Komersialisasi Budaya
Suatu negara bisa terkenal luas oleh negara lain disebabkan
beberapa faktor. Diantaranya adalah faktor ekonomi dan faktor budaya. Dari dua
faktor ini, suatu negara dapat menjulang ke atas namanya disebabkan majunya
ekonomi dan berkembangnya budaya. Namun, suatu negara juga dapat dikatakan
rendah disebabkan oleh dua faktor di atas.
Sebut saja Indonesia, negara yang penuh berbagai macam budaya di
dalamnya tidak menutup kemungkinan untuk dikatakan sebagai negara yang maju dan
terkenal jika di lihat dari faktor kebudayaannya. Namun, tidak menutup mata
pula Indonesia dapat juga dikatakan sebagai negara yang makmur karena adanya
berbagai macam rempah-rempah dan dikatakan negara yang merosot jika dilihat
dari sisi ekonominya. Hal ini yang sangat memiriskan sekali. Padahal, jika
boleh jujur seperti mana yang disebutkan di atas, kalau negara ini merupakan
negara yang kaya akan rempah-rempah namun kenapa masih belum bisa dikatakan
negara yang setabil jika dilihat dari sisi ekonominya? Semisal, pengangguran
dari tahun ke tahun bukan menambah kurang malah menambah pesat. Banyak ladang-ladang
yang ditinggalkan demi kepentingan berlangsungnya hidup di Jakarta (imigran). Banyaknya
imigran ini, merupakan salah satu faktor merosotnya ekonomi, sehingga ladang-ladang
yang seharusnya di kelolah oleh pribumi asli dioperalih kepada orang asing.
Akibat banyaknya pengangguran inilah seseorang dapat melakukan hal
yang sebenarnya tidak harus dilakukan atau sebaliknya. Seperti kasus
komersialisasi budaya, yang dulunya pengamen hanya cukup membawa gitar dan
seribu butir beras yang diisikan kedalam wadah untuk dikecrek. Kini, bukannya
meningkat malah lebih kejam. Anak-anak jalan yang ingin mendapat uang bukan
lagi dengan dua alat di atas. Melainkan, dengan memperjualbelikan budayanya. Semisal,
ondel-ondel yang seharusnya sebagai ciri khas kaum betawai yang ada di Jakarta
(budaya Jakarta) kini terkikis habis dengan kepentingan pribadi.
Sebenarnya, pertannyaan yang sangat mendasar itu adalah “Apakah
budaya sebagai kepentingan pribadi atau
untuk semua masyarakat luas yang memiliki budaya tersebut?” buknakah
terciptanya budaya sebagai cerminan atau identitas asli bagi kaum yang memiliki
budaya tersebut? Jika memang, budaya sebagai kepentingan pribadi terus apakah
budaya itu lahir dari diri perorangan? “Tidak”. Lahirnya budaya tergantung pada
lingkungan maysrakat budaya. Jika memang demikian, ondel-ondel yang disebut budaya
itu bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan bersama. Bukan pula
kepentingan sebuah golongan namun, untuk seluruhnya. Nah, dari sini dapat
dikatakan kalau budaya adalah sebuah system yang lahir dari gesekan komunikasi dan
intraksi yang dapat melahirkan sebuah kejadian, rasa melestarikan, dan
memelihara. Devinisi ini penulis kutip dari salah satu pakar psikologi.
Namun sayangnya, ondel-ondel yang dijadikan alat untuk mendapatkan
uang itu sebenarnya sudah menyalahgunkan nilai. Seperti mana yang telah orang
banyak ketahui, harga sebuah nilai tidak ada harganya. Sama halnya sebuah harga
diri. Lalu, di mana letak nilai budaya kaum betawi jika budayanya sudah
dijualbeilikan? Dirampaskah atau memang sudah hilang ditelan zaman? Sehingga budaya
tersebut segitu murahnya untuk dipertontonkan di depan halayak bukan untuk
menunjukkan kebudayaanya. Akan tetapi, sebagai alat untuk menghasilkan uang. Jika
sudah demikian, siapa yang salah? Pemerintahkah atau oknum-oknum yang tidak
tahu betapa pentingnya sebuah nilai yang ada dalam suatu budaya?
Usulan saya, Jakarta sebagi ibu kota ini merupakan pusat sentral
yang banyak disorot oleh berbagai macam kota lainnya. Oleh sebab itu, alangkah
baiknya untuk menyediakan lapangan kerja dan memfasilitasi jenjang kependidikan
untuk menjadikan manusia layaknya manusia yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad
saw. Yaitu, lebih baik tangan di atas ketimbang tangan di bawah. Karena, dengan
menerapkan konsep yang di ajarkan oleh nabi inilah. Suatu negara atau lebih
mengerucutnya tingkat ibu kota dapat dikatakan sebagai ibu kota yang maju dan
beradab. Sehingga, tidak ada lagi orang-orang yang mengkomersialisasikan
budaya.
No comments:
Post a Comment