Antara Hidup Dan Mati
Matahari
tak terlihat jauh di sana, pancaran sinarnya tidak seperti biasanya, yang
memancar, menembus rolong jalan di setiap penjuru dunia. Lestari, sosok wanita
sipit tidak lagi bisa merasakan sengatan hangat dari terik matahari nan jauh di
sana. Menanti hadirnya panas tidak mungkin terjadi. Karena cuaca pada saat itu
tidak lagi bersetubuh dengannya. Cuaca dingin minggu-minggu ini, sangat
meresahkan bathin dan merubah siklus hidupnya agar bisa bersehabat dengannya. Selalu
saja, terselimuti dengan sejuta kegelisahan dan harapan yang masih ada dalam
pikirannya itu. Apalagi, ketika bersamaan dengan cuaca yang tidak mendukung
dirinya untuk hidup sehat dan bersahaja.
Menit berganti jam, jam berganti
hari, dan seterusnya. Sampai ia tidak lagi mampu bertahan diri dengan kesehatan
yang mempuni dirinya agar bisa hidup lebih tenang dan tentram. Disampaing adanya
beban pikiran, ia juga memiliki beban yang jauh lebih berat dari pada beban
pikirannya sekarang. Yaitu, menemukan patokan hati, sandaran jiwa, dan curahan
curhat. Ibu dan bapaknya adalah tujun utama menjadikan dirinya sebagai wanita
yang kuat. Namun, tidak lagi bisa dipungkiri. Kehadiran mereka berdua dalam
kehidupan lestari hanya sebatas bayang-bayang semu. Semu nan jauh di pandang
mata. Bahkan tidak akan mungkin dirinya merasakan hangatnya kehadiran cinta
kedua orang tua, seperti mana yang dirasakan teman-teman karibnya yang masih
memiliki sandara hati untuk mengadu rasa, asa, dan angan-angan yang mereka
rasakan.
Sejak ia dilahirkan oleh ibu yang
mengandungnya, ia belum pernah mendengar suaranya, melihat senyum kebahagian
darinya, dan belum sama sekali merasakan seperti mana yang dirasakan
teman-temannya. Yang masih memiliki kedua orangtua yang sayang dan kasih kepada
mereka semua. Namun, hal ini tidak membuat dirinya putus asa dalam menjalankan
sebuah kehidupan. Meskipun, hidup adalah masalah, sering kali dirinya
memecahkan masalahnya itu dengan tadahan tangan, ratapan angan, dan tumpahan
air mata yang selalu membasahi kedua pipi tembemnya itu dengan sujud meminta
limpahan karunia dari dat yang Maha Entah itu. Wujud sebagai bukti nyata, bahwa
hidup tampa orang tua yang tidak lagi peduli akan dirinya bukanlah masalah bagi
dirinya sendiri. Meskipun, dari lubuk hati yang terdalam, dirinya sangat mengharapkan
kehadiran kasih dan sayang mereka
berdua.
Lestari, yang sering kali mendapat
julukan “Ntem” itu, kini benar-benar “bangkit” bangkit dari keterpurukan yang
sangat dalam. Mulai dari, hilanganya kasih sayang dari kedua orang tua. Hingga,
membuat dirinya terlantur menjalani hidup yang penuh rintangan ini. Lagi-lagi,
hanya sapahan hangat dari teman sebayanya lah, yang bisa menjadikan dirinya
jauh lebih tenang, tanimbang menunggu sapahan kasih sayang dari kedu
orangtuanya itu yang sudah meninggalkan dirinya tampa jejak, sejak kecil hingga
usia dewasa ini.
Di usia yang bisa dikatakan usia
remaja. Lestari, sering kali mengisiskan waktu kosongnya dengan membaca buku,
baginya, membaca adalah salah satu cara menghadirkan dirinya kembali dalam
menemukan dirinya yang sebenarnya. Dengan membaca, dirinya bisa membaca dunia,
dengan membaca rasa harap, khwatir, dan gelisah itu siran ditelan huruf-huruf
yang menjadi kalimat, lalu menjadi alur, hingga saatnya, dirinya menemukan
kalimat dalam sebuah novel (patung cinta) “Dengan cinta, manusia bisa
menampakkan sifat keegoisannya, dengan cinta, manusia bisa merasakan apa yang
belum dirasakannya, dan demi cinta, manusia akan jauh lebih tenang. Karena atas
naman cintalah, cinta memperkenalkan dirinya kepada manusia, sesuatu yang belum diketahui dapat diketahui oleh manusia
yang sedang mengalami rasa cinta”.
Akhir kata, tulisan ini hanya
sebatas tulisan saja. Tidak masuk kepada kategori apapun. Hanya sebagai luapan
hati, tumpahan rasa, dan gambaran angan-angan yang hampa.
“Aku
Melihat Tuhan Dalam Huruf-huruf Yang Menjadi Kalimat, Lalu Menjadi Alur Yang
Membuat Diriku Menjadi Seperti Ini”. Patung Cinta, Telah Mengajarkanku,
Pentingnya Bercinta, Bercinta Kepada Apapun Itu. Teruatama, Buku Yang Aku Sedan
Pegang ini. I Love You My Book.”
Intan Lesatri, sosok wanita
yang kuat,
dalam menghadapi sebuah persoalan hidup,
darinya, kita bisa belajar, arti sebuah kehidupan
tanpa kasih sayang kedua orang tuanya.
Darinya pula, kita bisa memetik hikmah
bahwa apa Yang kita inginkan belum tentu
sesuai dengan apa yang kita harapkan.
begitu juga sebaliknya, lebih baik sedikit beraharap,
dari pada melampaui batas keinginan Tuhan.
dalam menghadapi sebuah persoalan hidup,
darinya, kita bisa belajar, arti sebuah kehidupan
tanpa kasih sayang kedua orang tuanya.
Darinya pula, kita bisa memetik hikmah
bahwa apa Yang kita inginkan belum tentu
sesuai dengan apa yang kita harapkan.
begitu juga sebaliknya, lebih baik sedikit beraharap,
dari pada melampaui batas keinginan Tuhan.
No comments:
Post a Comment