Dokumen yang Terlupakan
Manuskrip
atau naskah kuno adalah suatu dokumen yang terlupakan di tengah-tengah
masyarakat Indonesia. Padahal manuskrip sendiri merupakan bagian dari pada
warisan bangsa ini. Bagaimana mungkin suatu bangsa lupa terhadap warisannya
sendiri? Bukankah sebuah warisan harus dijaga dan dilesatrikan? Karena manuskrip
adalah cerminan kebudayaan suatu bangsa. Dan sebagai gambaran suatu bangs, manuskrip
bisa dikatakan sebagai “sejarah”. Maka, sudah semestinya suatu bangsa menjaga
dan melestarikan sejarah tersebut.Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
oleh Baroroh Baried, “ilmu filologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan
suatu bangsa berdasarkan bahasa dan kesusastraannya”. Secara tidak langsung, Baroroh
Baried ingin mengatakan manuskrip sebagai objek kajian filologi ini merupakan suatu
disiplin ilmu yang mana ingin melestariakn kebudayaan suatu bangsa.
Penulis sungkan menggunakan
kata “mungkin” untuk mengatakan kalau manuskrip merupakan dokumen yang
terlupakan di kalangan masyarakat kita. Karena kalau mendengar kata “Ilmu
Filologi” maka yang akan dijumpai adalah tanda tanya besar dalam otak kita.
Kenapa demikian? Karena ilmu filologi ini tidak setenar ilmu-ilmu lainya;
Matematika, linguistik, antropologi, sosilogi dll. Nah, disinilah penulis
berusaha mengenalkan dan mengajak kembali para pembaca budiaman untuk mengkaji,
kalaupun kurang minat setidaknya kenal terlebih dahaulu itu yang
terpenting. Karena tak kenal, maka tak sayang. Demikian ungkapan yang sering
kita dengar.
Manuskrip
adalah istilah yang seringkali ditemukan di dalam kajian ilmu filologi. Istilah
ini berasal dari bahasa Latin; manu dan scriptus, yang secara
harfiyahnya berarti ‘tulisan tangan’ (written by hand). Dalam pengertian yang lumrah, manuskrip
sering diartikan sebagai suatu buku, dokumen, atau lainnya yang ditulis
menggunakan tangan. Dan manuskrip sendiri merupakan objek kajian utama dalam
ilmu filologi. Karena manuskrip adalah objek kajian utama dari pada ilmu
filologi, itu artinya pembahasan kali ini tidak akan bisa dimuak tanpa disertai
dengan ilmu filologi sendiri yang memang pada dasarnya, manuskrip hanya bahan
untuk penelitian sementara alat untuk menguak apa yang ada dalam manuskrip itu sendiri
harus membutuhkan ilmu filologi.
Kalau menenoleh sejenak arti dari
pada ilmu filologi di dalam KBBI, maka akan ditemukan makna, kalau ilmu
filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu
bangsa sebagaimana terdapat di bahan- bahan tertulis. Namun, sepertinya
pengertaian ilmu filologi dalam KBBI kurang spesifik dan tidak dapat dikatakan
‘pengertian final’ untuk memahami ilmu filologi. Karena kalau melihat pada
sumber bacaan yang lain, ilmu filologi diartikan sebagai “suatu disiplin ilmu
yang didalamnya membahas manuskrip sebagai objek kajianya untuk menelusuri
sumber penulisan, keabsahan teks, karakteristiknya, serta sejarah lahir, dan
penyebaranya.” Karena manuskrip itu merupakan sebuah dokumen yang ditulis
dengan tangan oleh orang terdahulu, yang didalamnya terdapat berbagai khzanah
keilmuan, mulai dari sejarah suatu bangsa, bahasa, sastra, terlebih
hikayat-hikayat kehidupan seorang raja terdahulu. Maka, untuk mengetahui kapan
manuskrip itu ditulis, menggunakan aksara apa ditulisnya. Terlebih dan paling
terpenting adalah mengetahui sumber penulisannya. Ilmu filologilah alatnya
untuk menguak persoalan tersebut.
Karena kalau mendengar sebuah keterangan yang pernah disampaikan
oleh dosen penulis, dan beliau adalah Guru Besar dalam bidang ilmu filologi
ini, pernah berkata ada sebuah kitab yang sekarang dikarang oleh si “A”
ternyata penelitian muta’akhir ditemukan kalau kitab tersebut tidak dikarang
oleh si “A” melainkan si “B” yang mengarangnya. Menagapa bisa demikian? Karena
si “B” pada masa itu namanya tidak dikenal. Sementara si “A” sangat dikenal. Maka,
nama pengarang kitab tersebut yang dicantumkan adalah si “A” bukan si “B” dalam
istilah sekarang untuk mengambil kepopulerenanya saja. Nah, dari sinilah dapat
difahami manfaat mempelajri ilmu filologi ini. Karena kitab-kitab yang kita
pegang dan kita baca sekarang belum tentu benar asal-muasal pengarang kitabnya,
meskipun isinya sama namun sangat penting untuk mengetahui garis keilmuan
pengarang kitab, agar tidak buta sanad keguruan kita.
Nah, manuskrip di Indonesia sangat berjibun
sekali. Sekitaran 11.410, dan banyak manuskrip di Indonesia bukannya
menimbulkan minat para pelajar dan mahasiswa untuk mengkajianya. Ini malah
banyak pula melupakannya. Dari kejadian ini, penulis sengaja sekali membuat
artikel dengan judul “Dokumen yang Dilupakan” karena memang kalau boleh jujur,
jika para pelajar/mahasiswa membuka mata untuk memahami bahkan mendalami ilmu
filologi ini. Maka akan dijumpai sesuatu pengetahuan yang sangat berbeda dengan
apa yang oleh orang lain ketahui.
Semisal, pengetahuan orang banyak
akan wanita Sufi di dunia itu yang dikenal hanya Rabiatul Adawiyah,
seakan-akan hanya beliau saja yang sufi di dunia. Padahal, kalau memang ingin
membaca manuskrip, maka akan ditemukan wanita berkebangsaan Indonesia sangat
sufi mungkin bisa dibilang sejajar atau melebihi, bisa jadi kurang dari
kesufiannya Rabiatul Adawiyah. (penulis lupa nama wanita sufi tersebut).
Begitu juga dengan femonomena adanya ilmu-ilmu kanuragan yang tertulis dalam
manuskrip (naskah kuno) yang berjudul
“maranao”. Naskah kuno atau manuskrip ini ditemukan di Mindano. untuk
menyebut naskah marano ini, orang-orang Mindano sering mengatakan “ilmu
tabaruk”. Dalam manuskrip ini
ditemukan adanya kajian ilmu kanuragan berupa ajian Braja Lima dan Braja Sembilan,
lengkap dengan rajah-rajah, isim, serta petunjuk “…puasa tujuh isnain dan
tujuh khamis dan mandi tiga purnama…”
Dari
sini juga kita bisa mengetahui bahwa kehadiran ilmu filologi sangat penting
untuk mengkaji ulang naskah-naskah kuno untuk memahmi betul sapa yang
terkandung dalam naskah tersebut. Tapi sekali lagi penulis katakan,
naskah-naskah kuno ini sudah seringkali terlupakan oleh kita sendiri. Entah apa
penyebabnya? Apa mungkin gara-gara “naskah kuno”, kita semua tidak ingin
mengkajianya? Bukankah intan mutiara itu ada pada suatu lumpur awalnya, lalu
diambil dan dibersihkan agar laku dipasaran? Sama halnya dengan manuskrip
(naskah kuno) ini, yang sangat lusung dan bahkan gak layak baca kalau kita
melihatnya. Namun, kalau memang kita ingin mempelajari apa yang terkandung
didalamnya niscaya akan mendapatkan sesuatu yang “Wow” di dalam manuskrip
tersebut. Mari tumbuhsuburkan kembali minat kita terhadap kajian filologi ini!
No comments:
Post a Comment