Thursday, 16 November 2017

Bab Fiil Ruba'i Mujarrad

Sekilas Mendalami Kembali
Nadham Maqsud

BAB RUBA’I MAZID

....................# زَيدُ الرُّبَاعِيِّ عَلَى النَّوعَينِ
ذِي سِتَّةٍ نَحوُ اِفعَلَلَّ اِفعَنلَلَ # ثُمَّ الخُمَاسِى وَزنُهُ تَفَعلَلَ
Bab Ruba’i Mazid terbagi menjadi dua bagian, yaitu
1.     Fi’il Sudasi
Fi’il sudasi adalah fi’il yang terdiri dari 6 huruf dengan rincian 4 huruf asli dan 2 huruf tambahan.
Wazannya ada dua yaitu اِفعَلَلَّ dan  اِفعَنلَلَ
Untuk wazan اِفعَلَلَّ , huruf aslinya ada ditengah kata yaitu فَعلَلَ sedangkan huruf tambahannya terletak di awal kata yaitu alif washal (ا) dan  di akhir kata yaitu lam (لَ).
Sedangkan pada wazan اِفعَنلَلَ , huruf aslinya فَعلَلَ dan huruf tambahannya terletak awal yiatu alif washal (ا) dan ditengah yaitu ain (ع).
Contoh mauzun pada fiil sudasi ini adalah اِقشَعَرَّ dan اِحرَنجَمَ

2.     Fi’il Khumasi
Fi’il khumasi pada bab ruba’i mazid ini terdiri dari 5 huruf dengan rincian 4 huruf asal dan 1 huruf tambahan.
Wazannya adalah تَفَعلَلَ  dengan contoh mauzun تَدَحرَجَ
Dari wazan di atas, yang menjadi huruf aslinya adalah فَعلَلَ , sedangkan huruf تَ adalah huruf tambahan. Untuk contoh mauzun تَدَحرَجَ , maka دَحرَج adalah kata dasarnya dan تَ adalah huruf tambahannya.
Bab khumasi ini sama seperti bab ruba’i, ia memiliki enam wazan mulhaq yang mengikutinya.

Dari pembahasan kali ini, maka bisa kita simpulkan bahwa kata kerja dalam bahasa Arab atau yang biasa disebut dengan fi’il memiliki maximal 6 kata (sudasi) dan minimal 3 kata (huruf asli tanpa huruf tambahan). Dan ruba’i mazid memiliki 3 wazan, 2 wazan terdapat pada fiil sudasi dan 1 wazan lainnya terdapat pada fiil khumasi.
(2017-11-16)

Friday, 3 November 2017

BAB KALAM

BAB KALAM
الكلام


Dari ilmu shorof berpindah ke ilmu nahwu. Kemarin sudah dibahas mengenai pembahasan utama dalam ilmu shorof dan sekarang waktunya membahas pembahasan utama yang selalu dibahas dalam setiap kitab nahwu. Dari kitab jurumiyah hingga alfiyah pembahasan dalam kitab-kitab tersebut selalu diawali dengan bab kalam. Kali ini penulis akan membahas mengenai pembahasan bab kalam dari kitab nahwu yang paling dasar yaitu jurumiyah.
Dalam kitab jurumiyah disebutkan
الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع
Kalam adalah lafadz yang tersusun, dapat dimengerti, dan sengaja disusun.
Kata kalam yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti ucapan ialah suatu lafadz yang tersusun dari beberapa kata yang dapat dimengerti dan disusunnya secara sengaja atau dalam keadaan sabar.
Selanjutnya, penulis ingin memaparkan tarkib dari setiap kata per kata pada kutipan di atas
الكلام 
Berkedudukan sebagai mubtada. Dianggap sebagai mubtada karena kemasukan amil ma’nawi yaitu ibtida’, isti’anah, atau bisa juga disebut awalan. Karena kata ini berkedudukan sebagai mubtada maka hukum bacanya di baca rafa’. Kata kalam merupakan isim mufrad sehingga tanda rafa’nya berupa dhommah. Jadi kata ini dibaca “al-kalamu
 هو
Berkedudukan sebagai khabar dari mubtadnya yaitu kalam.
Apabila ada yang mengatakan kala huwa ini adalah dhomir fashal maka itu adalah perkataan yang keliru. Karena pada dasarnya dhomir fashal itu tidak memiliki tempat kembali (marji’). Sedangkan, huwa di atas kembali kepada kata kalam.Kata ini dibaca huwa.
 اللفظ
Berkedudukan sebagai khabar dari huwa. Oleh sebab ia merupakan khabar, maka ia wajib dibaca rafa. Tanda rafa’ dari isim mufrad adalah dhommah. Kata ini dibaca al-lafdzu


 المركب
Berkedudukan sebagai na’at dari kata lafadz. Hukui i’rob na’at adalah mengikuti kata sebelumnya. Karena kata lafadz dibaca marfu, maka kata murakkab ini juga harus dibaca marfu karena ia merupakan na’at dari kata sebelumnya. Kata ini dibaca al-murakkabu
 المفيد
Berkedudukan sebagai na’at dari kata lafadz. Hukui i’rob na’at adalah mengikuti kata sebelumnya. Karena kata lafadz dibaca marfu, maka kata murakkab ini juga harus dibaca marfu karena ia merupakan na’at dari kata sebelumnya. Kata ini dibaca al-mufidu
 بالوضع
Kata ini berkedudukan sebagai jar majrur. Disebut jer-majrur karena diikuti oleh huruf jer yaitu ba. Kata yang jatuh setelah huruf jar maka wajib dibaca jar/khafadz. Sehingga kata wadh’i di atas dibaca bil-wadhi’
Cukup sekian pembahasan yang dapat penulis sampaikan tentang pembukaan bab kalam. Untuk pengerti lafadz, murakkab, mufid, dan wadhi’ akan dibahas lebih detail pada tulisan berikutnya.


Wednesday, 1 November 2017

Bab Fiil Tsulasi Mujarrad

Bab Tsulatsi Mujarrad


Tsulatsi Mujarrad merupakan salah satu bab dalam ilmu tashrif. Pembahasan tsulatsi mujarrad menjadi pembahasan utama dalam setiap buku tashrif karena pada dasarnya sebagian besar kata Arab bermula dari 3 huruf asal. Contohnya seperti kata yang sering kali kita jumpai dalam kalimat bahasa Arab yaitu  مدرسة yang berarti sekolah bahwasanya kata ini berawal dari 3 huruf pokok yaitu درس (dhal- rho- sa). Kata مدرسة ini mengikuti wazan isim makan. Makan disini bukan diartikan sebagai makan dalam bahasa Indonesia, tetapi makan disini adalah bahasa Arab yang berarti tempat sehingga kata المدرسة  berarti tempat untuk belajar yang kita kenal dengan sekolah. Selain kata di atas juga masih banyak lagi kata-kata dalam bahasa Arab yang diawali dari akar kata yang 3 huruf.

Seberapa penting sih asal kata ini dalam bahasa Arab?


Saat kita mempelajari bahasa orang lain, kita pasti membutuhkan sebuah kamus dalam mencari arti sebuah kata. Nah, saat kita mempelajari bahasa Arab pastilah kita akan sering membuka kamu bahasa Arab-Indonesia. Untuk mencari kata dalam kamus tersebut, pencarian asal kata dari sebuah kata adalah langkah utama yang harus kita kerjakan sebelum mencarinya di kamus tersebut. Kita tidak akan menemukan kata مدرسة di pencarian huruf م (mim), melainkan kita akan menemukannya di pencarian huruf د(dhal) karena asal katanya درس bukan مدر. Huruf mim hanyalah ciri dari sebuah isim zaman (kata yang menunjukkan arti tempat) dalam tashrif dan asal katanya berada di tengah kata bukan di awal kata.
Pembahasan kali ini akan mengenalkan berbagai macam wazan asal kata (3 huruf) dalam bahasa Arab yang dibahas dalam ilmu shorof.  Bab Tsulatsi Mujarrad membahas tentang kata-kata yang berasal dari asal kata yang 3 huruf, bukan yang 4 huruf. Tsulatsi berarti tiga dan mujarrad berarti sepi. Sepi dari huruf tambahan dan asal katanya hanya 3 huruf. Bab tsulatsi mujarrad dikemas dalam 6 wazan sebagaimana yang dipaparkan dalam nadzhom maqsud
فعل ثلاثي إذا يجرد #  ابوابه ست كما ستسرد
Ke-6 wazan tersebut dijelaskan pada nadzhom selanjutnya yaitu
فالعين ان تفتح بماض فاكسر# أو ضم او فافتح لها فى الغابر
(Apabila ain fi’ilnya berharakat fathah dalam fi’il madhi, maka ain di fiil mudhori berharakat kasrah, dhommah, atau juga fathah)
Nadzhom ini menjelaskan wazan
fa’ala – yaf’ulu
fa’ala – yaf’ilu
fa’ala – yaf’alu


وان تضم فاضممنها فيه #  او تنكسر فافتح و كسرا عيه
(Apabila ain fi’ilnya berharakat dhommah pada fi’il madhinya, maka ain fi’il di fi’il mudhori’nya berharakat dhommah juga)
Nadzhom ini menjelaskan wazan fau’la-yaf’ulu
dan apabila ain fi’il berharakat kasroh di fi’il madhinya, maka ain fi’il di fi’il mudhori’nya berharakat fathah atau kasrah)
Untuk nadzhom ini menjelaskan wazan fa’ila- yaf’alu dan fai’la-yaf’ilu

ولام او عين بما قد فتحا #  حلقى سوى ذا بالشذوذ اتضحا
(Setiap kata yang ain lam fi’il atau ain fi’ilnya berupa huruf halqi maka ain fi’il baik yang di fi’il madhi maupun di I’il mudhori’ berharakat fathah)
Maksudnya adalah setiap kata baik yang lam fi’il atau ain fi’ilnya berupa huruf halqi (tenggorokan) yaitu أ ه خ غ ح ع maka kata ini mengikuti wazan fa’ala – yaf’alu. Tetapi ada juga kata yang lam atau ain fi’il berupa huruf halqi tetapi tidak masuk bab fa’ala – yaf’alu, contohnya وعد. Kata ini tidak masuk ke bab 3, melainkan masuk ke bab 2 yang berwazan fa’ala- yaf’ilu.
Jadi, tsulatsi mujarrad memiliki 6 wazan dengan urutan sebagai berikut
Bab 1 fa’ala-yaf’ulu
Bab 2 fa’ala-yaf’ilu
Bab 3 fa’ala-yaf’alu  (sebagian besar ain atau lam fi’ilnya berupa huruf halqi)
Bab 4 Fa’ila-yaf’alu
Bab 5 Fau’la-yaf’ulu

Bab 6 Fai’la-yaf’ilu

Thursday, 26 October 2017

Manuskrip Terabaikan di Indonesia

Dokumen yang Terlupakan

          Manuskrip atau naskah kuno adalah suatu dokumen yang terlupakan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Padahal manuskrip sendiri merupakan bagian dari pada warisan bangsa ini. Bagaimana mungkin suatu bangsa lupa terhadap warisannya sendiri? Bukankah sebuah warisan harus dijaga dan dilesatrikan? Karena manuskrip adalah cerminan kebudayaan suatu bangsa.  Dan sebagai gambaran suatu bangs, manuskrip bisa dikatakan sebagai “sejarah”. Maka, sudah semestinya suatu bangsa menjaga dan melestarikan sejarah tersebut.Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Baroroh Baried, “ilmu filologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan suatu bangsa berdasarkan bahasa dan kesusastraannya”. Secara tidak langsung, Baroroh Baried ingin mengatakan manuskrip sebagai objek kajian filologi ini merupakan suatu disiplin ilmu yang mana ingin melestariakn kebudayaan suatu bangsa.
Penulis sungkan  menggunakan kata “mungkin” untuk mengatakan kalau manuskrip merupakan dokumen yang terlupakan di kalangan masyarakat kita. Karena kalau mendengar kata “Ilmu Filologi” maka yang akan dijumpai adalah tanda tanya besar dalam otak kita. Kenapa demikian? Karena ilmu filologi ini tidak setenar ilmu-ilmu lainya; Matematika, linguistik, antropologi, sosilogi dll. Nah, disinilah penulis berusaha mengenalkan dan mengajak kembali para pembaca budiaman untuk mengkaji, kalaupun kurang minat setidaknya kenal terlebih dahaulu itu yang terpenting. Karena tak kenal, maka tak sayang. Demikian ungkapan yang sering kita dengar.
          Manuskrip adalah istilah yang seringkali ditemukan di dalam kajian ilmu filologi. Istilah ini berasal dari bahasa Latin; manu dan scriptus, yang secara harfiyahnya berarti ‘tulisan tangan’ (written by hand).  Dalam pengertian yang lumrah, manuskrip sering diartikan sebagai suatu buku, dokumen, atau lainnya yang ditulis menggunakan tangan. Dan manuskrip sendiri merupakan objek kajian utama dalam ilmu filologi. Karena manuskrip adalah objek kajian utama dari pada ilmu filologi, itu artinya pembahasan kali ini tidak akan bisa dimuak tanpa disertai dengan ilmu filologi sendiri yang memang pada dasarnya, manuskrip hanya bahan untuk penelitian sementara alat untuk menguak apa yang ada dalam manuskrip itu sendiri harus membutuhkan ilmu filologi.
            Kalau menenoleh sejenak arti dari pada ilmu filologi di dalam KBBI, maka akan ditemukan makna, kalau ilmu filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan- bahan tertulis. Namun, sepertinya pengertaian ilmu filologi dalam KBBI kurang spesifik dan tidak dapat dikatakan ‘pengertian final’ untuk memahami ilmu filologi. Karena kalau melihat pada sumber bacaan yang lain, ilmu filologi diartikan sebagai “suatu disiplin ilmu yang didalamnya membahas manuskrip sebagai objek kajianya untuk menelusuri sumber penulisan, keabsahan teks, karakteristiknya, serta sejarah lahir, dan penyebaranya.” Karena manuskrip itu merupakan sebuah dokumen yang ditulis dengan tangan oleh orang terdahulu, yang didalamnya terdapat berbagai khzanah keilmuan, mulai dari sejarah suatu bangsa, bahasa, sastra, terlebih hikayat-hikayat kehidupan seorang raja terdahulu. Maka, untuk mengetahui kapan manuskrip itu ditulis, menggunakan aksara apa ditulisnya. Terlebih dan paling terpenting adalah mengetahui sumber penulisannya. Ilmu filologilah alatnya untuk menguak persoalan tersebut.
Karena kalau mendengar sebuah keterangan yang pernah disampaikan oleh dosen penulis, dan beliau adalah Guru Besar dalam bidang ilmu filologi ini, pernah berkata ada sebuah kitab yang sekarang dikarang oleh si “A” ternyata penelitian muta’akhir ditemukan kalau kitab tersebut tidak dikarang oleh si “A” melainkan si “B” yang mengarangnya. Menagapa bisa demikian? Karena si “B” pada masa itu namanya tidak dikenal. Sementara si “A” sangat dikenal. Maka, nama pengarang kitab tersebut yang dicantumkan adalah si “A” bukan si “B” dalam istilah sekarang untuk mengambil kepopulerenanya saja. Nah, dari sinilah dapat difahami manfaat mempelajri ilmu filologi ini. Karena kitab-kitab yang kita pegang dan kita baca sekarang belum tentu benar asal-muasal pengarang kitabnya, meskipun isinya sama namun sangat penting untuk mengetahui garis keilmuan pengarang kitab, agar tidak buta sanad keguruan kita.
             Nah, manuskrip di Indonesia sangat berjibun sekali. Sekitaran 11.410, dan banyak manuskrip di Indonesia bukannya menimbulkan minat para pelajar dan mahasiswa untuk mengkajianya. Ini malah banyak pula melupakannya. Dari kejadian ini, penulis sengaja sekali membuat artikel dengan judul “Dokumen yang Dilupakan” karena memang kalau boleh jujur, jika para pelajar/mahasiswa membuka mata untuk memahami bahkan mendalami ilmu filologi ini. Maka akan dijumpai sesuatu pengetahuan yang sangat berbeda dengan apa yang oleh orang lain ketahui.
            Semisal, pengetahuan orang banyak akan wanita Sufi di dunia itu yang dikenal hanya Rabiatul Adawiyah, seakan-akan hanya beliau saja yang sufi di dunia. Padahal, kalau memang ingin membaca manuskrip, maka akan ditemukan wanita berkebangsaan Indonesia sangat sufi mungkin bisa dibilang sejajar atau melebihi, bisa jadi kurang dari kesufiannya Rabiatul Adawiyah. (penulis lupa nama wanita sufi tersebut). Begitu juga dengan femonomena adanya ilmu-ilmu kanuragan yang tertulis dalam manuskrip (naskah kuno) yang berjudul  “maranao”. Naskah kuno atau manuskrip ini ditemukan di Mindano. untuk menyebut naskah marano ini, orang-orang Mindano sering mengatakan “ilmu tabaruk”.  Dalam manuskrip ini ditemukan adanya kajian ilmu kanuragan berupa ajian Braja Lima dan Braja Sembilan, lengkap dengan rajah-rajah, isim, serta petunjuk “…puasa tujuh isnain dan tujuh khamis dan mandi tiga purnama…”
            Dari sini juga kita bisa mengetahui bahwa kehadiran ilmu filologi sangat penting untuk mengkaji ulang naskah-naskah kuno untuk memahmi betul sapa yang terkandung dalam naskah tersebut. Tapi sekali lagi penulis katakan, naskah-naskah kuno ini sudah seringkali terlupakan oleh kita sendiri. Entah apa penyebabnya? Apa mungkin gara-gara “naskah kuno”, kita semua tidak ingin mengkajianya? Bukankah intan mutiara itu ada pada suatu lumpur awalnya, lalu diambil dan dibersihkan agar laku dipasaran? Sama halnya dengan manuskrip (naskah kuno) ini, yang sangat lusung dan bahkan gak layak baca kalau kita melihatnya. Namun, kalau memang kita ingin mempelajari apa yang terkandung didalamnya niscaya akan mendapatkan sesuatu yang “Wow” di dalam manuskrip tersebut. Mari tumbuhsuburkan kembali minat kita terhadap kajian filologi ini!

Monday, 16 October 2017

Mawar dan Duri

Mawar dan Duri

          Banyak orang bilang, kalau bunga mawar adalah implementasi dari sesuatu yang indah-indah.  Baik indah dari segi internal maupun eksternalnya. Hal ini dapat dibuktikan ketika para keritikus sastra menggambarkan sesuatu yang mereka rasakan dan itu kerap terjadi ketika perasaan seorang sastrawan yang sedang mengalami kasmaran tinggi terhadap orang yang mereka sayang dan kasihi menimbulkan untain kata-kata yang mereka anggap sama dengan apa yang mereka rasakan. Kejadian ini juga sering kali menimpa orang yang masih pemula merasakan kasamaran atau sering kali disebut orang yang baru saja pubertas atau ABG. Kata-kata romantis yang sering dikenal dengan istilah “gombal” kerap dilontarkan oleh orang-orang yang masih merasakan kehangatan cinta hadir dalam kehiupanya. Namun, apa sebenarnya yang sering dianalogikan untuk mengatakan kata “cinta” dalam menjalin hubungan tersebut?
            “Mawar” adalah kata kiyasan bagi para pujangga dalam menggambarkan suatu kejadian yang mereka rasakan. Tentunya, kejadian tersebut bukan suatu hal yang sifatnya masih mengambang jauh dalam hayal yang panjang. Karena gamabaran tersebut pada hakikatnya sudah nyata dalam kenyataan yang tampak jelas mereka rasakan. Itulah sebabnya, para pujangga sering mendahulukan perasaan yang mereka alami ketika menggubah sajaknya. Dan itu tertuang dengan sendirinya bukan karena membuat-buat suatu kata kiyasan yang seharusnya memang sepadan dengan apa yang mereka rasakan.


            Begitu juga dengan istilah “duri” yang memang sering juga di gunakan oleh para pujuangga dalam mengtakan kata kiyasan dalam arti “luka” atau pun arti yang hampir dekat maknannya dengan kata luka tersebut. Kata ini sering dikeluarkan atau digunakan oleh orang-orang yang biasanya sedang patah hati atas keputusan pihak lain yang menimpa sang penutur kata tersebut. Maka, jangan kaget ketika dari awal menjalin hubungan percintaan ini para pecinta sering mengtakan mawar bagi cintanya sendiri. Karena layaknya buangan mawar yang sedang subur-suburnya, pasti orang yang disekitarnya merasakan bau yang sumerbak darinya. Begitu juga dengan hubungan sudah lapuk dan layu dengan sebuah pengkhinatan, tentunya akan dilukiskan dengan sebuah untaian kata “luka”. Karena mawar yang sempat tumbuh subur berkembang nan bauh yang sumerbak telah memberikan duri di dalam hatinya.
            Itulah sebabanya, bunga “Mawar” beserta “Durinya” tak bisa dipisahkan. Karena di mana ada mawar, di situ ada durinya. Begitu juga dengan cinta, di mana ada rasa cinta yang sedang hangat-hangatnya tumbuh berkembang dalam hati nan sanubari, maka akan layu secepat mungkin karena kurangnya perawatan dari orang yang memilikinya. Yang akan mengahsilkan duri di balik kelayauannya.
            Dari sinilah, sang pecinta cinta akan merasakan sakitnya “duri” mawar yang sempat mereka puja dan puiji di setiap harinya menjadi bumerang dalam kehidupannya.


Selamat memabaca...
Salam Perjuangan...!

Saturday, 7 October 2017

Kembali Seperti Bayi Lagi

Memulai Kehidupan Baru


Ketika sunyi dan sepi menemani
hanya ada satu suara ditelingaku
Selalu saja membuatku ingin dan ingin
berubah, berubah, kamu bisa berubah

Iya hanya suara itu teriang-riang
selalu mengajakku kepada hakikat manusiawi
Seutuhnya dan selamanya adalah keniscayaan
maka berubahlah demi kebenaran

Bukankah hidup adalah kedinamisan?
yang selalu membuatmu berubah
ataukah masih dalam angan-angan
lalu kapan reformasinya?


Ouh... ternyta ini toh...
aku lahir kembali di dunia ini
selamat tinggal keburukan
peluklah aku duhai kebaikan

Tuesday, 3 October 2017

Fitri; Kesucianku (Puisi Awal Untuk Akhir)

Cinta Bukan Canda Tawa

Ketika bibir ini tak kuasa
masihkah mungkin memaksanya?
ini,bukan canda tawa belaka
yang penuh drama dan sandiwara

Ini persoalan “rasa”
bukan “aroma”
Ini persoalan “cinta”
bukan juga “akal budidaya”

Marilah...
sejenak membayangkan perjuangan
tak kenal hujan deras
tak kenal dingin menggigil
tak kenal segala marabahaya

Demi rasa semuanya “iya”
demi cinta semuanya “amin”
pernakah berfikir sebentar
aku hadir karena keseriusan

Kalaupun pergi, itu untuk bertemu kembali
kalaupun tak berasama lagi, itu awal perjumpaan kembali
kalaupun tak diinginkan lagi, itu awal diamini kembali
kalaupun tak disenangi lagi, itu awal dicintai kembali

Sekali merasa, untuk apa diam?
sekali mencintai, untuk apa membisu?
sekali berkata-kata, untuk apa masih malu?
aku katakan sekali lagi...

Aku mencintai mu dengan penuh keseriusan
mengajakmu kedalam hatiku
merembas kesegala sel-sel hidupku
untuk pertama kalinya dan untuk selamanya

Wahai kesucianku...
Jawabanmu aku tunggu dengan penuh keseriusan pula
jika “tidak” pergilah dan jangan kembali lagi
karena mutiara yang jatuh, tidak akan bisa kembali lagi
meskipun kau tatah rapih kembali



Sunday, 1 October 2017

Sejarah Perkembangan Ilmu Filologi Nusantara

Filologi

          Filologi adalah gabuang dua kata yang berupa “philos” dan “logos”. Dua kata ini bersal dari bahasa Yunani yang memiliki arti yang tercinta untuk kata “philos” sementara kata “logos” memiliki arti berbagai ragam, semisal kata, artikulasi, dan alasan. Sehingga, dari paduan dua kata di atas bisa di fahami bahwa filologi jika di lihat dari segi etimologisnya memiliki makna “kata yang di cintai atau sebuah alasan untuk mencintai sesuatu”.
Sementara menurut terminilogi, Ilmu filologi ini, ketika penulis membaca karya salah satu guru besar fakultas Adab dan Humaniora di bidang filologi, penulis memiliki asumsi bahwa ilmu filologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang didalamnya mempelajari tentang naskah klasik tulisan tangan yang mana dengan naskah ini dapat diketahui kapan, dimana, dan menggunakan aksara apa di dalam naskah tersebut. 
Kalau di lihat dari garis besarnya, ilmu filologi ini merupakan kombinsi atau paduan antara kritik teks, sejarah, dan linguistik. Ketiga komponen tersebut akan selalu ada dalam ilmu filologi. Karena sejatinya ilmu filologi hanya alat untuk membedah suatu document klasik yang di tulis dengan tangan, biasanya sering disebut dengan istilah “Manuskrip”. Di mana, kritik teks dalam ilmu filologi di sini sebagai pacuan untuk menemukan keontentikan suatu karya yang ada dalam manuskrip. Karena suatu karya dalam manuskrip tidak hanya ditulis oleh satu orang saja melainkan banyak sekali salinan dari tangan satu ketangan lainnya. Sehingga, ilmu filologi ini sangat membutuhkan ilmu lainnya agar dapat menelusuri penulis aslinya. Sementara sejarah sebagai tolok ukur, kapan dan di mana penulisan manuskrip tersebut di tulis oleh pengarangnya. Dan untuk kajian linguistik sendiri dibutuhkan  dalam ilmu filologi, karena manuskrip sendiri bukan hanya ada satu bahasa didalamnya. Melainkan, ada beragam bahasa. Semisal bahasa jawa, madura, dan lain-lain. Itulah sebabnya, tidak salah jika dikatakan kalau tiga komponen ilmu di atas tidak bisa dipisahkan dalam kajian ilmu filologi.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa, seorang filologis memiliki tanggung jawab  atau tugas untuk memberikan kontribusi dalam menghadirkan sebuah teks yang siap lahap dan menhadirkan sebuah makna yang ada dalam sebuah teks tersebut.
          Bicara manuskrip sama halnya bicara tentang harta karun yang terpendam beratus-ratus tahun lamanya. Karena, kalau kita mengutip kata yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Oman, maka akan di fahami kalau manuskrip adalah harta karun yang kumuh, kotor, dan berlumut. Sangat jarang orang lain mengambilnya. Padahal, jika ada orang yang sempat menaruh perhatian lebih kepada manuskrip tersbut dirinya bagaikan mengambil harta karun yang lama terlupakan. Untuk dijadikan sebagai koleksi hidup bahkan jauh lebih penting dari pada itu, manuskrip sebagai pengahsilan hidup yang luar biasa.
            Sempat di sindir di muka, kalau manuskrip adalah harta karun yang terpendam beratus-ratus tahun lamanya. Namun apa sebenarnya yang di maksud dengan manuskrip itu? Dari istilah bahasa apa manuskrip muncul di muka dunia? Dan apa peran penting manuskrip terhadap karya sastra? dan bagaimana perkembangan filologi di dunia secara umum, dan di Indonesia secara khusus? Nah, disinilah penulis berusah menjawab pertannyaan-pertannyaan di atas.
            Manuskrip adalah kumpulan dua kata dari bahasa Latin yang berbunyi “manudan “scriptus” yang secara harfiyahnya memiliki makna tulisan tangan. Sementara penulis beranggapan kalau manuskrip adalah suatu document klasik (naskah) yang tertulis dengan tangan. Biasanya, manuskrip sendiri dapat ditemukan di berbagai macam daerah. Semisal, jawa, minangkabau, madura, dan lain-lain. Di masa lalu, seseorang ingin menuangkan karayanya harus membeli atau memiliki suatu kertas. Nah, kertas yang ingin dijadikan sebuah manuskrip ini memiliki beragam macam corak; kertas Eropa maupun kertas lokal (daluwang). Selain itu ada juga naskah yang menggunakan daun lontar, daun nipah, kulit kayu, kulit bambu atau rotan.
            Keberadan manuskrip di tengah-tengah perkembangan zaman ini memiliki pengaruh besar terhadap disiplin ilmu yang berbasih adab dan humaniora. Semisal di bidang sastra Arab, ilmu filologi yang memang objek kajianya adalah manuskrip. Sebenarnya, dapat membantu parah peneliti sastra dalam memahami teks yang terkandung dalam sebuah naskah klasik tersebut (manuskrip). Karena, sperti mana yang telah diketahui banyak orang bahwa ilmu filologi adalah alat untuk membedah sesuatu. Bagaiaman layakanya “alat”, filologi dapat mebedah suatu teks yang awalnya sulit untu difahami dan dimengerti kemudian dengan ilmu filologi ini seorang peneliti sastra arab khususnya pada naskah klasik akan merasa lebih ringan atas hadirnya ilmu filologi ini. Karena bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri kalau dari sekian banyak manuskrip pasti memiliki perbedaan di dalam teksnya.
            Setiap disiplin ilmu pasti memiliki perkembangan dari segi sejarahnya. Adapun cikal bakal berkembanganya ilmu filologi ini berawal dari Yunani pada abad ke-3 SM. Hal ini dapat dibuktikan keberadaanya karena adanya sebuah naskah di perpustakaan Iskandaria. Yang mana pada waktu itu para pustakawan berada di tangan orang-orang Yunani. Di anataranya adalah; Aristophanes (k. 446-389 SM) Appollonius Rhodius (k. Paruh pertama abad ke 3 SM), Aristarchus (k. 310-230 SM), Zenodotus (k. Terkenal pada 280 SM), dan Eratosthenes (k. 295-214 SM). Inilah nama-nama para pustakawan pada masa itu. Dan pada masa itu pula, suatu naskah masih berbentuk gulungan “Roll” dan terbuat dari papirus.
            Tidak diam di situ saja, perkembangan filologi sudah merambah luas di bangsa Romawi pada abad ke-2 M sampai abad ke-4 M inilah bentuk naskah yang mulanya berupa gulungan (Roll) menjadi bentuk bundelan buku (codex). Karenanya, dapat dianggap sebagai tonggak awal sejarah perubahan bentuk naskah dari Roll ke codex.
            Jika bicara perkembangan sejarah timbulnya filologi di Nusantara, tidak menutup mata kalau orang pertama kali yang membawa kajian ini hingga samppai ke nusantara adalah para kolonial. Agar dapat mudah difahami, maka perkembangan sejarah timbulnya filologi di Nusantara dapat di petakkan menjadi tiga fase:
1.      Fase Sebelum abad ke-14 M
2.      Fase antara abad ke-14 sampai ke-19 M
3.      Fase ke-19 sampai detik ini

·         Pada fase rintisan (penulis sebut) karena pada fase ini ilmu filologi masih tahap awal dalam pembuatan naskah. Dalam tahap ini, sebuah naskah berisikan tentang persoalan agama yang bentuk tulisanya masih menggunakan tulisan atau aksara palawa, sangsakerta, dan lawa. Di fase ini, pengaruh agama islam belum dapat mempengaruh sebuah naskah.
·         Pada fase perkembangan (penulis sebut) karena pada fase ini banyak memunculkan sebuah aksara dan lebih tepatnya pengaruh-pengaruh dari berbagai macam bidang disiplin ilmu sudah mulai tampak dan pesat. Seperti adanya aksara arab, dan banyak sebuah akasara yang dilokalisasi menjadi aksara pegon dan aksara jawi yang memang hasil modifikasi dari aksara Arab. Tentunya, pada masi ini islam sudah dapat mempengaruh sebuah naskah.
·         Pada fase ke-19 M ini adalah fase modren. Fase di mana para peneliti hanya melanjuti suatu yang sudah ada di fase-fase sebelumnya.
Demikian selayang pandang penulis terhadap vidio filologi Prof. Dr. Oman Fathurahman, M. Hum. Dan penulis juga sedikit banyaknya dalam tulisan ini mengeutip bukunya beliau.



Wallahu A’lam Bishawab...

Friday, 29 September 2017

Tuhanku Tak Sama

Tuhanku Tak Sama


Dulu, kita beranggapan Tuhanku, Tuhan kita bersama
itu dulu, tak berlaku untuk saat ini
karena aku tak ingin sama
meskipun ada yang menyamakanku

Apakah dikau pernah berfikir
perbedaan adalah keniscayaan
keniscayan hidup adalah hak pilih
biarkan aku memilih jalanku sendiri

Jangan urus aku
bahkan aku ingin menyendiri
dalam diam, sunyi, dan senyapnya malam
karena Tuhanku, tak lagi sama dengan Tuhanmu

Dia suka malam-malam
tak suka diam-diam
Dia suka diam
tak suka siang-siang

Karena aku dan Tuhanku
tak sama seperti Tuhamu lagi
kalau dulu, aku amini
tapi sekerang, “ogah” aku sama dengan mu

Biarkan aku diam malam-malam
agar  aku tahu, betapa indahnya malam-malam itu
Biarkan aku tak diam-diam waktu siang
agar aku tahu, betapa bisingnya waktu siang itu

Kini aku sadar,
aku diam malam-malam
kamu tak senang siang-siang

Kini aku sadar,
aku tak diam-diam siang-siang
kamu senang malam-malam

Aku sangat beda dengamu
beda jauh, bagaikan bumi dan langit
tak sedikitpun ada yang sama
bairkan aku menyembah Tuhanku yang tak sama lagi

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...