Hakikat Cinta Dalam Pandangan Al-Qur'an
Awalnya
penulis merasa keberatan untuk mengangkat topik ini agar dijadikan bahan
pembahasan ilmiah, namun penulis sangat terheran bahkan tercengang akan adanya
3 karya besar dari kalangan kaum intlektual muslim timur tengah yang namanya
akan penulis sebut setelah pembahasan ini.
Akan
penulis urut sesuai terbitan tiga karya besar ini, yang pertama mulai dari
karyanya Dr. Mahmud bin Syarif pada tahun 1983 M, buku ini diterbitkan di
Lebanon. Kemudian karyanya Dr. Said Ramdhany al-Buthy pada tahun 2009 M, buku
ini dicetak pertama di Damaskus. Lalu yang paling modrean lagi adalah karyanya
Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal pada tahun 2015 M, sebagai disertasi
dalam memperoleh gelar Doktornya di bidang filsafat di fakultas ushuluddin di
Universitas Kairo Mesir.
Tiga
tokoh ini memiliki latar belakang yang berbeda tentunya, namun, terlepas dari
itu semua penulis ingin menyampaikan bahwa ketiga penulis tersebut menulis buku
dengan judul yang sama, yaitu, Cinta dalam prespektif al-Qur’an (الحب في القران) , walaupun demikian, saya selaku pengulas karyanya mereka
bertiga ini sangat heran dan menemukan hal yang sangat berbeda dalam
konsentrasi kajiannya, sekalipun perlu diakui kesemuanya terambil dari sumber
atau data yang sama, namun tidak menutup kemungkinan membuahkan hasil yang
berbeda. Hal ini disebabkan pengambilan pendekatanya saja. dan perbedaan itu
sangat mencolok pada permulaan kata pengantar bukunya masing-masing atau paling
tidak sampai pada prolog bukunya.
Misalnya,
pada karyanya Dr. Mahmud bin Syarif, dalil yang digunakan dalam membuka
karyanya itu untuk para pembaca bukunya adalah surta ar-Rum (QS: 21). Tentunya
pada ayat ini menggambarkan tentang salah satu tanda kekuasaan Allah yang
menjadikan hubungan rumah tangga hambanya dihiasa dengan rasa penuh kasih dan sayang,
berbeda halnya dengan pembukaan karyanya Dr. Said Ramdhany al-Buthy, menekankan
pada kuliatas cinta Allah kepada hambanya, dengan mengutip firman Allah dalam
surat ali Imran (QS: 3-13) di mana Allah mencintai kalian di situ pula ampunan
Allah ada, beda lagi dengan karyanya Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal
yang memang dapat diketahui dengan jurusan beliau berfokus pada filsafat yang
memang beliau di sini memberikan dan
menawarkan cinta yang terambil dari sebuah kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (QS:
50) dengan kata lain memandang sebuah cinta yang ada dalam al-Quran secara
historis dan filosfis. Kesemuanya akan saya jabarkan dengan semampunya saya
pada paragraf berikut.
Ketika
membaca karya Dr. Mahmud bin Syarif rasanya beliau terlalu fokus pada cinta
hambanya kepada Allah saja, sampai pada pembagian-pembagian cinta pun antara
hambanya dengan Allah di jabarkan secara gamblang sekali, namun sayangnya,
cinta di sini hanya ditinjau dari segi rububiyah (ketuhanan) saja, di sini saya
berfikir positif saja, apa karenga mungkin pangkal dari segala cinta itu adalah
mencintai Allah? Karena di dalam bukunya beliau mengatakan karena Allah ada
cinta yang sebenarnya. Terlepas dari itu saya menjumpai puisi yang dikarang
oleh Ibnu Mubarok, yang dikutip dalam bukunya beliau,
تعصى
الإله وأنت تظهر حبه – هذا لعمري في القياس شنيع
لو
كان حبك صادقا لأطعته – إن المحب لمن يحب مطيع
“Kau berbuat maksiat kepada Tuhan tapi kau tampak mencintainya
perbuatan ini dalam hidupku seumpama sesutau yang menjijikkan
Andai
dirimu benar-benar mencintainya, niscaya kau akan menta’atinya
karena pecinta akan senantiasa tunduk pada kekasihnya”
Syi’ir
ini memberikan penjelasan kepada kita tentang cinta dua wajah, dua wajah di
hadapan Allah pura-pura cinta namun dibelakangnya dia melakukan maksiat,
seumpama dua mata pisau, yang sebanarnya kedua-duanya sama-sama mematikan,
melumpuhkan, dan melukai pemiliknya. Saya kira mencintai sesama manusia juga
demikian adanya, tidak ada manusia yang ingin dicintai dengan memakai topeng,
sekalipun topeng yang ia kenakan berupa topeng emas.
Berbeda
dengan penjelasan Dr. Said Ramdhany al-Buthy dalam bukunya, ia membagi
pembahasan dalam bukunya menjadi tiga bab besar, 1. Cinta Allah kepada
hambanya, 2. Cinta manusia kepada Allah, 3. Cinta manusia pada manusia lainnya
(sesamanya). Untuk bagian pertama tidak jauh beda dengan pembahasan di atas,
hanya saja pada pembahasan-pembahasan berikutnya pada bab-bab berikutnya inilah
yang membuat kedua buku ini berbeda antara buku satu dengan buku lainnya.
Misalkan
pada bagian ke dua, cinta manusia kepada Allah, salah satu pembahasannya adalah
menjalin cinta dengan Allah bukan hanya sebagai pelantara/mediasi untuk
mencapai buah kebahagian hidup, jauh lebih penting dari itu adalah sebagai
puncak/akhir dari pada tujuan hidup ini. karena bagi Dr. Said Ramdhany al-Buthy
cinta manusia kepada Allah dinilai sebagai ibadah, hal ini selaras sebanarnya
dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Mahmud bin Syarif, hanya saja beliau lebih
menekankan pada hubungan harmonis cinta antara Allah dengan hambanya.
Pada
bagian ke tiga, Dr. Said Ramdhany al-Buthy mengungkap cintai manusia dengan
sesama manusianya. Yang sebenarnya harus membuahkan cintai kepada Allah, karena
yang dinilai oleh Dr. Said Ramdhany al-Buthy jika sebuah cinta itu tidak
mengantarkan manusia lebih dekat kepada Allah (semakin jauh) maka cintai yang
demikian dinilai sebagai cinta hawa nafsu saja atau dengan bahasa al-Qur’annya
dianggap sebagai cinta dunia semata.
Pada
pemabahasan terakhir ini, tepatnya pada bukunya Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin
Tholal penulis hanya ingin memberikan gambaran besarnya tentang apa yang ingin
disampaikan oleh Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal, karena bagaimanapun
sebanarnya tidak jauh beda dengan pembahasan sebelumnya.
Misalnya,
Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal memberikan sebuah kisah Nabi Yusuf As
dengan Zhuleha, dari dua kisah ini kita akan diuji coba untuk berfikir dan
menilai hakikat cinta dalam pandangan
al-Qur’an, dan pembagian cinta atas dasar kisah ini akan ditemukan
benangmerahnya. Seperti mana yang sudah lumrah cerita antara keduanya, Kisah Nabi Yusuf pada hakikatnya sangat panjang dan penuh
lika-liku. Karena menolak ajakan Zulaikha dan dianggap bersalah, ia dipenjara.
Selepas Yusuf keluar dari penjara, tak lama kemudian Yusuf menjadi Wazir
kerajaan. Ia bertemu dengan Zulaikha yang masih terus mencintainya, kemudian ia
pun menikahinya, di hari Jumat.
Syekh Abu Nashr dalam as-Sab’iyyat fi Mawaidz al-Bariyyat menuturkan
pendapat sebagian ulama bahwa ada tujuh nabi dan wali yang menikah pada hari
Jumat, yaitu Adam-Hawa, Musa-Shafura, Sulaiman-Bilqis, Muhammad-Khadijah,
Muhammad-Aisya, Ali-Fathimah, dan Yusuf-Zulaikha. Rasulullah sendiri pernah ditanya
oleh Anas Ibnu Malik tentang hari Jumat. Kemudian Rasulullah menjawab bahwa
Jumat adalah hari silaturahim dan hari pernikahan. Anas bertanya, mengapa
begitu. Rasulullah menjawab bahwa di hari Jumat itu para nabi menikah.
Adapun permintaan Nabi Yusuf agar dimasukkan ke dalam jeruji
besi itu dipandang baik dan bernilai filosofis oleh Dr. Amir
Ghozy bin Muhammad bin Tholal, beliau mengatakan dalam surat Yusuf (QS. 33) “Tuhanku
penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku Dan jika tidak Engkau hindarkan dari
padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan
mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh". Dalam mengomentari ayat ini beliau sangat jeli, sehingga
membandingkan kata Yusuf yang berbunyi قَالَ رَبِّ ٱلسِّجْنُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِمَّا
يَدْعُونَنِىٓ إِلَيْهِ dari pada
kata رب السجن أفضل إلي
hal ini menujukkan kata أَحَبُّ dipandang
lebih kenna ketimbang menggunakan kata , أفضل dikernakan sesutau yang lebih disuka itu
mengalahi sesuatu yang lebih diutamakan.
Dalam hal ini, Dr. Amir Ghozy bin Muhammad bin Tholal
melanjutkan pembahasannya bahwa tampak jelas kiranya, cinta Nabi yusuf itu
cinta yang didasarkan dengan nafsu mut’mainnah, sementara cinta yang dirasakan
oleh Zkhuleha cinta yang bersumber dari nafsu lawwamah/imarah. Hal ini
dilukiskan pula dalam al-Qur’an surat Yusuf (QS. 53). “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Dari sini dapat disimpulkan cinta dalam
prespektif al-Qur’an jika mengacu pada tinjauan historis terbagi menjadi dua,
cinta yang berdasarkan nafsu mut’mainnah dan cinta yang berdasarkan dengan
nafsu lawwamah/ammarah.