Thursday, 18 May 2017

Analisis Syi’ir Arab Dalam Prespektif Ilmu Arud

Burdah Dan Iramanya


            Bukan hal yang baru, ketika seseorang mengtakan “puisi itu dapat menghipnotis bagi orang yang merasakan apa yang terkandung didalamnya”. Terlebih ketika sebuah puisi dilantukan dengan irama yang indah dan intonasi yang sangat dapat menguak hati seseorang dalam mengekspresikan apa yang ada dalam puisi tersebut. Puisi bukan hanya sebagai bagian dari pada sastra, dia termasuk kepada budaya. Dibilang budaya, disebabkan puisi dapat mempengaruhi gerak-gerik manusia. Belum lagi ketika puisi itu dilantunkan dengan rutin sebagai wujud ritual dalam suatu kelompok tertentu. Hal inilah yang dimaksud dengan puisi bagian dari budaya. Dimana puisi tersebut dilantukan sebagai identitas masyarakat. Tetunya korelasi antara bahasa dan budaya memiliki disiplin ilmu tersendiri yang sering disebut dengan istilah sosiolingusitik dalam linguistiknya.
            Begitu juga dengan puisi arab, puisi yang dikenal dengan istilah “syi’ir” dalam bahasa Arabnya itu sebenarnya memiliki berbagai macam corak irama ketika ingin dilantukan atau dibacakan. Dalam hal ini, literatur arab sudah menyediakan ilmu khusus dalam mengkajinya yang mana tatacara membaca pusis arab atau syi’ir arab dikenal dengan istilah ilmu arud. Ilmu arud ini merupakan satu-satunya ilmu yang harus dilewati oleh kaum pelajar bahasa dan sastra arab dalam memahami tatacara bacaan yang sesuai dengan kaidah dalam membaca puisi.
            Menurut etimolgi, kata arud diartikan sebagai “awan yang tipis” atau “bambu yang melintang ditengah rumah” dan masih banyak lagi arti yang lain dari pengertian arud itu sendiri. Sedangkan menurut terminologi, kata arud diartikan sebagai. Ilmu 'Arudh adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui benar atau tidaknya sebuah wazan syi'ir, dan juga perubahan wazan syi'ir dari beberapa zihaf atau illat. Di mana ketika sebuha puisi tersebut ingin diketahui menggunakan bahar apa, maka inilah ilmu yang sangat membantu untuk mengetahui irama-irama yang harus diterapkan dalam suatu puisi yang dikarang oleh sastrawan. Sedangkan Penggagas Ilmu 'Arudh menurut qoul masyhur yang pertama kali adalah Imam Kholil bin Ahmad al Farohidi Al bashri syekh Sibawaih. Ia dilahirkan di bashrah pada tahun 100 H dan meninggal pada tahun 170 H. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama.
            Perlu kiranya sebelum mengajak pembaca kepada penganalisisan suatu puisi arab tinjauan sisi irama yang dikenal dengan istilah “bahar” untuk memahami terlebih dahulu ada berapa iram-iram dalam ilmu arud itu? Dan irama apa saja yang sering dipakai oleh para penyair? Juga untuk apa diadakanya sebuah irama dalam melantutkan puisi arab? Bukankah dalam puisi-puisi lain tidak menggunakan wazan dan bahar? Na, disinilah penulis ingin sekali menuangkan air kepada gelas pembaca. Baik itu gelasnya masih kosong maupun tak isi sama sekali. Sekalipun terisi, penulis akan berusaha untuk memberikannya juga. Bukan dengan niat untuk menuangkan air. Akan tetapi, lebih tepatnya hanya ingin memberi warna ke dalam gelas pembaca yang telah terisi oleh air tersebut.
            Adapaun kode-kode yang perli dioerhatikan oleh para penggiat kajian ilmu arud adalah istilah-istilah berikut:
Wazan, yang dimaksud disini adalah kumpulan dari untaian nada yang harmonis bagi kalimat -kalimat yang tersusun dari satuan-satuan bunyi tertentu yang meliputi harakah (huruf hidup)  dan sakanah (huruf mati) yang melahirkan taf'ilah-taf'ilah dan bahar syi'ir.

Zihaf, adalah perubahan yang ditentukan oleh huruf yang keduanya sabab (sabab khofif / tsaqil) secara muthlaq. Sedangkan zihaf tidak bisa msuk kepada huruf awal dan huruf ke tiga juga huruf ke enam dari juz tafa'il.

'Illah, pengertian 'illah dalam ilmu 'Arudh adalah perubahan yang terjadi pada sabab dan watad dari taf'ilah 'arudh dan taf'ilah dharab. 'illah sifatnya lazim, artinya apabila terjadi pada 'arudh dan dharab atau pada salah satunya maka semua bait harus mengikutinya. 

Syi'ir, adalah ucapan yang berwazan dan berqafiyah yang mengandung makna. Yang berarti sebuah syi'ir harus mengandung 4 unsur, yaitu: Lafadz, Wazan, Makna, dan qafiyah. 

Qafiyah, adalah sebuah ilmu yang membahas ujung kata di dalam bait syiir yang terdiri dari huruf akhir yang mati di ujung bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati.

Bait, menurut istilah dalam ilmu 'arudh Bait adalah suatu ungkapan sastra yang kata-katanya tersusun rapi untuk mengikuti not-not yang tersedia dalam taf'ilah-taf'ilah dan diakhiri dengan qafiyah.

Bahar, adalah wazan (timbangan) tertentu yang dijadikan pola dalam menggubah syi'ir arab.
Menurut Imam Kholil, jumlah bahar ada 15, sedangkan menurut imam Akhfasy jumlah bahar ada 16, dengan menambahkan satu bahar lagi, yakni bahar mutadarik. 

Sementara bahar atau iramanya memiliki 16 wazan yang awalnya 15 belas lalu diimbuhi oleh Imam Ibn Harra selaku murid langsung dari Imam Kholil selaku pelopor utama ilmu arud ini. Yang di tambahkan oleh Imam Ibn Harra adalah Bahar Mutadorrik. Demikianlah rangkumanya:

1. Bahar Thowil
Juz Tafa'ilnya adalah:  فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن  # فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن 
2. Bahar Madid
Juz tafa'ilnya adalah: فاعلاتن فاعلنفاعلاتن فاعلن # فاعلاتن فاعلنفاعلاتن فاعلن
3. Bahar Basit
Juz tafa'ilnya adalah: مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن # مستفعلن فاعلنمستفعلن فاعلن
4. Bahar Wafir
Juz tafa'ilnya adalah: مفاعلتن مفاعلتن مفاعلتن # مفاعلتن مفاعلتن مفاعلتن
5. Bahar Kamil
Juz tafa'ilnya adalah: متفاعلن متفاعلن متفاعلن # متفاعلن متفاعلن متفاعلن
6. Bahar Hazj
Juz tafa'ilnya adalah: مفاعيلن مفاعيلن مفاعيل  # مفاعيلن مفاعيلن مفاعيلن
7. Bahar Rajaz
Juz tafa'ilnya adalah: مستفعلن مستفعلن مستفعلن # مستفعلن مستفعلن مستفعلن
8. Bahar Raml
Juz tafa'ilnya adalah: فاعلاتن فاعلاتن فاعلاتن # فاعلاتن فاعلاتن فاعلاتن
9. Bahar Sari'
Juz tafa'ilnya adalah: مستفعلن مستفعلن مفعولات # مستفعلن مستفعلن مفعولات
10. Bahar Munsarah
Juz tafa'ilnya adalah: مستفعلن مفعولات مستفعلن # مستفعلن مفعولات مستفعلن 
11. Bahar Khofif
Juz tafa'ilnya adalah:فاعلاتن مستفع لن فاعلاتن # فاعلاتن مستفع لن فاعلاتن
12. Bahar Mudhori'
Juz tafa'ilnya adalah:مفاعيلن فاع لاتن مفاعيلن # مفاعيلن فاع لاتن مفاعيلن
13. Bahar Muqtadhob
Juz tafa'ilnya adalah: مفعولات مستفعلن مستفعلن # مفعولات مستفعلن مستفعلن
14. Bahar Mujtats
Juz tafa'ilnya adalah: مستفع لن فاعلاتن فاعلاتن # مستفع لن فاعلاتن فاعلاتن
15. Bahar Mutaqarib
Juz tafa'ilnya adalah: فعولن فعولن فعولن فعولن # فعولن فعولن فعولن فعولن
16. Bahar Mutadharik
Juz tafa'ilnya adalah: فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن # فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن

            Dalam kali ini, penulis ingin mencoba untuk mengnalisi sebuah syiir burdah tinjauan sisi iramanya. Demikian beberapa poin penting yang akan dibahas:


·         Dalam burdah, menggunakan bahar apakah?
·         Aspek irama yang manakah, yang paling dominan dipakai oleh pengrang?
·         Apakah ada zihaf dan illat dalam bait syair burdah tersebut?


Sunday, 7 May 2017

Ilmu Adalah Penyakit

Ilmu Adalah Penyakit


Memungkinkan untuk kita berbicara kalau ilmu adalah penyakit. Menagapa tidak? Mengaca kepada tragedi disetiap pesantren se-nusantara, acap kali terdengar di telinga kita kalau para santri menceltuskan penyakit yang ia derita tersebut dengan tanda masuknya ilmu. Anehnya, kata-kata  ini dijadikan sebagai keyakinan tetap untuk menjastifikasi dirinya kalau ilmu yang ia pelajari selama dirinya di pondok akan masuk ke dalam otaknya. Kendati adanya berbagai macam penyakit yang menimpanya. Semisal, penyakit gatal-gatal di area sebagian tubuh tertentu.
Pemahaman yang menajdi warisan turun-menurun ini, sebenarnya tidak pantas untuk dijadikan sebagian dari pada tradisi. Bahkan jauh untuk dikatakannya sebagai budaya santri yang biasanya dirasakan oleh para kaum santri yang masih baru menginjakkan kakinya ke tanah suci tersbut ditimpa oleh penyakit-penyakit yang biasanya dikenal dengan istilah “Bure” untuk santri jawa timur sekitar Madura dan dengan istilah “gatal-gatal” untuk santri jawa barat sekitar Jakarta lebih tepatnya se-Jabodetabek.
Istilah “gatal-gatal bagi kaum santri, adalah tanda masuknya ilmu” ini sebenarnya tidak releven jika mengaca kepada berbagai literasi hukum islam yang memang sudah ada tentang tanda-tanda masuknya ilmu ke dalam diri yang menuntut ilmu tersebut. Padahal, kalau istilah di atas dijadikan patokan bagi kaum santri untuk mendapatkan ilmu, tentunya para santri akan berlomba-lomba dalam mendapatkan penyakit tersebut. Buktinya dilapangan, adakah para santri ingin merasakan penyakit gatal-gatal? Bukankah dikenai sehari saja sudah berkeluh-kesah kepada teman bahkan menelpon kedua orangtuanya untuk mengirimkan obat penawar dari pada penyakit tersebut. Lebih parahnya, ada sebagian santri keluar atau berhenti dari pondok disebabkan penyakit gatal-gatal ini. Kalau memang demikian, apakah tanda masuknya ilmu membuat orang yang menuntutnya menjadi resah? Bukankah ilmu itu adalah cahaya?
Ilmu adalah cahaya, bukan penyakit. Makna penyakit disini bukan hanya memiliki makna luar saja, maksudanya adalah penyakit luar dan dalam (internal dan eskternal). Jadi, dari sini kita dapat simpulkan, bahwa pemahaman kaum santri akan penyakit yang ia rasakan semasa dirinya di pondok adalah pemahaman yang kurang tepat. Kendati, banyaknya literasi yang mendukung untuk membatalkan pemahaman tersbut untuk diturunkan kepada regenerasi kaum santri.  Semisal, kalau dilihat dari segi syarat-syarat seseorang ingin mendapatkan ilmu itu ada enam macam, diantaranya adalah;
1.      Kecerdasan. Seorang yang ingin menuntut ilmu di tuntut untuk memiliki kecerdasan yang mempuni untuk menampung berbagai macam materi agar tidak lola atau lemmot.
2.      Tamak. Seseorang yang mencari ilmu harus memiliki rasa tamak (selalu kurang) akan apa yang ia cari. Jika sudah memiliki satu disiplin ilmu, dirinya selalu saja merasa kurang, ingin tahu ilmu lainya. Rasa ini dapat juga dikatakan tekad yang kuat untuk mencapai apa yang ia cita-citakan.
3.      Penuh perjuangan dan sabar. Seorang yang ingin menuntut ilmu di tuntut untuk berjuang yang sabar akan apa yang ia harapkan.
4.      Bekal (biaya). Seorang yang ingin menuntut ilmu di tuntut untuk memiliki bekal dalam mencarinya.
5.      Patuh petunjuk guru. Seorang yang ingin menuntut ilmu di tuntut untuk sopan kepada guru bahkan lebih baiknya untuk sam’an wa’ta’atan kepada guru.
6.      Waktu yang lama. Seorang yang ingin menuntut ilmu tidak segampang memutar balikan tanganya. Ada beberapa tahap yang harus ia lewati. Diantaranya adalah: harus melewati lima syarat di atas.
Tampak jelas syarat-syarat di atas untuk membuktikan bahwa seseorang akan mendapatkan ilmu ketika dirinya memiliki ke-enam syarat di atas. Untuk tanda-tanda masuknya ilmu setelah memilikinya tidak akan lepas dengan satu symbol dari pada ilmu itu sendiri. Yaitu, cahaya. Bukan penyakit gatal-gatal ataupun sebagainya. Kalaupun itu dikatakan sebagai cobaan bagi santri yang mendalamkan suatu ilmu. Tentunya tidak sejalan dengan apa yang Nabi kata dalam salah satu hadistnya. Yang artinya adalah “Dan barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu. Maka, Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surganya. {HR.Muslim}.


Thursday, 4 May 2017

Komersialisasi Budaya Di Jakarta

Komersialisasi Budaya


Suatu negara bisa terkenal luas oleh negara lain disebabkan beberapa faktor. Diantaranya adalah faktor ekonomi dan faktor budaya. Dari dua faktor ini, suatu negara dapat menjulang ke atas namanya disebabkan majunya ekonomi dan berkembangnya budaya. Namun, suatu negara juga dapat dikatakan rendah disebabkan oleh dua faktor di atas.
Sebut saja Indonesia, negara yang penuh berbagai macam budaya di dalamnya tidak menutup kemungkinan untuk dikatakan sebagai negara yang maju dan terkenal jika di lihat dari faktor kebudayaannya. Namun, tidak menutup mata pula Indonesia dapat juga dikatakan sebagai negara yang makmur karena adanya berbagai macam rempah-rempah dan dikatakan negara yang merosot jika dilihat dari sisi ekonominya. Hal ini yang sangat memiriskan sekali. Padahal, jika boleh jujur seperti mana yang disebutkan di atas, kalau negara ini merupakan negara yang kaya akan rempah-rempah namun kenapa masih belum bisa dikatakan negara yang setabil jika dilihat dari sisi ekonominya? Semisal, pengangguran dari tahun ke tahun bukan menambah kurang malah menambah pesat. Banyak ladang-ladang yang ditinggalkan demi kepentingan berlangsungnya hidup di Jakarta (imigran). Banyaknya imigran ini, merupakan salah satu faktor merosotnya ekonomi, sehingga ladang-ladang yang seharusnya di kelolah oleh pribumi asli dioperalih kepada orang asing.
Akibat banyaknya pengangguran inilah seseorang dapat melakukan hal yang sebenarnya tidak harus dilakukan atau sebaliknya. Seperti kasus komersialisasi budaya, yang dulunya pengamen hanya cukup membawa gitar dan seribu butir beras yang diisikan kedalam wadah untuk dikecrek. Kini, bukannya meningkat malah lebih kejam. Anak-anak jalan yang ingin mendapat uang bukan lagi dengan dua alat di atas. Melainkan, dengan memperjualbelikan budayanya. Semisal, ondel-ondel yang seharusnya sebagai ciri khas kaum betawai yang ada di Jakarta (budaya Jakarta) kini terkikis habis dengan kepentingan pribadi.
Sebenarnya, pertannyaan yang sangat mendasar itu adalah “Apakah budaya sebagai kepentingan  pribadi atau untuk semua masyarakat luas yang memiliki budaya tersebut?” buknakah terciptanya budaya sebagai cerminan atau identitas asli bagi kaum yang memiliki budaya tersebut? Jika memang, budaya sebagai kepentingan pribadi terus apakah budaya itu lahir dari diri perorangan? “Tidak”. Lahirnya budaya tergantung pada lingkungan maysrakat budaya. Jika memang demikian, ondel-ondel yang disebut budaya itu bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan bersama. Bukan pula kepentingan sebuah golongan namun, untuk seluruhnya. Nah, dari sini dapat dikatakan kalau budaya adalah sebuah system yang lahir dari gesekan komunikasi dan intraksi yang dapat melahirkan sebuah kejadian, rasa melestarikan, dan memelihara. Devinisi ini penulis kutip dari salah satu pakar psikologi.
Namun sayangnya, ondel-ondel yang dijadikan alat untuk mendapatkan uang itu sebenarnya sudah menyalahgunkan nilai. Seperti mana yang telah orang banyak ketahui, harga sebuah nilai tidak ada harganya. Sama halnya sebuah harga diri. Lalu, di mana letak nilai budaya kaum betawi jika budayanya sudah dijualbeilikan? Dirampaskah atau memang sudah hilang ditelan zaman? Sehingga budaya tersebut segitu murahnya untuk dipertontonkan di depan halayak bukan untuk menunjukkan kebudayaanya. Akan tetapi, sebagai alat untuk menghasilkan uang. Jika sudah demikian, siapa yang salah? Pemerintahkah atau oknum-oknum yang tidak tahu betapa pentingnya sebuah nilai yang ada dalam suatu budaya?

Usulan saya, Jakarta sebagi ibu kota ini merupakan pusat sentral yang banyak disorot oleh berbagai macam kota lainnya. Oleh sebab itu, alangkah baiknya untuk menyediakan lapangan kerja dan memfasilitasi jenjang kependidikan untuk menjadikan manusia layaknya manusia yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Yaitu, lebih baik tangan di atas ketimbang tangan di bawah. Karena, dengan menerapkan konsep yang di ajarkan oleh nabi inilah. Suatu negara atau lebih mengerucutnya tingkat ibu kota dapat dikatakan sebagai ibu kota yang maju dan beradab. Sehingga, tidak ada lagi orang-orang yang mengkomersialisasikan budaya.

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...