Saturday, 21 January 2017

Monoteisme Dan politeisme Dalam Ilmu Filsafat

Allah Sang Pencipta


          Jika menoleh ke belekang, mempelajari kepercayaan umat manusia, maka yang akan ditemukan adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini. Orang-orang Yunani kuno, Hindu, dan Arab menganut paham politeisme (keyakinan banyak Tuhan). Pengaruh keyakinan tersebut merambah pesat hingga saat ini.
            Kedatangan al-Qur’an untuk meluruskan paham tersebut (politeisme), dengan membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusah untuk memaparkan wawasan al-Qu’an tentang hal tersebut, meskipun harus diakui bahwa tulisan ini tidak mungkin dapat menjangkau keseluruhannya. Dapat dibayangkan betapa luas pembahasan tentang Tuhan Yang Maha Esa bila akan dirujuk keseluruhan kata yang menunjukka-Nya. Kata “Allah” saja dalam al-Qur’an terulang sebanyak 2.697 kali. Belum lagi kata-kata semacam wahid, ahad, ar-Rab, Al-illah, atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya baik dalam perubahan atau wewenang menatapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada selai-Nya serta penegasan lain yang semuanya mengarah kepada penjelasan tentang tauhid.
            Pemaparan tentang banyak tuhan (politeisme) yang dijelaskan di atas tidak seharsunya menuntun pembaca pada anggapan bahwa konsepsi Islam tentang politeisme sangat sederhana atau bahkan terlalu sederhana untuk dikatakan. Sebenarnya, umat manusia banyak sekali mewarisi diskusi teologis tentang politeisme ini, tentunya yang terdapat dalam masing-masing literatur kalam mereka (teologi dari berbagai macam agama), khususnya dari priode klasik di setiap penjuru dunia.
            Tapi sayangnya, keterangan tentang paham politeisme ini hanya bisa dipatahkan dengan literatur kalam (teologi islam) saja, kendati agama-agama lainnya, yang tidak sama dengan apa yang diajarkan agama islam. Islam memiliki Tuhan tunggal, berbeda dengan teologi yang menganut paham politeisme di atas. Yang bisa dipatahkan dengan berbagai macam pertanyaan. Konsekuensi logisnya adalah Tuhan (Allah) yang tunggal saja masih dipertanyakan, apalagi tuhan-tuhan yang dianut oleh paham politeisme?.
            Pemikir teolog muslim tradisionalis (ortodoks) dipesonifikasikan dan dihidupkan kembali oleh Abu Hamid al-Ghazali, pemikir revolusioner abad ke-11 yang bisa dikatakan pemikir islam yang sangat berpengaruh sepanjang masa. Ia mengakaji berbagai bidang ilmu dan memberi kontribusi besar kepada khalayak tentang hukum, tasawwuf, terutama di bidang teologi. Dalam pandangan beliau, “Tuhan (Allah) tidak dapat dibuktikan secara teologi, karena, realitas yang kita sebut sebagai “Allah” berada di luar bidang presepsi akal dan pikiran lokal. Sehingga, sains dan metafisika tidak bisa membuktikan atau menyangkal wujud keberadaaNya”. Berdasarkan pernyataan ini, Imam yang dijuluki sebagai “hujjat al-Islam” itu secara tidak langsung mengatakan bahwa “keyakinan nyata mengetahui Allah hanya bisa bersumber dari pengalaman religius yang sejati”.
            Berbeda halnya dengan Said Nursi (1877-1960) yang kerap dijuluki “Badiuzzaman” ini memliki pandangan yang sedikit menambahi dari pernytaan Imam al-Ghzali di atas. Menurut pandangnya, “Keyakinan nyata mengetahui Allah bukan hanya melalui jalan pengalaman religius, tidak kalah pentingnya melalui jalan pengamatan berdasarkan emosional manusia”. Bahkan, Nursi sangat menekankan upaya mengamati alam semesta dan memaknainya sebagai simbol kekaguman dan cinta kepada sang Pencipta, selain juga membangun hubungan dengan Allah melalui teks yang diwahyukan.
            Lantas, benarakah predikat “Pencipta” layak disandang oleh Allah? Jika memang sudah pasti, mengapa masih banyak orang (para pemikir)/ filsuf klasik maupun modren mengkritiki dan berselisih keras akan predikat “Pencipta” yang disandangNya?. Di sinilah penulis ingin menjelaskan sekelumit tentang hakikat kebenaran “Pencipta” dalam diri Tuhan (Allah).
            Sayyed Hossein Nasr menerangkan, bahwa dengan menjadi sang Pencipta, sudah keniscayaan logis jika Tuhan yang tunggal didefinisikan sebagai Tuhan yang tidak terbatas, mutlak, dan benar-benar baik. Pandangan ini kemudia memunculkan kontroversial yang apik, sebuah pertnyaan “Lalu siapakah yang menciptakan Tuhan?” jika keberadaan Allah sebagai sang pencipta bukan sekedar ke harusan logis di balik adanya alam semesta, ketiadaan tuhan lain yang ‘ikut’ menciptakan dunia, dan sifatnya yang terbatas dan mutlak, lalu siapa yang bisa menciptakan sesuatu yang bisa disebut pencipta tersebut? Di samping itu,  ada juga yang dengan cepat menyimpulkan bahwa Tuhan harus terlepas dengan waktu, karena seandainya Dia memiliki sifat kemanusiaan, Dia juga akan memiliki sifat-sifat duniawi lain dan hal ini bertentangan dengan definisi awal tentang Tuhan. (Ingat prinsip al-Qur’an bahwa tida ada yang seperti Dia) {baca QS al-Syuara [42]: 11}. Selain itu, Nasr memberikan alasan tambahan perihal Tuhan sebagai pencipta, sebuah ide yang dikembangkan oleh St. Agustinus dan beberapa pemikir lainya. Alasan tersebut adalah bahwa sudah menjadi sifat orang baik untuk mengorbankan dirinya. Tuhan menciptakan dunia bukanlah untuk diri-Nya sendiri, melainkan untuk sesuatu di luar diri-Nya, karena itulah Tuhan menjadi Sang Pencipta (di lua diri-Nya).
            Demikianlah selayang pandang penulis tentang hakikat “Pencipta” sebagai “Predikat” yang disandang oleh Tuhan yang Maha Halus, terlihat oleh mata hati, tertutup dengan mata kepala.
Rujukan buku:
Wawasan Al-Qur’an
Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A.

Islam Dan Sains Modern
Nidhal Guessoum

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...