Tuesday, 10 January 2017

Cerpen Filsafat Tentang Hakikat Shalat

Sholat Dalam Prespektif Rukun Islam


          Ketika ditanya oleh seseorang yang awam, apa itu sholat? Sering sekali orang yang alim memberikan pengertian yang tidak setimpal dengan rasa keingintahuan orang awam tersebut. Sholat adalah ucapan dan pekerjaan yang diawali dengan takbir, diakhiri dengan salam. Sehingg, tidak jarang dari hal yang menurut orang banyak ini, “mudah”. Ternyata, memberikan dampak yang sangat vatal dalam perkembangan nilai-nilai pendekatan hambanya kepada Allah.
            Katakanlah “Si Ntem”, sosok wanita awam yang memiliki rasa keingintahuannya tentang “Agama” manyangkut perihal “ibadah”, sangat menggebu-gebu, sehingga, mengantarkan dirinya untuk mengenal lebih jauh dan lebih dalam akan samudra khazanahan islam sangat lah deramatis. Dalam suatu ketika wanita ini bertemu sosok laki-laki alim (pandai ilmu agamanya), tepatnya di dunia kampusnya, dan dalam kesempatan inilah, sosok Ntem sangat risih sekali akan apa yang ada dalam pikirannya, yang membuat beban pikiran dalam kehidupanya. Yaitu, hakikat sholat, dan hakikat beragama pada dasaranya seperti apa? Dan tujuan sholat, yang sering dia lakukan sebenarnya untuk apa? Apa untuk dirinya sendiri? Atau untuk Allah? Begitu juga dengan persoalan agama.
“Maaf nda, selama ntem bersama nda ini, ntem memiliki daya tarik tersendiri untuk memahami Agama secara terperinci. Bolehkan nda menjelaskan kepada ntem dengan penjelasan yang sekiranya diri ntem bisa puas dan bisa mengambil hikmah dri apa yang diterangkan nda? Kendati, sering sekali teman-teman ntem, kalau ditanya tentang “Untuk apa sholat? Jawababnya bagi ntem malah bukan memberikan “Ghiroh yang menggebu”, jika, berkenan, tolong jelaskan ya nda....!”. Tanyanya kepada sosok laki yang alim itu.
“Jika itu pertanyaan mu, akan aku jawab sebisa, semampu dan, sepengalaman membacaku. Dalam bukunya, Quraish Shihab beliau sangat jelas dan terperinci dalam memberikan penjelasn mengenai hal ini ntem. Terutama dalam peroslan sholat, yang masih dalam ruang lingkup agama ini. Dalam bukunya “Lentera Al-qur’an, Wawasan Al-Qur’an, dan Membumikan Al-qur’an” beliau tegaskan bahwa,  Agama sudah mefasilitasi secara totalitas kepada seluruh pemeluknya, terutama dalam hal “ibadah”. Namun masih saja sering dijumpai, persoalan-persoalan yang “nyelenih” dalam urusan ibadah terutama. Sehingga, masih butuh kajian yang mendalam. Semisal, pertanyaan sementara orang tentang “Untuk Apa Beribadah?” yang memang masih ingin mengetahui hakikat ibadah secara mendalam dan luas. Disinilah penulis berusaha menjelaskan secara detail, dengan mengartikan hakikat ibadah, lalu mengatarkan pembaca agar memahami arti ibadah melalui makana leksikalnya, dan dari pemahaman ulama kontemporer.  
            Ibadah adalah  suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya sebagai dampak dari rasa pengagungan yang bersemi dalam lubuk hati seseorang terhadap yang kepadanya ia tunduk. Rasa itu lahir akibat adanya keyakinan dalam diri yang beribadah bahwa objek yang kepadanya ditujukan ibadah itu memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya. Demikian kurang lebih Muhammad Abduh menjelaskan arti ibadah ketika menafsirkan surah al-fatihah. Dalam pengetian lain, Mahmud Syaltut, ibadah diartikan sebagai ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam pandangan Ibn Taimiyah, ibadah diartikan sebagai, sebutan yang mencangkup segala sesuatu yang disukai dan diridhai oleh Allah.
            Dari berbagai macam pengertian mengenai ibadah, bisa difahami bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah  kepasrahan total kepada Allah, dalam melakukan sesuatu yang masih dibawah naungan agama (kebaikan).
Sedangkan, jika bebricara hakikat ibadah. Hakikat ibadah tidak akan terwujud bila mana belum memenuhi tiga hal: Pertama, tidak menganggap apa yang ada digenggaman tangannya (kewenangannya) sebagai milik pribadinya, karena seorang “abd” tidak memiliki sesuatu apapun, apa yang dimilikinya adalah milik siapa yang kepadaNya ia mengabdi. Kedua, menjadikan segala aktifitasnya berkisar kepada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadaNya dia beribadah atau mengabdi serta menjauhi larangannya. Ketiga, tidak mendahuliNya dalam mengambil keputusan, serta mengaitkan segala apa yang hendak dilakukanya dengan izin serta restu siapa yang kepadaNya dia mengabdi atau beribadah.
            Ketiga unsur diatas, merupakan hakikat ibadah dalam pandangan Ja’far ash-Shadiq yang dikutip oleh Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Raka’izm al-Iman baina al-Aql wa al-Qalb, berbeda dengan pendapatnya Mustafa Zed dalam bukunya, Falsafah al-Ibadah fi al-Islam, bahwa hakikat ibadah memunyai dua unsur pokok yang tanpa keduanya ibadah tidak diterima, yaitu kesempurnaan ketundukan kepada Allah dan kesempurnaan kecintaan kepadaNya. Ulama ini, menjadikan “cinta” sebagai salah satu unsur utama dan syarat diterimanya ibadah. Kendati, seperti mana yang ditulis oleh Ibn Sina dalam bukunya, al-Isyarat wa al-Tanbihat, beribadah kepada Allah dapat lahir dari tiga macam motivasi, karena adanya dorongan takut, dorongan meraih surga, dan dorongan cinta kepadaNya.
            Kiranya, dari uraian di atas bisa difahami tentang tujuan beribadah pada hakikatnya adalah “Untuk Menyadari betapa mutlaknya kepemilikian Allah terhadap hambanya”. Meminjam bahasanya Qurais Shihab, “kalau seseorang menyadari betapa mutlaknya kepemilikian Allah dan betapa kuat, juga berkuasanya Sang Pencipta itu, maka pengejawantahan kesadaran itu adalah ketundukan dan penyerahan diri kepdaNya”.
            Hal ini sejalan dengan hukum yang berlaku di mana-mana serta diakui keberdaanya, suka tidak suka, senang tidak senang, oleh siapapun itu,  pengakuan faktual yang dicerminkan oleh ketundukan yang lemah kepada yang kuat, yang butuh kepada yang mampu, dan yang hina kepada yang mulia. Demikan seterusnya sebagaimana tampak jelas dalam kehidupan nyata, karena bagaimanapun ia adalah suatu hukum atau ketetapan fitri yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun.
“Apakah bisa difahami dalam pembahasan yang sudah Nda bahas secara panjang lebar ini?” tanyaku dengan agak tersenyum lepas.
“Ouh, pada intinya, kita sholat itu untuk menyadari akan kelemahan kita ya nda? Tanyanya kembali, seakan rasa ingin tahunya itu masih menghantuinya.
“Benar sekali ntem, asal  ntem tau, bahwa sholat itu, mengajarka kita kepada suatu hukum atau ketetapan fitri yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun.” Sholat memberikan isyarat akan kelemahan manusia, yang masih butuh menadahkan keduan tangannya kepada Allah. Oleh sebab itu ntem, Sholatnya orang yang masih plint-plant itu, kebanyakan ia masih hanya memiliki nilai kesadaran tahap rendah. Kendati sholat dalam pandangan mereka hanya sebatas “Menghilangkan/Menggugurkan Kewajiban” saja, seiring selesainya sholat, maka selesai pula kewajiban hamba kepada ma’budnya. Tidak untuk sebaliknya ntem, orang yang sudah merasa asik, ketika ada panggilan adzan menyapanya. Dan bergegas terburu-buru, ketika Panggilan itu berkumandang, juga merasakan nikmatnya sholat. Maka, orang yang seperti ini dalam bahasanya Emha Ainun Najib dalam bukunya, “Tuhanpun Berpuasa”, mengatakan “Orang-orang yang merasakan kehadiran sholat dalam hidupnya sebagai “kebutuhan Primer”. Jawabku sambil menyeruput kopi hitamku.
“Ouh, hakikat sholat dari apa yang diterangkan oleh nda itu menurut ntem, ntem simpulkan sebagai “bentuk pengabdian seorang hamba kepada ma’budnya secara totalitas dan memberikan dampak pengaruh dalam kehidupanya. Sehingga, mengatarkan dirinya untuk beranggapan “sholat sebagai kebutuhan dalam hidupnya” benarkah nda?”. Agak sedikit encer otak perempuan ini.
“Benar sekli ntem”. Jawabku sembari mencari rokok yang kehilang pada waktu itu.
“Terima kasih Nda-ku, kaulah imam dunia akhiratku. Tuntunlah aku,  menuju ridho-Nya”. Rasa kegelisahanya mulai muncul. Mungkin ini yang dikatakan oleh kahli gibran dalam bukunya “sayap-sayap patah”. Aku akan diam karena perkataan jujurmu.
“kembali kasih ntem-ku. Jangan sugkan-sungkan jika ada persoalan yang menjanggal hatimu, tanyakanlah sayang...!”. jawabku dengan senang hati.
            Malam itu adalah malam yang sangat membuahkan “cinta”. Cinta antara mahasiswa dengan mahasiswi dalam ranah akademika. Intan lestari dengan Muhammad ali thahir. Akan dilanjutkan kembali dipertemuan mendatang. Dengan judul “Hakit Berzakat”. Next Time All.


No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...