Syahadat Dengan Lingkungan Hidup
Masih
berbicara seputar ibadah, sebagaiman penulis jelaskan di artikel yang lalu,
mengenai persoalan ibadah dan agama, bahwa ibadah merupakan inti dari interaksi
manusia yang ada di muka bumi ini. Menagapa demikian? Karena dengan ibadah,
manusia bisa dilihat gerak-gerik kesehariannya. Kendati ibadah merupakan
hubungan antara mkhluq dengan Sang Kholiq dari hal apapun atau dari segi apapun
itu. Yang pada intinya, berupa interaksi. Baik interaksi hati, maupun interaksi
berupa amaliyah. Begitu juga, interaksi bathin maupun dhohir.
Karena
ibadah merupakan interaksi sosial, maka sudah sewajarnya jika dikatakan oleh
sebagian pakar, “ibadah merupakan jantung dari pada rukun islam”.
Dalam arti, interaksi sosial yang melekat dalam diri manusia, merupakan hakikat
rukun islam. Hal ini bisa dibuktikan ketika seseorang mengucapkan dua kalimat
syahadat, secara tidak langsung bukan hanya memiliki makna “bersaksi” melainkan
melebihi dari pada itu. Dia sedang melakukan interaksi sosial secara tidak
langsung kepada Allah. Begitu juga seterusnya, sampai kepada rukun islam yang
kelima. Semuanya, menggambarkan bahwa yang dimaksud dengan rukun islam itu
adalah pengabdian hambanya kepada Sang Kholiq melalui ritual, baik itu ritual
ibadah haji, ritual ibadah sholat, ritual ibadah puasa, ritual ibadah zakat,
dan yang terakhir ritual ibadah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Seperti mana yang telah dikatakan
oleh Pakar Tafsir Indonesia, Prof. Dr. Quriash Shihab., M.A. dalam bukunya,
“Lentera al-Qur’an”, kalimat syahadat (pengakuan akan keesaan Allah)
diibaratkan oleh al-Qur’an sebagai pohon yang akarnya teguh, cabangnya
menjulang kelangit, dan menghasilkan setiap saat buah yang banyak lagi lezat (baca
QS 14: 24). Pengakuan ini, lanjut beliau, disamping harus dibenarkan dihati,
juga harus diucapkan agar diketahui oleh pihak lain. Atas dasar ucapan
tersebutlah si pengucap memperoleh hak dan kewajibanya sebagai muslim. Karena
dengan syahadat, seseorang muslim, paling tidak, mengakui keberadaan tiga
pihak, yaitu Allah dengan segala sifat-Nya yang Mahasempurna, si pengucap yang
menyadari kelemahanya di hadapan Allah, dan pihak lain yang mendengar atau
mengetahui persaksian itu.
Sudah barang pasti, adanya perbedaan
ketika sikap seseorang yang hanya menyadari keberdaan dirinya dengan mereka
yang menyadari bahwa ia adalah mahluk lemah di hadapan Allah dan mahluk sosial
yang membutuhkan pihak-pihak lain dalam lingkungannya sehingga harus selalu
menyesuaikan diri dengan lingkungan itu. Inilah kaitan pertama antara syahadat
dan lingkungan (terbatas).
Di sisi lain, seperti bunyi ayat di
atas bahwa pengakuan akan keesaan Allah melahirkan sekian banyak buah. Salah satunya
adalah keyakinan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan miliknya. Dari keyakinan
inilah, seorangn muslim bisa menyadari bahwa ada persamaan antara dirinya
dengan mahluk lain. Semua adalah umat Tuhan; “Burung-burung pun adalah umat
seperti halnya manusia” (lihat QS 6: 38).
Manusia muslim dituntut bukan
sekedar mengucapkan dua kalimat syahdat, akan tetapi, jauh lebih penting dari
pada itu iyalah, mengamalkanya, mengetahui maksudnya, dan memahmi secara
betul-betul apa yang terkadaung di dalam dua kalimat tersebut. Disinilah Quraish
Shihab memberikan arahan kepada pembaca budiman untuk mengamalkan kadungan inti
sari dua kalimat tersebut dalam kehidupan yang nyata.
Dengan cara memposisikan diri
sebagai mahluk yang paling lemah, dan setara dengan mahluk-mahluk yang lain. Kendati
al-Qur’an mengajarkan kepada pengikutnya akan perbedaan seorang hamba itu hanya
dilihat dari sejauh mana nilai ketaqwaanya kepada Allah.
Demikian selayang padang penulis
mengenai “Respon al-Qur’an Mengenai Rukun Islam”. Untuk pembahsan lebih
lanjutnya, mengenai 4 poin yang ada dalam rukun islam sendiri. Akan dijelaskan
di artikel selanjutnya. Nantikan, “Janganlah kalian semua mati
(meninggalkan bumi ini) sebelum mengarang/berkarya”.
No comments:
Post a Comment