Wednesday, 4 January 2017

Untuk Apa Beragama?

Untuk Apa Beragama?


          Dalam kesempatan kali ini, penulis memiliki pertanya yang sangat mendasar bagi diri penulis sendiri, ketika termenung, tertunduk sipu dalam lamunan yang berkepanjangan. Seraya berkata, “Untuk apa beragama?” Padahal, kalau boleh jujur, Orang-orang yang tidak beragama (agostik) saja masih hidup senang, bahkan rukun tentram kehidupanya dibandingkan orang yang beragama. Yang selalu perang, bunuh-membunuh, saling menghunus pedang antar satu dengan yang lain. Apakah ini tujuan beragama? Atau mungkin agama hanya sebatas nama? Untuk dijadikan sebagai seimbol kepada agama lain!
Tentu saja “Tidak”, tujuan agama diadakan oleh Allah sebagai wadah dari segala macam ajaraNya yang telah sempurna dan sebagai paripurna terhadap ajaran-ajaran sebelumnya, hal ini tertuang dalam al-Qur’an. Keterangan ini sempat penulis jelaskan ketika membahas tentang “Untuk apa beribsdah?”, dalam artikel tersebut, penulis katakan bahwa “Mulai dari ajaran islam disempurnakan dan dihimpun dalam suatu wadah  oleh Allah yang dinamakan sebagai “agama”. Tepatnya pada hari jumat, 9 Dzul Hijjah tahun ke tujuh, bertepatan turunnya surat al-Maidah, ayat ke-3. Yang memberikan isryarat dengan menggunakan kata akmaltu untuk agama, dan atmamtu untuk nikmat. Merupakan indikator khusus, bahwa “petunjuk-petunjuk agama yang beraneka ragam itu kesemuanya, dan masing-masingnya, telah sempurna. Mulai dari persolan ibadah, muamalat, munjiyat, dan munakahat, terhimpun menjadi satu dalam wadah yang dinamakan “din” oleh Allah.” Dari sini bisa difahami bahwa tujuan agama itu diadakan, semata-mata sebagai manifestasi Tuhan dalam mewadahi ajaran-ajaraNya.
Agama islam yang dianut oleh orang banyak, dari segi pemaknaannya tidaklah mencakupi apa yang telah dibawa oleh Nabi, “din al-Islam”. Agama secara etimologi teradopsi dari bahasa Latin yang berarti “A” adalah “tidak” dan “Gama” adalah “Kacau”. Maksudnya adalah agama memiliki pengertian bahwa orang yang beragama adalah orang yang tidak melakukan kekacauan di muka bumi ini. Dalam pengeritan yang sempit, manusia, jika dirinya tidak ingin kacau-mengacaukan dalam kehidupanya dan kehidupan orang lain, maka beragamalah. kendati, di dalam agama terdapat berbagai macam aturan yang dibungkus menjadi sebuah ajaran. Maka, sudah seyognya manusia harus memiliki aturan main dalam kehidupanya yang sengaja oleh Allah dibungkus dalam wadah yang dinamai dengan “Din”. Dengan tujuan, agar tidak terlalu mendahulukan sifat egoismenya yang memang manusia terkenal dengan sifat tersebut. Yang mengatarkan kepada kafana’an (kerusakan dan kekacauan). Juga sebagai “Rem” atas segala kelakukan yang bersifat “keburukan”.
Jika merujuk kepada al-Qur’an, kata “Din” yang sering diartikan sebagai “agama”, belum bisa dinilai cukup dalam pengertian tersebut. Karena, jika dikupas kembali dan dilihat dari sudut pendekatan kebahasaan. Maka, dapat dikatakan bahwa, Setiap kata yang terdiri dari tiga huruf د, ي, ن,   ini menggambarkan “adanya dua pihak yang melakukan interaksi”, semisal, kata “dain” yang berarti “utang” atau kata (dana-yadinu) yang berarti menghukum atau taat, dan sebagainya, kesemuanya ini merujuk kepada suatu aksi yang dilakukan oleh dua pihak.
Jika demikian, agama bisa diartika sebagai hubungan antara mahluk dan khaliq-nya. Hubungan ini mewujud dalam msikap bathinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukanya dan tercermin pula dalam sikap keseharianya.
Agama dalam pandangan sementara pakar seperti Jhon Locke (1632-1702) misalnya, pada akhirnya berkesimpulan bahwa “Agama bersifat spesifik, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan musthail bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku, jika jiwaku sendiri tidak meberitahu kepadaku”.
Dari uraian di atas, tujuan agama pada dasarnya sebagai wujud manifestasi Tuhan dalam mewadahi semua ajaraNya. Setalah terwadahi, agama memiliki fungsi sebagai informasi. Mengapa demikian? Karena, ketika manusia ingin memperoleh informasi sebuah ajaran, tidak boleh tidak mereka semua harus melihat kembali apa yang ada dalam agama tersebut. Misalnya, dari sisi kehidupanya sebagai mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial, tidak dapat berdiri sendiri. Karena ada sekian banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri. Perokok membutuhkan rokok yang tidak dapat dibuatnya sendiri, karena terbatasnya waktu dan pengetahuannya. Di sisi lain, pabrik rokok pun demikian, karena untuk membuat rokok butuh yang namanya “Alat”. Bila alat itu tidak ada, maka tidak akan berjalan dan tidak akan berputar. Yang pada intinya, kesemuanya dapat terpenuhi apabila mereka bekerja.
Quraish Shihab dalam bukunya, “Membumikan al-Qur’an” menggambarkan kehiduapan manusia seperti “lalu lintas”, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai ketujuan. Namun, karena kepentingan mereka berbeda-beda, maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi benturan dan tabrakan.
Nah, dengan demikian, ia membutuhkan peraturan demi lancarnya lalu lintas kehidupannya. Manusia membuthkan rambu-rambu lalu lintas yang memberikan arahan atau petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah), kapan haru hati-hati (lampu kuning), dan kapan harus berjalan (lampu hijau), dan dari sini, peraturan-peraturan tersebut dinamakan agama.

Daftar Rujukan:
Novel Filsafat, Tapak Sabda.
Terbitan: Pustaka Sastra LKIS Yogyakarta, Cet 1: September 2004.
Pengarang: Fouz Noor.
Membumikan Al-qur’an
Terbitan: Mizan, Edisi Ke-2, Cet 2:  Febuari 2014.
Pengarang: Prof. Quraish Shihab., M.A.

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...