Thursday, 4 May 2017

Komersialisasi Budaya Di Jakarta

Komersialisasi Budaya


Suatu negara bisa terkenal luas oleh negara lain disebabkan beberapa faktor. Diantaranya adalah faktor ekonomi dan faktor budaya. Dari dua faktor ini, suatu negara dapat menjulang ke atas namanya disebabkan majunya ekonomi dan berkembangnya budaya. Namun, suatu negara juga dapat dikatakan rendah disebabkan oleh dua faktor di atas.
Sebut saja Indonesia, negara yang penuh berbagai macam budaya di dalamnya tidak menutup kemungkinan untuk dikatakan sebagai negara yang maju dan terkenal jika di lihat dari faktor kebudayaannya. Namun, tidak menutup mata pula Indonesia dapat juga dikatakan sebagai negara yang makmur karena adanya berbagai macam rempah-rempah dan dikatakan negara yang merosot jika dilihat dari sisi ekonominya. Hal ini yang sangat memiriskan sekali. Padahal, jika boleh jujur seperti mana yang disebutkan di atas, kalau negara ini merupakan negara yang kaya akan rempah-rempah namun kenapa masih belum bisa dikatakan negara yang setabil jika dilihat dari sisi ekonominya? Semisal, pengangguran dari tahun ke tahun bukan menambah kurang malah menambah pesat. Banyak ladang-ladang yang ditinggalkan demi kepentingan berlangsungnya hidup di Jakarta (imigran). Banyaknya imigran ini, merupakan salah satu faktor merosotnya ekonomi, sehingga ladang-ladang yang seharusnya di kelolah oleh pribumi asli dioperalih kepada orang asing.
Akibat banyaknya pengangguran inilah seseorang dapat melakukan hal yang sebenarnya tidak harus dilakukan atau sebaliknya. Seperti kasus komersialisasi budaya, yang dulunya pengamen hanya cukup membawa gitar dan seribu butir beras yang diisikan kedalam wadah untuk dikecrek. Kini, bukannya meningkat malah lebih kejam. Anak-anak jalan yang ingin mendapat uang bukan lagi dengan dua alat di atas. Melainkan, dengan memperjualbelikan budayanya. Semisal, ondel-ondel yang seharusnya sebagai ciri khas kaum betawai yang ada di Jakarta (budaya Jakarta) kini terkikis habis dengan kepentingan pribadi.
Sebenarnya, pertannyaan yang sangat mendasar itu adalah “Apakah budaya sebagai kepentingan  pribadi atau untuk semua masyarakat luas yang memiliki budaya tersebut?” buknakah terciptanya budaya sebagai cerminan atau identitas asli bagi kaum yang memiliki budaya tersebut? Jika memang, budaya sebagai kepentingan pribadi terus apakah budaya itu lahir dari diri perorangan? “Tidak”. Lahirnya budaya tergantung pada lingkungan maysrakat budaya. Jika memang demikian, ondel-ondel yang disebut budaya itu bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan bersama. Bukan pula kepentingan sebuah golongan namun, untuk seluruhnya. Nah, dari sini dapat dikatakan kalau budaya adalah sebuah system yang lahir dari gesekan komunikasi dan intraksi yang dapat melahirkan sebuah kejadian, rasa melestarikan, dan memelihara. Devinisi ini penulis kutip dari salah satu pakar psikologi.
Namun sayangnya, ondel-ondel yang dijadikan alat untuk mendapatkan uang itu sebenarnya sudah menyalahgunkan nilai. Seperti mana yang telah orang banyak ketahui, harga sebuah nilai tidak ada harganya. Sama halnya sebuah harga diri. Lalu, di mana letak nilai budaya kaum betawi jika budayanya sudah dijualbeilikan? Dirampaskah atau memang sudah hilang ditelan zaman? Sehingga budaya tersebut segitu murahnya untuk dipertontonkan di depan halayak bukan untuk menunjukkan kebudayaanya. Akan tetapi, sebagai alat untuk menghasilkan uang. Jika sudah demikian, siapa yang salah? Pemerintahkah atau oknum-oknum yang tidak tahu betapa pentingnya sebuah nilai yang ada dalam suatu budaya?

Usulan saya, Jakarta sebagi ibu kota ini merupakan pusat sentral yang banyak disorot oleh berbagai macam kota lainnya. Oleh sebab itu, alangkah baiknya untuk menyediakan lapangan kerja dan memfasilitasi jenjang kependidikan untuk menjadikan manusia layaknya manusia yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Yaitu, lebih baik tangan di atas ketimbang tangan di bawah. Karena, dengan menerapkan konsep yang di ajarkan oleh nabi inilah. Suatu negara atau lebih mengerucutnya tingkat ibu kota dapat dikatakan sebagai ibu kota yang maju dan beradab. Sehingga, tidak ada lagi orang-orang yang mengkomersialisasikan budaya.

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...