Menjalin Hubungan Dalam Prespektif Al-Qur’an
Dalam pandangan al-Qur’an, salah
satu tujuan utama menjalin hubungan yang dibungkus dengan kata “pernikahan” ini
adalah untuk menciptakan aura sakinah, mawaddah dalam hati nan perasaan, juga
aura rahmat dalam kehidupan berumah tangga antar istri, suami, dan anak-anaknya
(baca QS. Ar-Rum {30}: 21).
Tiga kata “Sakinah, Mawaddah, Dan Warrahmah” ini
sering kita dengar ketika MC membawakan acara dan pada sambutan-sambutan yang
memang sudah tak asing bahkan di jadikan sebuah doa mujarab agar kedua mempelai
memiliki dan merasakan tiga kata ini dalam kehidupan rumah tangganya. Kendati
demikian, maka sudah seyogyanya, seseorang mengharap penuh akan kehadiran tiga
kata dalam peamplikasianya dalam menjalin hubungan rumah tangga mereka.
Teori
Samawa yang sempat penulis jadikan
sebagai judul pembahasaan dalam artikel sebelumnya . Memang sudah sewajarnya,
jika kita lihat kembali arti sebuah teori menurut Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A.
adalah hubungan antara konsep-konsep dengan konsep tersebut kita bisa
memprediksi sesuatu atau mengetahui sesuatu. Sedangkan yang dimaksud konsep
lanjut beliau adalah gambaran mental kita mengenai sebuah objek, sifat
denotatif. Jadi, teori samawa ini untuk mengetahui sesuatu dari konsep-konsep
yang akan penulis sajikan kepada pembaca, hasil kutipan penulis dari bukunya
Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A.
Adapun
makna dari tiga kata di atas tersebut sebagaimana berikut:
1.
Kata sakinah menurut KBBI mempunyai berbagai
macam makna di dalamnya. Di antarnya adalah ketenangan, ketentraman, dan
kedamaian. Jika kita hubungkan dalam
pernikahan. Kata sakinah memliki arti, kurang lebihnya demikian. “membangun
rumah tangga yang penuh kedamaian (rukun, ramah, dan tamah)”.
2.
Kata mawaddah menurut KBBI mempunyai satu makna
di dalamnya, yaitu kasih sayang. Dengan arti luasnya “dua pasangan insan
menjalin hubungannya dengan penuh kasih dan menyayangi”.
3.
Kata rahmat
menurut KBBI mempunyai berbagai macam makna di dalamnya. Di antarnya
adalah belas kasih, balasan, dan karunia Allah. Jika kita hubungkan dalam
pernikahan. Kata rahmat memliki arti,
kurang lebihnya demikian. “membangun rumah tangga dengan penuh belas
kasih dan balas-membalas dalam arti kebaikan, akan membuahkan hasil karunia
Allah. Krena sejatinya pernikahan adalah karena Allah semata”.
Setelah penulis uraikan pengertian
tiga kata di atas sisi KBBI, sekarang penulis mengajak para pembaca untuk
meninjau kembali kata-perkata dari tiga kata tersebut menurut analisis islam
tinjauan tematik al-qur’an.
Dalam hal ini, islam menetapkan
bahwa tujuan pernikahan atau perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang
sakinah, berbasis mawaddah dan warrahmah. Maka, tidak lagi bisa ditinggalkan akan
pentingnya pengertian tiga kata di atas tadi menurut pandangan al-qura’an.
1.
Kata sakinah ditemukan di dalam al-qur’an
sebanyak 6 kali di samping bentuk lain yang sekar denganya. Menurut
keseluruhan, semuanya berjumlah 69 kata sakinah yang berasal dari سكن – يسكن , pada mulanya berarti sesuatu yang tenang
atau tetap setelah bergerak (ثبوت السعي بعد التحرك).
Kata ini merupakan kata antonim dari "اتراب"
yang meiliki arti “kegoncangan” dan tidak digunkan kecuali untuk menggambarkan
ketenangan dan ketentaraman sebelum terjadi gejelok, apapaun latar belakangnya
rumah disebut “Maskan” krena kata ini merupakan tempat untuk istirahat setelah
beraktifitas. Begitu juga di waktu malam, di nyatakan dalam al-qur’an dengan
sakan, krena kata ini juga digunkan untuk tidur dan istirahat setelah sibuk
mencari rizki di seiang harinya.
Pada mulanya, kata sukun digunakan
untuk menunjukkan arti ketenangan yang bersifat jasmianiyyah, sementara sukun
yang berati ketenangan dan kesenangan yang bersifat rohaniyyah adalah (مجاز الإستعارة) atau dengan kata lain, sakinah yang
difahami sebagi ketenangan jiwa ata ketenangan rohani justru bukan arti yang
sebenarnya. Meskipun begitu, karakter
dasar dari kata sakinah, yakni tenang setelah bergerak atau bergejolak, baik
yang bersifat jasmani maupun rohani. Diantara ayat-ayat al-qur’an yang
menunjukkan سكن – يسكن – سكينة yang bersifat rohani
adalah :
هو الذي خلقكم من نفس واحدة وجعل منها زوجها
ليسكن إليها
Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang
satu (Adam) dan dari padanya Dia menciptakan pasanganya agar dia merasa senang
kepadanya. (Al-A’raf/7:189)
Ayat
ini memberikan info akan keberadaan seseorang sebagai pasanganya bertujuan
untuk memperoleh ketenangan. “Ketenangan” dalam hal ini tentu saja berbeda
dengan ketenangan yang dialami seseorang ketika ia sudah berada di dalam rumah
setelah seharian mencari rizki. Oleh krena itu, ketenangan
sebagai tujuan dari keberadan orang lain sebagai pasangannya adalah
bersifat rohani atau bisa juga disebut dengan “ketenangan jiwa”. Artinya,
secara fitrah laki-laki akan merasa tenang jiwanya dengan kehadiran seorang
perempuan atau pedamping di sisinya (baik itu masa pacaran maupun sudah
menikah). Begitu juga sebaliknya, perempuan akan merasa nyaman dan tentram dengan
kehadiran sosok laki-laki sebagai pendamping atau suaminya. Kondisi bathin yang
mereka rasakan tersebut, akan terwujud setelah mereka merasakan kegoncangan dan
kegelisahan ketika seindiri menyapanya.
Sesuai dan selaras sperti yang pernah penulis katakan ke pada wanita
yang bernama zakiyah palaloi. “kegelisahanku
lebih besar dari pada cintaku padamu. Karena pada waktu itu, aku tak bersamamu,
dan Ketika kau sudah ada di sisiku. Cintaku
lebih besar dari pada kegelisahanku pada mu. Karena, aku bisa menjagamu di
sepanjang hayatku”.
Pada ayat yang lain Allah juga berfirman
tentang hal yang di atas :
هو الذي أنزل السكينة في قلوب المؤمنين ليزدادوا
إيمانا مع إيمانهم
Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke
dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah ke imanan atas keimanan mereka
(yang telah ada). (al-fath/48:4)
Ayat di atas meilustrasikan keadaan
atau kondisi bathin kaum mukminin yang senantiasa dilanda rasa takut dan
gelisah akibat perilaku kaum kafir Mekah dalam perjanjian hudaibiyah. Lalu
Rasulullah memberi kabar gembira bahwa mereka akan memperoleh pertolongan dari
Allah. Berita inilah yang dianggap sebagai “Sakinah” yang menjadikan
bathin/jiwa orang-orang mukmin tenang dan bahkan semakin kuat imannya.
Kesimpulan dari kata sakinah adalah
kata sakinah dari dua ayat di atas bisa di tarik benang merahnya menjadi kata
yang menunjukkan arti ketenangan dan
ketentraman, baik itu dari segi fisik maupun non fisik. Khusus yang berbentuk
sakinah, semuanya menunjukkan arti sebagai ketenangan dan ketentraman bathin/jiwa
manusia. Dan lebih tepatnya kata ini tidak akan digunakan kecuali untuk
meilustrasikan rasa ketentraman dan ketenangan setelah sebelumnya mengalami
kegoncangan atau kegelisahan, baik itu dari segi fisik maupun non fisik.
2.
Kata Mawaddah dalam al-qur’an terulang sebanyak
8 kali. Secara keseluruhan dengan kata-kata yang seakar denganya, semuanya
berjumlah 25. Kata ini berasal dari kata ود – يود yang berarti “mencintai sesuatu dan berharap
agar bisa terwujud (محبة الشيئ وتمنى كونه).
Sementara menurut al-Asfahani kata ini bisa dipahami dalam berbagai macam
makna.
Pertama, berarti cinta (محبة) sekaligus keinginan untuk memiliki.
Antara dua kata ini saling terkait, yakni disebabkan keinginan yang kuat, yang
akhirnya melahirkan cinta. Hal ini bisa dilihat pada firman Allah :
وجعل بينكم
مودة ورحمة
Dan dia yang menjadikan diantara kalian rasa
kasih dan sayang. (ar-Rum/30:21)
Ayat di atas meilustrasikan akan
makna kata yang ada di lafad mawaddah yang mana sebagai salah satu yang
menghiasi perkawinan bukan sekedar cinta, sebagiaman kecintaan orang tua kepada
anak-anaknya. Sebab, rasa cinta di sini akan mendorong pemiliknya untuk
mewujudkan cintanya sehingga menyatu.
Inilah yang tergambar dalam hubungan
laki-laki dan perempuan yang terjalin dalam sebuah perkawinan dan pacaran.
Ketika seorang laki-laki mencintai wanita, maka ia ingin sekali mewujudkan
cintanya dengan memiliki wanita tersebut (menikahinya),. Begitu juga dengan
perempuan.
Kedua berarti kasih sayang. Hal ini
bisa dipahami dari firman Allah :
قل لا أسئلكم عليه أجرا إلا المودة في القربى
Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta
kepadamu sesuatu imbalan apapun atas seruanku kecuali kasih sayang dan
kekeluargaan.” (asy-Syura/42:23)
Kata mawaddah di sini hanya memiliki
makna kasih sayang dalam kekeluargaan. Berbeda dengan cintanya suami dan istri.
Dalam hal ini, kasih dan sayang semata-mata hanya untuk menjaga hubungan tali
silaturahmi antara kerabat.
Kesimpulan dari dua ayat di atas
yang di jelaskan oleh ulama terkemuka tadi adalah kata mawaddah memiliki arti
sebagaiman berikut. Cinta plus, cinta dan ingin, masing-masing bisa dilihat
dari konteks kalimatnya.
3.
Kata rahmah terulang sebanyak 114 kali dalam
al-qur’an. Secara keseluruhan dengan kata-kata lain yang seakar dengannya,
berjumlah 339.
Kata rahmah
berasal dari rahima-yarhamu yang berarti kasih sayang (riqqah), yakni sifat
yang mendorong seseorang untuk berbuat kebajikan kepada siapa yang dikasihi.
Menurut al-Asyfahānī, kata rahmah mengandung dua arti, kasih sayang (riqqah)
dan budi baik/murah hati (ih}sān).10 Kata rahmah yang berarti
kasih sayang (riqqah) adalah dianugerahkan oleh Allah kepada setiap manusia. Artinya,
dengan rahmat Allah tersebut manusia akan mudah tersentuh hatinya jika melihat
pihak lain yang lemah atau merasa iba atas penderitaan orang lain.
Bahkan,
sebagai wujud kasih sayangnya, seseorang berani berkorban dan bersabar untuk
menanggung rasa sakit. Hal ini dapat dilihat pada kasus seorang ibu yang baru
saja melahirkan, dimana secara demonstratif ia akan mencium bayinya, padahal
sebelumnya ia berada dalam kondisi yang penuh kepayahan dan sakit yang teramat
sangat. Demikian ini, karena banyak juga
dijumpai kenyataan berbalik, yakni seorang ibu begitu tega membunuh anaknya
yang baru saja dilahirkan, karena khawatir diketahui orang lain sebab bayi
tersebut adalah hasil hubungan gelap. Ada juga yang meninggalkan bayinya begitu
saja di pinggir jalan dengan harapan ada orang lain yang mau mengambilnya. Hal
ini, didorong oleh rasa takut yang berlebihan untuk tidak bisa memberinya makan
atau takut miskin, dan sebagainya. Apa pun faktor yang melatarbelakanginya,
yang jelas si ibu itu telah kehilangan rahmat-Nya, sehingga ia terdorong
melakukan perbuatan tercela dan tidak mau berkorban untuk anaknya.
Di samping
itu, pernyataan “sifat kasih sayang telah ditancapkan pada diri manusia”
seharusnya menumbuhkan kesadaran bahwa segala bentuk kebaikan; kasih sayang,
perhatian, juga budi baik, bukanlah terlahir dari sifatnya sendiri, juga bukan
karena kemurahan hatinya; namun, sebagai realisasi dari sebagian kecil rahmat
Allah yang ditancapkan ke dalam lubuk hatinya. Seperti yang bisa dipahami pada
hadis:
من لايرحم لايرحم (رواه البخاري والمسلم عن أبي
هريرة)
Barang siapa yang tidak mengasihi, maka tidak
akan dikasihi. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah)
من لايرحم الناس لايرحمه الله (رواه البخاري والمسلم عن جرير بن عبد الله)
من لايرحم الناس لايرحمه الله (رواه البخاري والمسلم عن جرير بن عبد الله)
Siapa yang tidak menyayangi
orang lain, ia tidak disayang Allah (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Jarīr bin ‘Abdullāh)
Dari dua
hadis di atas jelas sudah bahwa rasa belas kasih yang ditancapkan dalam diri
seseorang akan hilang jika ia tidak menyayangi kepada sesamanya secara tulus.
Rasulullah juga tidak mau mengakui orang yang tidak menyayangi kepada yang
kecil sebagai bagian dari umatnya. Begitu juga Allah tidak akan menyayangi
manusia jikala manusia tidak menyayangi sesamanya. Yang pada intinya adalah
kata sayang berlaku hanya pada hubungan timbal balik.
Sementara
kata rahmah yang berarti ihsān (budi baik/murah hati) adalah khusus milik
Allah. Artinya, hanya Allah-lah yang boleh menyatakan atau mengklaim sebagai
Yang Memiliki budi baik. Atau dengan kata lain, kebaikan, perhatian, kasih
sayang, apa pun bentuknya, yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, adalah
karena kemurahan Allah, sehingga Dia disifati sebagai Sang Maha Pemurah atau
ar-Rahmān. Oleh karenanya, sifat ar-Rahmān hanya boleh disandang oleh Allah
semata, karena kata tersebut mengisyaratkan kesempurnaan.11Melalui
sifat ar-Rahmān inilah, setiap makhluk hidup berhak memperoleh kemurahan
anugerah-Nya. Dengan sifat ar-Rahmān juga, Allah tidak pernah mempertimbangkan
ketaatan atau ketidaktaatan seseorang dalam memberi rezeki.
Rahmat
Allah juga ada yang terlahir dari sifat ar-Rahīm-Nya. Dalam hal ini, Al-Qur'an
menyatakan bahwa curahan Rahīm Allah ini hanya diberikan kepada hamba-Nya yang
memenuhi kriteria, yang diistilahkan oleh Al-Qur'an dengan “mukmin”
(al-Ahzāb/33: 43), sehingga ada yang mengatakan bahwa Allah adalah ar-Rahmān di
dunia dan ar-Rahīm ketika di akhirat. Demikian itu, karena kemurahan Allah
dapat dinikmati oleh siapa saja, baik mukmin maupun kafir, sedangkan di akhirat
rahmat Allah hanya khusus bagi orang beriman.12 Penjelasan ini
diperkuat oleh firman Allah dalam surat (al-A‘rāf/7: 156).
Dari
penjelasan di atas dapat digambarkan sekaligus dibedakan sebagai berikut,
sakīnah merupakan kondisi fisik atau batin yang merasa tenang dan tenteram,
sedangkan mawaddah terbagi dalam tiga kategori, yaitu :
1) cinta
plus, yakni hasrat cinta yang sangat kuat sehingga terdorong untuk saling
menyatu dan memiliki, seperti suami-istri,
2) kasih
sayang, seperti dalam hubungan kekerabatan, dan
3)
menginginkan sesuatu. Namun, “ingin” dalam hal ini konotasinya adalah negatif,
barangkali hampir mirip dengan hasud. Sementara rahmah adalah anugerah yang
diberikan oleh Allah yang memungkinkan seseorang dapat berbuat kebaikan bahkan
yang terbaik untuk pihak lain, yang dibuktikan melalui pengorbanan yang tulus.
Sakinah,
Mawaddah, dan Rahmah dalam Perkawinan, Sebagaimana telah diketahui bersama
bahwa perkawinan bukan sekedar pertemuan dua jenis kelamin untuk memperoleh
keturunan, apalagi hanya sekedar untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Namun,
harus ada tujuan yang lebih substantif dan bermakna, yakni terciptanya keluarga
sakinah yang diliputi oleh rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rah}mah), seperti
dalam firman-Nya:
ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا
لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحة إن في ذلك لأيات لقوم يتفكرون
Dan di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (ar-Rūm/30: 21)
Ayat ini
mengandung pelajaran penting bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki
kemampuan untuk berketurunan sebagaimana makhluk hidup lainnya. Hanya saja,
dalam tataran prosesnya, manusia berbeda dengan binatang. Ada aturan yang harus
dipenuhi sebelumnya, yakni melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama.
Melalui perkawinan yang sah itulah, manusia akan memperoleh ketenangan dan
ketenteraman,
meskipun sebelumnya keduanya tidak saling mengenal pribadi masing-masing secara mendalam. Dari sinilah kemudian muncul rasa saling menyayangi dan mengasihi, sehingga keduanya bisa memiliki keturunan.14 Term yaskunu dalam ayat di atas dirangkai dengan kata ilaa الى bukan dirangkai dengan kata ‘inda عندyang berarti ketenangan atau kebahagiaan itu bersifat batin/rohani, bukan fisik. Di samping itu, susunan redaksi tersebut (yaskunu + ilā) juga mengindikasikan hilangnya kegoncangan dan gejolak jiwa yang sangat menggelisahkan.15
meskipun sebelumnya keduanya tidak saling mengenal pribadi masing-masing secara mendalam. Dari sinilah kemudian muncul rasa saling menyayangi dan mengasihi, sehingga keduanya bisa memiliki keturunan.14 Term yaskunu dalam ayat di atas dirangkai dengan kata ilaa الى bukan dirangkai dengan kata ‘inda عندyang berarti ketenangan atau kebahagiaan itu bersifat batin/rohani, bukan fisik. Di samping itu, susunan redaksi tersebut (yaskunu + ilā) juga mengindikasikan hilangnya kegoncangan dan gejolak jiwa yang sangat menggelisahkan.15
Ayat di
atas memang menggunakan dhamīr kum (kata ganti untuk laki-laki), akan tetapi ia
juga ditujukan kepada kaum perempuan. Sebab, kata zauj bukan berarti suami,
tetapi menunjukkan arti menyatunya dua hal, dalam hal ini, suami dan istri.
Sehingga masing-masing disebut zauj bagi pasangannya, seorang perempuan akan disebut
istri si fulan; begitu juga seorang laki-laki, disebut suami si fulanah.16
Sakīnah
sebagai tujuan perkawinan tidak diungkapkan dengan kata benda (isim), akan
tetapi dengan bentuk kata kerja (taskunu/yaskunu), yang menunjukkan arti hudūs/
(kejadian baru) dan tajaddud (memperbaharui). Artinya, sakinah bukan sesuatu
yang sudah jadi atau sekali jadi, namun ia harus diupayakan secara
sungguh-sungguh (mujāhadah) dan terus menerus diperbaharui, sebab ia bersifat
dinamis yang senantiasa timbul tenggelam. Atau dengan kata lain, sebuah
perkawinan yang sakinah bukan berarti sebuah perkawinan yang tidak pernah ada
masalah, sebab perkawinan bagaikan bahtera yang mengarungi lautan, dan
setenang-tenangnya lautan pasti ada ombak. Namun demikian, gambaran sederhana dari
keluarga sakinah adalah jika masing-masing pihak dengan penuh kesungguhan
berusaha mengatasi masalah yang timbul, dengan didasarkan pada keinginan yang
kuat untuk menuju kepada terpenuhi ketenangan dan ketentraman jiwa tersebut,
sebagaimana diisyaratkan oleh redaksi litaskunu ilā bukan litaskunu ‘inda.17
Di samping
itu, Al-Qur'an juga menyatakan bahwa sakīnah tersebut dimasukkan oleh Allah
melalui kalbu. Artinya, kedua belah pihak, yakni suami dan istri, harus
mempersiapkan kalbunya terlebih dahulu dengan kesabaran dan ketakwaan.
Dalam hal
ini, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa persiapan kalbu harus melalui beberapa
fase, bermula dari mengosongkan kalbu dari sifat-sifat tercela (takhallī),
dengan cara menyadari atas segala kesalahan dan dosa yang pernah diperbuat,
disertai tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha menghindarinya.
Disusul dengan perjuangan/mujāhadah untuk melawan sifat-sifat tercela tersebut
dengan cara mengedepankan sifat-sifat terpuji (tahallī), seperti melawan
kekikiran dengan kedermawanan, kecerobohan dengan keberanian, egoisme dengan
pengorbanan, sambil terus memohon pertolongan dari Allah subhānahū wa ta‘ālā.
Pertemuan
dua jenis kelamin yang dijalin melalui perkawinan akan melahirkan kedamaian,
ketenangan, dan ketenteraman, baik jasmani maupun rohani. Kemudian interaksi
antara keduanya secara aktif inilah akan melahirkan rasa cinta (mawaddah). Term
mawaddah, dalam konteks ayat ini, mengacu pada penjelasan sebelumnya, adalah
mengandung dua makna sekaligus yaitu mah}abbah (cinta) dan tamannī kaunihi
(keinginan untuk mewujudkan). Atau dengan kata lain, perasaan saling mencintai
itulah yang mendorong masing-masing pihak untuk saling mendekat. Oleh karena
itu, mawaddah bukanlah cinta biasa yang terkadang timbul tenggelam, bahkan
pupus sama sekali. Mawaddah, meminjam istilah M. Quraish Shihab, adalah “cinta
plus”. Sebab, ketika seseorang yang sudah dipenuhi perasaan mawaddah, maka
cintanya akan sangat kukuh dan tidak mudah putus, sebab hatinya senantiasa
lapang dan kosong dari kehendak buruk.
Dari rasa
cinta yang mendalam inilah, masing-masing pihak bertekad untuk melakukan yang
terbaik dan berkorban untuk pasangannya. Di sinilah perkawinan yang bertujuan
membentuk keluarga yang sakīnah akan senantiasa diliputi dengan rahmah, yaitu
kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan yang terbaik kepada
pihak lain. Ada juga yang memahami rahmah adalah sesuatu yang menumbuhkan sifat
kasihan dan simpati atas dasar kekerabatan dan kasih sayang. Pendapat yang lain
menyatakan bahwa rahmah adalah sesuatu yang mendorong seseorang melakukan
perbuatan yang melahirkan rida Allah.
Dari
beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah perkawinan yang
dirahmati, indikasinya adalah kedua belah pihak berusaha secara sungguh-sungguh
mencintai dengan tulus terhadap pasangannya masing-masing, serta memperlakukan
pasangannya dengan perlakuan yang baik, bahkan yang terbaik, serta keduanya
berusaha melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan rida Allah.
Ada juga
yang memahami rahmah di sini berarti anak, sebab dengan kehadiran anak
kehidupan rumah tangga akan semakin dinamis, masing-masing pihak akan
senantiasa terdorong untuk berbuat yang terbaik, terutama demi perkembangan
anaknya. Namun begitu, kandungan makna rahmah tetap lebih tinggi dari
sekedar anak. M. Quraish Shihab menggambarkan rahmah dalam kasus poligami,
misalnya, bahwa rahmah akan mampu meredam keinginan seorang suami untuk
berpoligami, ketika diketahui istrinya ternyata mandul atau tidak mampu
memenuhi kebutuhan seksualnya, meskipun dibolehkan. Dengan rahmah, ia akan
berani berkorban demi cinta dan kasihnya kepada sang istri. Begitu juga bagi
sang istri, ia sangat merasakan betapa pedihnya perasaan suaminya ketika
keinginan dan kebutuhannya tidak terpenuhi, maka dengan rahmah ia berani
berkorban untuk “mengizinkan” suaminya meraih dambaan dan keinginannya itu. Di
sinilah cinta dan rahmat akan teruji.
Hanya saja,
yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa mawaddah dan rahmah tidak begitu
saja bisa diperoleh setelah terlaksananya perkawinan. Akan tetapi yang benar
adalah melalui perkawinan seseorang akan memperoleh mawaddah dan rahmah sebagai
landasan terciptanya keluarga yang sakīnah.
Dengan
demikian, masing-masing pihak, suami-istri, harus saling bantu-membantu, dan
dukung-mendukung demi terpenuhinya mawaddah dan rahmah tersebut, sebagaimana
yang bisa dipahami dari redaksi: wa ja‘ala bainakum mawaddah wa rahmah.
Menurut
sementara pakar, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, bahwa ada beberapa
tahapan yang biasanya dilalui oleh pasangan suami-istri, sebelum mencapai
kehidupan keluarga sakīnah yang dihiasi dengan mawaddah dan rahmah, antara
lain, yaitu:
Pertama: Tahap Bulan Madu
Pada tahap
ini kedua pasangan benar-benar menikmati manisnya sebuah perkawinan. Mereka
sangat romantis, penuh cinta, dan senda gurau. Pada tahap ini, biasanya
digambarkan bahwa masing-masing bersedia melalui kehidupan ini walau dalam
kemiskinan dan kekurangan.
Kedua: Tahap Gejolak
Pada tahap
ini, mulai timbul gejolak setelah berlalu masa bulan madu. Kejengkelan sudah
mulai tumbuh di hati, apalagi keduanya sudah mulai terlihat sifat-sifat aslinya
yang selama ini “sengaja” ditutup-tutupi untuk menyenangkan pasangannya. Mereka
sudah mulai menyadari bahwa perkawinan ternyata bukan sekedar romantisme,
tetapi ada kenyataan-kenyataan baru yang boleh jadi tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Pada tahap ini, sebuah perkawinan akan terancam gagal dan
masing-masing pihak biasanya merasa menyesal kenapa harus memilih dia sebagai
pasangan hidupnya. Namun, dengan kesabaran dan toleransi akan menghantar mereka
pada tahap ketiga.
Ketiga: Tahap Perundingan dan Negosiasi
Tahap ini
lahir jika masing-masing pihak masih merasa saling membutuhkan. Pada tahap ini
juga, mereka sudah mulai mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika
mereka berhasil melewati tahap ini, maka akan membawa pada tahap berikutnya.
Keempat: Tahap Penyesuaian
Tahap ini
masing-masing pasangan sudah mulai menunjukkan sifat aslinya, sekaligus
kebutuhan yang disertai perhatian kepada pasangannya. Dalam tahap ini,
masingmasing akan saling menunjukkan sikap penghargaan. Mereka juga merasakan
kembali nikmatnya menyatu bersama kekasih serta berkorban dan mengalah demi
cinta.
Kelima: Tahap Peningkatan Kualitas Kasih Sayang
Pada tahap
ini, masing-masing pasangan sudah menyadari sepenuhnya yang didasarkan pada
pengalaman bukan teori, bahwa hubungan suami istri memang sangat berbeda dengan
segala bentuk hubungan sosial lainnya. Pada tahap ini, masing-masing pihak
menjadi teman terbaik; dalam bercengkerama, berdiskusi, serta berbagai
pengalaman. Masing-masing pihak juga berusaha untuk melakukan yang terbaik demi
menyenangkan pasangannya.
Keenam: Tahap Kemantapan
Pada tahap
ini masing-masing pasangan merasakan dan menghayati cinta kasih sebagai
realitas yang menetap, sehingga sehebat apa pun guncangan yang mendera mereka
tidak akan bisa menggoyahkan rumah tangganya. Memang, riak-riak kecil masih
akan tetap ada, namun riak-riak yang tidak akan menghanyutkan. Pada tahap
inilah mereka merasakan cinta yang sejati
Tahapan-tahapan
ini merupakan gambaran umum yang biasa dialami dalam hubungan suami-istri. Hal
ini juga bersifat relatif sehingga tidak bisa dikalkulasi secara matematis,
misalnya pada tahun ke berapa sebuah perkawinan akan mengalami tahapan pertama,
kedua, dan seterusnya. Begitu juga urutan ini tidaklah bersifat permanen,
tetapi merupakan hasil sebuah penelitian atau ijtihad. Oleh karena itu, tidak
menutup kemungkinan adanya tahapan-tahapan lain selain di atas.
Kesimpulanya adalah menjalin hubungan rumah
tangga itu bukan hanya sekedar menciptakan kasih sayang dalam menjalaninya.
Akan tetapi, masih ada dua macam rasa yang memang sebagai barometer baik
buruknya dalam menjalin hubungan ini. Yaitu, ketentraman dan belas kasih.
Karena, hanya modal kasih sayang belum cukup. Orang yang senang belum tentu
tentram, dan orang yang tentram sudah tentu senang. Begitu juga dalam menjalin
hubungan rumah tangga. Ketentraman merupakan awal dari membangun rumah tangga
yang berbobot dan berbibit unggul. Setelah itu, timbullah rasa kasih dan
sayang. Dan puncak atau akhir dari pada tujuan pernikahan adalah menuju rahmat
atau karunia Allah SWT.
“Apalah
arti bercinta jika tidak ada ketentraman dalam menjalaninya? Dan apalah arti
sebuah ketentraman tampa karunia Allah SWT?”.
Joss mas bro...
ReplyDeleteowh jadi ada tahap tahapnya yah
ReplyDelete