Sunday 19 March 2017

Love According To Burdah Qasidah

Cinta Dalam Prespektif Kasidah Burdah


Kalau sudah dilanda rindu, obat yang paling mujarab adalah bertemu dengan kekasih. Namun sebelum merasakan kerinduan ada beberapa tahapan yang harus dilewati oleh sepasang kekasih. Dari salah satu tahapan yang harus dilewati oleh sepasang kekasih adalah rasa cinta. Karena bagaiamanapun rasa cinta ini adalah rasa yang lebih utama hadir dari pada rasa rindu. Kendati rasa rindu merupakan puncak dari segala rasa dalam menjalin sebuah hubungan antar siapapun itu, baik itu kepada Allah maupun kepada sesama. Maka sudah sepantasnya seseorang mengatakan rasa cinta lebih awal ketimbang mengungkapkan rasa rindu. Oleh sebab itu, penulis mengajak pembaca untuk melebur kesekian kalinya akan sebuah keterangan cinta yang memang di artikel sebelumnya penulis sempat menyinggung sebagian besar akan keterangan tentang cinta dan kecemburuan. Namun, untuk kali ini penulis hanya ingin mengkonsentrasikan sebuah keterangan cinta yang tertuang dalam kasidah burdah.

Dari sekian banyak karya yang dikarang oleh Imam el-Busairy, hanya ada satu karya yang sangat populer di Indonesia. Salah satunya adalah kasidah burdah. Kasidah ini memiliki 160 bait di dalamnya, yang mana antar bait yang satu berkesinambungan dengan bait yang setelahnya. Begitu juga dengan sebuah latar belakang penulis ketika mengarang sebuah puisi tersebut. Semisal, bait pertama hingga bait ke-12 berisi tentang nostalgianya pengarang, dari bait ke-13 sampai bait ke-28 menganduang sebuah peringatan terhadap larangan bahaya hawa nafsu, dan seterusnya itu memiliki arti kandungan yang berbeda-beda yang tentunya masih ada keterkaitan dengan latar belakang penulis.



Seperti mana yang dijelaskan di atas, bahwa kasidah burdah yang bersangkutan dengan cinta ada di bait ke-1 sampai ke-12. Dari bait pertama samapai bait dua belas ini merupakan gambaran pengrang yang memang pada waktu itu beliau sedang dirundung kerinduan yang teramat dalam kepada tetangganya dan sahabat-sahabatnya. Hal ini bisa dilhat dalam sya’ir-sya’ir berikut ini:

أمن تذكر جيران بذي سلم * مزجت دمعا جرى من مقلة بدم
Apakah karena mengenang kekasih
yang tinggal dilembah Zi-Salam
Kau campurkan air matamu dengan darah
Mengalir dari kelopak matamu?
أم هبت الريح من تلقاء كاظمة * وأومض البرق في الظلماء من إضم
Ataukah karena angin menghembus
dari arah gunung Kazimah?
Ataukah karena kilat menyambar dari Idami
Di kegelapan malam hari?
            Dua bait di atas kiranya sudah jelas kalau pengarang membuat karya tersebut bernada elegan yang mengandung rasa kenostalgianya kepada tetangganya, sahabat-sahabatnya, dan kekasihnya. Hal ini bisa dilihat dari kata-katanya ketika mengatakan kata “جيران” dalam sya’ir di atas. pada mulanya kata tersebut diartikan sebagai “tetangga” namun, seiring berkembangnya sebuah bahasa maka ada salah satu penya’ir arab mengartikan kata tersebut dengan arti “kekasih”. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibrahim al-Bajury, dalam kitabnya, al-Burdah Imam al-Busairy. Dalam pandanganya, diartikan sebagai “kekasih” lebih cocok dari pada makna “tetangga”. Kendati kata yang digunakan menujukkan orang kedua tunggal. Hal ini ia ungkapkan untuk mengekspresikan betapa besar dan dalamnya rasa cintanya terhadap kawannya yang ia kasihi itu. Oleh sebab itu, kata yang digunakan di atas diartikan sebagai “kekasih” bukan “tetangga”. Karena, tetangga belum tentu dikasihi, sementra kekasih bersifat umum, bisa mengasihi kepada kekasihnya, bisa kepada tetangganya, ataupun kepada teman karibnya. Dalam sya’ir ini di khususkan kepada kedua teman karibnya.


            Kalimat “kau campurkan air matamu dengan darah” menujukkan bahwa pengarang selalu menangis dan meratap menjadikan kedua matanya bercucuran air mata bercampur darah tanpa heti. Bahkan dalam kedua bait di atas, pengarang juga bertanya-tanya, apakah memang tangisnya ini karena terpaan angin yang menghembus kencang dari arah gunung kazimah? Ataukah barangkali tangisnya ini karena cahaya kilat yang sangat menakutkannya, menyambar dari arah Idami? Tentu saja jawaban yang palin tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan  di atas adalah kerinduan yang begitu besar terhadap kedua kawanya yang ia kasihi. Dalam mengekspresikan kerinduan ini, selanjutnya ia mengtakan:
فما لعينيك إن ققلت اكففا همتا * وما لقلبك إن قلت استفق يهم
Mengapa ketika kau katakan kepada kedua matamu
Tahanlah... malah tambah mencurah
Dan ketika kau katakan pada hatimu
Sadarlah... malah bertambah gelisah
أيحسب الصب أن الحب منكتم * ما بين منسجم منه ومضطرم
Apakah orang yang dimabuk cinta mengira
Bahwa cinta cukup terpendam
Di antara air mata yang mencurah
Dan hati yang membara?
لولا الهوى لم ترق دمعا على طلل * ولا أرقت لذكر البان والعلم
Kalau bukan karena cinta
Tak akan kau curahkan air mata di atas puing
Dan tak akan kau berjaga untuk mengenang
Pohon Ban dan gunung Alam.

            Sya’ir di atas ini, pengarang berusah membujuk dirinya agar bisa menghentikan air matanya. Akan tetapi usah tersebut tidak berhasil, air matanya malah bertambah deras mengalir dari kedua kelopak matanya. Di sampin itu ia berusaha untuk mengentikan kegelisahan yang ada dalam hatinya  agar tidak terus-menerus memikirkan dan mengenang teman karibnya. Namun lagi-lagi usaha itu tidak berhasil, bukan berhenti malah semakin menjadi-jadi. Sama seperti bait sebelumnya, pengarang juga bertanya-tanya “apakah orang yang sedang dimabuk cinta mengira kalau cinta dapat dibiarkan terpendam di dalam hati? Padahal air matanya semakin mengalir deras dan panas hatinya semakin membara? Lanjutnya ia mengtakan bahwa “kalau bukan karena cinta, pasti ia tidak akan mencurahkan air mata yang membasahi puing-puing rumah yang pernah dihuni oleh sahabat yang ia kasihi. Begitu juga kalau bukan karna cinta dirinya tidak akan mengnenag pohon “Ban” dan gunung “Alam” tempat ia bersukaria bersama para sahabatnya itu”.

            Dari lima bait di atas, kiranya dapat difahami maksud dan tujuan pengarang mengawali sya’irnya dengan ungkapan rasa kenostalgiannya kepada kedua teman karibnya. Dan kedua teman karibnya ini masih belum penulis temukan siapa gerangan yang ada dalam syi’ir tersebut. Namun dengan tidak melupakan eksistensi maksud tujuan penulis, cinta dalam pandangan kasidah burdah ini sebetulnya sangat mendasar. Hal ini tertuang dalam sya’ir sesudahnya. Akan tetapi, ada nilai yang bisa dipetik dalam bait sya’ir ke-4 dan ke-5. Dalam bait tersebut menurut penulis, pengarang secara tidak langsung menggambarkan sebuah cinta. Dalam pandangan penulis, cinta itu kerap diedentikan dengan keluaranya air mata. Karena cinta yang dalam adalah air mata yang mengalir deras akan kehilangan yang berdampak kerinduan yang memuncak. Hal ini penulis katakan atas dasar analisis penulis ketika membaca karyanya, Prof. Dr. Fathurrahman Rauf., M.A. yang berjudul “Syair-syair cinta Rasul”.


            Akan segera hadir kelanjutannya, tentang hakikat cinta dalam bait selanjutnya. 

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...