Cinta Melampaui Batas
Sebagaimana fitrah Tuhan pada hamba-Nya yaitu cinta.
Selama ini cinta merupakan pengistilahan pada wujud hati tanpa harus diantarkan
oleh logika dan rasionalitas manusia. Tidak dipungkiri bahwa, ada banyak ragam
definisi tentang cinta namun tidak menemukan orientasi yang tepat pada apa yang
sesungguhnya cinta itu sendiri. Parahnya juga bila kemudian cinta dipahami
dengan ukuran science.
JANGAN KATAKAN “AKU CINTA
PADAMU!” BILA TIDAK BENAR-BENAR SERIUS DAN PEDULI. JANGAN BICARAKAN SOAL
PERASAAN BILA ITU TIDAK BENAR-BENAR ADA.
Jangan sentuh hidup seseorang bila hanya berniat
main-main dengannya. Jangan menatap ke dalam mata seseorang bila apa yang
dilakukan hanya pembohongan. Hal paling kejam yang dilakukan ialah membuat
seseorang jatuh cinta, namun akhirnya tidak menerima dengan alasan-alasan yang
dibuat-buat.
Hakikat cinta tidak akan ditemukan keberadaannya bila
hanya diucapkan atau diistilahkan dengan beragam bahasa, karena kebenaran
tersebut berada dalam ranah bilâ harfin walâ shoutin. Hanya
saja huruf dan suara sebagai cara mengantarkan pada pemahaman apa itu
keberadaan cinta.
Lalu bagaimana sebenarnya? Justru ini masih mencari
apa yang sebenarnya walau nyatanya tidak akan pernah ada yang benar.
Dibuktikannya para tokoh filsuf yang berupaya berkontemplasi tidak mampu
menteorikan mana yang sejatinya cinta, bahkan semakin berkontemplasi akan
semakin vatal. Kali ini hanya bisa mempelajari dari beberapa kisah cinta yang
kadang membuat manusia terkagum atau bahkan menjadi buta karena cinta.
Romeo dan Julia adalah tragedi yang mengisahkan
sepasang mempelai muda yang saling jatuh cinta, namun terhalang karena kedua
keluarga mereka saling bermusuhan. Hingga akhir dari perjalanannya berujung
pada kematian yang tidak wajar, mereka sama-sama menelan racun sebagai jalan
akhir dari cinta sejati. Ini adalah bukti bahwa, logika dan rasionalitas
manusia sudah melampaui batas. Walau sebagai kalangan memahami kisah tersebut
adalah kisah yang konyol, namun begitulah cinta.
Begitu pula Qais yang menjadi gila karena Laila. Kisah
tersebut terhalang oleh budaya, di mana Laila yang menawan menjadi objek
cinta sehingga orang tuanya memutuskan untuk mengurung si gadis dan dijaga
ketat. Qais bertahan menunggu kabar Laila dalam kesunyian tempat. Laila-pun
demikian, dia selamanya merindukan Qais hingga dirinya sakit dan meninggal
dunia. Derita itu pun berujung pedih oleh Qais, dia rela berada di samping
makam Laila hingga ia pun tergeletak lemas dan juga mati. Sebagai pertimbangan,
Qais bukan pengemis cinta hingga ia menjadi gila (majnun), justru ia sangat
membuktikan bahwa rasa dalam hatinya begitu aktif pada Laila.
Dalam kisah yang lain, Sholaiha dalam kondisi tidak
tertahankan dengan ketampanan Yusuf hingga merobek baju bagian belakang Yusuf.
Moment tersebut berujung fitnah terhadap Yusuf yang secara otomatis Yusuf
menjadi korban ulah Sholaiha.
Lebih seru lagi, kisah cinta Adam dan Hawa cukup
jadikan sebagai falsafah cinta sejati, perjalanan kisahnya amatlah dalam,
dramatis dan nyata. Bahkan tidak cukup untuk kita tiru karena dirasa tak akan
kuat dalam penderitaan rindu dendamnya saat mereka terpisah dalam kurun waktu
yang sangat lama.
SAAT ITU PULA SANGATLAH NYATA
BAHWA MEREKA BENAR-BENAR BERDUA YANG TIDAK MUNGKIN HARUS MEMILIH PASANGAN DAN
TERUS MENCARI SATU SAMA LAIN. SUNGGUH PADA WAKTU ITU BUMI MENJADI MILIK MEREKA
BERDUA.
Barangkali di atas cukup menjadi pembelajaran bagi
pencinta berikutnya, bahwa cinta memang begitu adanya. Karena cinta kadang
dibuat tidak logis atau bahkan menjadi konyol. Tidak salah kalau kemudian
seorang laki-laki gagah yang harus membawa setangkai bunga untuk diberikan pada
belahan jiwanya di tempat banyak orang. Kalau kemudian sedikit dipikir mungkin
perlakuan laki-laki itu adalah konyol, namun bagaimana lagi memang begitulah
adanya.
Dengan cinta dapat pula seorang hamba merindu. Dalam
rindu tidak selamanya berbentuk indrawi, karena kalau ingat dan rindu harus
dilalui dengan sebuah pertemuan, lalu bagaimana dengan rinduku pada-Mu?
Kerinduan ini merupakan bentuk tidak hanya dalam hubungan sesama hamba,
melainkan rasa tersebut mampu menebus segalanya. Hanya rindu yang kuat, yang
membuat waktu dilumat dan ruang dilipat.
Menurut Imam al-Ghazali, “mahabbah” adalah
maqam paling tinggi, mengingat tujuan semua tingkat lainnya adalah demi
mencapainya. Menyucikan diri dari tempat-tempat kotor, menyibukkan diri dalam
mencintai Allah semata, taubat, zuhud, kesabaran, takut dan lainnya merupakan
pengantar menuju maqam tertinggi ini. Cinta kepada Allah sebuah kewajiban yang
harus dilaksanakan.
Dengan demikian, penulis kadang juga merasa khawatir
bila kemudian terlalu banyak berkalimat. Kekhawatiran ini mungkin akan dianggap
sebagai cinta yang menurut penulis pahami, karena tidak menutup kemungkinan
para pembaca juga memiliki pemahaman yang berbeda. Hanya saja kalimat-kalimat
atau tulisan ini dapat mengantarkan suatu pemahaman tentang apa itu cinta dan
segala macam di dalamnya.
Selanjutnya sebagai pertimbangan penutup, seperti apa
yang dipahami para sufi, cinta adalah salah satu konsep yang sulit sekali
untuk dipahami. Cinta hanya dapat dihayati dan tidak dapat disifati. Setiap
orang mampu merasakan cinta, mamun mustahil untuk mendefinisikannya. Ibn ‘Arabi
berkata.
“JIKA SEORANG MENGAKU BISA MENDEFINISIKAN CINTA,
JELASLAH IA MASIH BELUM MENGENALNYA. JIKA ADA ORANG YANG MENGATAKAN AKU KENYANG
DENGAN CINTA’, KETAHUILAH, IA MASIH BUTA TENTANG CINTA, KARENA TIDAK SEORANG
PUN DIKENYANGKAN OLEH CINTA.”
No comments:
Post a Comment