Friday, 6 January 2017

Cerpen Wanita Bermata Sipit

Wanita Bermata Sipit


          Pada tanggal 29, Kamis, 2016, saya baru ingat kalau pada hari itu ada UAS matkul kritik sastra dan linguistik umum, yang diposisikan di teater pada jam 11.00 untuk linguistik umum, sedang 13.00 untuk kritik sastra. Dengan menyiapkan diri terlebih dahlu seblum mengahadapi ujian, seperti biasanya, breving dengan kopi dan rokok bersama teman-teman kampus. Sebut saja namanya, Pres Fadli, kanda Bilqist, dan masih banyak yang lain.
            Ditempat diskusi kelas A, tepatnya samping SC yang dihiasi dengan tanaman-tanaman indah. Kalau tidak berlebihan untuk mengatakanaya, tempat itu merupakan “Bast Camp” kami untuk berdiskusi perihal akademika kampus. Kendati waktu yang membuat kami tidak bisa berbicara panjang lebar. Maka, perpisahan menyapa kami untuk segera bergegas ke ruang teater.
            Kami langkahkan kaki ini, menuju lift yang sudah disediakan oleh kampus (bagi orang-orang yang malas mendaki, pula terburu-buru), udara yang sangat berbeda kami rasakan ketika sampai di lift, ternyata ada sosok teman kelas, berambut hitam langsat, berkulit putih, berbadan putih, hanya saja, perut yang tidak memungkinkan laki-laki itu hidup seindah kami. Sebut saja namanya, “Ridwan”.
            Kami semua (yang ada di dalam lift) masing-masing menunggu pintu terbuka. Ada yang ingin kelantai 2, 3, 4, dan seterusnya. Tapi untuk kami berempat, menunggu antrian terbukanya pintu lift itu pada nomer “4”.  Sembari menunggu pintu itu terbuka, kami berbincang-bincang ala kelas A, menanyanyakan tentang UAS yang akan dihadapi. Dengan sapahan yang lembut, suara terlontar perlahan:
“Kita masuk jam berapa? Bagian ibu Umikan!”. Sapah dari seseorang yang pada waktu itu ingin mencalonkan “Presiden” BSA.
“Sepertinya jam sebelas dah”. Sahut bilqist yang memiliki ciri khas tersendiri (rambut keribo).
“Pada jam berapapaun, asalkan kalian siap, apa yang perlu dipertanyakan lagi?” jawabku sok bijak, padahal diriku belum sempat membuka buku tadi malam.
“Siap Pak KM”. Jawab Pres fadli dengan senyuman petir.
            Sudah terlalu asik dengan bebincang-bincang, kami pun keluar dari gerumuhan orang. Dengan mengayunkan kedua kaki, menuju ke tempat yang dimaksud (teater). Seusai sampai di depan pintu, melihat puluhan orang yang ada di dalam teater tersebut hati saya kaget. Seraya berkata:
“Waduh ini ulanganya udah pada dimulai ternyta!”. Dengan mata tertuju ke ibu dosen pada waktu itu (Ibu Umi Kulsum., M. A.)
            Ketika ingin masuk ke ruang teater, diriku terpaku kepada sosok wanita yang baru saja sampai ke lantai 4. Dengan membawa makanan, sebotol air mineral, dan tas. Wanita itu berjalan menghampiri pojok-pojok tikungan teater. Tepatnya di depan mataku, agak lewat sedikit dari pendaran mata ini, seraya aku sapa dia. Dengan sapahan yang keras dan lantang. Kendati, aku belum mengenal namanya. Maka sudah sewajarnya, sapahan “Eh” saya lontarkan dengan deras:
“Eh.....!” suaraku merobek lorong jalan.
“Aku” menoleh ia, mentap ia kewajahku, semabari meletakkan tangan ke dadanya (simbol pengakuan).
“Iya, lu yang gua panggil” sapahku dengan agak sok. Padahal, belum kenal, belum apa.

“ada apa?” tanya wanita itu dengan sinis.
“Sini lu, gua ada perlunya”. Sapahku lebih sinis.
            Berjalanlah ia, menghampiriku ditempat berdiriku. Setelah sampai di depan mata, aku katakan kepadanya dengan sapahan pelan agak memalukan diri ini, seraya berkata:
“Lu punya pacar?” tanyaku sambil ketawa lepas, padahal, klo boleh jujur hatiku malu.
“Tidak” jawabnya dengan jutek.
“Ouh.... belum punya pacar tah?” Tanyaku agak meragukanya.
“iya, emang kenapa? “jawabnya sambil mengeluarkan pertanyaan.
“engga, cuman nanya si, ouh iya gua mau minta airnya dong? Dikasih gak? Sepak-sepikku, menghilangkan rasa malu yang menyelimutiku pada waktu itu.
“iya, ini minum aja”. Jawabnya dengan menyudurkan air miner itu sambils memendarkan mata ke arah kelas yang diriku sendiri tidak tau apa maksudnya.
“Makasi ya”. Jawabku setelah meminum airnya itu.
“ouh... ya udah dulu nih, gua mau masuk kelas”. Sapahnya agak melas. Sepertinya dia lambat.
            Perlahan-lahan bayangan dirinya menghialang dari bola mataku yang tidak terpendar pekat. Seakan diri ini terpikat pada waktu itu. “Iya” pada waktu itu diriku sudah mulai “Keppo”. Menanyakan kepribadiannya kepada siapapun yang mengenal dirinya. Sebut saja namanya “Kanda Ridwan” yang saya juluki dengan “gembrot” itu.
            Al-hasil, saya mendapatkan informasi yang sangat menarik tentang kepribadianya. Tentunya tidak disini disebutkanya sifat-sifat wanita itu. Hanya saja, diriku ingin katakan bahwa ciri khas yang ia miliki adalah “wanita yang aku lihat bukanlah wanita yang dikenal dan dibicarakan orang banyak” dia adalah sosok wanita bermata sipit, berkulit sawu matang, berjilbab hitam pada waktu itu, dan agak manja kelihatanya. Untuk poin terakhir ini, mungkin bisa disosialisasikan kepadanya, jikala Allah mempertmukan kita ditempat yang sudah ditentukan.
****
            Karena hari itu adalah hari dimana matakulku merupakan matakuliah terakhir. Sepertinya, untuk bertemu kembali dengan sosok wanita sipit itu sulit dan masih menunggu waktu lama, mungkin di saat waktu-waktu masukan kampus. Gumamku dengan penuh harap:
“Semoga Kita bisa bertemu, bertemu ditempat yang satu sama lain tidak tahu”. Doaku kepada Sang Pemilik Cinta (Allah).
            Kulahkahkan kaki ini menuju besment bersama teman karibku ridwan namanya, untuk membuat susasana tertawa riah, lagi-lagi diriku menanyakan sosok wanita sipit yang baru saja aku lihat itu. Namun sayangnya, dia tidak meresponku dengan baik. Aku hanya bisa sabar. Mungkin belum saatnya aku mendapat kabar tentangnya.
            Setelah sampai ke besment, aku pamit kepada teman karibku itu. Untuk pulang lebih dulu. Kendati, pekerjaan rumah yang sudah dimaklumi oleh teman-teman kelasku.
            Diperjalan menuju kampung halaman, pikiran dan hati beradu, berdebat, satu sama lain saling mempertanyakan.
“Apa mungkin dirimu jatuh cinta pada pandang pertama?” ujar hatiku kepada pikiranku.
“Entahlah, Saya juga masih bingung. Apa mungkin hanya dengan sekali pandang aku bisa sebuntek ini? Selalu saja memikirkannya. Seakan otakku dibumbui oleh bayang-bayangnya yang selalu menghantui pikiranku ini. Jawab pikiran kepada hatiku.
“Hayo....! mungkin antara kita sekarang bisa bertolak belakang. Dan mungkin juga dilain waktu kita bisa bersatu. (fokus dalam bayang dan memikirkanya).” Canda hati ini kepada pikiranku yang sedang mumet itu.
“Ma kana Ghoiru Mungkin  Fi hadihi al-Dunya”. Jawab pikiran kepada hatiku.
            Setelah kaki ini menginjak halaman rumah, aku tak henti-hentinya selalu berfikir, apa aku salah mencintainya? Lalu, apakah dia mengenaliku? Atau mungkin ketika aku mengatakan perasaan ini, aku ditolaknya? Entahlah, aku pasrahkan saja kepada Sang Pemilik Cintaku.
****
            Tidupun tak senayaman sebelum aku melihatnya. Makanpun tak lahab sebelum aku memandangnya, begitupun dengan membaca buku-bukuku tak konsen, selalu saja ada wajahnya di dalam kitab-kitabku itu. Disini aku baru menyadari,
“Ternyata Aku Telah Jatuh Hati Kepada Sosok Wanita Sipit Itu”.
            Ia adalah Intan Lestari, anak SKI, Semester 3, Fakultas yang sama denganku. Hanya saja, dirinya belum mengenalku. Seperti mana aku mengenalnya. Satu kata untuknya:
“Aku mencintai Diri-mu Wahai Saudara Seperjuanganku Intan Lestari”.
            Maaf, mungkin di lain waktu akan saya katakan kata-kata ini kepadamu. Untuk saat ini, aku hanya bisa berharap. Semoga Allah bisa mempertemukan aku dengan dirimu. Seperti mana harapku kepada-Nya, “Ditempat yang kita berdua tida tahu”.
****
Kebalakang hari ini, pasca selesainya ujian akhir semester. Diriku selalu saja seperti itu. Seperti orang yang baru kasmaran. Padahal, kalau boleh jujur, hati ini sudah berapa kali diisi oleh sosok perempuan. Meskipun pada kenyataanya satu sama lain dari kalangan mereka itu memang berbeda-beda. Nah, disinilah perbedaanya, ketika aku Jatuh hati kepada wanita yang belum tentu menadahkan kedua tanganya ketika hatiku terjatuh untuknya.. Namun, dengan segenap keyakinanku, aku akan sampai kepada waktu, hari, tanggal, dan tahun yang  Allah tetapkan untuk aku denganya. “Ya” aku yakin akan hal itu. YAKUSA, Yakin, Usaha, Sahampai...!!!
Hari demi hari, ku lihat putaran jarum jam sangat lambat, selambat bekecot yang sedang berjalan untuk mencari muaranya. Aku merasa hal ini tak wajar, kendati diri ini ingin cepat bertemu. Mengapa harus ada pelambatan dan penantian yang berkepanjangan? Aku berhenti sejenak, menatap terus-menerus jam itu, jam yang ditempel di samping tembok rumahku, akupun gusar, gusar, seakan pandangan ini tidak membuat jarum jam berputar cepat, seperti yang aku inginkan.
Rasa gelisah, akan kegalauan ini. Rasa rindu, yang selalu menyelimuti, sekan tersentak habis, cetar membahana dalam diriku ini. Akupun ling-lung, harus kemana? Harus ke siapa? Harus bagaiaman menyikapi perasaan ini? Entahlah, lagi-lagi yang aku bisa hanyalah diam, diam, dan akan terus diam. Menunggu sebuah keajaiban dari Sang Pemilik Hati Kita Berdua. Agar bisa dipertemukan ditempat yang satu sama lain tidak mengetahuinya.
****
            Singkat cerita, seminggu kurang dua hari sudah aku lalui. Tepatnya tanggal 3 Januari, 2017. Menahan rasa, asa, dan kuasa akan segala yang aku inginkan. Pertemuan, “Iya” pertemuanlah yang aku harapkan untuk mengatakan perasaan ini kepadanya. Namun, hal ini mungkin hanya sebagai keingin belaka. Kendati dia belum mengenalku. Konsekuensi logisnya, bagaiaman mungkin sosok intan lestari bertemu denganku? Kalau tampak kontek-konetkan terlebih dahulu. Saya rasa, cinta ini baru lahir dalam diriku saja. Belum untuk dirinya. Inilah yang mendorongku untuk mencari nomernya. Dengan tujuan hidup, mengenal lebih dalam. Sedalam mungkin, sedalam Allah memeprekenalkan dirinya kepada hambanya (Muhammad).
            Pujia sukur saya ucapkan kepada Sang pemilik Hati ini, yang sudah memberikan kesempatan pada diri saya, untuk bisa mengetahui kabarnya. Melalui Instagram. Awalnya si, saling acuh. Ketika saya meminta nomer ponselnya, ia berikan dengan Cuma-Cuma, tampa basa-basi. Dari sini, saya mengajak dirinya untuk bertemu di depan halte UIN keesokan harinya. Namun sayangnya, ada kendala di antara kita. Sosok wanita yang aku kenal namanya Yunda “Riska” teman karibnya, sedang asik berbicara di depan bank BRI pada waktu itu. Aku tertunduk malu, tertunduk sipu, sekan hati bersuara:
“Waduh, saya harus ngmong apa ini? Sedangkan dirinya sedang berdua dengan teman karibnya”. Gumam hatiku dengan rasa getar-getir teramat dalam.
            Lanjut cerita, motor yang senagaja belum aku matikan, senagaja memang, mungkin dia peka. Niatnya langsung menggonceng dirinya dan membaanya ketempat yang memang sempat saya haturkan kepadaNya. Dengan tidak mematikan motorku. Ternyata kode keras itu tidak difahami olehnya. Entahlah, bagaiaman lagi? Keinginan memluk gunung namun tangan tak sampai. Hanya diam menunggu dia menghampiriku.
            Terbangun dari duduknya bersama yunda riska yang tengah berdiri pada waktu itu. Melihat dengan saksama, bola mata mereka berdua menuju kearahku yang pada waktu itu, aku sedang ada di atas motorku. Lagi-lagi malu menyapaku. Bagiku, dengan diam semua akan teroabati.
            Ternyata, dia mengahapiriku dengan senyum hangat, lalau disusul oleh teman karibnya itu. Seraya berkata:
“Tohir”. Sapanya dengan senyum lesung dipipinya.
“Iya, aktivis”. Sapahku dengan malu.
“Hehehehe, kita mau kemana ini? Saya nunggu lama sekali di sini” tawa, tanyanya dan Pernyataanya.
“Iya, kita akan ke pesanggrahan”. Jawabku masih malu dilihat oleh teman karibnya.
“Untuk apa kesana? Aku masih punya janji loh ama orang lain di IMM!”. Tanya dan pernytaanya.
“Ya, sudah saya mau ke pesanggrahan” ujarku dengan mimik muka yang memalukan.
“Okelah kalau begitu”. Jawabnya semabri mengajak teman karibnya itu, untuk ikut dengan kami.
            Setelah usai keperluanku di pesanggrahan, akupun diatanya kembali oleh sosok wanita sipit itu. Tanyanya dengan khwatir.
“ini mau kemana Tohir?”. Dengan mata melarak-melirik, kesana –kemari.
“kita akan kelambang UIN yang besar itu.” Lagi-lagi gugup menghantui kembali.
“ouh, LENMARK itu ya?”. tanyanya yang berati jawaban.
“Iya, itu maksudku”. Jawabku dengan malu.
“Aku, duluan ya?”. Sapah teman karibnya.
“Ikut aja ama kita”. Jawabnya (Intan) kepada (Riska).
“Tar ganggu lagi”. Senyam-senyum aku lihat dia.
“Iya enggalah, emang mau ngapain? Kog bisa ganggu kita?” jawabku dari pertanyaan teman karibnya itu.
“Ayo, kita berangkat”. Ajak calon ketum kohati cabang itu, kepada kami berdua.
            Kami berdua (intan dengan saya) berjalan di posisi depan. Sedang riska sibuk dengan hp-nya. Entah apa yang sedang ia lakukan? Tapi kita berdua sedang berproses perkenalan pada waktu itu. Jika tidak sungkan dikatakan, bahwa “perkenalan kita itu bermula dari perjalan kita berdua menuju Tamrin”.
****
            Sesampainya kami di Tamrin, satu sama lain saling diam, malu, dan gugup. Hanya saja, itu semua terasa sirna ketika Yunda riska angkat bicara. Setelah asik sekali membicarakan soal liburan kampus antara keduanya, Yunda Riska merasa penat, lalu ia mengambil sikap “pamit” kepada kita berdua. Meskipun, kalau boleh jujur, saya diam ini, karena malu untuk mengatakan perasaan saya, kendati, ada teman karibnya pada waktu itu. Namun, ketika dia pergi dari tempat duduknya, kitapun sudah memulai untuk membuka topik pembicaraan. Menuju kepada tujuan awal. “Mengatakan cinta itu lebih sulit dari pada Mengatakan sesuatu selain cinta” gumamku dengan tangan gemetar.
            Dengan menatap wajahnya, rinduku terasa terobati. Terobati dari segala hal yang sempat menghantui pikiranku. Dengan ini, saya katakan pada waktu itu kepadanya:
“Aku Mencintai Mu”. Dengan bibir, tangan gemetar, dan semua anggota tubuh turun derastis.
“Maaf, Untuk saat ini. Aku masih ingin sendiri. Aku hormati semua isi hatimu, begitu juga aku tidak berhak untuk melarang kamu untuk mencintai saya. Terima kasih atas ungkapannya”. Dengan senyum pipitnya dia katakan.
“Apalagi diriku? Aku lebih tak kuasa, memaksa dirimu untuk menerima cintaku. Kendati, cinta bukanlah paksaan. Aku terima jawabanmu dengan senang hati.” Meski hati ini serasa hancur. Saya mencoba tegar, tegas, dalam menghadapi penolakan cinta ini. Toh Ali Thahir bukan hanya sekali ditolak wanita, sudah wajar.
“Sekali lagi “Maaf” Tohir”. Sapanya kembali, kata-kata yang membuat hatiku terluka namun sayangnya tak berdarah.
“Iya”. Sok tegar, jawabku.
“Ouh, iya, saya sudah dihubungi ama anak IMM untuk hadir ke acara”. Tegasnya.
“Silahkan pergi”. Jawabku dengan patah hati.
“Kalau aku pergi, kamu dengan siapa disinni? Apakah aku tega? Ya tidaklah!”. Tanyanya dengan makan jawaban.
“Silahkan, hiraukan saja diriku disini. Aku akan pergi ketika air hujan membasahi tanah ini. Jawabku masih patah hati.
“Aku tidak akan tega meninggalkan dirimu sendiri”. Jawabnya. Seperti menghibur diriku dari kepiluan ini.
“sudahlah, kau berangkat saja. Saya akan betah disini, menunggu hujan turun”. Tegasku.
            Setelah saling adu argumen, kitapun mengambil jalan diam. Diam seribu kata. Tiada kata-kata lagi yang ingin diucapkan. Akupun mengajak dirinya keliling UIN mulai dari pintu masuk hingga pintu keluar. Kitapun berhenti di situ. Tepatnya, di depan motorku yang diparkir di depan Bank BRI. Aku ajak dirinya ke acara di IMM dengan mengendarai motor. Sampai ke lampu merah, akupun bertanya kepada dirinya.
“Jadi atau tidak ke IMM?”. Tanyaku sambil senyam-senyum pilu.
“Kelewat kali”. Ujarnya dengan senyum.
“Terus kita mau kemana ini?”. Tanyaku dengan pelan.
“Aku ikut supir saja”. Jawabnya dengan sedikit gugup.
            Aku bawa dirinya ke taman “Ayodya Barito”. Tempat di mana aku masih kecil bermain-main. Ketika kami beruda sampai ditempat itu, tempat itulah sebagai saksi bisu cinta kami. Beginilah dialognya:
“Aku ingin katakan kembali, setelah ini aku tidak akan katakan lagi, bahwa aku mencintaimu”. Dengan penuh kepercyaan akan mengucapkan kata-kata itu.
“Maunya kamu apa? Diterima atau tidak? Kalau ditermia, kamu mau apa dariku? Kalau tidak, kamu juga mau apa?”. Tanyanya agak konyol. (sedikit berfilsafat yundaku ini) gumamku dalam hati.
“Itu ada di kamu, tapi saya jujur, tidak akan katakan kembali kata cinta ini kepada mu. Itu keterakhir kalinya, aku mengatakan perasaanku kepada dirimu”. Ujarku sembari menegaskan.
“Aku masih ragu, karena ini peratama kali kamu beretemuku. Masa iya, langsung cinta? Gak mungkin!” ledeknya dengan menatap sembari menyenderkan kepalanya kebahuku.
“Memang apa yang membuat dirimu ragu?”. Perkenalan yang sangta seingkat inikah?” Ya sudah, aku terima jawabanmu. Alasan kelasik. Jawabku.
“Iya, Kita jalani hubungan ini”. Jawabnya sambil melepas dirinya dari sandaranku.
“lah, Gimana? Katanya gak yakin? Kamu ini plint-plant juga ya?”. Tanyaku dengan bertubi-tubi.
“Aku yakin sekarang Kanda”. Pertama kali ia katakan kanda kepadaku dengan mimik pucat lucut.
“kenapa yakinya tiba-tiba ya? Kalo gk suak ya bilang gak suka lah. Akupun tidak akan memaksa begitu juga sebaliknya. Ujarku dengan tatapan kosong.
“Kamu yang membuat diriku yakin untuk menjalani hubungan ini kanda”. Jawabnya lemas.
“Letakkan kedua tanganmu di atas kedua tanganku”. Ajakku. “pada tanggal 05, januari, 2017, hari kamis. Taman ini, sebagai saksi bisu cinta kita. Lanjutku dengan memegang tanganya dengan erat.
            Setelah itu, kita pulang. Pulang dengan penuh teka-teki hati. Diselimuti dengan gendang-gendang cinta. Inilah kami, kami yang malu-malu tapi suka, kami yang suka-suka tapi malu. Ajari kaki menginjak debu, agar menaruh rasa kepada yang tidak beralas. Sesekali kosongkan hati, agar bisa mengisi orang lain dalam hidup ini. satu kata untuk dirimu yang sedang baca karyaku ini, berubahlah, berubahlah, dan teruslah berproeses. Usah tidak akan membohongi hasil.
            Dikarang pada tanggal 06, januari, 2017. Semoga berkah, semoga terlaksana, semoga didamba oleh Allah SWT.
ليس في القلب حبان ولا في الموجود ربان, ألله أعلم بالصواب
              
           
           
           


            

2 comments:

  1. Ali Thahir, cek blog saya yah. Bukan murni kajian ilmiah sih, cuma cerpen2 aja. Kalo bisa saling follow juga :D
    http://ecrireve.blogspot.co.id/

    ReplyDelete

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...