Karya Tak Pernah Mati
Sekilas melihat pendekatan sebuah retorika kehidupan yang sangat
dinamis, tak jarang dijumpai manusia hidup hanya sekedar hidup, Sementara
matinya hanya terbungkus oleh selapis kain kafan yang hanya menyisahkan
tulang-belulang yang akan segera menjadi hamparan abu berterbangan. Mengutip
kata bijak dari salah satu penulis handal, Buya Hamka, kalau hidup sekedar
hidup. Apa bedanya manusia dengan hewan di luar sana?.
Adanya sebuah mata air yang disimbolkan sebagai sumber
kehidupan akan lekang oleh waktu dan akan
pupus ditelan zaman. Maut adalah waktu terakhir kepensiunan manusia di muka
bumi ini. Dengan ajal, manusia dituntut untuk melaporkan semua prilakunya
selama di dunia ini. Mulai terbukanya mata hingga tertutup sampai di mana mata
itu tak lagi mampu untuk terbuka kembali. Dari sinilah kehidupan manusia masih
dalam tahap pertengahan menuju kehidupan yang abadi dan kekal untuk selamanya.
Pertanyaan yang sangat mendasar ketika kehidupan dijemput oleh
ajal, yaitu apa yang akan kita hadiahkan kepada sosok Tuhan yang sangat misteri
itu? Apa yang akan kita bawa ketika kita sudah tertutup rata oleh tanah? Lalu
apa yang akan kita banggakan kelak di hari pertimbangan kalau hanya bermodal
kain kafan dan baunya tanah liat? Sungguh sedih dan betapa menyesalnya orang-orang
yang hanya membawa hadiah berupa kain kafan yang dipakainya dengan baunya tanah
liat yang membumbui warna kainnya.
Satu jawaban yang sangat akurat untuk menjawab berbagai pertanyaan
di atas. “karya”, iya kata karya-lah yang sangat akurat untuk menjawab semua
pertanyaan di atas. dengan berkarya semua manusia menorehkan tinta kebaikannya
yang dalam bahasa agamanya sering disebut dengan istilah “amal jariyyah” di
mana amal yang tidak akan pernah putus, selalu senantiasa mengalir kepada
muaranya, kepada sang pemilik karya tersebut. Itulah sebabnya, Buya hamka
mengatakan demikian. Karena kalau manusia hanya bisa makan dan tidur, kerja dan
kerja. Maka apa bedanya dengan kera yang ada di hutan? Dari sini dapat dimaknai
kalau manusia ingin bermanfaat kepada orang lain, meskipun tidak menutup
kemungkinan banyak jalan menuju roma namun salah satu jalan dari pada banyak
jalan tersebut adalah berkarya.
Jika dibandingkan, orang yang berkarya dengan orang yang sholat
maka orang yang berkarya itu lebih mulia dari pada orang yang sholat sunnah
seribu raka’at. Mengapa demikian? Karena dalam literatur keislaman, seseorang
diwajibkan untuk mencari ilmu, sementara sholat sunnah hanya sebatas penambal
sholat yang fardu. Dalam hal ini sudah cukup jelas kalau berkarya lebih mulia
dari pada sholat seribu raka’at. Mengutip kata Nidhal Guessoum “tinta cendikiwan lebih mulia
dari pada darah syuhada. Kontemplasi (atau belajar) satu jam mengenai alam
semesta adalah lebih baik dibandingkan ibadah setahun kepada Allah SWT”.
Bahkan jauh lebih dahsyat daya tarik
sebuh karya adalah ketika seseorang mati menyisahkan sebuha karya (buku) yang
bisa di baca oleh orang banyak. Katakanlah imam-imam madzhab dan orang-orang
yang sudah menggoreskan tinta emas ke pada duni ini. Amal kebaikannya akan
senantiasa mengalir meskipun ajal menjemputnya. Ibarat manusia pandai
menyelengi uang, sebagai gambaran untuk di masa kehidupan yang akan mendatang.
Mengutip kata dari Prof. Dr. Ali Mustofa Ya’qub., M.A. “janganlah kalian mati,
sebelum berkarya”. Dan menyisip kata-kata bijak “ kalau huruf mampu merubah
makna, apalagi kalimat yang memapu merubah kehidupan”.
No comments:
Post a Comment