketimbang harus meluangkan waktu untuk sang pujaan hati. Maka inilah yang sangat berdampak besar akan kemulusan waktu yang seharusnya efektif dalam menggarap skripsi eh ternyata dihabiskan dengan senang-senang bersama sang kekasih semata. Hal ini bukan sedikit yang dialami oleh para mahasiswa, bahkan tidak bisa dihitung dengan jari-jemari manusia.

Demikianlah faktor-faktor penyebab terhambatnya mengerjakan skripsi, jika kalian para pembaca berkenan, silahkan share dan amalkan, dan ingat, skripsi merupakan ujian terkahir di masa-masa kalian ada dibangku kuliah. Jika hal itu gagal dikarenakan selain faktor di atas tolong coment dibawah ini agar penulis bisa merevisi tulisan ini kembali. Salam semoga bermanfaat. Amin.

Tuesday 29 May 2018

Diskripsi Naskah Manuskrip Syama'ilul Nabi

Manuskrip Syama’ilul Nabi

Naskah Syamilul Nabi salah satu naskah PNRI yang terdaftar dengan kode dan nomer A 307. Naskah ini terdiri atas 108 halaman dan dua halaman pelindung. Setiap halaman terdiri atas 19 baris, kecuali halaman awal yang terdiri dari 7 baris dan halaman akhir terdiri dari 13 baris. Naskah berukuran 20,5 x 15 cm, sementara teksnya berukuran 15,5 x 9 cm. Dalam naskah ini terdapat garis panduan yang ditekan. Tidak ada penomoran halaman, namun disetiap halaman verso terdapat kata alihan. Sampul naskah terbuat dari kertas karton tebal berwarna coklat bintik-bintik berukuran 20,5 x 15 cm, sementara bagian punggung berwarna krem. Semetara alas naskah dari naskah ini menggunakan kertas eropa dengan cap kertas pro patria. Dapat diasumsikan bahwa kertas tersebut diproduksi pada tahun 1836 di the hague, belanda.

Teks naskah ditulis dalam bahasa arab dengan aksara arab. Dan di keseluruhan teks tidak ada harakatnya (arab gundul), namun di bagian akhirnya terdapat harakat pada bagian-bagian tertentu. Dan yang sangat menarik adalah pengharokatan pada teks tersebut hanya disebagian hurufnya saja itu pun hanya ada pada tulisan-tulisan yang berbentuk syiir. Tampaknya, diberikannya harakat pada bagian akhir sekalipun hanya beberapa huruf saja dimaksudkan untuk mempermudah pembaca. Karena dibagian awal hingga bagian seblum akhir bentuk tulisannya berbentuk narasi (prosa), sehingga, tepat kiranya jika pengharokatan pada bagian akhir di nadhamnya diharakatkan sebagian hurufnya.

Sebagaimana karya tulis, ada kalanya full berbentuk prosa ada pula full berbentuk puisi (nadham). Namun, dalam naskah ini kedua-duanya digunakan. Adakalanya berbentuk prosa, hal ini ada pada bagian awal hingga bagian seblum akhir. Dan ada kalanya berbentuk puisi (nadham), hal ini ada pada bagian akhir naskah. Khat yang digunakan berjenis naskhi. Tinta yang digunakan berwarna hitam, sementara rubriksi berwarna merah. Penggunaan rubrikasi tersebut untuk menandai judul, bab baru, dan lafad-lafad yang bersangkutan dengan permulaan hadist. Contoh حدثنا, روى, وأخبرنا .

Secara umum, kondisi naskah masih baik. Tulisannya jelas dan mudah dibaca. Pada awal naskah terdapat nama pengarang kitab syamailul nabi ini, dibagian tengah seperti biasa penjelasan tentang kehidupan nabi, mulai dari masa hidupnya hingga akhir hayatnya keterangan ini diambil dari berbagai macam hadist yang menjelaskan kehidupan nabi, dan di bagian akhir terdapat nadham yang ditutup dengan kolofon. Dalam kolofon tersebutlah terdapat nama penyalin naskah ini dan tahun salinannya. Sementara penulis aslinya, hanya ditulis namanya dibagian awal naskah.
Demikian bunyi teks dalam kolofon naskah ini dibagian awalnya:
تأليف الترميذي
Artinya:
Karya Imam Turmudzi.

Demikian bunyi teks salinannya dalam kolofon naskah ini dibagian akhirnya:
وكان الفراغ من كتابته في يوم الأربعاء المبارك السابع  من شهر ذي القعدة من سنة 1169 تسعة بعد الستين ومائة بعد الألف من الهجرة المحمدية على صاحبها أفضل الصلاة وازكي السلام على يد الفقير الى الله حسن بن علي الفقيه الشافعي عفى الله عنه   امين
Artinya:
Telah rampung penulisan kitab ini pada hari rabu yang berkah tanggal 7 di bulan dzul qa’dah pada tahun 1169 H yang ditulis oleh Hasan bin Ali, ahli fiqhi, syafi’i madzhabnya, semoga Allah mengaampuninnya. Amin.

Dari kutipan diatas kiranya sangat jelas, mana yang penyalin mana pula yang penulis aslinya. Sekalipun tidak secara implisit sanga penyalin menjelaskan kalau naskah ini pada mulanya dikarang oleh imam turmudzi namun dengan menyebut namanya di bagian awal naskah sudah memberikan indikasi sempurna kalau yang mengarang adaah imam turmudzhi dan yang menyalin adalah Hasan bin Ali.

Pada bagia awal naskah tidak didejelakan secara detail oleh penyalin kapan sebenarnya nashkah ini ditulis oleh pengarang aslinya, namun untuk bagian akhir naskah terdapat kolofon yang menunjukkan kapan disalinnya naskah ini oleh penyalin sendiri.
Naskah ini dibagian akhirnya terdapat kolofon yang memberitahukan akan adanya penyalinan oleh Hasan bin Ali pada hari rabu yang berkah di bulan dzul qa’dah pada tahun 1169 H/rabu, 4 Agustus, 1756 M.


Teks syamailul nabi dalam naskah ini berisi pembahasan mengenai kehidupan nabi mulai dari semasa hidupnya hingga pada akhir hayatnya. Teks dimulai basmalah dan langsung pada ke topik pembahasan sanat-sanat hadits juga perowinya, lalu kemudian masuk kepada subtansi bab pertama yaitu “masa kelahiran nabi”. Pada bagian tengah menjelaskan tentang masa-masa kenabian dan kerasulan nabi. Sementra pada bagian sebelum akhir, menjelaskan tentang akhlaq nabi semasa hidupnya yang berbentuk nadham. Dan pada bagian akhir penutup naskah ini terdapat kolofon selesainya penulisan teks naskah, yakni rabu, 7 Dzul’Qodah 1169 H/4 Agustus, 1756 M.

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...