Egois Adalah Sifat Ke-Babian
Berawal
dari sebuah keterangan surat Tuhan yang dibaca oleh “Kara” dalam sebuah novel
filsafat “semesta sabda”. Tokoh yang selalu mendapat kiriman surat yang tak
jelas pengirimnya itu, membaca semua isi surat yang di dalamnya terkandung
sebuah ketarangan akan sifat ke egosian tersebut. Oleh sebab itu, sepertinya
surat Tuhan yang dibaca “Kara” di setiap harinya, membuat diri saya
menyempatkan waktu untuk mengarang sebuah artikel khusus dengan judul di atas.
Dalam pengertian yang lumrah, egois
sering diartikan sebagai “sifat ke-Aku-Aku-an”, sifat tercela, dan sifat-sifat
yang beraura negatif. Namun, pengertian ini tidak bisa diterima mentah-mentah.
Adakalanya egoisme itu memang dibutuhkan pada waktu tertentu. Semisal, ketika memang
kurang sehat dalam ke adaan tertentu, katakanlah ketika adanya acara.
Dibutuhkan sifat ke egoisan ini dalam diri manusia. Kalaupun berisi keras untuk
menghadiri sebuah acara maka konsekuensi logisnya adalah akan memperburuk diri
sendiri. Itulah sebabnya, salah satu pakar psikologi ternama “Bob Rosen”
mengatakan “ketika anda mementingkan diri sendiri, anda akan menjadi orang yang
lebih sehat”. Kendati dalam pandanganya
mengurus kelangsungan hidup itu lebih penting. Namun, hal ini jika dilakukan
memiliki dampak negatif pula, baik itu merasa bersalah karena tidak bisa
menempati janji atas undanganya untuk hadir di acara atau pun merasa menyesal
akan ketidak hadiran dirinya karena sudah menyianyiakan kepercayaan si
pengundang.
Dalam kejadian permisalan di atas,
secuil dari banyak sisi negatif sifat egois ini. Hanya sedikit nilai
manfaatnyaa. Karena, bagaimanapun tidak lagi bisa dipungkiri ketidak serasian
dalam diri manusia sebagai mahluk sosial. Karena, manusia sebagai mahluk sosial
tidak boleh tidak harus mendahulukan orang lain dari pada mementingkan diri
sendiri. Hal ini yang membuat manusia dalam surat Tuhan yang di baca oleh
“Kara” sebagai sifat ke-babian. Manusia yang selalu mementingkan diri sendiri
dan tidak pernah menoleh kepada penderitaan orang lain.
Menagapa demikian? Dalam buku wawasan
al-Qur’an, Pak Qurais Shihab mengutip seorang ulama besar al Harali yang
berpandat bahwa jenis makanan dan minuman dapat mempengaruhi jiwa dan sifat-sifat
mental pemakannya. Al-harali menyimpulkan demikian atas dasar penganalisaanya terhadap kata rijsun yang
disebutkan al-Quran sebagai alasan untuk mengaharamkan makanan tertentu,
seperti keharaman minuman khomar (baca: QS. Al-Maidah: 90), bangkai, darah, dan
daging babi (baca: QS. al-An’am: 154).
Kata rijsun yang ada dalam
al-Qur’an menurut al-Harali mengandung makna “keburukan budi pekerti serta
kebobrokan moral”. Dengan begitu, apabila Tuhan menyebut jenis makanan
tertentun dengan melebelkan “rijsun” makan ini berarti bahwa makanan tersebut
dapat menimbulkan keburukan budi pekerti. Sama halnya dengan apa yang
dikemukakan oleh peraih Nobel di bidang kedokteran “Alexies Carrel” dalam
bukunya the Unknown mengatakan bahwa “sesuatu makanan dapat mempengaruhi
sifat laku manusia”.
Dalam pandangan sementara pakar
psikologi, hewan yang paling egois adalah babi. Mengapa demikian? Karena, kalau
dilihat secara jelas, babi berjalan, tak akan menoleh ke kiri maupun ke kanan,
tak peduli pada penderitaan sesama. Apabila babi bermaksud menoleh kesamping,
seluruh badanya pasti bergerak. Apabila ada manusia yang seperi ini, tanpa
menoleh penderitaan orang lain maka dia sama halnya dengan babi yang “maju
terus pantang malu”.
Begitu juga ketika anak babi (si A)
menetek ke satu tetek induknya, saudaranya (si B) tidak diperkenankan menetek
ke tempat (si A) menetek. Apabila itu terjadi, anak-anak babi tak enggan untuk
membunuh saudara kandungnya. Masih dalam tindak lanjut babi, satu-satunya binatang
yang anti cemburu adalah babi. Apabila satu betina dan satu jantan relah
melakukan hubungan badan, kemudian datang babi jantan lain dan melakukan
hubungan badan dengan si betina tadi, jantan yang pertama tidak akan marah
kepada jantan yang ke dua. Inilah sebabnya, jikala ada manusia yang tak marah
kalau istri atau suaminya berhubungan badan dengan orang lain, dia sama halnya
dengan babi.
Namun, jika direnungkan kembali dari
pada apa yang telah ada dalam gambaran babi di atas dengan menghubungkan aktifitas
manusia, maka ada sisi positifnya. Coba dilhat kembali, ketika manusia
menghamba (sholat), ketika sujud, manusia mirip sekali dengan babi yang
menyentuhkan kepalanya ke tanah, dengan pantat menjulang ke atas. Bacaan ketika sujud, subhana
rabbiya al-a’la. Mahasuci Tuhanku yang Mahatinggi. Pada waktu ini (sujud), seharusnya
manusia bisa menghayati kerendahan sifatnya untuk tundukkan egoisme (secara
totalitas) kepadaNya. Karena, dengan menundukkan keegoisanlah, sifat manusia
yang awalnya selalu merasa tinggi, angkuh, acuh, dan segala sifat yang beraroma
egois ini akan hilang. Jadi, jika dalam sujud seorang hamba yang masih saja
merasa tinggi setelah melakukan sholat. Maka, yang perlu ditanyakan adalah
apakah sujudnya sudah benar atau tidak?
Dari urain di atas dapat disimpulkan
bahwa tiada manusia yang tidak pernah mencicipi egoisme ini. Kalau kembali
kepada sejarah, sifat ini sudah tertanam lama ketika pertikan dua saudara dari
keturunan pertama Nabi Adam (Habil dan Qobil). Yang di abadikan dalam al-Quran.
Sepertinya sifat ini bukan lagi sifat baru, yang ada dalam diri manusia. Bahkan
bisa dikatakan sifat bawaan. Bisa dihilangkan namun, akan datang pada
waktu-waktu tertentu yang membuat manusia menjadi khilaf akan kelakuannya
sendiri. Itulah sebabnya, sifat egois ini bukan hanya dimiliki oleh manusia,
hewan pun demikian.
"Jadialah
manusai layaknya pohon pisang.
Walaupun ditebas bertubi tajamnya pedang
Tidak akan mati dan tidak pernah mati
Sebelum memberikan manfaat kepada manusia
Dengan buahnya, manusia merasakan manfaatnya
Walaupun ditebas bertubi tajamnya pedang
Tidak akan mati dan tidak pernah mati
Sebelum memberikan manfaat kepada manusia
Dengan buahnya, manusia merasakan manfaatnya
Beda halnya,
ketika layaknya babi
Hidup bagaikan mati
Tak memberi manfaat, bahkan adanya mu’dhorot
Pantas saja, babi adalah “rijsun”
Hanya bisa merusak, tidak bisa memperbaiki."
Hidup bagaikan mati
Tak memberi manfaat, bahkan adanya mu’dhorot
Pantas saja, babi adalah “rijsun”
Hanya bisa merusak, tidak bisa memperbaiki."
No comments:
Post a Comment