Thursday, 16 July 2020

Cinta Dalam Prespektif Al-Qur’an

Hakikat Cinta Dalam Pandangan Al-Qur'an


Awalnya penulis merasa keberatan untuk mengangkat topik ini agar dijadikan bahan pembahasan ilmiah, namun penulis sangat terheran bahkan tercengang akan adanya 3 karya besar dari kalangan kaum intlektual muslim timur tengah yang namanya akan penulis sebut setelah pembahasan ini. 

Akan penulis urut sesuai terbitan tiga karya besar ini, yang pertama mulai dari karyanya Dr. Mahmud bin Syarif pada tahun 1983 M, buku ini diterbitkan di Lebanon. Kemudian karyanya Dr. Said Ramdhany al-Buthy pada tahun 2009 M, buku ini dicetak pertama di Damaskus. Lalu yang paling modrean lagi adalah karyanya Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal pada tahun 2015 M, sebagai disertasi dalam memperoleh gelar Doktornya di bidang filsafat di fakultas ushuluddin di Universitas Kairo Mesir.

Tiga tokoh ini memiliki latar belakang yang berbeda tentunya, namun, terlepas dari itu semua penulis ingin menyampaikan bahwa ketiga penulis tersebut menulis buku dengan judul yang sama, yaitu, Cinta dalam prespektif al-Qur’an (الحب في القران) , walaupun demikian, saya selaku pengulas karyanya mereka bertiga ini sangat heran dan menemukan hal yang sangat berbeda dalam konsentrasi kajiannya, sekalipun perlu diakui kesemuanya terambil dari sumber atau data yang sama, namun tidak menutup kemungkinan membuahkan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan pengambilan pendekatanya saja. dan perbedaan itu sangat mencolok pada permulaan kata pengantar bukunya masing-masing atau paling tidak sampai pada prolog bukunya.  

Misalnya, pada karyanya Dr. Mahmud bin Syarif, dalil yang digunakan dalam membuka karyanya itu untuk para pembaca bukunya adalah surta ar-Rum (QS: 21). Tentunya pada ayat ini menggambarkan tentang salah satu tanda kekuasaan Allah yang menjadikan hubungan rumah tangga hambanya dihiasa dengan rasa penuh kasih dan sayang, berbeda halnya dengan pembukaan karyanya Dr. Said Ramdhany al-Buthy, menekankan pada kuliatas cinta Allah kepada hambanya, dengan mengutip firman Allah dalam surat ali Imran (QS: 3-13) di mana Allah mencintai kalian di situ pula ampunan Allah ada, beda lagi dengan karyanya Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal yang memang dapat diketahui dengan jurusan beliau berfokus pada filsafat yang memang beliau di sini memberikan  dan menawarkan cinta yang terambil dari sebuah kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (QS: 50) dengan kata lain memandang sebuah cinta yang ada dalam al-Quran secara historis dan filosfis. Kesemuanya akan saya jabarkan dengan semampunya saya pada paragraf berikut.

Ketika membaca karya Dr. Mahmud bin Syarif rasanya beliau terlalu fokus pada cinta hambanya kepada Allah saja, sampai pada pembagian-pembagian cinta pun antara hambanya dengan Allah di jabarkan secara gamblang sekali, namun sayangnya, cinta di sini hanya ditinjau dari segi rububiyah (ketuhanan) saja, di sini saya berfikir positif saja, apa karenga mungkin pangkal dari segala cinta itu adalah mencintai Allah? Karena di dalam bukunya beliau mengatakan karena Allah ada cinta yang sebenarnya. Terlepas dari itu saya menjumpai puisi yang dikarang oleh Ibnu Mubarok, yang dikutip dalam bukunya beliau,

تعصى الإله وأنت تظهر حبه – هذا لعمري في القياس شنيع

لو كان حبك صادقا لأطعته – إن المحب لمن يحب مطيع

“Kau berbuat maksiat kepada Tuhan tapi kau tampak mencintainya
perbuatan ini dalam hidupku seumpama sesutau yang menjijikkan

Andai dirimu benar-benar mencintainya, niscaya kau akan menta’atinya
karena pecinta akan senantiasa tunduk pada kekasihnya”

           

Syi’ir ini memberikan penjelasan kepada kita tentang cinta dua wajah, dua wajah di hadapan Allah pura-pura cinta namun dibelakangnya dia melakukan maksiat, seumpama dua mata pisau, yang sebanarnya kedua-duanya sama-sama mematikan, melumpuhkan, dan melukai pemiliknya. Saya kira mencintai sesama manusia juga demikian adanya, tidak ada manusia yang ingin dicintai dengan memakai topeng, sekalipun topeng yang ia kenakan berupa topeng emas.

Berbeda dengan penjelasan Dr. Said Ramdhany al-Buthy dalam bukunya, ia membagi pembahasan dalam bukunya menjadi tiga bab besar, 1. Cinta Allah kepada hambanya, 2. Cinta manusia kepada Allah, 3. Cinta manusia pada manusia lainnya (sesamanya). Untuk bagian pertama tidak jauh beda dengan pembahasan di atas, hanya saja pada pembahasan-pembahasan berikutnya pada bab-bab berikutnya inilah yang membuat kedua buku ini berbeda antara buku satu dengan buku lainnya.

Misalkan pada bagian ke dua, cinta manusia kepada Allah, salah satu pembahasannya adalah menjalin cinta dengan Allah bukan hanya sebagai pelantara/mediasi untuk mencapai buah kebahagian hidup, jauh lebih penting dari itu adalah sebagai puncak/akhir dari pada tujuan hidup ini. karena bagi Dr. Said Ramdhany al-Buthy cinta manusia kepada Allah dinilai sebagai ibadah, hal ini selaras sebanarnya dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Mahmud bin Syarif, hanya saja beliau lebih menekankan pada hubungan harmonis cinta antara Allah dengan hambanya.

Pada bagian ke tiga, Dr. Said Ramdhany al-Buthy mengungkap cintai manusia dengan sesama manusianya. Yang sebenarnya harus membuahkan cintai kepada Allah, karena yang dinilai oleh Dr. Said Ramdhany al-Buthy jika sebuah cinta itu tidak mengantarkan manusia lebih dekat kepada Allah (semakin jauh) maka cintai yang demikian dinilai sebagai cinta hawa nafsu saja atau dengan bahasa al-Qur’annya dianggap sebagai cinta dunia semata.

Pada pemabahasan terakhir ini, tepatnya pada bukunya Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal penulis hanya ingin memberikan gambaran besarnya tentang apa yang ingin disampaikan oleh Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal, karena bagaimanapun sebanarnya tidak jauh beda dengan pembahasan sebelumnya.

Misalnya, Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal memberikan sebuah kisah Nabi Yusuf As dengan Zhuleha, dari dua kisah ini kita akan diuji coba untuk berfikir dan menilai hakikat cinta  dalam pandangan al-Qur’an, dan pembagian cinta atas dasar kisah ini akan ditemukan benangmerahnya. Seperti mana yang sudah lumrah cerita antara keduanya, Kisah Nabi Yusuf pada hakikatnya sangat panjang dan penuh lika-liku. Karena menolak ajakan Zulaikha dan dianggap bersalah, ia dipenjara. Selepas Yusuf keluar dari penjara, tak lama kemudian Yusuf menjadi Wazir kerajaan. Ia bertemu dengan Zulaikha yang masih terus mencintainya, kemudian ia pun menikahinya, di hari Jumat.

Syekh Abu Nashr dalam as-Sab’iyyat fi Mawaidz al-Bariyyat menuturkan pendapat sebagian ulama bahwa ada tujuh nabi dan wali yang menikah pada hari Jumat, yaitu Adam-Hawa, Musa-Shafura, Sulaiman-Bilqis, Muhammad-Khadijah, Muhammad-Aisya, Ali-Fathimah, dan Yusuf-Zulaikha. Rasulullah sendiri pernah ditanya oleh Anas Ibnu Malik tentang hari Jumat. Kemudian Rasulullah menjawab bahwa Jumat adalah hari silaturahim dan hari pernikahan. Anas bertanya, mengapa begitu. Rasulullah menjawab bahwa di hari Jumat itu para nabi menikah.

Adapun permintaan Nabi Yusuf agar dimasukkan ke dalam jeruji besi itu dipandang baik dan bernilai filosofis oleh Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal, beliau mengatakan dalam surat Yusuf (QS. 33) Tuhanku penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh". Dalam mengomentari ayat ini beliau sangat jeli, sehingga membandingkan kata Yusuf yang berbunyi قَالَ رَبِّ ٱلسِّجْنُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا يَدْعُونَنِىٓ إِلَيْهِ dari pada kata رب السجن أفضل إلي  hal ini menujukkan kata أَحَبُّ dipandang lebih kenna ketimbang menggunakan kata  , أفضل dikernakan sesutau yang lebih disuka itu mengalahi sesuatu yang lebih diutamakan.

Dalam hal ini, Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal melanjutkan pembahasannya bahwa tampak jelas kiranya, cinta Nabi yusuf itu cinta yang didasarkan dengan nafsu mut’mainnah, sementara cinta yang dirasakan oleh Zkhuleha cinta yang bersumber dari nafsu lawwamah/imarah. Hal ini dilukiskan pula dalam al-Qur’an surat Yusuf (QS. 53). Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

Dari sini dapat disimpulkan cinta dalam prespektif al-Qur’an jika mengacu pada tinjauan historis terbagi menjadi dua, cinta yang berdasarkan nafsu mut’mainnah dan cinta yang berdasarkan dengan nafsu lawwamah/ammarah.

 


 

 

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...