Filologi
Filologi
adalah gabuang dua kata yang berupa “philos” dan “logos”. Dua kata ini bersal
dari bahasa Yunani yang memiliki arti yang tercinta untuk kata “philos” sementara
kata “logos” memiliki arti berbagai ragam, semisal kata, artikulasi, dan
alasan. Sehingga, dari paduan dua kata di atas bisa di fahami bahwa filologi
jika di lihat dari segi etimologisnya memiliki makna “kata yang di cintai atau
sebuah alasan untuk mencintai sesuatu”.
Sementara menurut terminilogi, Ilmu filologi ini, ketika penulis
membaca karya salah satu guru besar fakultas Adab dan Humaniora di bidang
filologi, penulis memiliki asumsi bahwa ilmu filologi merupakan salah satu
disiplin ilmu yang didalamnya mempelajari tentang naskah klasik tulisan tangan
yang mana dengan naskah ini dapat diketahui kapan, dimana, dan menggunakan
aksara apa di dalam naskah tersebut.
Kalau di lihat dari garis besarnya, ilmu filologi ini merupakan
kombinsi atau paduan antara kritik teks, sejarah, dan linguistik. Ketiga
komponen tersebut akan selalu ada dalam ilmu filologi. Karena sejatinya ilmu
filologi hanya alat untuk membedah suatu document klasik yang di tulis dengan
tangan, biasanya sering disebut dengan istilah “Manuskrip”. Di mana, kritik teks
dalam ilmu filologi di sini sebagai pacuan untuk menemukan keontentikan suatu
karya yang ada dalam manuskrip. Karena suatu karya dalam manuskrip tidak hanya
ditulis oleh satu orang saja melainkan banyak sekali salinan dari tangan satu
ketangan lainnya. Sehingga, ilmu filologi ini sangat membutuhkan ilmu lainnya
agar dapat menelusuri penulis aslinya. Sementara sejarah sebagai tolok ukur,
kapan dan di mana penulisan manuskrip tersebut di tulis oleh pengarangnya. Dan
untuk kajian linguistik sendiri dibutuhkan dalam ilmu filologi, karena manuskrip sendiri
bukan hanya ada satu bahasa didalamnya. Melainkan, ada beragam bahasa. Semisal
bahasa jawa, madura, dan lain-lain. Itulah sebabnya, tidak salah jika dikatakan
kalau tiga komponen ilmu di atas tidak bisa dipisahkan dalam kajian ilmu filologi.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa, seorang filologis
memiliki tanggung jawab atau tugas untuk
memberikan kontribusi dalam menghadirkan sebuah teks yang siap lahap dan
menhadirkan sebuah makna yang ada dalam sebuah teks tersebut.
Bicara
manuskrip sama halnya bicara tentang harta karun yang terpendam beratus-ratus
tahun lamanya. Karena, kalau kita mengutip kata yang pernah disampaikan oleh
Prof. Dr. Oman, maka akan di fahami kalau manuskrip adalah harta karun yang
kumuh, kotor, dan berlumut. Sangat jarang orang lain mengambilnya. Padahal,
jika ada orang yang sempat menaruh perhatian lebih kepada manuskrip tersbut
dirinya bagaikan mengambil harta karun yang lama terlupakan. Untuk dijadikan sebagai
koleksi hidup bahkan jauh lebih penting dari pada itu, manuskrip sebagai
pengahsilan hidup yang luar biasa.
Sempat di sindir di muka, kalau
manuskrip adalah harta karun yang terpendam beratus-ratus tahun lamanya. Namun
apa sebenarnya yang di maksud dengan manuskrip itu? Dari istilah bahasa apa
manuskrip muncul di muka dunia? Dan apa peran penting manuskrip terhadap karya
sastra? dan bagaimana perkembangan filologi di dunia secara umum, dan di
Indonesia secara khusus? Nah, disinilah penulis berusah menjawab
pertannyaan-pertannyaan di atas.
Manuskrip adalah kumpulan dua kata
dari bahasa Latin yang berbunyi “manu” dan “scriptus” yang secara
harfiyahnya memiliki makna tulisan tangan. Sementara penulis beranggapan kalau
manuskrip adalah suatu document klasik (naskah) yang tertulis dengan tangan.
Biasanya, manuskrip sendiri dapat ditemukan di berbagai macam daerah. Semisal,
jawa, minangkabau, madura, dan lain-lain. Di masa lalu, seseorang ingin
menuangkan karayanya harus membeli atau memiliki suatu kertas. Nah, kertas yang
ingin dijadikan sebuah manuskrip ini memiliki beragam macam corak; kertas Eropa
maupun kertas lokal (daluwang). Selain itu ada juga naskah yang menggunakan
daun lontar, daun nipah, kulit kayu, kulit bambu atau rotan.
Keberadan manuskrip di tengah-tengah
perkembangan zaman ini memiliki pengaruh besar terhadap disiplin ilmu yang
berbasih adab dan humaniora. Semisal di bidang sastra Arab, ilmu filologi yang
memang objek kajianya adalah manuskrip. Sebenarnya, dapat membantu parah
peneliti sastra dalam memahami teks yang terkandung dalam sebuah naskah klasik
tersebut (manuskrip). Karena, sperti mana yang telah diketahui banyak orang
bahwa ilmu filologi adalah alat untuk membedah sesuatu. Bagaiaman layakanya “alat”,
filologi dapat mebedah suatu teks yang awalnya sulit untu difahami dan dimengerti
kemudian dengan ilmu filologi ini seorang peneliti sastra arab khususnya pada
naskah klasik akan merasa lebih ringan atas hadirnya ilmu filologi ini. Karena bagaimanapun,
tidak bisa dipungkiri kalau dari sekian banyak manuskrip pasti memiliki
perbedaan di dalam teksnya.
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki
perkembangan dari segi sejarahnya. Adapun cikal bakal berkembanganya ilmu
filologi ini berawal dari Yunani pada abad ke-3 SM. Hal ini dapat dibuktikan
keberadaanya karena adanya sebuah naskah di perpustakaan Iskandaria. Yang mana
pada waktu itu para pustakawan berada di tangan orang-orang Yunani. Di anataranya
adalah; Aristophanes (k. 446-389 SM) Appollonius Rhodius (k. Paruh pertama abad
ke 3 SM), Aristarchus (k. 310-230 SM), Zenodotus (k. Terkenal pada 280 SM), dan
Eratosthenes (k. 295-214 SM). Inilah nama-nama para pustakawan pada masa itu. Dan
pada masa itu pula, suatu naskah masih berbentuk gulungan “Roll” dan terbuat
dari papirus.
Tidak diam di situ saja,
perkembangan filologi sudah merambah luas di bangsa Romawi pada abad ke-2 M
sampai abad ke-4 M inilah bentuk naskah yang mulanya berupa gulungan (Roll)
menjadi bentuk bundelan buku (codex). Karenanya, dapat dianggap sebagai tonggak
awal sejarah perubahan bentuk naskah dari Roll ke codex.
Jika bicara perkembangan sejarah
timbulnya filologi di Nusantara, tidak menutup mata kalau orang pertama kali
yang membawa kajian ini hingga samppai ke nusantara adalah para kolonial. Agar dapat
mudah difahami, maka perkembangan sejarah timbulnya filologi di Nusantara dapat
di petakkan menjadi tiga fase:
1.
Fase
Sebelum abad ke-14 M
2.
Fase
antara abad ke-14 sampai ke-19 M
3.
Fase
ke-19 sampai detik ini
·
Pada
fase rintisan (penulis sebut) karena pada fase ini ilmu filologi masih tahap awal
dalam pembuatan naskah. Dalam tahap ini, sebuah naskah berisikan tentang
persoalan agama yang bentuk tulisanya masih menggunakan tulisan atau aksara
palawa, sangsakerta, dan lawa. Di fase ini, pengaruh agama islam belum dapat
mempengaruh sebuah naskah.
·
Pada
fase perkembangan (penulis sebut) karena pada fase ini banyak memunculkan
sebuah aksara dan lebih tepatnya pengaruh-pengaruh dari berbagai macam bidang disiplin
ilmu sudah mulai tampak dan pesat. Seperti adanya aksara arab, dan banyak
sebuah akasara yang dilokalisasi menjadi aksara pegon dan aksara jawi yang
memang hasil modifikasi dari aksara Arab. Tentunya, pada masi ini islam sudah
dapat mempengaruh sebuah naskah.
·
Pada
fase ke-19 M ini adalah fase modren. Fase di mana para peneliti hanya melanjuti
suatu yang sudah ada di fase-fase sebelumnya.
Demikian selayang pandang penulis terhadap vidio filologi Prof. Dr.
Oman Fathurahman, M. Hum. Dan penulis juga sedikit banyaknya dalam tulisan ini
mengeutip bukunya beliau.
Wallahu
A’lam Bishawab...
No comments:
Post a Comment