Cinta Dalam Prespektif Kasidah Burdah
Kalau sudah dilanda rindu, obat yang paling mujarab adalah bertemu
dengan kekasih. Namun sebelum merasakan kerinduan ada beberapa tahapan yang
harus dilewati oleh sepasang kekasih. Dari salah satu tahapan yang harus dilewati
oleh sepasang kekasih adalah rasa cinta. Karena bagaiamanapun rasa cinta ini
adalah rasa yang lebih utama hadir dari pada rasa rindu. Kendati rasa rindu
merupakan puncak dari segala rasa dalam menjalin sebuah hubungan antar siapapun
itu, baik itu kepada Allah maupun kepada sesama. Maka sudah sepantasnya
seseorang mengatakan rasa cinta lebih awal ketimbang mengungkapkan rasa rindu.
Oleh sebab itu, penulis mengajak pembaca untuk melebur kesekian kalinya akan
sebuah keterangan cinta yang memang di artikel sebelumnya penulis sempat
menyinggung sebagian besar akan keterangan tentang cinta dan kecemburuan.
Namun, untuk kali ini penulis hanya ingin mengkonsentrasikan sebuah keterangan
cinta yang tertuang dalam kasidah burdah.
Dari sekian banyak karya yang dikarang oleh Imam el-Busairy, hanya
ada satu karya yang sangat populer di Indonesia. Salah satunya adalah kasidah
burdah. Kasidah ini memiliki 160 bait di dalamnya, yang mana antar bait yang
satu berkesinambungan dengan bait yang setelahnya. Begitu juga dengan sebuah
latar belakang penulis ketika mengarang sebuah puisi tersebut. Semisal, bait
pertama hingga bait ke-12 berisi tentang nostalgianya pengarang, dari bait
ke-13 sampai bait ke-28 menganduang sebuah peringatan terhadap larangan bahaya
hawa nafsu, dan seterusnya itu memiliki arti kandungan yang berbeda-beda yang
tentunya masih ada keterkaitan dengan latar belakang penulis.
Seperti mana yang dijelaskan di atas, bahwa kasidah burdah yang
bersangkutan dengan cinta ada di bait ke-1 sampai ke-12. Dari bait pertama
samapai bait dua belas ini merupakan gambaran pengrang yang memang pada waktu
itu beliau sedang dirundung kerinduan yang teramat dalam kepada tetangganya dan
sahabat-sahabatnya. Hal ini bisa dilhat dalam sya’ir-sya’ir berikut ini:
أمن تذكر جيران بذي سلم * مزجت دمعا جرى من مقلة بدم
Apakah
karena mengenang kekasih
yang tinggal dilembah Zi-Salam
Kau campurkan air matamu dengan darah
Mengalir dari kelopak matamu?
yang tinggal dilembah Zi-Salam
Kau campurkan air matamu dengan darah
Mengalir dari kelopak matamu?
أم هبت الريح من تلقاء كاظمة * وأومض البرق في الظلماء من إضم
Ataukah
karena angin menghembus
dari arah gunung Kazimah?
Ataukah karena kilat menyambar dari Idami
Di kegelapan malam hari?
dari arah gunung Kazimah?
Ataukah karena kilat menyambar dari Idami
Di kegelapan malam hari?
Dua bait di atas kiranya sudah jelas
kalau pengarang membuat karya tersebut bernada elegan yang mengandung rasa
kenostalgianya kepada tetangganya, sahabat-sahabatnya, dan kekasihnya. Hal ini
bisa dilihat dari kata-katanya ketika mengatakan kata “جيران” dalam sya’ir di atas. pada mulanya kata tersebut diartikan
sebagai “tetangga” namun, seiring berkembangnya sebuah bahasa maka ada salah
satu penya’ir arab mengartikan kata tersebut dengan arti “kekasih”. Pendapat
ini dikemukakan oleh Ibrahim al-Bajury, dalam kitabnya, al-Burdah Imam
al-Busairy. Dalam pandanganya, diartikan sebagai “kekasih” lebih cocok dari
pada makna “tetangga”. Kendati kata yang digunakan menujukkan orang kedua
tunggal. Hal ini ia ungkapkan untuk mengekspresikan betapa besar dan dalamnya
rasa cintanya terhadap kawannya yang ia kasihi itu. Oleh sebab itu, kata yang
digunakan di atas diartikan sebagai “kekasih” bukan “tetangga”. Karena, tetangga
belum tentu dikasihi, sementra kekasih bersifat umum, bisa mengasihi kepada
kekasihnya, bisa kepada tetangganya, ataupun kepada teman karibnya. Dalam
sya’ir ini di khususkan kepada kedua teman karibnya.
Kalimat “kau campurkan air matamu
dengan darah” menujukkan bahwa pengarang selalu menangis dan meratap menjadikan
kedua matanya bercucuran air mata bercampur darah tanpa heti. Bahkan dalam
kedua bait di atas, pengarang juga bertanya-tanya, apakah memang tangisnya ini
karena terpaan angin yang menghembus kencang dari arah gunung kazimah? Ataukah
barangkali tangisnya ini karena cahaya kilat yang sangat menakutkannya,
menyambar dari arah Idami? Tentu saja jawaban yang palin tepat terhadap
pertanyaan-pertanyaan di atas adalah
kerinduan yang begitu besar terhadap kedua kawanya yang ia kasihi. Dalam
mengekspresikan kerinduan ini, selanjutnya ia mengtakan:
فما لعينيك إن ققلت اكففا همتا * وما لقلبك إن قلت استفق يهم
Mengapa
ketika kau katakan kepada kedua matamu
Tahanlah... malah tambah mencurah
Dan ketika kau katakan pada hatimu
Sadarlah... malah bertambah gelisah
Tahanlah... malah tambah mencurah
Dan ketika kau katakan pada hatimu
Sadarlah... malah bertambah gelisah
أيحسب الصب أن الحب منكتم * ما بين منسجم منه ومضطرم
Apakah
orang yang dimabuk cinta mengira
Bahwa cinta cukup terpendam
Di antara air mata yang mencurah
Dan hati yang membara?
Bahwa cinta cukup terpendam
Di antara air mata yang mencurah
Dan hati yang membara?
لولا الهوى لم ترق دمعا على طلل * ولا أرقت لذكر البان والعلم
Kalau
bukan karena cinta
Tak akan kau curahkan air mata di atas puing
Dan tak akan kau berjaga untuk mengenang
Pohon Ban dan gunung Alam.
Tak akan kau curahkan air mata di atas puing
Dan tak akan kau berjaga untuk mengenang
Pohon Ban dan gunung Alam.
Sya’ir di atas ini, pengarang
berusah membujuk dirinya agar bisa menghentikan air matanya. Akan tetapi usah
tersebut tidak berhasil, air matanya malah bertambah deras mengalir dari kedua
kelopak matanya. Di sampin itu ia berusaha untuk mengentikan kegelisahan yang
ada dalam hatinya agar tidak
terus-menerus memikirkan dan mengenang teman karibnya. Namun lagi-lagi usaha
itu tidak berhasil, bukan berhenti malah semakin menjadi-jadi. Sama seperti
bait sebelumnya, pengarang juga bertanya-tanya “apakah orang yang sedang
dimabuk cinta mengira kalau cinta dapat dibiarkan terpendam di dalam hati?
Padahal air matanya semakin mengalir deras dan panas hatinya semakin membara?
Lanjutnya ia mengtakan bahwa “kalau bukan karena cinta, pasti ia tidak akan
mencurahkan air mata yang membasahi puing-puing rumah yang pernah dihuni oleh
sahabat yang ia kasihi. Begitu juga kalau bukan karna cinta dirinya tidak akan
mengnenag pohon “Ban” dan gunung “Alam” tempat ia bersukaria bersama para
sahabatnya itu”.
Dari lima bait di atas, kiranya
dapat difahami maksud dan tujuan pengarang mengawali sya’irnya dengan ungkapan
rasa kenostalgiannya kepada kedua teman karibnya. Dan kedua teman karibnya ini
masih belum penulis temukan siapa gerangan yang ada dalam syi’ir tersebut.
Namun dengan tidak melupakan eksistensi maksud tujuan penulis, cinta dalam
pandangan kasidah burdah ini sebetulnya sangat mendasar. Hal ini tertuang dalam
sya’ir sesudahnya. Akan tetapi, ada nilai yang bisa dipetik dalam bait sya’ir
ke-4 dan ke-5. Dalam bait tersebut menurut penulis, pengarang secara tidak
langsung menggambarkan sebuah cinta. Dalam pandangan penulis, cinta itu kerap
diedentikan dengan keluaranya air mata. Karena cinta yang dalam adalah air mata
yang mengalir deras akan kehilangan yang berdampak kerinduan yang memuncak. Hal
ini penulis katakan atas dasar analisis penulis ketika membaca karyanya, Prof.
Dr. Fathurrahman Rauf., M.A. yang berjudul “Syair-syair cinta Rasul”.
Akan segera hadir kelanjutannya,
tentang hakikat cinta dalam bait selanjutnya.
No comments:
Post a Comment