Mungkinkah
?
Sebelum
membandingkan antara ajaran sunni dan wahabi, alangkah baiknya, penulis katakan
bahwa ada yang lebih penting dari pada perbandingan antara faham satu dengan
faham yang lain ini. Yaitu, kata “Ukhuwwah”. Dari kata inilah, yang akan mengantarkan
kepada titik temu antara dua faham di atas dalam prespektif kemungkinan atau
tidak, antar sunni dan wahabi bergandengan tangan (sejalan dan searah) dalam pandangan al-Qur’an.
Kata ukhuwwah yang biasa diartikan
sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti
“memerhatikan”. Makna asal ini memberi pesan bahwa persaudaraan mengharuskan
adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Perhatian yang dimaksud adalah
perhatian dalam adanya persamaan diantara pihak-pihak bersaudara. Oleh sebab
itu, kata ini berkembang artinya menjadi “setiap persamaan dalam keserasian
dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak, atau
keduanya, maupun dari segi persusuan”. Secara majazi, kata ini diartikan
sebagai “persaudaraan yang mencakup salah satu unsur seperti suku, agama,
profesi, dan perasaan. Sedangkan dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata ukhuwwah
ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengah
arti teman akrab atau sahabat.
Dalam kaitan ini, ukhuwwah
ubudiyyah, ukhuwwah insaniyyah, ukhuwwah wathaniyyah, dan ukhuwwah fi din
al-Islam. Masing-masing ukhuwwah ini memiliki
keterkaitan dengan judul di atas. Hanya saja, bukan disini pembahasan satu
persatunya. Penulis hanya menekankan kepada ukhuwwah fi din al-Islam yang
menjadi acuan utama dalam membandingkan dua faham di atas, “Persaudaraan Antar Sesama
Muslim”. Kendati adanya hadis yang mengatakan:
أنتم أصحابي إخواننا الذين يأتون
بعدي
“
Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang
setelah (wafat)-ku”
Disinilah, letak kemungkinan atau
tidaknya sunni dan wahabi bersaudara. Mungkinkah wahabi tidak bertentangan
dengan ajaran sunni (al-Qur’an dan Hadist)? Dan jika tidak, apakah pantas faham
wahabi tersebut masih beredar keras dikalangan umat islam kontemporer ini? Semua
akan dibahas secara detail, terutama dari tinjaun sisi aqidah. Karena, bagaimanapun
aqidah merupakan ushul al-Din dalam ajaran islam. Yang tidak bisa ditawar dan
tidak ada toleransi dalam urusan tersebut.
Dalam urusan aqidah, faham wahabi
menganut tiga kosep tauhid, diantaranya adalah Tauhid Rububiyyah, Tauhid
Uluhiyyah dan Tauhid al-Asma' wa al-Shifat. Pemetakan atau pemabagian konsep
tauhid seperti ini sangat bertentangan dalam al-Qur’an. Kendati, tidak adanya
konteks kalimat yang tertera dalam al-quran dalam pembagian konsep tersebut,
bahkan bertentang. Sayangnya, kedatangan Ibn Taimiyah pada abad ketujuh Hijriah
yang menetapkan konsep pembagian Tauhid menjadi tiga. Lalu diikuti oleh oleh
Muhammad bin Abdul Wahhab, perintis ajaran Wahhabi. Dalam pembagian tersebut,
Ibn Taimiyah membatasi makna rabb atau rububiyyah terhadap sifat Tuhan sebagai
pencipta, pemilik dan pengatur langit, bumi dan seisinya. Sedangkan makna ilah
atau uluhiyyah dibatasi pada sifat Tuhan sebagai yang berhak untuk disembah dan
menjadi tujuan dalam beribadah. Padahal, kalau boleh jujur, perbedaan kata
uluhiyyah dan rububiyyah tidak ada dalam ajaran al-Quran. Pembahasan ini akan
dijelaskan setelahnya.
Tiga
Konsep Tauhid Dalam Prespektif Ibn Taymiyyah:
·
Pertama, Tauhid
Rububiyyah, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur
langit dan bumi serta seisinya adalah Allah saja. Menurut Ibn Taimiyah, Tauhid
Rububiyyah ini telah diyakini oleh semua orang, baik orang-orang Musyrik maupun
orang-orang Mukmin.
·
Kedua, Tauhid
Uluhiyyah, yaitu pelaksanaan ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah. Ibn
Taimiyah berkata, "Ilah (Tuhan) yang haqq adalah yang berhak untuk disembah.
Sedangkan Tauhid adalah beribadah kepada Allah semata tanpa
mempersekutukan-Nya".
·
Ketiga, Tauhid
al-Asma' wa al-Shifat, yaitu menetapkan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah
sesuai dengan arti literal (zhahir)nya yang telah dikenal di kalangan manusia.
Sangat
jelas, bahwa Imam Ibn Taymiyyah membedakan dua kata tersebut yang semestinya memiliki
arti sama antara illah dan rabb. Hal ini dilukiskan oleh al-Qur’an dalam surat
Ali-Imran : 80:
ولايأمركم أن تتخذوا الملائكة
والنبيين أربابا
“dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu
menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan-tuhan.”
Ayat di atas
menegaskan bahwa orang-orang Musyrik mengakui adanya Arbab (tuhan-tuhan
rububiyyah) selain Allah seperti Malaikat dan para nabi. Dengan demikian,
berarti orang-orang Musyrik tersebut tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dan
mematahkan konsep Ibn Taimiyah dan Wahhabi yang mengatakan bahwa orang-orang
Musyrik mengakui Tauhid Rububiyyah. Seandainya orang-orang Musyrik itu
bertauhid secara rububiyyah seperti keyakinan kaum Wahabi, tentu redaksi ayat
di atas berbunyi:
ولايأمركم أن تتخذوا الملائكة
والنبيين ألهة
Begitu
juga, dengan masih dalam pendapatnya Imam Ibn Taymiyyah yang mengatakan bahwa kata
Uluhiyyah dispesifikasikan terhadap makna ibadah bertentangan pula dengan ayat
al-Qur’an (QS. Yusuf : 39-40). berikut ini:
يا صاحبي السجن أأرباب متفرقون
خير أم الله الواحد القهار * ماتعبدون من دونه إلا السماء سميتموها
“Hai kedua
penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu
ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain
Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya.”
Dari
sini, bisa disimpulkan bahwa, argumentasi Imam Ibn Taymiyyah yang digunakan
oleh kaum wahabi dipatahkan secara utuh oleh al-Qur’an. Dan dengan secara
otomatis, faham ini tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an. Dalam urusan aqidah
yang memang tidak lagi bisa ditawar ini sudah salah, apalagi dalam urusan
furu?.
Kesimpulan akhir dari pada
pembahasan di atas adalah ukhuwwah fi din al-Islam tidak akan bisa atau pernah
bergandengan tangan dengan sunni. Kendati, persoalan urgent (ushul) yang telah
menyimpang dari kalangan wahabi. Begitupan sunni dengan syi’ah.
Terakhir penulis katakan bahwa, “Di
sini penulis tidak bermaksud menyulut api permusuhan. Akan tetapi suatu kebenaran,
sepahit apapun itu, memang harus disampaikan apa adanya. Mengutip tutur kata dari
Pakar Tafsir indonesia, Prof. Dr. Quraish Shihab., M.A. dalam bukunya, “Sunni
Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, bahwa “Amanah Ilmiah menuntut agar
menyampaikan apa yang diyakini, khawatir jangan sampai sikap diam, dinilai
Allah sebagai menyembunyikan kebanaran”. Menjalankan amanat ini penting, sebab
ketidak-tegasan sikap akan berdampak fatal pada kebingungan langkah umat,
kerusakan aqidah dan agama mereka.
No comments:
Post a Comment