Saturday, 18 February 2017

Cinta dan Agama

Cinta dan Agama


          Berangkat dari sebuah pernyataan yang ada dalam sebuah novel yang berjudul “patung cinta”. Saudari Fika bertanya kepada sang bapak, “Apakah ada pacaran islami dalam agama kita pak ? tanya fika kepada bapaknya. “Kalau fika menanyakan sebuah istilah “Pacaran islami” tidak ada dalam agama islam. Tapi, perlu diketahui, bahwa setiap agama memiliki aturan main bagi pemeluknya. Siapapun berhak untuk bercinta, merindu, dan apa itu semacamanya. Asalkan sesuai dengan apa yang telah ada dalam al-Qur’an dan hadist”. Jawab bapaknya yang belum masih memuaskan fika.

            Pertanyaan seorang fika bukanlah pertanyaan yang baru muncul di kalangan kaum akademika kampus ataupun dikalangan orang biasa sekalipun. Kendati peroblem ini bukan lagi baru, sudah jelas sebenarnya jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas yang telah dikemukakan oleh sementara pakar hukum di dunia ini umumnya. Kendati sudah banyak buku-buku yang dikarang oleh kaum intlektual muslim dalam menyikapi persoalan tersebut. Sebut saja Buya Hamka dalam bukunya “Kehormatan Wanita”, begitu juga Ibn Hazam El-andalusy dan masih banyak lagi yang lainya. Namun tidak ada salahnya penulis mencoba mengurai kembali atas hasil baca penulis.

 Perlu di sadari, timbulnya sebuah pertanyaan di atas, merupakan sebuah bukti bahwa, seringnya terjadi sebuah adegan-adegan sex yang membuat agama ini ternodai dengan apa yang dikerjakan oleh pemeluknya. Karena bagimanapun, tidak akan ada sebuah pertanyaan tanpa adanya sebuah sebab tertentu. Itulah sebabnya, tokoh fika dalam novel itu menanyakan “pacaran islami” dalam islam adakah? Kendati, banyaknya orang yang menyalah gunakan sebuah hubungan percintaannya dengan melampiaskan sebuah nafsu ditempat-tempat terntu bahkan bisa jadi ditempat umum sekalipun atas naman rindu dan semacamnya.

Maka, jawaban yang tepat dari pada pertanyaan di atas akan sebuah tindakan pacaran yang menimbulkan sebuah adegan-adegan yang kurang baik ini adalah  agama tidak mengajarkan tingah laku ke hewanian akan tetapi, semua pemeluknya diajarkan sebuah ajaran yang membuat dirinya dan orang di sekitarnya merasa nyaman. Inilah fungsi agama di adakan dengan menggunkan konsep dasar yaitu “Rahmatan Lil Alamin”. Ingin melakukan hubungan sex, agama sudah mengajarkan sebuah ajaran yang dibungkus dalam konstitusi beragama yaitu “Nikah”. Mungkin kata yang tepat dari sebuah pernyataan di atas adalah “Nikahi dirinya, maka akan mendapatkan kehalalan seluruhnya.” Jangan terbalik, mengahalalkan dirinya, baru menikahinya.

Ada sebuah keterangan bahwa “Agama tidak melarang adanya sebuah pacaran. Hanya saja, agama yang mengarahkan dan membuat pagar-pagar agar tidak terjadi sebuah “kecelakaan” di dalamnya.”[1] Dari pernyataan ini dapat difahami bahwa kata pacaran yang dimaksud dalam konteks di atas adalah apabila mengikuti arti dasar dari pengertian KBBI.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pacaran diartikan sebagai “Teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan bathin, biasanya untuk dijadikan tunangan atau kekasih”. Pacaran bercinta atau berkasih-kasihan. Kalau memang demikian arti yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia maka pacaran hanya merupakan sikap bathin, namun sayangnya, sementara orang khususnya kaum muda-mudi menyalahartikan seikap batin tersebut dengan disusul oleh tingkah laku, berdua-duaan, saling memegang, dan semacamnya.

Adapun agama bersikap  “netral” dalam menyikapi hal tersebut. Hal ini tertuang dalam firman-Nya (QS. Ali Imron (3); 14).
“Telah dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita-wanita (dan laki) , anak laki-laki (dan anak-anak perempuan).”

            Karena cinta adalah “fitrah” maka sudah semestinya, cinta-mecintai, rindu-merindukan, dan kasih-menyayangi itu diperbolehkan oleh agama. Hanya saja, karena semua persoalan ini adalah menyangkut persoalan “rasa”. Maka, sudah semestinya persoalan “rasa” ini tidak ditampakkan kepada oebjeknya. Menagapa demikian? Karena dikhwatirkan akan adanya “kecelakaan” yang mengakibatkan dampak besar kepada kedua pecinta tersebut.

            Dalam hal ini, kalau pacaran diartikan sebagai mana pengertian remaja kekinian, secara pasti agama dan budaya tidak mebenarkanya bahkan jauh lebih dari itu menolaknya. Baik mereka berjani untuk salin setia maupun tidak. Karena agama menilai cinta adalah sebuah fitrah, maka tidak akan mungkin ke suciannya hanya dikotori dengan hal-hal yang tercela.

“Nikahi Dirinya, Maka Akan Mendapatkan Kehalalan Seluruhnya.” Jangan Terbalik, Mengahalalkan Dirinya, Baru Menikahinya.”



[1] Prof. Dr. Quraish Shihab., M.A. “1001 Soal Keislaman” Bandung, Mizan, hlm, 612

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...