Untuk Apa Beribadah?
Mulai dari ajaran islam
disempurnakan dan dihimpun dalam suatu wadah oleh Allah yang dinamakan sebagai “agama”. Tepatnya
pada hari jumat, 9 Dzul Hijjah tahun ke tujuh, bertepatan turunnya surat
al-Maidah, ayat ke-3. Yang memberikan isryarat dengan menggunakan kata akmaltu
untuk agama, dan atmamtu untuk nikmat. Merupakan indikator khusus, bahwa “petunjuk-petunjuk
agama yang beraneka ragam itu kesemuanya, dan masing-masingnya, telah sempurna.
Mulai dari persolan ibadah, muamalat, munjiyat, dan munakahat, terhimpun
menjadi satu dalam wadah yang dinamakan “din” oleh Allah.”
Agama sudah mefasilitasi secara
totalitas kepada seluruh pemeluknya, terutama dalam hal “ibadah”. Namun masih
saja sering dijumpai, persoalan-persoalan yang “nyelenih” dalam urusan ibadah
terutama. Sehingga, masih butuh kajian yang mendalam. Semisal, pertanyaan
sementara orang tentang “Untuk Apa Beribadah?” yang memang masih ingin
mengetahui hakikat ibadah secara mendalam dan luas. Disinilah penulis berusaha
menjelaskan secara detail, dengan mengartikan hakikat ibadah, lalu mengatarkan
pembaca agar memahami arti ibadah melalui makana leksikalnya, dan dari pemahaman
ulama kontemporer.
Ibadah adalah suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang
mencapai puncaknya sebagai dampak dari rasa pengagungan yang bersemi dalam
lubuk hati seseorang terhadap yang kepadanya ia tunduk. Rasa itu lahir akibat
adanya keyakinan dalam diri yang beribadah bahwa objek yang kepadanya ditujukan
ibadah itu memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya. Demikian
kurang lebih Muhammad Abduh menjelaskan arti ibadah ketika menafsirkan surah
al-fatihah. Dalam pengetian lain, Mahmud Syaltut, ibadah diartikan sebagai
ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah, ibadah diartikan sebagai, sebutan yang mencangkup
segala sesuatu yang disukai dan diridhai oleh Allah.
Dari berbagai macam pengertian
mengenai ibadah, bisa difahami bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah kepasrahan total kepada Allah, dalam melakukan
sesuatu yang masih dibawah naungan agama (kebaikan).
Sedangkan, jika bebricara hakikat ibadah. Hakikat ibadah tidak akan
terwujud bila mana belum memenuhi tiga hal: Pertama, tidak menganggap apa yang
ada digenggaman tangannya (kewenangannya) sebagai milik pribadinya, karena
seorang “abd” tidak memiliki sesuatu apapun, apa yang dimilikinya adalah milik
siapa yang kepadaNya ia mengabdi. Kedua, menjadikan segala aktifitasnya
berkisar kepada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadaNya dia beribadah
atau mengabdi serta menjauhi larangannya. Ketiga, tidak mendahuliNya dalam
mengambil keputusan, serta mengaitkan segala apa yang hendak dilakukanya dengan
izin serta restu siapa yang kepadaNya dia mengabdi atau beribadah.
Ketiga unsur diatas, merupakan
hakikat ibadah dalam pandangan Ja’far ash-Shadiq yang dikutip oleh Syaikh
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Raka’izm al-Iman baina al-Aql wa al-Qalb, berbeda
dengan pendapatnya Mustafa Zed dalam bukunya, Falsafah al-Ibadah fi
al-Islam, bahwa hakikat ibadah memunyai dua unsur pokok yang tanpa keduanya
ibadah tidak diterima, yaitu kesempurnaan ketundukan kepada Allah dan
kesempurnaan kecintaan kepadaNya. Ulama ini, menjadikan “cinta” sebagai salah
satu unsur utama dan syarat diterimanya ibadah. Kendati, seperti mana yang
ditulis oleh Ibn Sina dalam bukunya, al-Isyarat wa al-Tanbihat, beribadah
kepada Allah dapat lahir dari tiga macam motivasi, karena adanya dorongan
takut, dorongan meraih surga, dan dorongan cinta kepadaNya.
Kiranya, dari uraian di atas bisa
difahami tentang tujuan beribadah pada hakikatnya adalah “Untuk Menyadari
betapa mutlaknya kepemilikian Allah terhadap hambanya”. Meminjam bahasanya
Qurais Shihab, “kalau seseorang menyadari betapa mutlaknya kepemilikian Allah
dan betapa kuat, juga berkuasanya Sang Pencipta itu, maka pengejawantahan
kesadaran itu adalah ketundukan dan penyerahan diri kepdaNya”.
Hal ini sejalan dengan hukum yang
berlaku di mana-mana serta diakui keberdaanya, suka tidak suka, senang tidak
senang, oleh siapapun itu, pengakuan
faktual yang dicerminkan oleh ketundukan yang lemah kepada yang kuat, yang
butuh kepada yang mampu, dan yang hina kepada yang mulia. Demikan seterusnya
sebagaimana tampak jelas dalam kehidupan nyata, karena bagaimanapun ia adalah
suatu hukum atau ketetapan fitri yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun.
Rujukan
buku:
Fatwa-Fatwa M.Qurais Shihab
Tafsir al-Misbah, Juz 3
1001 Soal Keislaman
Lentera Al-Qur’an
Tafsir al-Misbah, Juz 3
1001 Soal Keislaman
Lentera Al-Qur’an
Buah Karya: Prof. Dr. Quraish
Shihab., M.A.
No comments:
Post a Comment