Sunday 1 October 2017

Sejarah Perkembangan Ilmu Filologi Nusantara

Filologi

          Filologi adalah gabuang dua kata yang berupa “philos” dan “logos”. Dua kata ini bersal dari bahasa Yunani yang memiliki arti yang tercinta untuk kata “philos” sementara kata “logos” memiliki arti berbagai ragam, semisal kata, artikulasi, dan alasan. Sehingga, dari paduan dua kata di atas bisa di fahami bahwa filologi jika di lihat dari segi etimologisnya memiliki makna “kata yang di cintai atau sebuah alasan untuk mencintai sesuatu”.
Sementara menurut terminilogi, Ilmu filologi ini, ketika penulis membaca karya salah satu guru besar fakultas Adab dan Humaniora di bidang filologi, penulis memiliki asumsi bahwa ilmu filologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang didalamnya mempelajari tentang naskah klasik tulisan tangan yang mana dengan naskah ini dapat diketahui kapan, dimana, dan menggunakan aksara apa di dalam naskah tersebut. 
Kalau di lihat dari garis besarnya, ilmu filologi ini merupakan kombinsi atau paduan antara kritik teks, sejarah, dan linguistik. Ketiga komponen tersebut akan selalu ada dalam ilmu filologi. Karena sejatinya ilmu filologi hanya alat untuk membedah suatu document klasik yang di tulis dengan tangan, biasanya sering disebut dengan istilah “Manuskrip”. Di mana, kritik teks dalam ilmu filologi di sini sebagai pacuan untuk menemukan keontentikan suatu karya yang ada dalam manuskrip. Karena suatu karya dalam manuskrip tidak hanya ditulis oleh satu orang saja melainkan banyak sekali salinan dari tangan satu ketangan lainnya. Sehingga, ilmu filologi ini sangat membutuhkan ilmu lainnya agar dapat menelusuri penulis aslinya. Sementara sejarah sebagai tolok ukur, kapan dan di mana penulisan manuskrip tersebut di tulis oleh pengarangnya. Dan untuk kajian linguistik sendiri dibutuhkan  dalam ilmu filologi, karena manuskrip sendiri bukan hanya ada satu bahasa didalamnya. Melainkan, ada beragam bahasa. Semisal bahasa jawa, madura, dan lain-lain. Itulah sebabnya, tidak salah jika dikatakan kalau tiga komponen ilmu di atas tidak bisa dipisahkan dalam kajian ilmu filologi.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa, seorang filologis memiliki tanggung jawab  atau tugas untuk memberikan kontribusi dalam menghadirkan sebuah teks yang siap lahap dan menhadirkan sebuah makna yang ada dalam sebuah teks tersebut.
          Bicara manuskrip sama halnya bicara tentang harta karun yang terpendam beratus-ratus tahun lamanya. Karena, kalau kita mengutip kata yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Oman, maka akan di fahami kalau manuskrip adalah harta karun yang kumuh, kotor, dan berlumut. Sangat jarang orang lain mengambilnya. Padahal, jika ada orang yang sempat menaruh perhatian lebih kepada manuskrip tersbut dirinya bagaikan mengambil harta karun yang lama terlupakan. Untuk dijadikan sebagai koleksi hidup bahkan jauh lebih penting dari pada itu, manuskrip sebagai pengahsilan hidup yang luar biasa.
            Sempat di sindir di muka, kalau manuskrip adalah harta karun yang terpendam beratus-ratus tahun lamanya. Namun apa sebenarnya yang di maksud dengan manuskrip itu? Dari istilah bahasa apa manuskrip muncul di muka dunia? Dan apa peran penting manuskrip terhadap karya sastra? dan bagaimana perkembangan filologi di dunia secara umum, dan di Indonesia secara khusus? Nah, disinilah penulis berusah menjawab pertannyaan-pertannyaan di atas.
            Manuskrip adalah kumpulan dua kata dari bahasa Latin yang berbunyi “manudan “scriptus” yang secara harfiyahnya memiliki makna tulisan tangan. Sementara penulis beranggapan kalau manuskrip adalah suatu document klasik (naskah) yang tertulis dengan tangan. Biasanya, manuskrip sendiri dapat ditemukan di berbagai macam daerah. Semisal, jawa, minangkabau, madura, dan lain-lain. Di masa lalu, seseorang ingin menuangkan karayanya harus membeli atau memiliki suatu kertas. Nah, kertas yang ingin dijadikan sebuah manuskrip ini memiliki beragam macam corak; kertas Eropa maupun kertas lokal (daluwang). Selain itu ada juga naskah yang menggunakan daun lontar, daun nipah, kulit kayu, kulit bambu atau rotan.
            Keberadan manuskrip di tengah-tengah perkembangan zaman ini memiliki pengaruh besar terhadap disiplin ilmu yang berbasih adab dan humaniora. Semisal di bidang sastra Arab, ilmu filologi yang memang objek kajianya adalah manuskrip. Sebenarnya, dapat membantu parah peneliti sastra dalam memahami teks yang terkandung dalam sebuah naskah klasik tersebut (manuskrip). Karena, sperti mana yang telah diketahui banyak orang bahwa ilmu filologi adalah alat untuk membedah sesuatu. Bagaiaman layakanya “alat”, filologi dapat mebedah suatu teks yang awalnya sulit untu difahami dan dimengerti kemudian dengan ilmu filologi ini seorang peneliti sastra arab khususnya pada naskah klasik akan merasa lebih ringan atas hadirnya ilmu filologi ini. Karena bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri kalau dari sekian banyak manuskrip pasti memiliki perbedaan di dalam teksnya.
            Setiap disiplin ilmu pasti memiliki perkembangan dari segi sejarahnya. Adapun cikal bakal berkembanganya ilmu filologi ini berawal dari Yunani pada abad ke-3 SM. Hal ini dapat dibuktikan keberadaanya karena adanya sebuah naskah di perpustakaan Iskandaria. Yang mana pada waktu itu para pustakawan berada di tangan orang-orang Yunani. Di anataranya adalah; Aristophanes (k. 446-389 SM) Appollonius Rhodius (k. Paruh pertama abad ke 3 SM), Aristarchus (k. 310-230 SM), Zenodotus (k. Terkenal pada 280 SM), dan Eratosthenes (k. 295-214 SM). Inilah nama-nama para pustakawan pada masa itu. Dan pada masa itu pula, suatu naskah masih berbentuk gulungan “Roll” dan terbuat dari papirus.
            Tidak diam di situ saja, perkembangan filologi sudah merambah luas di bangsa Romawi pada abad ke-2 M sampai abad ke-4 M inilah bentuk naskah yang mulanya berupa gulungan (Roll) menjadi bentuk bundelan buku (codex). Karenanya, dapat dianggap sebagai tonggak awal sejarah perubahan bentuk naskah dari Roll ke codex.
            Jika bicara perkembangan sejarah timbulnya filologi di Nusantara, tidak menutup mata kalau orang pertama kali yang membawa kajian ini hingga samppai ke nusantara adalah para kolonial. Agar dapat mudah difahami, maka perkembangan sejarah timbulnya filologi di Nusantara dapat di petakkan menjadi tiga fase:
1.      Fase Sebelum abad ke-14 M
2.      Fase antara abad ke-14 sampai ke-19 M
3.      Fase ke-19 sampai detik ini

·         Pada fase rintisan (penulis sebut) karena pada fase ini ilmu filologi masih tahap awal dalam pembuatan naskah. Dalam tahap ini, sebuah naskah berisikan tentang persoalan agama yang bentuk tulisanya masih menggunakan tulisan atau aksara palawa, sangsakerta, dan lawa. Di fase ini, pengaruh agama islam belum dapat mempengaruh sebuah naskah.
·         Pada fase perkembangan (penulis sebut) karena pada fase ini banyak memunculkan sebuah aksara dan lebih tepatnya pengaruh-pengaruh dari berbagai macam bidang disiplin ilmu sudah mulai tampak dan pesat. Seperti adanya aksara arab, dan banyak sebuah akasara yang dilokalisasi menjadi aksara pegon dan aksara jawi yang memang hasil modifikasi dari aksara Arab. Tentunya, pada masi ini islam sudah dapat mempengaruh sebuah naskah.
·         Pada fase ke-19 M ini adalah fase modren. Fase di mana para peneliti hanya melanjuti suatu yang sudah ada di fase-fase sebelumnya.
Demikian selayang pandang penulis terhadap vidio filologi Prof. Dr. Oman Fathurahman, M. Hum. Dan penulis juga sedikit banyaknya dalam tulisan ini mengeutip bukunya beliau.



Wallahu A’lam Bishawab...

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...