Sholat Dalam Prespektif Rukun Islam
Ketika
ditanya oleh seseorang yang awam, apa itu sholat? Sering sekali orang yang alim
memberikan pengertian yang tidak setimpal dengan rasa keingintahuan orang awam
tersebut. Sholat adalah ucapan dan pekerjaan yang diawali dengan takbir,
diakhiri dengan salam. Sehingg, tidak jarang dari hal yang menurut orang banyak
ini, “mudah”. Ternyata, memberikan dampak yang sangat vatal dalam perkembangan
nilai-nilai pendekatan hambanya kepada Allah.
Katakanlah “Si Ntem”, sosok wanita
awam yang memiliki rasa keingintahuannya tentang “Agama” manyangkut perihal “ibadah”,
sangat menggebu-gebu, sehingga, mengantarkan dirinya untuk mengenal lebih jauh
dan lebih dalam akan samudra khazanahan islam sangat lah deramatis. Dalam suatu
ketika wanita ini bertemu sosok laki-laki alim (pandai ilmu agamanya), tepatnya
di dunia kampusnya, dan dalam kesempatan inilah, sosok Ntem sangat risih sekali
akan apa yang ada dalam pikirannya, yang membuat beban pikiran dalam
kehidupanya. Yaitu, hakikat sholat, dan hakikat beragama pada dasaranya seperti
apa? Dan tujuan sholat, yang sering dia lakukan sebenarnya untuk apa? Apa untuk
dirinya sendiri? Atau untuk Allah? Begitu juga dengan persoalan agama.
“Maaf
nda, selama ntem bersama nda ini, ntem memiliki daya tarik tersendiri untuk
memahami Agama secara terperinci. Bolehkan nda menjelaskan kepada ntem dengan
penjelasan yang sekiranya diri ntem bisa puas dan bisa mengambil hikmah dri apa
yang diterangkan nda? Kendati, sering sekali teman-teman ntem, kalau ditanya
tentang “Untuk apa sholat? Jawababnya bagi ntem malah bukan memberikan “Ghiroh
yang menggebu”, jika, berkenan, tolong jelaskan ya nda....!”. Tanyanya kepada
sosok laki yang alim itu.
“Jika
itu pertanyaan mu, akan aku jawab sebisa, semampu dan, sepengalaman membacaku. Dalam
bukunya, Quraish Shihab beliau sangat jelas dan terperinci dalam memberikan
penjelasn mengenai hal ini ntem. Terutama dalam peroslan sholat, yang masih
dalam ruang lingkup agama ini. Dalam bukunya “Lentera Al-qur’an, Wawasan Al-Qur’an,
dan Membumikan Al-qur’an” beliau tegaskan bahwa, Agama sudah mefasilitasi secara totalitas
kepada seluruh pemeluknya, terutama dalam hal “ibadah”. Namun masih saja sering
dijumpai, persoalan-persoalan yang “nyelenih” dalam urusan ibadah terutama.
Sehingga, masih butuh kajian yang mendalam. Semisal, pertanyaan sementara orang
tentang “Untuk Apa Beribadah?” yang memang masih ingin mengetahui hakikat
ibadah secara mendalam dan luas. Disinilah penulis berusaha menjelaskan secara
detail, dengan mengartikan hakikat ibadah, lalu mengatarkan pembaca agar
memahami arti ibadah melalui makana leksikalnya, dan dari pemahaman ulama
kontemporer.
Ibadah adalah suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang
mencapai puncaknya sebagai dampak dari rasa pengagungan yang bersemi dalam
lubuk hati seseorang terhadap yang kepadanya ia tunduk. Rasa itu lahir akibat
adanya keyakinan dalam diri yang beribadah bahwa objek yang kepadanya ditujukan
ibadah itu memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya. Demikian
kurang lebih Muhammad Abduh menjelaskan arti ibadah ketika menafsirkan surah
al-fatihah. Dalam pengetian lain, Mahmud Syaltut, ibadah diartikan sebagai
ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah, ibadah diartikan sebagai, sebutan yang mencangkup
segala sesuatu yang disukai dan diridhai oleh Allah.
Dari berbagai macam pengertian
mengenai ibadah, bisa difahami bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah kepasrahan total kepada Allah, dalam melakukan
sesuatu yang masih dibawah naungan agama (kebaikan).
Sedangkan, jika bebricara hakikat ibadah. Hakikat ibadah tidak akan
terwujud bila mana belum memenuhi tiga hal: Pertama, tidak menganggap apa yang
ada digenggaman tangannya (kewenangannya) sebagai milik pribadinya, karena
seorang “abd” tidak memiliki sesuatu apapun, apa yang dimilikinya adalah milik
siapa yang kepadaNya ia mengabdi. Kedua, menjadikan segala aktifitasnya
berkisar kepada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadaNya dia beribadah
atau mengabdi serta menjauhi larangannya. Ketiga, tidak mendahuliNya dalam
mengambil keputusan, serta mengaitkan segala apa yang hendak dilakukanya dengan
izin serta restu siapa yang kepadaNya dia mengabdi atau beribadah.
Ketiga unsur diatas, merupakan
hakikat ibadah dalam pandangan Ja’far ash-Shadiq yang dikutip oleh Syaikh
Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Raka’izm al-Iman baina al-Aql wa al-Qalb, berbeda
dengan pendapatnya Mustafa Zed dalam bukunya, Falsafah al-Ibadah fi
al-Islam, bahwa hakikat ibadah memunyai dua unsur pokok yang tanpa keduanya
ibadah tidak diterima, yaitu kesempurnaan ketundukan kepada Allah dan
kesempurnaan kecintaan kepadaNya. Ulama ini, menjadikan “cinta” sebagai salah
satu unsur utama dan syarat diterimanya ibadah. Kendati, seperti mana yang
ditulis oleh Ibn Sina dalam bukunya, al-Isyarat wa al-Tanbihat, beribadah
kepada Allah dapat lahir dari tiga macam motivasi, karena adanya dorongan
takut, dorongan meraih surga, dan dorongan cinta kepadaNya.
Kiranya, dari uraian di atas bisa
difahami tentang tujuan beribadah pada hakikatnya adalah “Untuk Menyadari
betapa mutlaknya kepemilikian Allah terhadap hambanya”. Meminjam bahasanya
Qurais Shihab, “kalau seseorang menyadari betapa mutlaknya kepemilikian Allah
dan betapa kuat, juga berkuasanya Sang Pencipta itu, maka pengejawantahan
kesadaran itu adalah ketundukan dan penyerahan diri kepdaNya”.
Hal ini sejalan dengan hukum yang
berlaku di mana-mana serta diakui keberdaanya, suka tidak suka, senang tidak
senang, oleh siapapun itu, pengakuan
faktual yang dicerminkan oleh ketundukan yang lemah kepada yang kuat, yang
butuh kepada yang mampu, dan yang hina kepada yang mulia. Demikan seterusnya
sebagaimana tampak jelas dalam kehidupan nyata, karena bagaimanapun ia adalah
suatu hukum atau ketetapan fitri yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun.
“Apakah
bisa difahami dalam pembahasan yang sudah Nda bahas secara panjang lebar ini?”
tanyaku dengan agak tersenyum lepas.
“Ouh,
pada intinya, kita sholat itu untuk menyadari akan kelemahan kita ya nda? Tanyanya
kembali, seakan rasa ingin tahunya itu masih menghantuinya.
“Benar
sekali ntem, asal ntem tau, bahwa sholat
itu, mengajarka kita kepada suatu hukum
atau ketetapan fitri yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun.” Sholat memberikan
isyarat akan kelemahan manusia, yang masih butuh menadahkan keduan tangannya
kepada Allah. Oleh sebab itu ntem, Sholatnya orang yang masih plint-plant itu,
kebanyakan ia masih hanya memiliki nilai kesadaran tahap rendah. Kendati sholat
dalam pandangan mereka hanya sebatas “Menghilangkan/Menggugurkan Kewajiban”
saja, seiring selesainya sholat, maka selesai pula kewajiban hamba kepada ma’budnya.
Tidak untuk sebaliknya ntem, orang yang sudah merasa asik, ketika ada panggilan
adzan menyapanya. Dan bergegas terburu-buru, ketika Panggilan itu berkumandang,
juga merasakan nikmatnya sholat. Maka, orang yang seperti ini dalam bahasanya
Emha Ainun Najib dalam bukunya, “Tuhanpun Berpuasa”, mengatakan “Orang-orang
yang merasakan kehadiran sholat dalam hidupnya sebagai “kebutuhan Primer”. Jawabku
sambil menyeruput kopi hitamku.
“Ouh,
hakikat sholat dari apa yang diterangkan oleh nda itu menurut ntem, ntem
simpulkan sebagai “bentuk pengabdian seorang hamba kepada ma’budnya secara
totalitas dan memberikan dampak pengaruh dalam kehidupanya. Sehingga, mengatarkan
dirinya untuk beranggapan “sholat sebagai kebutuhan dalam hidupnya” benarkah
nda?”. Agak sedikit encer otak perempuan ini.
“Benar
sekli ntem”. Jawabku sembari mencari rokok yang kehilang pada waktu itu.
“Terima
kasih Nda-ku, kaulah imam dunia akhiratku. Tuntunlah aku, menuju ridho-Nya”. Rasa kegelisahanya mulai
muncul. Mungkin ini yang dikatakan oleh kahli gibran dalam bukunya “sayap-sayap
patah”. Aku akan diam karena perkataan jujurmu.
“kembali
kasih ntem-ku. Jangan sugkan-sungkan jika ada persoalan yang menjanggal hatimu,
tanyakanlah sayang...!”. jawabku dengan senang hati.
Malam itu adalah malam yang sangat
membuahkan “cinta”. Cinta antara mahasiswa dengan mahasiswi dalam ranah akademika.
Intan lestari dengan Muhammad ali thahir. Akan dilanjutkan kembali dipertemuan
mendatang. Dengan judul “Hakit Berzakat”. Next Time All.
No comments:
Post a Comment