Wanita Bermata Sipit
Pada
tanggal 29, Kamis, 2016, saya baru ingat kalau pada hari itu ada UAS matkul
kritik sastra dan linguistik umum, yang diposisikan di teater pada jam 11.00
untuk linguistik umum, sedang 13.00 untuk kritik sastra. Dengan menyiapkan diri
terlebih dahlu seblum mengahadapi ujian, seperti biasanya, breving dengan kopi
dan rokok bersama teman-teman kampus. Sebut saja namanya, Pres Fadli, kanda
Bilqist, dan masih banyak yang lain.
Ditempat diskusi kelas A, tepatnya
samping SC yang dihiasi dengan tanaman-tanaman indah. Kalau tidak berlebihan
untuk mengatakanaya, tempat itu merupakan “Bast Camp” kami untuk berdiskusi
perihal akademika kampus. Kendati waktu yang membuat kami tidak bisa berbicara
panjang lebar. Maka, perpisahan menyapa kami untuk segera bergegas ke ruang
teater.
Kami langkahkan kaki ini, menuju
lift yang sudah disediakan oleh kampus (bagi orang-orang yang malas mendaki,
pula terburu-buru), udara yang sangat berbeda kami rasakan ketika sampai di
lift, ternyata ada sosok teman kelas, berambut hitam langsat, berkulit putih,
berbadan putih, hanya saja, perut yang tidak memungkinkan laki-laki itu hidup
seindah kami. Sebut saja namanya, “Ridwan”.
Kami semua (yang ada di dalam lift)
masing-masing menunggu pintu terbuka. Ada yang ingin kelantai 2, 3, 4, dan
seterusnya. Tapi untuk kami berempat, menunggu antrian terbukanya pintu lift
itu pada nomer “4”. Sembari menunggu
pintu itu terbuka, kami berbincang-bincang ala kelas A, menanyanyakan tentang
UAS yang akan dihadapi. Dengan sapahan yang lembut, suara terlontar perlahan:
“Kita
masuk jam berapa? Bagian ibu Umikan!”. Sapah dari seseorang yang pada waktu itu
ingin mencalonkan “Presiden” BSA.
“Sepertinya
jam sebelas dah”. Sahut bilqist yang memiliki ciri khas tersendiri (rambut keribo).
“Pada
jam berapapaun, asalkan kalian siap, apa yang perlu dipertanyakan lagi?”
jawabku sok bijak, padahal diriku belum sempat membuka buku tadi malam.
“Siap
Pak KM”. Jawab Pres fadli dengan senyuman petir.
Sudah terlalu asik dengan bebincang-bincang,
kami pun keluar dari gerumuhan orang. Dengan mengayunkan kedua kaki, menuju ke
tempat yang dimaksud (teater). Seusai sampai di depan pintu, melihat puluhan
orang yang ada di dalam teater tersebut hati saya kaget. Seraya berkata:
“Waduh
ini ulanganya udah pada dimulai ternyta!”. Dengan mata tertuju ke ibu dosen
pada waktu itu (Ibu Umi Kulsum., M. A.)
Ketika ingin masuk ke ruang teater,
diriku terpaku kepada sosok wanita yang baru saja sampai ke lantai 4. Dengan
membawa makanan, sebotol air mineral, dan tas. Wanita itu berjalan menghampiri
pojok-pojok tikungan teater. Tepatnya di depan mataku, agak lewat sedikit dari
pendaran mata ini, seraya aku sapa dia. Dengan sapahan yang keras dan lantang.
Kendati, aku belum mengenal namanya. Maka sudah sewajarnya, sapahan “Eh” saya
lontarkan dengan deras:
“Eh.....!”
suaraku merobek lorong jalan.
“Aku”
menoleh ia, mentap ia kewajahku, semabari meletakkan tangan ke dadanya (simbol
pengakuan).
“Iya,
lu yang gua panggil” sapahku dengan agak sok. Padahal, belum kenal, belum apa.
“ada apa?” tanya wanita itu dengan sinis.
“ada apa?” tanya wanita itu dengan sinis.
“Sini
lu, gua ada perlunya”. Sapahku lebih sinis.
Berjalanlah ia, menghampiriku
ditempat berdiriku. Setelah sampai di depan mata, aku katakan kepadanya dengan
sapahan pelan agak memalukan diri ini, seraya berkata:
“Lu
punya pacar?” tanyaku sambil ketawa lepas, padahal, klo boleh jujur hatiku
malu.
“Tidak”
jawabnya dengan jutek.
“Ouh....
belum punya pacar tah?” Tanyaku agak meragukanya.
“iya,
emang kenapa? “jawabnya sambil mengeluarkan pertanyaan.
“engga,
cuman nanya si, ouh iya gua mau minta airnya dong? Dikasih gak? Sepak-sepikku,
menghilangkan rasa malu yang menyelimutiku pada waktu itu.
“iya,
ini minum aja”. Jawabnya dengan menyudurkan air miner itu sambils memendarkan
mata ke arah kelas yang diriku sendiri tidak tau apa maksudnya.
“Makasi
ya”. Jawabku setelah meminum airnya itu.
“ouh...
ya udah dulu nih, gua mau masuk kelas”. Sapahnya agak melas. Sepertinya dia
lambat.
Perlahan-lahan bayangan dirinya
menghialang dari bola mataku yang tidak terpendar pekat. Seakan diri ini
terpikat pada waktu itu. “Iya” pada waktu itu diriku sudah mulai “Keppo”.
Menanyakan kepribadiannya kepada siapapun yang mengenal dirinya. Sebut saja
namanya “Kanda Ridwan” yang saya juluki dengan “gembrot” itu.
Al-hasil, saya mendapatkan informasi
yang sangat menarik tentang kepribadianya. Tentunya tidak disini disebutkanya
sifat-sifat wanita itu. Hanya saja, diriku ingin katakan bahwa ciri khas yang
ia miliki adalah “wanita yang aku lihat bukanlah wanita yang dikenal dan
dibicarakan orang banyak” dia adalah sosok wanita bermata sipit, berkulit sawu
matang, berjilbab hitam pada waktu itu, dan agak manja kelihatanya. Untuk poin
terakhir ini, mungkin bisa disosialisasikan kepadanya, jikala Allah
mempertmukan kita ditempat yang sudah ditentukan.
****
Karena hari itu adalah hari dimana
matakulku merupakan matakuliah terakhir. Sepertinya, untuk bertemu kembali dengan
sosok wanita sipit itu sulit dan masih menunggu waktu lama, mungkin di saat
waktu-waktu masukan kampus. Gumamku dengan penuh harap:
“Semoga Kita bisa bertemu, bertemu
ditempat yang satu sama lain tidak tahu”. Doaku kepada Sang Pemilik Cinta
(Allah).
Kulahkahkan kaki ini menuju besment
bersama teman karibku ridwan namanya, untuk membuat susasana tertawa riah,
lagi-lagi diriku menanyakan sosok wanita sipit yang baru saja aku lihat itu. Namun
sayangnya, dia tidak meresponku dengan baik. Aku hanya bisa sabar. Mungkin
belum saatnya aku mendapat kabar tentangnya.
Setelah sampai ke besment, aku pamit
kepada teman karibku itu. Untuk pulang lebih dulu. Kendati, pekerjaan rumah
yang sudah dimaklumi oleh teman-teman kelasku.
Diperjalan menuju kampung halaman,
pikiran dan hati beradu, berdebat, satu sama lain saling mempertanyakan.
“Apa
mungkin dirimu jatuh cinta pada pandang pertama?” ujar hatiku kepada pikiranku.
“Entahlah,
Saya juga masih bingung. Apa mungkin hanya dengan sekali pandang aku bisa
sebuntek ini? Selalu saja memikirkannya. Seakan otakku dibumbui oleh bayang-bayangnya
yang selalu menghantui pikiranku ini. Jawab pikiran kepada hatiku.
“Hayo....!
mungkin antara kita sekarang bisa bertolak belakang. Dan mungkin juga dilain
waktu kita bisa bersatu. (fokus dalam bayang dan memikirkanya).” Canda hati ini
kepada pikiranku yang sedang mumet itu.
“Ma kana Ghoiru Mungkin Fi hadihi al-Dunya”. Jawab pikiran kepada hatiku.
Setelah kaki ini menginjak halaman
rumah, aku tak henti-hentinya selalu berfikir, apa aku salah mencintainya?
Lalu, apakah dia mengenaliku? Atau mungkin ketika aku mengatakan perasaan ini,
aku ditolaknya? Entahlah, aku pasrahkan saja kepada Sang Pemilik Cintaku.
****
Tidupun tak senayaman sebelum aku
melihatnya. Makanpun tak lahab sebelum aku memandangnya, begitupun dengan
membaca buku-bukuku tak konsen, selalu saja ada wajahnya di dalam kitab-kitabku
itu. Disini aku baru menyadari,
“Ternyata Aku Telah Jatuh Hati Kepada Sosok Wanita Sipit Itu”.
Ia
adalah Intan Lestari, anak SKI, Semester 3, Fakultas yang sama denganku. Hanya
saja, dirinya belum mengenalku. Seperti mana aku mengenalnya. Satu kata
untuknya:
“Aku mencintai Diri-mu Wahai Saudara Seperjuanganku Intan Lestari”.
Maaf,
mungkin di lain waktu akan saya katakan kata-kata ini kepadamu. Untuk saat ini,
aku hanya bisa berharap. Semoga Allah bisa mempertemukan aku dengan dirimu.
Seperti mana harapku kepada-Nya, “Ditempat yang kita berdua tida tahu”.
****
Kebalakang hari ini, pasca selesainya ujian akhir semester. Diriku
selalu saja seperti itu. Seperti orang yang baru kasmaran. Padahal, kalau boleh
jujur, hati ini sudah berapa kali diisi oleh sosok perempuan. Meskipun pada
kenyataanya satu sama lain dari kalangan mereka itu memang berbeda-beda. Nah,
disinilah perbedaanya, ketika aku Jatuh hati kepada wanita yang belum tentu
menadahkan kedua tanganya ketika hatiku terjatuh untuknya.. Namun, dengan
segenap keyakinanku, aku akan sampai kepada waktu, hari, tanggal, dan tahun
yang Allah tetapkan untuk aku denganya.
“Ya” aku yakin akan hal itu. YAKUSA, Yakin, Usaha, Sahampai...!!!
Hari demi hari, ku lihat putaran jarum jam sangat lambat, selambat
bekecot yang sedang berjalan untuk mencari muaranya. Aku merasa hal ini tak
wajar, kendati diri ini ingin cepat bertemu. Mengapa harus ada pelambatan dan
penantian yang berkepanjangan? Aku berhenti sejenak, menatap terus-menerus jam
itu, jam yang ditempel di samping tembok rumahku, akupun gusar, gusar, seakan
pandangan ini tidak membuat jarum jam berputar cepat, seperti yang aku
inginkan.
Rasa gelisah, akan kegalauan ini. Rasa rindu, yang selalu
menyelimuti, sekan tersentak habis, cetar membahana dalam diriku ini. Akupun ling-lung,
harus kemana? Harus ke siapa? Harus bagaiaman menyikapi perasaan ini? Entahlah,
lagi-lagi yang aku bisa hanyalah diam, diam, dan akan terus diam. Menunggu sebuah
keajaiban dari Sang Pemilik Hati Kita Berdua. Agar bisa dipertemukan ditempat
yang satu sama lain tidak mengetahuinya.
****
Singkat cerita, seminggu kurang dua
hari sudah aku lalui. Tepatnya tanggal 3 Januari, 2017. Menahan rasa, asa, dan
kuasa akan segala yang aku inginkan. Pertemuan, “Iya” pertemuanlah yang aku
harapkan untuk mengatakan perasaan ini kepadanya. Namun, hal ini mungkin hanya
sebagai keingin belaka. Kendati dia belum mengenalku. Konsekuensi logisnya,
bagaiaman mungkin sosok intan lestari bertemu denganku? Kalau tampak
kontek-konetkan terlebih dahulu. Saya rasa, cinta ini baru lahir dalam diriku
saja. Belum untuk dirinya. Inilah yang mendorongku untuk mencari nomernya. Dengan
tujuan hidup, mengenal lebih dalam. Sedalam mungkin, sedalam Allah
memeprekenalkan dirinya kepada hambanya (Muhammad).
Pujia sukur saya ucapkan kepada Sang
pemilik Hati ini, yang sudah memberikan kesempatan pada diri saya, untuk bisa
mengetahui kabarnya. Melalui Instagram. Awalnya si, saling acuh. Ketika saya
meminta nomer ponselnya, ia berikan dengan Cuma-Cuma, tampa basa-basi. Dari sini,
saya mengajak dirinya untuk bertemu di depan halte UIN keesokan harinya. Namun sayangnya,
ada kendala di antara kita. Sosok wanita yang aku kenal namanya Yunda “Riska”
teman karibnya, sedang asik berbicara di depan bank BRI pada waktu itu. Aku tertunduk
malu, tertunduk sipu, sekan hati bersuara:
“Waduh,
saya harus ngmong apa ini? Sedangkan dirinya sedang berdua dengan teman
karibnya”. Gumam hatiku dengan rasa getar-getir teramat dalam.
Lanjut cerita, motor yang senagaja
belum aku matikan, senagaja memang, mungkin dia peka. Niatnya langsung
menggonceng dirinya dan membaanya ketempat yang memang sempat saya haturkan
kepadaNya. Dengan tidak mematikan motorku. Ternyata kode keras itu tidak
difahami olehnya. Entahlah, bagaiaman lagi? Keinginan memluk gunung namun
tangan tak sampai. Hanya diam menunggu dia menghampiriku.
Terbangun dari duduknya bersama
yunda riska yang tengah berdiri pada waktu itu. Melihat dengan saksama, bola
mata mereka berdua menuju kearahku yang pada waktu itu, aku sedang ada di atas
motorku. Lagi-lagi malu menyapaku. Bagiku, dengan diam semua akan teroabati.
Ternyata, dia mengahapiriku dengan
senyum hangat, lalau disusul oleh teman karibnya itu. Seraya berkata:
“Tohir”.
Sapanya dengan senyum lesung dipipinya.
“Iya,
aktivis”. Sapahku dengan malu.
“Hehehehe,
kita mau kemana ini? Saya nunggu lama sekali di sini” tawa, tanyanya dan
Pernyataanya.
“Iya,
kita akan ke pesanggrahan”. Jawabku masih malu dilihat oleh teman karibnya.
“Untuk
apa kesana? Aku masih punya janji loh ama orang lain di IMM!”. Tanya dan
pernytaanya.
“Ya,
sudah saya mau ke pesanggrahan” ujarku dengan mimik muka yang memalukan.
“Okelah
kalau begitu”. Jawabnya semabri mengajak teman karibnya itu, untuk ikut dengan
kami.
Setelah usai keperluanku di
pesanggrahan, akupun diatanya kembali oleh sosok wanita sipit itu. Tanyanya dengan
khwatir.
“ini
mau kemana Tohir?”. Dengan mata melarak-melirik, kesana –kemari.
“kita
akan kelambang UIN yang besar itu.” Lagi-lagi gugup menghantui kembali.
“ouh,
LENMARK itu ya?”. tanyanya yang berati jawaban.
“Iya,
itu maksudku”. Jawabku dengan malu.
“Aku,
duluan ya?”. Sapah teman karibnya.
“Ikut
aja ama kita”. Jawabnya (Intan) kepada (Riska).
“Tar
ganggu lagi”. Senyam-senyum aku lihat dia.
“Iya
enggalah, emang mau ngapain? Kog bisa ganggu kita?” jawabku dari pertanyaan
teman karibnya itu.
“Ayo,
kita berangkat”. Ajak calon ketum kohati cabang itu, kepada kami berdua.
Kami berdua (intan dengan saya)
berjalan di posisi depan. Sedang riska sibuk dengan hp-nya. Entah apa yang
sedang ia lakukan? Tapi kita berdua sedang berproses perkenalan pada waktu itu.
Jika tidak sungkan dikatakan, bahwa “perkenalan kita itu bermula dari perjalan
kita berdua menuju Tamrin”.
****
Sesampainya kami di Tamrin, satu
sama lain saling diam, malu, dan gugup. Hanya saja, itu semua terasa sirna ketika
Yunda riska angkat bicara. Setelah asik sekali membicarakan soal liburan kampus
antara keduanya, Yunda Riska merasa penat, lalu ia mengambil sikap “pamit”
kepada kita berdua. Meskipun, kalau boleh jujur, saya diam ini, karena malu
untuk mengatakan perasaan saya, kendati, ada teman karibnya pada waktu itu. Namun,
ketika dia pergi dari tempat duduknya, kitapun sudah memulai untuk membuka
topik pembicaraan. Menuju kepada tujuan awal. “Mengatakan cinta itu lebih sulit
dari pada Mengatakan sesuatu selain cinta” gumamku dengan tangan gemetar.
Dengan menatap wajahnya, rinduku
terasa terobati. Terobati dari segala hal yang sempat menghantui pikiranku. Dengan
ini, saya katakan pada waktu itu kepadanya:
“Aku
Mencintai Mu”. Dengan bibir, tangan gemetar, dan semua anggota tubuh turun
derastis.
“Maaf,
Untuk saat ini. Aku masih ingin sendiri. Aku hormati semua isi hatimu, begitu
juga aku tidak berhak untuk melarang kamu untuk mencintai saya. Terima kasih
atas ungkapannya”. Dengan senyum pipitnya dia katakan.
“Apalagi
diriku? Aku lebih tak kuasa, memaksa dirimu untuk menerima cintaku. Kendati,
cinta bukanlah paksaan. Aku terima jawabanmu dengan senang hati.” Meski hati
ini serasa hancur. Saya mencoba tegar, tegas, dalam menghadapi penolakan cinta
ini. Toh Ali Thahir bukan hanya sekali ditolak wanita, sudah wajar.
“Sekali
lagi “Maaf” Tohir”. Sapanya kembali, kata-kata yang membuat hatiku terluka
namun sayangnya tak berdarah.
“Iya”.
Sok tegar, jawabku.
“Ouh,
iya, saya sudah dihubungi ama anak IMM untuk hadir ke acara”. Tegasnya.
“Silahkan
pergi”. Jawabku dengan patah hati.
“Kalau
aku pergi, kamu dengan siapa disinni? Apakah aku tega? Ya tidaklah!”. Tanyanya dengan
makan jawaban.
“Silahkan,
hiraukan saja diriku disini. Aku akan pergi ketika air hujan membasahi tanah
ini. Jawabku masih patah hati.
“Aku
tidak akan tega meninggalkan dirimu sendiri”. Jawabnya. Seperti menghibur
diriku dari kepiluan ini.
“sudahlah,
kau berangkat saja. Saya akan betah disini, menunggu hujan turun”. Tegasku.
Setelah saling adu argumen, kitapun
mengambil jalan diam. Diam seribu kata. Tiada kata-kata lagi yang ingin
diucapkan. Akupun mengajak dirinya keliling UIN mulai dari pintu masuk hingga
pintu keluar. Kitapun berhenti di situ. Tepatnya, di depan motorku yang diparkir
di depan Bank BRI. Aku ajak dirinya ke acara di IMM dengan mengendarai motor. Sampai
ke lampu merah, akupun bertanya kepada dirinya.
“Jadi
atau tidak ke IMM?”. Tanyaku sambil senyam-senyum pilu.
“Kelewat
kali”. Ujarnya dengan senyum.
“Terus
kita mau kemana ini?”. Tanyaku dengan pelan.
“Aku
ikut supir saja”. Jawabnya dengan sedikit gugup.
Aku bawa dirinya ke taman “Ayodya
Barito”. Tempat di mana aku masih kecil bermain-main. Ketika kami beruda sampai
ditempat itu, tempat itulah sebagai saksi bisu cinta kami. Beginilah dialognya:
“Aku
ingin katakan kembali, setelah ini aku tidak akan katakan lagi, bahwa aku
mencintaimu”. Dengan penuh kepercyaan akan mengucapkan kata-kata itu.
“Maunya
kamu apa? Diterima atau tidak? Kalau ditermia, kamu mau apa dariku? Kalau
tidak, kamu juga mau apa?”. Tanyanya agak konyol. (sedikit berfilsafat yundaku
ini) gumamku dalam hati.
“Itu
ada di kamu, tapi saya jujur, tidak akan katakan kembali kata cinta ini kepada
mu. Itu keterakhir kalinya, aku mengatakan perasaanku kepada dirimu”. Ujarku sembari
menegaskan.
“Aku
masih ragu, karena ini peratama kali kamu beretemuku. Masa iya, langsung cinta?
Gak mungkin!” ledeknya dengan menatap sembari menyenderkan kepalanya kebahuku.
“Memang
apa yang membuat dirimu ragu?”. Perkenalan yang sangta seingkat inikah?” Ya
sudah, aku terima jawabanmu. Alasan kelasik. Jawabku.
“Iya,
Kita jalani hubungan ini”. Jawabnya sambil melepas dirinya dari sandaranku.
“lah,
Gimana? Katanya gak yakin? Kamu ini plint-plant juga ya?”. Tanyaku dengan
bertubi-tubi.
“Aku
yakin sekarang Kanda”. Pertama kali ia katakan kanda kepadaku dengan mimik
pucat lucut.
“kenapa
yakinya tiba-tiba ya? Kalo gk suak ya bilang gak suka lah. Akupun tidak akan
memaksa begitu juga sebaliknya. Ujarku dengan tatapan kosong.
“Kamu
yang membuat diriku yakin untuk menjalani hubungan ini kanda”. Jawabnya lemas.
“Letakkan
kedua tanganmu di atas kedua tanganku”. Ajakku. “pada tanggal 05, januari,
2017, hari kamis. Taman ini, sebagai saksi bisu cinta kita. Lanjutku dengan
memegang tanganya dengan erat.
Setelah itu, kita pulang. Pulang dengan
penuh teka-teki hati. Diselimuti dengan gendang-gendang cinta. Inilah kami,
kami yang malu-malu tapi suka, kami yang suka-suka tapi malu. Ajari kaki
menginjak debu, agar menaruh rasa kepada yang tidak beralas. Sesekali kosongkan
hati, agar bisa mengisi orang lain dalam hidup ini. satu kata untuk dirimu yang
sedang baca karyaku ini, berubahlah, berubahlah, dan teruslah berproeses. Usah tidak
akan membohongi hasil.
Dikarang pada tanggal 06, januari,
2017. Semoga berkah, semoga terlaksana, semoga didamba oleh Allah SWT.
ليس في القلب حبان ولا في الموجود
ربان, ألله أعلم بالصواب
Ali Thahir, cek blog saya yah. Bukan murni kajian ilmiah sih, cuma cerpen2 aja. Kalo bisa saling follow juga :D
ReplyDeletehttp://ecrireve.blogspot.co.id/
Ok, akan segera dilihat
ReplyDelete