Sunday, 1 January 2017

Mungkinkah Antara Sunni Dan Wahabi Bergandengan Tangan Dalam Ukhwah?

Mungkinkah ?


          Sebelum membandingkan antara ajaran sunni dan wahabi, alangkah baiknya, penulis katakan bahwa ada yang lebih penting dari pada perbandingan antara faham satu dengan faham yang lain ini. Yaitu, kata “Ukhuwwah”. Dari kata inilah, yang akan mengantarkan kepada titik temu antara dua faham di atas dalam prespektif kemungkinan atau tidak, antar sunni dan wahabi bergandengan tangan (sejalan dan searah)  dalam pandangan al-Qur’an.
            Kata ukhuwwah yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memerhatikan”. Makna asal ini memberi pesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Perhatian yang dimaksud adalah perhatian dalam adanya persamaan diantara pihak-pihak bersaudara. Oleh sebab itu, kata ini berkembang artinya menjadi “setiap persamaan dalam keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”. Secara majazi, kata ini diartikan sebagai “persaudaraan yang mencakup salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Sedangkan dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata ukhuwwah ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengah arti teman akrab atau sahabat.
            Dalam kaitan ini, ukhuwwah ubudiyyah, ukhuwwah insaniyyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan ukhuwwah fi din al-Islam. Masing-masing ukhuwwah ini  memiliki keterkaitan dengan judul di atas. Hanya saja, bukan disini pembahasan satu persatunya. Penulis hanya menekankan kepada ukhuwwah fi din al-Islam yang menjadi acuan utama dalam membandingkan dua faham di atas, “Persaudaraan Antar Sesama Muslim”. Kendati adanya hadis yang mengatakan:
أنتم أصحابي إخواننا الذين يأتون بعدي
“ Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang setelah (wafat)-ku”
           
            Disinilah, letak kemungkinan atau tidaknya sunni dan wahabi bersaudara. Mungkinkah wahabi tidak bertentangan dengan ajaran sunni (al-Qur’an dan Hadist)? Dan jika tidak, apakah pantas faham wahabi tersebut masih beredar keras dikalangan umat islam kontemporer ini? Semua akan dibahas secara detail, terutama dari tinjaun sisi aqidah. Karena, bagaimanapun aqidah merupakan ushul al-Din dalam ajaran islam. Yang tidak bisa ditawar dan tidak ada toleransi dalam urusan tersebut.
            Dalam urusan aqidah, faham wahabi menganut tiga kosep tauhid, diantaranya adalah Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid al-Asma' wa al-Shifat. Pemetakan atau pemabagian konsep tauhid seperti ini sangat bertentangan dalam al-Qur’an. Kendati, tidak adanya konteks kalimat yang tertera dalam al-quran dalam pembagian konsep tersebut, bahkan bertentang. Sayangnya, kedatangan Ibn Taimiyah pada abad ketujuh Hijriah yang menetapkan konsep pembagian Tauhid menjadi tiga. Lalu diikuti oleh oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, perintis ajaran Wahhabi. Dalam pembagian tersebut, Ibn Taimiyah membatasi makna rabb atau rububiyyah terhadap sifat Tuhan sebagai pencipta, pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya. Sedangkan makna ilah atau uluhiyyah dibatasi pada sifat Tuhan sebagai yang berhak untuk disembah dan menjadi tujuan dalam beribadah. Padahal, kalau boleh jujur, perbedaan kata uluhiyyah dan rububiyyah tidak ada dalam ajaran al-Quran. Pembahasan ini akan dijelaskan setelahnya.
Tiga Konsep Tauhid Dalam Prespektif Ibn Taymiyyah:
·         Pertama, Tauhid Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur langit dan bumi serta seisinya adalah Allah saja. Menurut Ibn Taimiyah, Tauhid Rububiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang Musyrik maupun orang-orang Mukmin.
·         Kedua, Tauhid Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Ibn Taimiyah berkata, "Ilah (Tuhan) yang haqq adalah yang berhak untuk disembah. Sedangkan Tauhid adalah beribadah kepada Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya".
·         Ketiga, Tauhid al-Asma' wa al-Shifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan arti literal (zhahir)nya yang telah dikenal di kalangan manusia.
Sangat jelas, bahwa Imam Ibn Taymiyyah membedakan dua kata tersebut yang semestinya memiliki arti sama antara illah dan rabb. Hal ini dilukiskan oleh al-Qur’an dalam surat Ali-Imran : 80:
ولايأمركم أن تتخذوا الملائكة والنبيين أربابا
“dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan-tuhan.”
                Ayat di atas menegaskan bahwa orang-orang Musyrik mengakui adanya Arbab (tuhan-tuhan rububiyyah) selain Allah seperti Malaikat dan para nabi. Dengan demikian, berarti orang-orang Musyrik tersebut tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dan mematahkan konsep Ibn Taimiyah dan Wahhabi yang mengatakan bahwa orang-orang Musyrik mengakui Tauhid Rububiyyah. Seandainya orang-orang Musyrik itu bertauhid secara rububiyyah seperti keyakinan kaum Wahabi, tentu redaksi ayat di atas berbunyi:
ولايأمركم أن تتخذوا الملائكة والنبيين ألهة
Begitu juga, dengan masih dalam pendapatnya Imam Ibn Taymiyyah yang mengatakan bahwa kata Uluhiyyah dispesifikasikan terhadap makna ibadah bertentangan pula dengan ayat al-Qur’an (QS. Yusuf : 39-40). berikut ini:
يا صاحبي السجن أأرباب متفرقون خير أم الله الواحد القهار * ماتعبدون من دونه إلا السماء سميتموها
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.”
                Dari sini, bisa disimpulkan bahwa, argumentasi Imam Ibn Taymiyyah yang digunakan oleh kaum wahabi dipatahkan secara utuh oleh al-Qur’an. Dan dengan secara otomatis, faham ini tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an. Dalam urusan aqidah yang memang tidak lagi bisa ditawar ini sudah salah, apalagi dalam urusan furu?.
            Kesimpulan akhir dari pada pembahasan di atas adalah ukhuwwah fi din al-Islam tidak akan bisa atau pernah bergandengan tangan dengan sunni. Kendati, persoalan urgent (ushul) yang telah menyimpang dari kalangan wahabi. Begitupan sunni dengan syi’ah.  
            Terakhir penulis katakan bahwa, “Di sini penulis tidak bermaksud menyulut api permusuhan. Akan tetapi suatu kebenaran, sepahit apapun itu, memang harus disampaikan apa adanya. Mengutip tutur kata dari Pakar Tafsir indonesia, Prof. Dr. Quraish Shihab., M.A. dalam bukunya, “Sunni Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, bahwa “Amanah Ilmiah menuntut agar menyampaikan apa yang diyakini, khawatir jangan sampai sikap diam, dinilai Allah sebagai menyembunyikan kebanaran”. Menjalankan amanat ini penting, sebab ketidak-tegasan sikap akan berdampak fatal pada kebingungan langkah umat, kerusakan aqidah dan agama mereka.



            

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...