Friday, 21 April 2017

Wanita Yang Tertulis Namanya

المرأة المكتوبة اسمها


نبدأ بالبسملة هذه الصلة
نبدأ بالحمدلة كل ما أصابنا
ففي كل وقت لنا الأعمال
ولكن ما كانت الشعور موافقة

نجري على ما دل الحب
ونقف في كل أحوالنا خاصة
ما ندرى وما المقصود فينا
مع أننا لقد قسمنا على اسم الحب

وبهذا قولي لك "كيف بهذه الصلة؟"
تأمريني أن أعمل كذا
فعملت كما أمرت
أصابتني الخطاء في كل أعمالي

وما أردت مني؟
تكذبيني وانا أبتسم
وما أردت مني؟
تأمريني وأنا أعمل

عرفت الأن...
بأن حقيقة الحب هي ما خال من القيل والقال
من الأن فصاعدا
إذهبي عني جميع التذكرات
وما كان المكان في لإسمك 

Saturday, 15 April 2017

Terlumat Oleh Waktu

Waktu


Waktu...
Hilang mengumpat
Pergi Tersirat
Hanya ada aku yang mengerti

Waktu...
Terkadang aku didusta
Terkadang aku mendusta
Entah sampai kapan ini berakhir?

Waktu...
Hidup dalam bayang-bayangmu
Tak bergerak, aku salah
Bergerak pun, aku salah

Waktu...
Andai aku tak terlumat
Andai aku tak terlipat
Sungguh, aku balikkan ini ke masa kecilku dulu.

            Puisi ini dibuat karena adanya unsur kekecewaan dalam diri yang hampa. Redup tak terasa, mati tak terduda. Inilah aku dengan sejuta kebodohanku. Sekarang aku mati, tak akan aku biarkan diriku mati kembali.

            Sekali pena tergoreskan, hanya ada satu kata. Air atau Darah?



Muhammad Ali Thahir
15, 04, 2017.

Monday, 10 April 2017

Mawar Dan Duri

Antara Cinta Dan Luka

Embun pagi menyapa dengan hangat
Linglung sudah aku berdiri sendiri
Menunggu sandaran tiada jera
Entah kemana ia pergi?

Aku mengerti,
Aku pula sudah memahami
Hasil akhir, menuntutku untuk berhenti
Berhenti dari lukanya cinta yang berduri

Memang, cinta dan luka tak terpisahkan
Layaknya, embun pagi dengan mentari
Tapi, aku tetap berharap
Di suatu saat nanti...

Menanti, hal yang tak akan pasti
Ia berlawan dengan embun pagi
Pula mentari yang merembas di pagi hari
Tak akan sama, bahkan tak akan serupa

Bagaimana kau bertahan?
Sementara mentari tak sama
Bagaimana aku kuat?
Sementara mebun pagi tak serupa

Ia memang,
penantian adalah buah dusta yang terulur alur
terulur rapi, terbungkus alur berduri
aku pergi, tinggalkan aku sendiri

Thursday, 30 March 2017

Analisis Sisi Intrinsik Dan Ekstrinsik Dalam Cerpen Seorang Laki-laki Dan Kelinci

Analisis Sisi Intrinsik Dan Ekstrinsik Dalam Cerpen
Seorang Laki-laki Dan Kelinci



A.    Unsur-unsur Intrinsik

Berbicara unsur intrinsik, tentunya akan ada beberapa unsur yang harus dibahas di dalamnya, antara lain adalah Tema, Alur cerita, Penokohan, Latar, Diksi, Amanat, dan Ending cerita. Adapun unsur intrinsik dalam cerpen Seorang Laki-laki Dan Kelinci sebagaimana berikut:

1.      Tema
Tema adalah  sesuatu yang menjiwai cerita atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita. Tema yang terdapat dalam Kumpulan Cerpan (Al-Kabuus) pada cerpen ke-9 adalah Perjuangan, Pengorbanan dan Penderitaan.
2.      Alur Cerita
Rangkaian cerita yang disusun secara  runtut.  Alur cerita bisa maju maupun mundur.
Alur yang terdapat dalam Kumpulan Cerpan (Al-Kabuus) pada cerpen ke-9 adalah maju.
3.      Penokohan
Adalah gambaran sifat/watak tokoh cerita. Berdasarkan sifatnya, tokoh cerita ada dua, antagonis dan protagonist. Antagonis  adalah tokoh jahat, sedangkan protagonist adalah tokoh berskarakter baik. 
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam Kumpulan Cerpan (Al-Kabuus) pada cerpen ke-9 adalah:
·         Syahat
Perihatin
Hal ini tertuang dalam kalimat “Syahat, anaknya yang kecil berteriak minta tolong”.
·         Latifah
Periang
Hal ini tertuang dalam kalimat “Latifah gembira sekali melihat kelinci itu”.
·         Abdullah Saruji
Tegar
Hal ini tertuang dalam kalimat “Kesabaranlah yang membuat dirinya masih bertahan”.
·         Najyah
Bijak
Hal ini tertuang dalam kalimat “Gizi yang baik menguatkan tulang-tulang dan menyehatkan badan. Tulang dan badan yang sehat akan menguatkan cita-cita dan harapan”.
·         Tukang Cukur
Penolong
Hal ini tertuang dalam kalimat “Seorang tukang cukur yang berada di antara mereka, tampil untuk menolong”.
·         4.      Latar
Tempat dan waktu terjadinya cerita :
·         Rumah Abdullah
Hal ini tertuang dalam kalimat “Disanalah rumah Abdullah”.
·         Pasar Khamis
Hal ini tertuang dalam kalimat “lalu dijual kepasar khamis”.
·         Desa Lorong
Hal ini tertuang dalam kalimat “Warga lorong itu merasa sedih melihat kondisi Abdullah”.
·         Sore Hari
Hal ini tertuang dalam kalimat “Matahari dengan ronanya yang pucat semakin condong kebarat”.

·         5.      Diksi

Diksi, dalam arti aslinya, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara.
Diksi yang digunakan sangat familiar, baik itu kalangan orang awam maupun orang akademika.
6.      Amanat

Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Di dalam novel ini amanat yang dipergunakan adalah secara implisit yaitu pengarang mengemukakan pesannya secara tidak langsung.

Amanat yang terdapat dalam Kumpulan Cerpan (Al-Kabuus) pada cerpen ke-9 adalah Jangan pernah mengeluh, walaupun ditimpa dengan beberapa ujian dan cobaan. Karena, sesuatu yang mungkin di anggap buruk oleh kamu, belum tentu buruk di mata orang lain. Begitu juga, di mata Allah.
7.      Berakhir/Ending
Ending adalah impresi klimaks dari sebuah novel.

Akhir dari cerita ini adalah duka lara. Karena sosok suami yang diperjuangkan untuk bertahan hidup bersamanya, meninggalkan dirinya atas penderitaan sakit yang komplekasi.

B.     Unsur-unsur Ekstrinsik

Berbicara unsur Ekstrinsik, tentunya akan ada beberapa unsur yang harus dibahas di dalamnya, antara lain adalah latar belakang pengarang, keagamaan, politik, sitausi sosial, dan nilai dalam cerita. Adapun unsur Ekstrinsik dalam cerpen Seorang Laki-laki Dan Kelinci sebagaimana berikut:

1.    Latar Belakang Pengarang

Najib kailani adalah sosok sastrawan terkemuka di dunia sastra Arab. Beliau berkebangsaan Mesir. Beliau bukan hanya sebagai sastrawan ulung, jauh dari itu, beliau dikenal sebagai dokter yang memang diakui beliau adalah sosok ilmuwan. Di sisi lain, beliau sudah menghafal al-Quran ketika dirinya masih berusia remaja.[1]

2.    Keagamaan

Melihat dirinya dari sisi keagamaanya tidak lagi bisa diragukan adanya. Najib kailani yang dikenal sebagai sastrawan dan ilmuan itu, ternyata bukan hanya dikenal sebagai sastrawan saja. Kehidupan beliau dalam beragama sangatlah kental. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa karyanya beliau yang memang berbau agamis. Salah satunya adalah “al-Kabuus” yang di alih bahasakan oleh Zuriyati.

3.    Politik




4.    Situasi Sosial

Sebagaimana kaparahnya, sebuah karya sastra tidak akan lepas dengan sebuah konteks keadaan pengarang. Di sini, pengarang menyadurkan sebuah karya yang memang melawan sebuah keadaan pada waktu di mana adanya tayangan-tayangan yang mengumbar nafsu, pembelaan berlebihan kepada goyang erotis di panggung dan mudahnya mendapatkan tayangan porno dipinggir jalan merupakan gejala yang selalu pro dan kontra.[2] Berangkat dari kondisi sosial ini, Najib kailani menyadurkan kumpulan cerpen yang berabau ukhrawi. Tidak lepas dengan sebuah adanya keinginan untuk merubah tran yang kurang baik ini, maka sudah semestinya buku menggambarkan sebagian besar di dalamnya tentang suasana akhirat.

5.    Nilai Dalam Cerita

Untuk menilai sebuah cerita dalam karya sastra, sebenarnya tergantung pada orang yang menjilat karya sastra tersebut. Dalam pandang penulis, Nilai dalam cerita pendek yang berjudul “seorang laki-laki dan kelinci” adalah bernila Ukhrawi. Di mana sosok abdullah yang kenginannya ingin mengikuti jejak Nabi Ayyub dan Nabi Yusuf. Yang ditimpa musibah berupa penyakit yang jarang orang tahu untuk mencari obat penwarnya untuk Nabi Ayyub dan selama tujuh tahun diam dalam jeruju besi untuk Nabi Yusuf merupakan gambaran besar kalau dalam cerpen tersebut memiliki nilai akhirat.



















[1] Kata pengantar dalam buku “Halusinasi”. Hlm, vii.
[2] Kata pengantar dalam buku “Halusinasi”. Hlm vi.

Sunday, 19 March 2017

Love According To Burdah Qasidah

Cinta Dalam Prespektif Kasidah Burdah


Kalau sudah dilanda rindu, obat yang paling mujarab adalah bertemu dengan kekasih. Namun sebelum merasakan kerinduan ada beberapa tahapan yang harus dilewati oleh sepasang kekasih. Dari salah satu tahapan yang harus dilewati oleh sepasang kekasih adalah rasa cinta. Karena bagaiamanapun rasa cinta ini adalah rasa yang lebih utama hadir dari pada rasa rindu. Kendati rasa rindu merupakan puncak dari segala rasa dalam menjalin sebuah hubungan antar siapapun itu, baik itu kepada Allah maupun kepada sesama. Maka sudah sepantasnya seseorang mengatakan rasa cinta lebih awal ketimbang mengungkapkan rasa rindu. Oleh sebab itu, penulis mengajak pembaca untuk melebur kesekian kalinya akan sebuah keterangan cinta yang memang di artikel sebelumnya penulis sempat menyinggung sebagian besar akan keterangan tentang cinta dan kecemburuan. Namun, untuk kali ini penulis hanya ingin mengkonsentrasikan sebuah keterangan cinta yang tertuang dalam kasidah burdah.

Dari sekian banyak karya yang dikarang oleh Imam el-Busairy, hanya ada satu karya yang sangat populer di Indonesia. Salah satunya adalah kasidah burdah. Kasidah ini memiliki 160 bait di dalamnya, yang mana antar bait yang satu berkesinambungan dengan bait yang setelahnya. Begitu juga dengan sebuah latar belakang penulis ketika mengarang sebuah puisi tersebut. Semisal, bait pertama hingga bait ke-12 berisi tentang nostalgianya pengarang, dari bait ke-13 sampai bait ke-28 menganduang sebuah peringatan terhadap larangan bahaya hawa nafsu, dan seterusnya itu memiliki arti kandungan yang berbeda-beda yang tentunya masih ada keterkaitan dengan latar belakang penulis.



Seperti mana yang dijelaskan di atas, bahwa kasidah burdah yang bersangkutan dengan cinta ada di bait ke-1 sampai ke-12. Dari bait pertama samapai bait dua belas ini merupakan gambaran pengrang yang memang pada waktu itu beliau sedang dirundung kerinduan yang teramat dalam kepada tetangganya dan sahabat-sahabatnya. Hal ini bisa dilhat dalam sya’ir-sya’ir berikut ini:

أمن تذكر جيران بذي سلم * مزجت دمعا جرى من مقلة بدم
Apakah karena mengenang kekasih
yang tinggal dilembah Zi-Salam
Kau campurkan air matamu dengan darah
Mengalir dari kelopak matamu?
أم هبت الريح من تلقاء كاظمة * وأومض البرق في الظلماء من إضم
Ataukah karena angin menghembus
dari arah gunung Kazimah?
Ataukah karena kilat menyambar dari Idami
Di kegelapan malam hari?
            Dua bait di atas kiranya sudah jelas kalau pengarang membuat karya tersebut bernada elegan yang mengandung rasa kenostalgianya kepada tetangganya, sahabat-sahabatnya, dan kekasihnya. Hal ini bisa dilihat dari kata-katanya ketika mengatakan kata “جيران” dalam sya’ir di atas. pada mulanya kata tersebut diartikan sebagai “tetangga” namun, seiring berkembangnya sebuah bahasa maka ada salah satu penya’ir arab mengartikan kata tersebut dengan arti “kekasih”. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibrahim al-Bajury, dalam kitabnya, al-Burdah Imam al-Busairy. Dalam pandanganya, diartikan sebagai “kekasih” lebih cocok dari pada makna “tetangga”. Kendati kata yang digunakan menujukkan orang kedua tunggal. Hal ini ia ungkapkan untuk mengekspresikan betapa besar dan dalamnya rasa cintanya terhadap kawannya yang ia kasihi itu. Oleh sebab itu, kata yang digunakan di atas diartikan sebagai “kekasih” bukan “tetangga”. Karena, tetangga belum tentu dikasihi, sementra kekasih bersifat umum, bisa mengasihi kepada kekasihnya, bisa kepada tetangganya, ataupun kepada teman karibnya. Dalam sya’ir ini di khususkan kepada kedua teman karibnya.


            Kalimat “kau campurkan air matamu dengan darah” menujukkan bahwa pengarang selalu menangis dan meratap menjadikan kedua matanya bercucuran air mata bercampur darah tanpa heti. Bahkan dalam kedua bait di atas, pengarang juga bertanya-tanya, apakah memang tangisnya ini karena terpaan angin yang menghembus kencang dari arah gunung kazimah? Ataukah barangkali tangisnya ini karena cahaya kilat yang sangat menakutkannya, menyambar dari arah Idami? Tentu saja jawaban yang palin tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan  di atas adalah kerinduan yang begitu besar terhadap kedua kawanya yang ia kasihi. Dalam mengekspresikan kerinduan ini, selanjutnya ia mengtakan:
فما لعينيك إن ققلت اكففا همتا * وما لقلبك إن قلت استفق يهم
Mengapa ketika kau katakan kepada kedua matamu
Tahanlah... malah tambah mencurah
Dan ketika kau katakan pada hatimu
Sadarlah... malah bertambah gelisah
أيحسب الصب أن الحب منكتم * ما بين منسجم منه ومضطرم
Apakah orang yang dimabuk cinta mengira
Bahwa cinta cukup terpendam
Di antara air mata yang mencurah
Dan hati yang membara?
لولا الهوى لم ترق دمعا على طلل * ولا أرقت لذكر البان والعلم
Kalau bukan karena cinta
Tak akan kau curahkan air mata di atas puing
Dan tak akan kau berjaga untuk mengenang
Pohon Ban dan gunung Alam.

            Sya’ir di atas ini, pengarang berusah membujuk dirinya agar bisa menghentikan air matanya. Akan tetapi usah tersebut tidak berhasil, air matanya malah bertambah deras mengalir dari kedua kelopak matanya. Di sampin itu ia berusaha untuk mengentikan kegelisahan yang ada dalam hatinya  agar tidak terus-menerus memikirkan dan mengenang teman karibnya. Namun lagi-lagi usaha itu tidak berhasil, bukan berhenti malah semakin menjadi-jadi. Sama seperti bait sebelumnya, pengarang juga bertanya-tanya “apakah orang yang sedang dimabuk cinta mengira kalau cinta dapat dibiarkan terpendam di dalam hati? Padahal air matanya semakin mengalir deras dan panas hatinya semakin membara? Lanjutnya ia mengtakan bahwa “kalau bukan karena cinta, pasti ia tidak akan mencurahkan air mata yang membasahi puing-puing rumah yang pernah dihuni oleh sahabat yang ia kasihi. Begitu juga kalau bukan karna cinta dirinya tidak akan mengnenag pohon “Ban” dan gunung “Alam” tempat ia bersukaria bersama para sahabatnya itu”.

            Dari lima bait di atas, kiranya dapat difahami maksud dan tujuan pengarang mengawali sya’irnya dengan ungkapan rasa kenostalgiannya kepada kedua teman karibnya. Dan kedua teman karibnya ini masih belum penulis temukan siapa gerangan yang ada dalam syi’ir tersebut. Namun dengan tidak melupakan eksistensi maksud tujuan penulis, cinta dalam pandangan kasidah burdah ini sebetulnya sangat mendasar. Hal ini tertuang dalam sya’ir sesudahnya. Akan tetapi, ada nilai yang bisa dipetik dalam bait sya’ir ke-4 dan ke-5. Dalam bait tersebut menurut penulis, pengarang secara tidak langsung menggambarkan sebuah cinta. Dalam pandangan penulis, cinta itu kerap diedentikan dengan keluaranya air mata. Karena cinta yang dalam adalah air mata yang mengalir deras akan kehilangan yang berdampak kerinduan yang memuncak. Hal ini penulis katakan atas dasar analisis penulis ketika membaca karyanya, Prof. Dr. Fathurrahman Rauf., M.A. yang berjudul “Syair-syair cinta Rasul”.


            Akan segera hadir kelanjutannya, tentang hakikat cinta dalam bait selanjutnya. 

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...