Thursday 26 October 2017

Manuskrip Terabaikan di Indonesia

Dokumen yang Terlupakan

          Manuskrip atau naskah kuno adalah suatu dokumen yang terlupakan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Padahal manuskrip sendiri merupakan bagian dari pada warisan bangsa ini. Bagaimana mungkin suatu bangsa lupa terhadap warisannya sendiri? Bukankah sebuah warisan harus dijaga dan dilesatrikan? Karena manuskrip adalah cerminan kebudayaan suatu bangsa.  Dan sebagai gambaran suatu bangs, manuskrip bisa dikatakan sebagai “sejarah”. Maka, sudah semestinya suatu bangsa menjaga dan melestarikan sejarah tersebut.Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Baroroh Baried, “ilmu filologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan suatu bangsa berdasarkan bahasa dan kesusastraannya”. Secara tidak langsung, Baroroh Baried ingin mengatakan manuskrip sebagai objek kajian filologi ini merupakan suatu disiplin ilmu yang mana ingin melestariakn kebudayaan suatu bangsa.
Penulis sungkan  menggunakan kata “mungkin” untuk mengatakan kalau manuskrip merupakan dokumen yang terlupakan di kalangan masyarakat kita. Karena kalau mendengar kata “Ilmu Filologi” maka yang akan dijumpai adalah tanda tanya besar dalam otak kita. Kenapa demikian? Karena ilmu filologi ini tidak setenar ilmu-ilmu lainya; Matematika, linguistik, antropologi, sosilogi dll. Nah, disinilah penulis berusaha mengenalkan dan mengajak kembali para pembaca budiaman untuk mengkaji, kalaupun kurang minat setidaknya kenal terlebih dahaulu itu yang terpenting. Karena tak kenal, maka tak sayang. Demikian ungkapan yang sering kita dengar.
          Manuskrip adalah istilah yang seringkali ditemukan di dalam kajian ilmu filologi. Istilah ini berasal dari bahasa Latin; manu dan scriptus, yang secara harfiyahnya berarti ‘tulisan tangan’ (written by hand).  Dalam pengertian yang lumrah, manuskrip sering diartikan sebagai suatu buku, dokumen, atau lainnya yang ditulis menggunakan tangan. Dan manuskrip sendiri merupakan objek kajian utama dalam ilmu filologi. Karena manuskrip adalah objek kajian utama dari pada ilmu filologi, itu artinya pembahasan kali ini tidak akan bisa dimuak tanpa disertai dengan ilmu filologi sendiri yang memang pada dasarnya, manuskrip hanya bahan untuk penelitian sementara alat untuk menguak apa yang ada dalam manuskrip itu sendiri harus membutuhkan ilmu filologi.
            Kalau menenoleh sejenak arti dari pada ilmu filologi di dalam KBBI, maka akan ditemukan makna, kalau ilmu filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan- bahan tertulis. Namun, sepertinya pengertaian ilmu filologi dalam KBBI kurang spesifik dan tidak dapat dikatakan ‘pengertian final’ untuk memahami ilmu filologi. Karena kalau melihat pada sumber bacaan yang lain, ilmu filologi diartikan sebagai “suatu disiplin ilmu yang didalamnya membahas manuskrip sebagai objek kajianya untuk menelusuri sumber penulisan, keabsahan teks, karakteristiknya, serta sejarah lahir, dan penyebaranya.” Karena manuskrip itu merupakan sebuah dokumen yang ditulis dengan tangan oleh orang terdahulu, yang didalamnya terdapat berbagai khzanah keilmuan, mulai dari sejarah suatu bangsa, bahasa, sastra, terlebih hikayat-hikayat kehidupan seorang raja terdahulu. Maka, untuk mengetahui kapan manuskrip itu ditulis, menggunakan aksara apa ditulisnya. Terlebih dan paling terpenting adalah mengetahui sumber penulisannya. Ilmu filologilah alatnya untuk menguak persoalan tersebut.
Karena kalau mendengar sebuah keterangan yang pernah disampaikan oleh dosen penulis, dan beliau adalah Guru Besar dalam bidang ilmu filologi ini, pernah berkata ada sebuah kitab yang sekarang dikarang oleh si “A” ternyata penelitian muta’akhir ditemukan kalau kitab tersebut tidak dikarang oleh si “A” melainkan si “B” yang mengarangnya. Menagapa bisa demikian? Karena si “B” pada masa itu namanya tidak dikenal. Sementara si “A” sangat dikenal. Maka, nama pengarang kitab tersebut yang dicantumkan adalah si “A” bukan si “B” dalam istilah sekarang untuk mengambil kepopulerenanya saja. Nah, dari sinilah dapat difahami manfaat mempelajri ilmu filologi ini. Karena kitab-kitab yang kita pegang dan kita baca sekarang belum tentu benar asal-muasal pengarang kitabnya, meskipun isinya sama namun sangat penting untuk mengetahui garis keilmuan pengarang kitab, agar tidak buta sanad keguruan kita.
             Nah, manuskrip di Indonesia sangat berjibun sekali. Sekitaran 11.410, dan banyak manuskrip di Indonesia bukannya menimbulkan minat para pelajar dan mahasiswa untuk mengkajianya. Ini malah banyak pula melupakannya. Dari kejadian ini, penulis sengaja sekali membuat artikel dengan judul “Dokumen yang Dilupakan” karena memang kalau boleh jujur, jika para pelajar/mahasiswa membuka mata untuk memahami bahkan mendalami ilmu filologi ini. Maka akan dijumpai sesuatu pengetahuan yang sangat berbeda dengan apa yang oleh orang lain ketahui.
            Semisal, pengetahuan orang banyak akan wanita Sufi di dunia itu yang dikenal hanya Rabiatul Adawiyah, seakan-akan hanya beliau saja yang sufi di dunia. Padahal, kalau memang ingin membaca manuskrip, maka akan ditemukan wanita berkebangsaan Indonesia sangat sufi mungkin bisa dibilang sejajar atau melebihi, bisa jadi kurang dari kesufiannya Rabiatul Adawiyah. (penulis lupa nama wanita sufi tersebut). Begitu juga dengan femonomena adanya ilmu-ilmu kanuragan yang tertulis dalam manuskrip (naskah kuno) yang berjudul  “maranao”. Naskah kuno atau manuskrip ini ditemukan di Mindano. untuk menyebut naskah marano ini, orang-orang Mindano sering mengatakan “ilmu tabaruk”.  Dalam manuskrip ini ditemukan adanya kajian ilmu kanuragan berupa ajian Braja Lima dan Braja Sembilan, lengkap dengan rajah-rajah, isim, serta petunjuk “…puasa tujuh isnain dan tujuh khamis dan mandi tiga purnama…”
            Dari sini juga kita bisa mengetahui bahwa kehadiran ilmu filologi sangat penting untuk mengkaji ulang naskah-naskah kuno untuk memahmi betul sapa yang terkandung dalam naskah tersebut. Tapi sekali lagi penulis katakan, naskah-naskah kuno ini sudah seringkali terlupakan oleh kita sendiri. Entah apa penyebabnya? Apa mungkin gara-gara “naskah kuno”, kita semua tidak ingin mengkajianya? Bukankah intan mutiara itu ada pada suatu lumpur awalnya, lalu diambil dan dibersihkan agar laku dipasaran? Sama halnya dengan manuskrip (naskah kuno) ini, yang sangat lusung dan bahkan gak layak baca kalau kita melihatnya. Namun, kalau memang kita ingin mempelajari apa yang terkandung didalamnya niscaya akan mendapatkan sesuatu yang “Wow” di dalam manuskrip tersebut. Mari tumbuhsuburkan kembali minat kita terhadap kajian filologi ini!

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...