Cinta dan Agama
Berangkat
dari sebuah pernyataan yang ada dalam sebuah novel yang berjudul “patung
cinta”. Saudari Fika bertanya kepada sang bapak, “Apakah ada pacaran islami
dalam agama kita pak ? tanya fika kepada bapaknya. “Kalau fika menanyakan
sebuah istilah “Pacaran islami” tidak ada dalam agama islam. Tapi, perlu
diketahui, bahwa setiap agama memiliki aturan main bagi pemeluknya. Siapapun
berhak untuk bercinta, merindu, dan apa itu semacamanya. Asalkan sesuai dengan
apa yang telah ada dalam al-Qur’an dan hadist”. Jawab bapaknya yang belum masih
memuaskan fika.
Pertanyaan seorang fika bukanlah
pertanyaan yang baru muncul di kalangan kaum akademika kampus ataupun
dikalangan orang biasa sekalipun. Kendati peroblem ini bukan lagi baru, sudah
jelas sebenarnya jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas yang telah dikemukakan
oleh sementara pakar hukum di dunia ini umumnya. Kendati sudah banyak buku-buku
yang dikarang oleh kaum intlektual muslim dalam menyikapi persoalan tersebut.
Sebut saja Buya Hamka dalam bukunya “Kehormatan Wanita”, begitu juga Ibn Hazam
El-andalusy dan masih banyak lagi yang lainya. Namun tidak ada salahnya penulis
mencoba mengurai kembali atas hasil baca penulis.
Perlu di sadari, timbulnya
sebuah pertanyaan di atas, merupakan sebuah bukti bahwa, seringnya terjadi
sebuah adegan-adegan sex yang membuat agama ini ternodai dengan apa yang
dikerjakan oleh pemeluknya. Karena bagimanapun, tidak akan ada sebuah
pertanyaan tanpa adanya sebuah sebab tertentu. Itulah sebabnya, tokoh fika
dalam novel itu menanyakan “pacaran islami” dalam islam adakah? Kendati,
banyaknya orang yang menyalah gunakan sebuah hubungan percintaannya dengan
melampiaskan sebuah nafsu ditempat-tempat terntu bahkan bisa jadi ditempat umum
sekalipun atas naman rindu dan semacamnya.
Maka, jawaban yang tepat dari pada pertanyaan di atas akan sebuah
tindakan pacaran yang menimbulkan sebuah adegan-adegan yang kurang baik ini adalah
agama tidak mengajarkan tingah laku ke
hewanian akan tetapi, semua pemeluknya diajarkan sebuah ajaran yang membuat
dirinya dan orang di sekitarnya merasa nyaman. Inilah fungsi agama di adakan
dengan menggunkan konsep dasar yaitu “Rahmatan Lil Alamin”. Ingin melakukan
hubungan sex, agama sudah mengajarkan sebuah ajaran yang dibungkus dalam
konstitusi beragama yaitu “Nikah”. Mungkin kata yang tepat dari sebuah
pernyataan di atas adalah “Nikahi dirinya, maka akan mendapatkan kehalalan
seluruhnya.” Jangan terbalik, mengahalalkan dirinya, baru menikahinya.
Ada sebuah keterangan bahwa “Agama tidak melarang adanya sebuah
pacaran. Hanya saja, agama yang mengarahkan dan membuat pagar-pagar agar tidak
terjadi sebuah “kecelakaan” di dalamnya.”[1]
Dari pernyataan ini dapat difahami bahwa kata pacaran yang dimaksud dalam
konteks di atas adalah apabila mengikuti arti dasar dari pengertian KBBI.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pacaran diartikan
sebagai “Teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan bathin, biasanya
untuk dijadikan tunangan atau kekasih”. Pacaran bercinta atau berkasih-kasihan.
Kalau memang demikian arti yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia
maka pacaran hanya merupakan sikap bathin, namun sayangnya, sementara orang
khususnya kaum muda-mudi menyalahartikan seikap batin tersebut dengan disusul
oleh tingkah laku, berdua-duaan, saling memegang, dan semacamnya.
Adapun agama bersikap “netral” dalam menyikapi hal tersebut. Hal ini
tertuang dalam firman-Nya (QS. Ali Imron (3); 14).
“Telah
dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diinginkan, yaitu wanita-wanita (dan laki) , anak laki-laki (dan anak-anak
perempuan).”
Karena cinta
adalah “fitrah” maka sudah semestinya, cinta-mecintai, rindu-merindukan, dan
kasih-menyayangi itu diperbolehkan oleh agama. Hanya saja, karena semua
persoalan ini adalah menyangkut persoalan “rasa”. Maka, sudah semestinya
persoalan “rasa” ini tidak ditampakkan kepada oebjeknya. Menagapa demikian?
Karena dikhwatirkan akan adanya “kecelakaan” yang mengakibatkan dampak besar
kepada kedua pecinta tersebut.
Dalam hal ini, kalau pacaran
diartikan sebagai mana pengertian remaja kekinian, secara pasti agama dan
budaya tidak mebenarkanya bahkan jauh lebih dari itu menolaknya. Baik mereka
berjani untuk salin setia maupun tidak. Karena agama menilai cinta adalah
sebuah fitrah, maka tidak akan mungkin ke suciannya hanya dikotori dengan
hal-hal yang tercela.
“Nikahi Dirinya, Maka Akan
Mendapatkan Kehalalan Seluruhnya.” Jangan Terbalik, Mengahalalkan Dirinya, Baru
Menikahinya.”
No comments:
Post a Comment