Untuk Apa Beragama?
Dalam
kesempatan kali ini, penulis memiliki pertanya yang sangat mendasar bagi diri
penulis sendiri, ketika termenung, tertunduk sipu dalam lamunan yang
berkepanjangan. Seraya berkata, “Untuk apa beragama?” Padahal, kalau
boleh jujur, Orang-orang yang tidak beragama (agostik) saja masih hidup senang,
bahkan rukun tentram kehidupanya dibandingkan orang yang beragama. Yang selalu
perang, bunuh-membunuh, saling menghunus pedang antar satu dengan yang lain.
Apakah ini tujuan beragama? Atau mungkin agama hanya sebatas nama? Untuk dijadikan
sebagai seimbol kepada agama lain!
Tentu saja “Tidak”, tujuan agama diadakan oleh Allah sebagai wadah
dari segala macam ajaraNya yang telah sempurna dan sebagai paripurna terhadap
ajaran-ajaran sebelumnya, hal ini tertuang dalam al-Qur’an. Keterangan ini
sempat penulis jelaskan ketika membahas tentang “Untuk apa beribsdah?”, dalam
artikel tersebut, penulis katakan bahwa “Mulai dari ajaran islam disempurnakan
dan dihimpun dalam suatu wadah oleh
Allah yang dinamakan sebagai “agama”. Tepatnya pada hari jumat, 9 Dzul Hijjah
tahun ke tujuh, bertepatan turunnya surat al-Maidah, ayat ke-3. Yang memberikan
isryarat dengan menggunakan kata akmaltu untuk agama, dan atmamtu untuk nikmat.
Merupakan indikator khusus, bahwa “petunjuk-petunjuk agama yang beraneka ragam
itu kesemuanya, dan masing-masingnya, telah sempurna. Mulai dari persolan
ibadah, muamalat, munjiyat, dan munakahat, terhimpun menjadi satu dalam wadah
yang dinamakan “din” oleh Allah.” Dari sini bisa difahami bahwa tujuan agama
itu diadakan, semata-mata sebagai manifestasi Tuhan dalam mewadahi
ajaran-ajaraNya.
Agama islam yang dianut oleh orang banyak, dari segi pemaknaannya tidaklah
mencakupi apa yang telah dibawa oleh Nabi, “din al-Islam”. Agama secara
etimologi teradopsi dari bahasa Latin yang berarti “A” adalah “tidak” dan
“Gama” adalah “Kacau”. Maksudnya adalah agama memiliki pengertian bahwa orang
yang beragama adalah orang yang tidak melakukan kekacauan di muka bumi ini. Dalam
pengeritan yang sempit, manusia, jika dirinya tidak ingin kacau-mengacaukan
dalam kehidupanya dan kehidupan orang lain, maka beragamalah. kendati, di dalam
agama terdapat berbagai macam aturan yang dibungkus menjadi sebuah ajaran.
Maka, sudah seyognya manusia harus memiliki aturan main dalam kehidupanya yang
sengaja oleh Allah dibungkus dalam wadah yang dinamai dengan “Din”. Dengan
tujuan, agar tidak terlalu mendahulukan sifat egoismenya yang memang manusia terkenal
dengan sifat tersebut. Yang mengatarkan kepada kafana’an (kerusakan dan
kekacauan). Juga sebagai “Rem” atas segala kelakukan yang bersifat “keburukan”.
Jika merujuk kepada al-Qur’an, kata “Din” yang sering diartikan
sebagai “agama”, belum bisa dinilai cukup dalam pengertian tersebut. Karena,
jika dikupas kembali dan dilihat dari sudut pendekatan kebahasaan. Maka, dapat
dikatakan bahwa, Setiap kata yang terdiri dari tiga huruf د, ي, ن, ini
menggambarkan “adanya dua pihak yang melakukan interaksi”, semisal, kata “dain”
yang berarti “utang” atau kata (dana-yadinu) yang berarti menghukum atau taat,
dan sebagainya, kesemuanya ini merujuk kepada suatu aksi yang dilakukan oleh
dua pihak.
Jika demikian, agama bisa diartika sebagai hubungan antara mahluk
dan khaliq-nya. Hubungan ini mewujud dalam msikap bathinnya serta tampak dalam
ibadah yang dilakukanya dan tercermin pula dalam sikap keseharianya.
Agama dalam pandangan sementara pakar seperti Jhon Locke (1632-1702)
misalnya, pada akhirnya berkesimpulan bahwa “Agama bersifat spesifik, sangat
pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan musthail bagi orang lain memberi petunjuk
kepadaku, jika jiwaku sendiri tidak meberitahu kepadaku”.
Dari uraian di atas, tujuan agama pada dasarnya sebagai wujud
manifestasi Tuhan dalam mewadahi semua ajaraNya. Setalah terwadahi, agama
memiliki fungsi sebagai informasi. Mengapa demikian? Karena, ketika manusia
ingin memperoleh informasi sebuah ajaran, tidak boleh tidak mereka semua harus
melihat kembali apa yang ada dalam agama tersebut. Misalnya, dari sisi
kehidupanya sebagai mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial, tidak dapat
berdiri sendiri. Karena ada sekian banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi
sendiri. Perokok membutuhkan rokok yang tidak dapat dibuatnya sendiri, karena
terbatasnya waktu dan pengetahuannya. Di sisi lain, pabrik rokok pun demikian,
karena untuk membuat rokok butuh yang namanya “Alat”. Bila alat itu tidak ada,
maka tidak akan berjalan dan tidak akan berputar. Yang pada intinya, kesemuanya
dapat terpenuhi apabila mereka bekerja.
Quraish Shihab dalam bukunya, “Membumikan al-Qur’an” menggambarkan
kehiduapan manusia seperti “lalu lintas”, masing-masing ingin berjalan dengan
selamat sekaligus cepat sampai ketujuan. Namun, karena kepentingan mereka
berbeda-beda, maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti
akan terjadi benturan dan tabrakan.
Nah, dengan demikian, ia membutuhkan peraturan demi lancarnya lalu
lintas kehidupannya. Manusia membuthkan rambu-rambu lalu lintas yang memberikan
arahan atau petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah), kapan haru
hati-hati (lampu kuning), dan kapan harus berjalan (lampu hijau), dan dari
sini, peraturan-peraturan tersebut dinamakan agama.
Daftar
Rujukan:
Novel Filsafat, Tapak Sabda.
Terbitan: Pustaka Sastra LKIS Yogyakarta, Cet 1: September 2004.
Pengarang: Fouz Noor.
Terbitan: Pustaka Sastra LKIS Yogyakarta, Cet 1: September 2004.
Pengarang: Fouz Noor.
Membumikan Al-qur’an
Terbitan: Mizan, Edisi Ke-2, Cet 2: Febuari 2014.
Pengarang: Prof. Quraish Shihab., M.A.
Terbitan: Mizan, Edisi Ke-2, Cet 2: Febuari 2014.
Pengarang: Prof. Quraish Shihab., M.A.
No comments:
Post a Comment