Allah Sang Pencipta
Jika
menoleh ke belekang, mempelajari kepercayaan umat manusia, maka yang akan
ditemukan adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang
mengatur alam raya ini. Orang-orang Yunani kuno, Hindu, dan Arab menganut paham
politeisme (keyakinan banyak Tuhan). Pengaruh keyakinan tersebut merambah pesat
hingga saat ini.
Kedatangan al-Qur’an untuk meluruskan
paham tersebut (politeisme), dengan membawa ajaran tauhid. Tulisan ini berusah
untuk memaparkan wawasan al-Qu’an tentang hal tersebut, meskipun harus diakui
bahwa tulisan ini tidak mungkin dapat menjangkau keseluruhannya. Dapat
dibayangkan betapa luas pembahasan tentang Tuhan Yang Maha Esa bila akan
dirujuk keseluruhan kata yang menunjukka-Nya. Kata “Allah” saja dalam al-Qur’an
terulang sebanyak 2.697 kali. Belum lagi kata-kata semacam wahid, ahad,
ar-Rab, Al-illah, atau kalimat yang menafikan adanya sekutu bagi-Nya baik
dalam perubahan atau wewenang menatapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada
selai-Nya serta penegasan lain yang semuanya mengarah kepada penjelasan tentang
tauhid.
Pemaparan tentang banyak tuhan
(politeisme) yang dijelaskan di atas tidak seharsunya menuntun pembaca pada
anggapan bahwa konsepsi Islam tentang politeisme sangat sederhana atau bahkan
terlalu sederhana untuk dikatakan. Sebenarnya, umat manusia banyak sekali
mewarisi diskusi teologis tentang politeisme ini, tentunya yang terdapat dalam
masing-masing literatur kalam mereka (teologi dari berbagai macam agama),
khususnya dari priode klasik di setiap penjuru dunia.
Tapi sayangnya, keterangan tentang
paham politeisme ini hanya bisa dipatahkan dengan literatur kalam (teologi
islam) saja, kendati agama-agama lainnya, yang tidak sama dengan apa yang
diajarkan agama islam. Islam memiliki Tuhan tunggal, berbeda dengan teologi
yang menganut paham politeisme di atas. Yang bisa dipatahkan dengan berbagai
macam pertanyaan. Konsekuensi logisnya adalah Tuhan (Allah) yang tunggal saja
masih dipertanyakan, apalagi tuhan-tuhan yang dianut oleh paham politeisme?.
Pemikir teolog muslim tradisionalis (ortodoks)
dipesonifikasikan dan dihidupkan kembali oleh Abu Hamid al-Ghazali, pemikir
revolusioner abad ke-11 yang bisa dikatakan pemikir islam yang sangat
berpengaruh sepanjang masa. Ia mengakaji berbagai bidang ilmu dan memberi
kontribusi besar kepada khalayak tentang hukum, tasawwuf, terutama di bidang
teologi. Dalam pandangan beliau, “Tuhan (Allah) tidak dapat dibuktikan secara
teologi, karena, realitas yang kita sebut sebagai “Allah” berada di luar bidang
presepsi akal dan pikiran lokal. Sehingga, sains dan metafisika tidak bisa
membuktikan atau menyangkal wujud keberadaaNya”. Berdasarkan pernyataan ini,
Imam yang dijuluki sebagai “hujjat al-Islam” itu secara tidak langsung
mengatakan bahwa “keyakinan nyata mengetahui Allah hanya bisa bersumber dari
pengalaman religius yang sejati”.
Berbeda halnya dengan Said Nursi
(1877-1960) yang kerap dijuluki “Badiuzzaman” ini memliki pandangan yang
sedikit menambahi dari pernytaan Imam al-Ghzali di atas. Menurut pandangnya, “Keyakinan
nyata mengetahui Allah bukan hanya melalui jalan pengalaman religius, tidak
kalah pentingnya melalui jalan pengamatan berdasarkan emosional manusia”. Bahkan,
Nursi sangat menekankan upaya mengamati alam semesta dan memaknainya sebagai
simbol kekaguman dan cinta kepada sang Pencipta, selain juga membangun hubungan
dengan Allah melalui teks yang diwahyukan.
Lantas, benarakah predikat “Pencipta”
layak disandang oleh Allah? Jika memang sudah pasti, mengapa masih banyak orang
(para pemikir)/ filsuf klasik maupun modren mengkritiki dan berselisih keras
akan predikat “Pencipta” yang disandangNya?. Di sinilah penulis ingin
menjelaskan sekelumit tentang hakikat kebenaran “Pencipta” dalam diri Tuhan
(Allah).
Sayyed Hossein Nasr menerangkan,
bahwa dengan menjadi sang Pencipta, sudah keniscayaan logis jika Tuhan yang
tunggal didefinisikan sebagai Tuhan yang tidak terbatas, mutlak, dan
benar-benar baik. Pandangan ini kemudia memunculkan kontroversial yang apik,
sebuah pertnyaan “Lalu siapakah yang menciptakan Tuhan?” jika keberadaan Allah
sebagai sang pencipta bukan sekedar ke harusan logis di balik adanya alam
semesta, ketiadaan tuhan lain yang ‘ikut’ menciptakan dunia, dan sifatnya yang
terbatas dan mutlak, lalu siapa yang bisa menciptakan sesuatu yang bisa disebut
pencipta tersebut? Di samping itu, ada
juga yang dengan cepat menyimpulkan bahwa Tuhan harus terlepas dengan waktu,
karena seandainya Dia memiliki sifat kemanusiaan, Dia juga akan memiliki
sifat-sifat duniawi lain dan hal ini bertentangan dengan definisi awal tentang
Tuhan. (Ingat prinsip al-Qur’an bahwa tida ada yang seperti Dia) {baca QS
al-Syuara [42]: 11}. Selain itu, Nasr memberikan alasan tambahan perihal Tuhan
sebagai pencipta, sebuah ide yang dikembangkan oleh St. Agustinus dan beberapa
pemikir lainya. Alasan tersebut adalah bahwa sudah menjadi sifat orang baik
untuk mengorbankan dirinya. Tuhan menciptakan dunia bukanlah untuk diri-Nya
sendiri, melainkan untuk sesuatu di luar diri-Nya, karena itulah Tuhan menjadi
Sang Pencipta (di lua diri-Nya).
Demikianlah selayang pandang penulis
tentang hakikat “Pencipta” sebagai “Predikat” yang disandang oleh Tuhan yang Maha
Halus, terlihat oleh mata hati, tertutup dengan mata kepala.
Rujukan
buku:
Wawasan Al-Qur’an
Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A.
Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A.
Islam Dan Sains Modern
Nidhal Guessoum
Nidhal Guessoum
No comments:
Post a Comment