Sunday, 15 January 2017

Peran Al-quran Dalam Membentuk Keluarga SAMAWA

Menjalin Hubungan Dalam Prespektif Al-Qur’an


          Al-quran adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketantuan Tuhan yang membimbing dan mengarahkan manusia menuju kebahagian dunia dan akhirat. Ia beperan ketika pemeluknya memahami dengan baik dan benar, menghayati, dan mengamalkan ketentuan-ketentuan tersebut. Al-quran akan lumpuh serta hilang fungsi dan peranannya jika pemahaman, penghayatan, dan pengalaman itu tidak mendapat tempat dalam kehidupan pemeluknya. Karena itu, uraian tentang tema di atas mengundang atau mengajak pembicara tentang tuntutan al-Qur’an menyangkut pernikahan serta fungsi dan tujuannya.
            Dalam pandangan al-Qur’an, salah satu tujuan utama menjalin hubungan yang dibungkus dengan kata “pernikahan” ini adalah untuk menciptakan aura sakinah, mawaddah dalam hati nan perasaan, juga aura rahmat dalam kehidupan berumah tangga antar istri, suami, dan anak-anaknya (baca QS. Ar-Rum {30}: 21).
            Tiga kata “Sakinah, Mawaddah, Dan Warrahmah” ini sering kita dengar ketika MC membawakan acara dan pada sambutan-sambutan yang memang sudah tak asing bahkan di jadikan sebuah doa mujarab agar kedua mempelai memiliki dan merasakan tiga kata ini dalam kehidupan rumah tangganya. Kendati demikian, maka sudah seyogyanya, seseorang mengharap penuh akan kehadiran tiga kata dalam peamplikasianya dalam menjalin hubungan rumah tangga mereka.
            Teori Samawa yang sempat  penulis jadikan sebagai judul pembahasaan dalam artikel sebelumnya . Memang sudah sewajarnya, jika kita lihat kembali arti sebuah teori menurut Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. adalah hubungan antara konsep-konsep dengan konsep tersebut kita bisa memprediksi sesuatu atau mengetahui sesuatu. Sedangkan yang dimaksud konsep lanjut beliau adalah gambaran mental kita mengenai sebuah objek, sifat denotatif. Jadi, teori samawa ini untuk mengetahui sesuatu dari konsep-konsep yang akan penulis sajikan kepada pembaca, hasil kutipan penulis dari bukunya Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A.
            Adapun makna dari tiga kata di atas tersebut sebagaimana berikut:
1.      Kata sakinah menurut KBBI mempunyai berbagai macam makna di dalamnya. Di antarnya adalah ketenangan, ketentraman, dan kedamaian.  Jika kita hubungkan dalam pernikahan. Kata sakinah memliki arti, kurang lebihnya demikian. “membangun rumah tangga yang penuh kedamaian (rukun, ramah, dan tamah)”.
2.      Kata mawaddah menurut KBBI mempunyai satu makna di dalamnya, yaitu kasih sayang. Dengan arti luasnya “dua pasangan insan menjalin hubungannya dengan penuh kasih dan menyayangi”.
3.      Kata rahmat  menurut KBBI mempunyai berbagai macam makna di dalamnya. Di antarnya adalah belas kasih, balasan, dan karunia Allah. Jika kita hubungkan dalam pernikahan. Kata rahmat memliki arti,  kurang lebihnya demikian. “membangun rumah tangga dengan penuh belas kasih dan balas-membalas dalam arti kebaikan, akan membuahkan hasil karunia Allah. Krena sejatinya pernikahan adalah karena Allah semata”.
Setelah penulis uraikan pengertian tiga kata di atas sisi KBBI, sekarang penulis mengajak para pembaca untuk meninjau kembali kata-perkata dari tiga kata tersebut menurut analisis islam tinjauan tematik al-qur’an.
Dalam hal ini, islam menetapkan bahwa tujuan pernikahan atau perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang sakinah, berbasis mawaddah dan warrahmah.  Maka, tidak lagi bisa ditinggalkan akan pentingnya pengertian tiga kata di atas tadi menurut pandangan al-qura’an.
1.      Kata sakinah ditemukan di dalam al-qur’an sebanyak 6 kali di samping bentuk lain yang sekar denganya. Menurut keseluruhan, semuanya berjumlah 69 kata sakinah yang berasal dari سكن – يسكن , pada mulanya berarti sesuatu yang tenang atau tetap setelah bergerak (ثبوت السعي بعد التحرك). Kata ini merupakan kata antonim dari "اتراب" yang meiliki arti “kegoncangan” dan tidak digunkan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketentaraman sebelum terjadi gejelok, apapaun latar belakangnya rumah disebut “Maskan” krena kata ini merupakan tempat untuk istirahat setelah beraktifitas. Begitu juga di waktu malam, di nyatakan dalam al-qur’an dengan sakan, krena kata ini juga digunkan untuk tidur dan istirahat setelah sibuk mencari rizki di seiang harinya.
Pada mulanya, kata sukun digunakan untuk menunjukkan arti ketenangan yang bersifat jasmianiyyah, sementara sukun yang berati ketenangan dan kesenangan yang bersifat rohaniyyah adalah (مجاز الإستعارة) atau dengan kata lain, sakinah yang difahami sebagi ketenangan jiwa ata ketenangan rohani justru bukan arti yang sebenarnya.  Meskipun begitu, karakter dasar dari kata sakinah, yakni tenang setelah bergerak atau bergejolak, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Diantara ayat-ayat al-qur’an yang menunjukkan سكن – يسكن – سكينة yang bersifat rohani adalah :
هو الذي خلقكم من نفس واحدة وجعل منها زوجها ليسكن إليها
Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan dari padanya Dia menciptakan pasanganya agar dia merasa senang kepadanya. (Al-A’raf/7:189)
            Ayat ini memberikan info akan keberadaan seseorang sebagai pasanganya bertujuan untuk memperoleh ketenangan. “Ketenangan” dalam hal ini tentu saja berbeda dengan ketenangan yang dialami seseorang ketika ia sudah berada di dalam rumah setelah seharian mencari rizki. Oleh krena itu,  ketenangan  sebagai tujuan dari keberadan orang lain sebagai pasangannya adalah bersifat rohani atau bisa juga disebut dengan “ketenangan jiwa”. Artinya, secara fitrah laki-laki akan merasa tenang jiwanya dengan kehadiran seorang perempuan atau pedamping di sisinya (baik itu masa pacaran maupun sudah menikah). Begitu juga sebaliknya, perempuan akan merasa nyaman dan tentram dengan kehadiran sosok laki-laki sebagai pendamping atau suaminya. Kondisi bathin yang mereka rasakan tersebut, akan terwujud setelah mereka merasakan kegoncangan dan kegelisahan ketika seindiri menyapanya.  Sesuai dan selaras sperti yang pernah penulis katakan ke pada wanita yang bernama zakiyah palaloi. “kegelisahanku lebih besar dari pada cintaku padamu. Karena pada waktu itu, aku tak bersamamu, dan Ketika kau sudah ada di sisiku.  Cintaku lebih besar dari pada kegelisahanku pada mu. Karena, aku bisa menjagamu di sepanjang hayatku”.
Pada ayat yang lain Allah juga berfirman tentang hal yang di atas :
هو الذي أنزل السكينة في قلوب المؤمنين ليزدادوا إيمانا مع إيمانهم
Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah ke imanan atas keimanan mereka (yang telah ada). (al-fath/48:4)
Ayat di atas meilustrasikan keadaan atau kondisi bathin kaum mukminin yang senantiasa dilanda rasa takut dan gelisah akibat perilaku kaum kafir Mekah dalam perjanjian hudaibiyah. Lalu Rasulullah memberi kabar gembira bahwa mereka akan memperoleh pertolongan dari Allah. Berita inilah yang dianggap sebagai “Sakinah” yang menjadikan bathin/jiwa orang-orang mukmin tenang dan bahkan semakin kuat imannya.
Kesimpulan dari kata sakinah adalah kata sakinah dari dua ayat di atas bisa di tarik benang merahnya menjadi kata yang menunjukkan arti ketenangan  dan ketentraman, baik itu dari segi fisik maupun non fisik. Khusus yang berbentuk sakinah, semuanya menunjukkan arti sebagai ketenangan dan ketentraman bathin/jiwa manusia. Dan lebih tepatnya kata ini tidak akan digunakan kecuali untuk meilustrasikan rasa ketentraman dan ketenangan setelah sebelumnya mengalami kegoncangan atau kegelisahan, baik itu dari segi fisik maupun non fisik.
2.      Kata Mawaddah dalam al-qur’an terulang sebanyak 8 kali. Secara keseluruhan dengan kata-kata yang seakar denganya, semuanya berjumlah 25. Kata ini berasal dari kata ود – يود  yang berarti “mencintai sesuatu dan berharap agar bisa terwujud (محبة الشيئ وتمنى كونه). Sementara menurut al-Asfahani kata ini bisa dipahami dalam berbagai macam makna.

Pertama, berarti cinta (محبة) sekaligus keinginan untuk memiliki. Antara dua kata ini saling terkait, yakni disebabkan keinginan yang kuat, yang akhirnya melahirkan cinta. Hal ini bisa dilihat pada firman Allah :

وجعل بينكم مودة ورحمة
Dan dia yang menjadikan diantara kalian rasa kasih dan sayang. (ar-Rum/30:21)
                Ayat di atas meilustrasikan akan makna kata yang ada di lafad mawaddah yang mana sebagai salah satu yang menghiasi perkawinan bukan sekedar cinta, sebagiaman kecintaan orang tua kepada anak-anaknya. Sebab, rasa cinta di sini akan mendorong pemiliknya untuk mewujudkan cintanya sehingga menyatu.
            Inilah yang tergambar dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang terjalin dalam sebuah perkawinan dan pacaran. Ketika seorang laki-laki mencintai wanita, maka ia ingin sekali mewujudkan cintanya dengan memiliki wanita tersebut (menikahinya),. Begitu juga dengan perempuan.
            Kedua berarti kasih sayang. Hal ini bisa dipahami dari firman Allah :
قل لا أسئلكم عليه أجرا إلا المودة في القربى
Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan apapun atas seruanku kecuali kasih sayang dan kekeluargaan.” (asy-Syura/42:23)



                Kata mawaddah di sini hanya memiliki makna kasih sayang dalam kekeluargaan. Berbeda dengan cintanya suami dan istri. Dalam hal ini, kasih dan sayang semata-mata hanya untuk menjaga hubungan tali silaturahmi antara kerabat.
            Kesimpulan dari dua ayat di atas yang di jelaskan oleh ulama terkemuka tadi adalah kata mawaddah memiliki arti sebagaiman berikut. Cinta plus, cinta dan ingin, masing-masing bisa dilihat dari konteks kalimatnya.
3.      Kata rahmah terulang sebanyak 114 kali dalam al-qur’an. Secara keseluruhan dengan kata-kata lain yang seakar dengannya, berjumlah 339.
Kata rahmah berasal dari rahima-yarhamu yang berarti kasih sayang (riqqah), yakni sifat yang mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan kepada siapa yang dikasihi. Menurut al-Asyfahānī, kata rahmah mengandung dua arti, kasih sayang (riqqah) dan budi baik/murah hati (ih}sān).10 Kata rahmah yang berarti kasih sayang (riqqah) adalah dianugerahkan oleh Allah kepada setiap manusia. Artinya, dengan rahmat Allah tersebut manusia akan mudah tersentuh hatinya jika melihat pihak lain yang lemah atau merasa iba atas penderitaan orang lain.

Bahkan, sebagai wujud kasih sayangnya, seseorang berani berkorban dan bersabar untuk menanggung rasa sakit. Hal ini dapat dilihat pada kasus seorang ibu yang baru saja melahirkan, dimana secara demonstratif ia akan mencium bayinya, padahal sebelumnya ia berada dalam kondisi yang penuh kepayahan dan sakit yang teramat sangat.  Demikian ini, karena banyak juga dijumpai kenyataan berbalik, yakni seorang ibu begitu tega membunuh anaknya yang baru saja dilahirkan, karena khawatir diketahui orang lain sebab bayi tersebut adalah hasil hubungan gelap. Ada juga yang meninggalkan bayinya begitu saja di pinggir jalan dengan harapan ada orang lain yang mau mengambilnya. Hal ini, didorong oleh rasa takut yang berlebihan untuk tidak bisa memberinya makan atau takut miskin, dan sebagainya. Apa pun faktor yang melatarbelakanginya, yang jelas si ibu itu telah kehilangan rahmat-Nya, sehingga ia terdorong melakukan perbuatan tercela dan tidak mau berkorban untuk anaknya.

Di samping itu, pernyataan “sifat kasih sayang telah ditancapkan pada diri manusia” seharusnya menumbuhkan kesadaran bahwa segala bentuk kebaikan; kasih sayang, perhatian, juga budi baik, bukanlah terlahir dari sifatnya sendiri, juga bukan karena kemurahan hatinya; namun, sebagai realisasi dari sebagian kecil rahmat Allah yang ditancapkan ke dalam lubuk hatinya. Seperti yang bisa dipahami pada hadis:
من لايرحم لايرحم (رواه البخاري والمسلم عن أبي هريرة)
Barang siapa yang tidak mengasihi, maka tidak akan dikasihi. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah)
من لايرحم الناس لايرحمه الله (رواه البخاري والمسلم عن جرير بن عبد الله)
Siapa yang tidak menyayangi orang lain, ia tidak disayang Allah (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Jarīr bin Abdullāh)
           
Dari dua hadis di atas jelas sudah bahwa rasa belas kasih yang ditancapkan dalam diri seseorang akan hilang jika ia tidak menyayangi kepada sesamanya secara tulus. Rasulullah juga tidak mau mengakui orang yang tidak menyayangi kepada yang kecil sebagai bagian dari umatnya. Begitu juga Allah tidak akan menyayangi manusia jikala manusia tidak menyayangi sesamanya. Yang pada intinya adalah kata sayang berlaku hanya pada hubungan timbal balik.

Sementara kata rahmah yang berarti ihsān (budi baik/murah hati) adalah khusus milik Allah. Artinya, hanya Allah-lah yang boleh menyatakan atau mengklaim sebagai Yang Memiliki budi baik. Atau dengan kata lain, kebaikan, perhatian, kasih sayang, apa pun bentuknya, yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, adalah karena kemurahan Allah, sehingga Dia disifati sebagai Sang Maha Pemurah atau ar-Rahmān. Oleh karenanya, sifat ar-Rahmān hanya boleh disandang oleh Allah semata, karena kata tersebut mengisyaratkan kesempurnaan.11Melalui sifat ar-Rahmān inilah, setiap makhluk hidup berhak memperoleh kemurahan anugerah-Nya. Dengan sifat ar-Rahmān juga, Allah tidak pernah mempertimbangkan ketaatan atau ketidaktaatan seseorang dalam memberi rezeki.

Rahmat Allah juga ada yang terlahir dari sifat ar-Rahīm-Nya. Dalam hal ini, Al-Qur'an menyatakan bahwa curahan Rahīm Allah ini hanya diberikan kepada hamba-Nya yang memenuhi kriteria, yang diistilahkan oleh Al-Qur'an dengan “mukmin” (al-Ahzāb/33: 43), sehingga ada yang mengatakan bahwa Allah adalah ar-Rahmān di dunia dan ar-Rahīm ketika di akhirat. Demikian itu, karena kemurahan Allah dapat dinikmati oleh siapa saja, baik mukmin maupun kafir, sedangkan di akhirat rahmat Allah hanya khusus bagi orang beriman.12 Penjelasan ini diperkuat oleh firman Allah dalam surat (al-A‘rāf/7: 156).

Dari penjelasan di atas dapat digambarkan sekaligus dibedakan sebagai berikut, sakīnah merupakan kondisi fisik atau batin yang merasa tenang dan tenteram, sedangkan mawaddah terbagi dalam tiga kategori, yaitu :
1) cinta plus, yakni hasrat cinta yang sangat kuat sehingga terdorong untuk saling menyatu dan memiliki, seperti suami-istri, 
2) kasih sayang, seperti dalam hubungan kekerabatan, dan 
3) menginginkan sesuatu. Namun, “ingin” dalam hal ini konotasinya adalah negatif, barangkali hampir mirip dengan hasud. Sementara rahmah adalah anugerah yang diberikan oleh Allah yang memungkinkan seseorang dapat berbuat kebaikan bahkan yang terbaik untuk pihak lain, yang dibuktikan melalui pengorbanan yang tulus.

Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah dalam Perkawinan, Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa perkawinan bukan sekedar pertemuan dua jenis kelamin untuk memperoleh keturunan, apalagi hanya sekedar untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Namun, harus ada tujuan yang lebih substantif dan bermakna, yakni terciptanya keluarga sakinah yang diliputi oleh rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rah}mah), seperti dalam firman-Nya:

ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحة إن في ذلك لأيات لقوم يتفكرون
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (ar-Rūm/30: 21)




            Ayat ini mengandung pelajaran penting bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk berketurunan sebagaimana makhluk hidup lainnya. Hanya saja, dalam tataran prosesnya, manusia berbeda dengan binatang. Ada aturan yang harus dipenuhi sebelumnya, yakni melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama. Melalui perkawinan yang sah itulah, manusia akan memperoleh ketenangan dan ketenteraman,
meskipun sebelumnya keduanya tidak saling mengenal pribadi masing-masing secara mendalam. Dari sinilah kemudian muncul rasa saling menyayangi dan mengasihi, sehingga keduanya bisa memiliki keturunan.14 Term yaskunu dalam ayat di atas dirangkai dengan kata ilaa الى bukan dirangkai dengan kata ‘inda عندyang berarti ketenangan atau kebahagiaan itu bersifat batin/rohani, bukan fisik. Di samping itu, susunan redaksi tersebut (yaskunu + ilā) juga mengindikasikan hilangnya kegoncangan dan gejolak jiwa yang sangat menggelisahkan.15

Ayat di atas memang menggunakan dhamīr kum (kata ganti untuk laki-laki), akan tetapi ia juga ditujukan kepada kaum perempuan. Sebab, kata zauj bukan berarti suami, tetapi menunjukkan arti menyatunya dua hal, dalam hal ini, suami dan istri. Sehingga masing-masing disebut zauj bagi pasangannya, seorang perempuan akan disebut istri si fulan; begitu juga seorang laki-laki, disebut suami si fulanah.16

Sakīnah sebagai tujuan perkawinan tidak diungkapkan dengan kata benda (isim), akan tetapi dengan bentuk kata kerja (taskunu/yaskunu), yang menunjukkan arti hudūs/ (kejadian baru) dan tajaddud (memperbaharui). Artinya, sakinah bukan sesuatu yang sudah jadi atau sekali jadi, namun ia harus diupayakan secara sungguh-sungguh (mujāhadah) dan terus menerus diperbaharui, sebab ia bersifat dinamis yang senantiasa timbul tenggelam. Atau dengan kata lain, sebuah perkawinan yang sakinah bukan berarti sebuah perkawinan yang tidak pernah ada masalah, sebab perkawinan bagaikan bahtera yang mengarungi lautan, dan setenang-tenangnya lautan pasti ada ombak. Namun demikian, gambaran sederhana dari keluarga sakinah adalah jika masing-masing pihak dengan penuh kesungguhan berusaha mengatasi masalah yang timbul, dengan didasarkan pada keinginan yang kuat untuk menuju kepada terpenuhi ketenangan dan ketentraman jiwa tersebut, sebagaimana diisyaratkan oleh redaksi litaskunu ilā bukan litaskunu ‘inda.17

Di samping itu, Al-Qur'an juga menyatakan bahwa sakīnah tersebut dimasukkan oleh Allah melalui kalbu. Artinya, kedua belah pihak, yakni suami dan istri, harus mempersiapkan kalbunya terlebih dahulu dengan kesabaran dan ketakwaan.

Dalam hal ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa persiapan kalbu harus melalui beberapa fase, bermula dari mengosongkan kalbu dari sifat-sifat tercela (takhallī), dengan cara menyadari atas segala kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat, disertai tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha menghindarinya. Disusul dengan perjuangan/mujāhadah untuk melawan sifat-sifat tercela tersebut dengan cara mengedepankan sifat-sifat terpuji (tahallī), seperti melawan kekikiran dengan kedermawanan, kecerobohan dengan keberanian, egoisme dengan pengorbanan, sambil terus memohon pertolongan dari Allah subhānahū wa ta‘ālā.

Pertemuan dua jenis kelamin yang dijalin melalui perkawinan akan melahirkan kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman, baik jasmani maupun rohani. Kemudian interaksi antara keduanya secara aktif inilah akan melahirkan rasa cinta (mawaddah). Term mawaddah, dalam konteks ayat ini, mengacu pada penjelasan sebelumnya, adalah mengandung dua makna sekaligus yaitu mah}abbah (cinta) dan tamannī kaunihi (keinginan untuk mewujudkan). Atau dengan kata lain, perasaan saling mencintai itulah yang mendorong masing-masing pihak untuk saling mendekat. Oleh karena itu, mawaddah bukanlah cinta biasa yang terkadang timbul tenggelam, bahkan pupus sama sekali. Mawaddah, meminjam istilah M. Quraish Shihab, adalah “cinta plus”. Sebab, ketika seseorang yang sudah dipenuhi perasaan mawaddah, maka cintanya akan sangat kukuh dan tidak mudah putus, sebab hatinya senantiasa lapang dan kosong dari kehendak buruk.

Dari rasa cinta yang mendalam inilah, masing-masing pihak bertekad untuk melakukan yang terbaik dan berkorban untuk pasangannya. Di sinilah perkawinan yang bertujuan membentuk keluarga yang sakīnah akan senantiasa diliputi dengan rahmah, yaitu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan yang terbaik kepada pihak lain. Ada juga yang memahami rahmah adalah sesuatu yang menumbuhkan sifat kasihan dan simpati atas dasar kekerabatan dan kasih sayang. Pendapat yang lain menyatakan bahwa rahmah adalah sesuatu yang mendorong seseorang melakukan perbuatan yang melahirkan rida Allah.

Dari beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah perkawinan yang dirahmati, indikasinya adalah kedua belah pihak berusaha secara sungguh-sungguh mencintai dengan tulus terhadap pasangannya masing-masing, serta memperlakukan pasangannya dengan perlakuan yang baik, bahkan yang terbaik, serta keduanya berusaha melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan rida Allah.

Ada juga yang memahami rahmah di sini berarti anak, sebab dengan kehadiran anak kehidupan rumah tangga akan semakin dinamis, masing-masing pihak akan senantiasa terdorong untuk berbuat yang terbaik, terutama demi perkembangan anaknya. Namun begitu, kandungan makna rahmah tetap lebih tinggi dari sekedar anak. M. Quraish Shihab menggambarkan rahmah dalam kasus poligami, misalnya, bahwa rahmah akan mampu meredam keinginan seorang suami untuk berpoligami, ketika diketahui istrinya ternyata mandul atau tidak mampu memenuhi kebutuhan seksualnya, meskipun dibolehkan. Dengan rahmah, ia akan berani berkorban demi cinta dan kasihnya kepada sang istri. Begitu juga bagi sang istri, ia sangat merasakan betapa pedihnya perasaan suaminya ketika keinginan dan kebutuhannya tidak terpenuhi, maka dengan rahmah ia berani berkorban untuk “mengizinkan” suaminya meraih dambaan dan keinginannya itu. Di sinilah cinta dan rahmat akan teruji.

Hanya saja, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa mawaddah dan rahmah tidak begitu saja bisa diperoleh setelah terlaksananya perkawinan. Akan tetapi yang benar adalah melalui perkawinan seseorang akan memperoleh mawaddah dan rahmah sebagai landasan terciptanya keluarga yang sakīnah.

Dengan demikian, masing-masing pihak, suami-istri, harus saling bantu-membantu, dan dukung-mendukung demi terpenuhinya mawaddah dan rahmah tersebut, sebagaimana yang bisa dipahami dari redaksi: wa ja‘ala bainakum mawaddah wa rahmah.

Menurut sementara pakar, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, bahwa ada beberapa tahapan yang biasanya dilalui oleh pasangan suami-istri, sebelum mencapai kehidupan keluarga sakīnah yang dihiasi dengan mawaddah dan rahmah, antara lain, yaitu:

Pertama: Tahap Bulan Madu 
Pada tahap ini kedua pasangan benar-benar menikmati manisnya sebuah perkawinan. Mereka sangat romantis, penuh cinta, dan senda gurau. Pada tahap ini, biasanya digambarkan bahwa masing-masing bersedia melalui kehidupan ini walau dalam kemiskinan dan kekurangan.

Kedua: Tahap Gejolak 
Pada tahap ini, mulai timbul gejolak setelah berlalu masa bulan madu. Kejengkelan sudah mulai tumbuh di hati, apalagi keduanya sudah mulai terlihat sifat-sifat aslinya yang selama ini “sengaja” ditutup-tutupi untuk menyenangkan pasangannya. Mereka sudah mulai menyadari bahwa perkawinan ternyata bukan sekedar romantisme, tetapi ada kenyataan-kenyataan baru yang boleh jadi tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pada tahap ini, sebuah perkawinan akan terancam gagal dan masing-masing pihak biasanya merasa menyesal kenapa harus memilih dia sebagai pasangan hidupnya. Namun, dengan kesabaran dan toleransi akan menghantar mereka pada tahap ketiga.

Ketiga: Tahap Perundingan dan Negosiasi 
Tahap ini lahir jika masing-masing pihak masih merasa saling membutuhkan. Pada tahap ini juga, mereka sudah mulai mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika mereka berhasil melewati tahap ini, maka akan membawa pada tahap berikutnya.

Keempat: Tahap Penyesuaian 
Tahap ini masing-masing pasangan sudah mulai menunjukkan sifat aslinya, sekaligus kebutuhan yang disertai perhatian kepada pasangannya. Dalam tahap ini, masingmasing akan saling menunjukkan sikap penghargaan. Mereka juga merasakan kembali nikmatnya menyatu bersama kekasih serta berkorban dan mengalah demi cinta.

Kelima: Tahap Peningkatan Kualitas Kasih Sayang 
Pada tahap ini, masing-masing pasangan sudah menyadari sepenuhnya yang didasarkan pada pengalaman bukan teori, bahwa hubungan suami istri memang sangat berbeda dengan segala bentuk hubungan sosial lainnya. Pada tahap ini, masing-masing pihak menjadi teman terbaik; dalam bercengkerama, berdiskusi, serta berbagai pengalaman. Masing-masing pihak juga berusaha untuk melakukan yang terbaik demi menyenangkan pasangannya.

Keenam: Tahap Kemantapan 
Pada tahap ini masing-masing pasangan merasakan dan menghayati cinta kasih sebagai realitas yang menetap, sehingga sehebat apa pun guncangan yang mendera mereka tidak akan bisa menggoyahkan rumah tangganya. Memang, riak-riak kecil masih akan tetap ada, namun riak-riak yang tidak akan menghanyutkan. Pada tahap inilah mereka merasakan cinta yang sejati

Tahapan-tahapan ini merupakan gambaran umum yang biasa dialami dalam hubungan suami-istri. Hal ini juga bersifat relatif sehingga tidak bisa dikalkulasi secara matematis, misalnya pada tahun ke berapa sebuah perkawinan akan mengalami tahapan pertama, kedua, dan seterusnya. Begitu juga urutan ini tidaklah bersifat permanen, tetapi merupakan hasil sebuah penelitian atau ijtihad. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan adanya tahapan-tahapan lain selain di atas.

Kesimpulanya adalah menjalin hubungan rumah tangga itu bukan hanya sekedar menciptakan kasih sayang dalam menjalaninya. Akan tetapi, masih ada dua macam rasa yang memang sebagai barometer baik buruknya dalam menjalin hubungan ini. Yaitu, ketentraman dan belas kasih. Karena, hanya modal kasih sayang belum cukup. Orang yang senang belum tentu tentram, dan orang yang tentram sudah tentu senang. Begitu juga dalam menjalin hubungan rumah tangga. Ketentraman merupakan awal dari membangun rumah tangga yang berbobot dan berbibit unggul. Setelah itu, timbullah rasa kasih dan sayang. Dan puncak atau akhir dari pada tujuan pernikahan adalah menuju rahmat atau karunia Allah SWT.

“Apalah arti bercinta jika tidak ada ketentraman dalam menjalaninya? Dan apalah arti sebuah ketentraman tampa karunia Allah SWT?”.


2 comments:

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...