Pragmatik
Dalam Kalimat
"Om Telolet Om"
"Om Telolet Om"
Sebelumnya,
penulis ingin katakan bahwa “yang melatar belakangi penulis mengarang
artikel ini. Karena adanya setatus teman facebook yang kurang akurat dalam
memberikan informasi ke pada khalayak”. Dalam hal ini, penulis sangat
terusik. Sehingga, mengantarkan penulis untuk gereget mengarang artikel dengan
judul Tinjauan sisi Pragmatik Dalam Kalimat Om Telolet Om.
Sebelum penulis sajikan sebuah
pembahasan mengenai kalimat di atas, alangkah baiknya jika dilihat terlebih
dahulu setatus teman fecebook sebagaimana dibawah ini:
“itu yg kamu anggap
kekinian
Om berasal dari bahasa Bali kuno yang berati Tuhan, telolet Adalah bahasa Swahili yang berarti Yahweh .
Om telolet om Maka kalian sedang menyebut Yahweh tuhan orang Yahudi.
sebarkan pesan ini, Jangan berhenti di Kamu! Kalian sedang di yahudinisasi!!!
Om berasal dari bahasa Bali kuno yang berati Tuhan, telolet Adalah bahasa Swahili yang berarti Yahweh .
Om telolet om Maka kalian sedang menyebut Yahweh tuhan orang Yahudi.
sebarkan pesan ini, Jangan berhenti di Kamu! Kalian sedang di yahudinisasi!!!
penting dan sebarkan buat
kalian!!!”.
Kalimat yang dilontarkan oleh teman penulis ini, sangatlah
menjanggal dalam hati. Sehingga, tidak dibenarkan menjestifikasi/mevonis
seseorang hanya melihat dari unsur internalnya saja (Semantik). Kiranya, bagi
penulis dibutuhkan adanya kajian yang lebih mendalam. Yaitu kajian pragmatik. Mungkin
dari kajian bidang ini, yang akan bisa meluruskan penceltusan miring yang
terlukis dalam kalimat di atas. Kendati, semua manusia tidak dipernankan untuk
meng-eblok satu sama lain. Jalan satu-satunya untuk tidak terjadi hal yang
demikian adalah mengadakan kajian berupa observasi kepada objek penceltusan
tersebut.
Objek kajian penulis sekarang adalah
kalimat “Om Telolet Om” dari segi pragmatik. Objek kajian ini, bertujuan untuk
menghilangkan presepsi “Yahudinisasi” sementara umat ke pada umat lain. Dan membuktikan
maksud dan tujuan penutur dalam konteks tersebut.
Sebelum meloncat lebih jauh. Baiknya
penulis uraikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pragmatik? dan apa objek
kajiannya? Dalam hal ini bisa di
perhatikan secara mendalam agar tidak terulang kembali pemahaman fantik buta
dalam memvonis seseorang hanya karena taklid buta ke pada orang lain yang
jelas-jelas tidak tahu bahasa khususnya dan ilmu lain yang mengnai kalimat di
atas umumnya.
Pragmatik merupakan salat satu cabang dari
pada ilmu linguistik. Kata pragmatik merupakan kata sifat/edjective yang
dipadankan dari kata pragmatic, dalam kamus Inggris-Indonesia (Echols dan
Shadily, 1975:442). Kata pragmatic diartikan sebagai “To Take A Pragmatic
Approach To Something”. Yang artinya, “Memandang Sesuatu Menurut
Kegunaannya”. Dari sini bisa difahami apa yang dimaksud dengan pragmatik
itu? Karena bagimanapun, semua yang ada dalam al-Qur’an bisa dikaji baik itu
tinjauna sisi pragmatik maupun tinjauan sisi bidang disiplin lainya.
Perlu diketahui, bahwa dua puluh lima tahun silam para
ahli linguistik tidak pernah menyebut istilah pragmatik. Menurut Levinson dalam
Ainin (2001: 123) istilah pragmatik pertama digunakan oleh filosof kenamaan,
yaitu Charles Morris (1938). Dia mempunyai perhatian pada suatu ilmu yang
mengkaji sistem tanda (semiotik). Dalam semiotik ini, Charles Morris membedakan
tiga konsep dasar, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mengkaji
hubungan formal tanda-tanda (tanda bahasa), semantik mengkaji hubungan antara
tanda dan objek, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara tanda-tanda
dengan penafsir.
Menurut Levinson dalam Ainin (2001: 125) pragmatik
adalah studi bahasa yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan konteksnya yang
merupakan dasar dari penentuan pemahamannya. Leech (1983: 19) berpendapat bahwa
pragmatik adalah studi mengenai makna dalam hubungannya dengan situasi ujar.
Aspek situasi-situasi ujar meliputi penyapa dan pesapa, konteks sebuah tuturan,
tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai sebuah bentuk tindakan, dan tuturan
sebagai produk suatu tindak verbal.
Berdasarkan pendapat di atas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa kajian pragmatik mengacu pada penggunaan bahasa dalam
kaitannya dengan konteks. Jadi dapat disimpulkan, pragmatik adalah ilmu yang
menelaah bagaimana keberadaan konteks mempengaruhi dalam menafsirkan kalimat.
Di sinilah letak perbedaan pragmatik dengan semantik, sebab telaah semantik
bersifat bebas konteks. Dengan kata lain, persoalan yang dikaji oleh semantik
adalah makna kata-kata yang dituturkan, dan bukan maksud tuturan penutur.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pragmatik merupakan suatu
cabang linguistik yang mengkaji makna suatu ujaran melalui pemahaman konteks
yang menyertai ujaran tersebut.
Salah
satu fenomena pragmatik yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan
makna dalam semua bahasa adalah teori tindak tutur. Teori ini pada mulanya
dilemukakam oleh ahli filsafat bahasa John Austin pada tahun 1962 (kartomiharjo
dalam Ainin, 2001:129). Dalam teori ini dikemukakan bahwa meskipun kalimat
sering dapat digunakan untuk memberitahukan perihal keadaan, dalam keadaan
tertentu harus dianggap sebagai pelaksanaan tindakan (Leech,1983:21). setiap
kalimat dapat digunakan untuk fungsi-fungsi tertentu,misalnya untuk memberikan
informasi, peringatan, tawaran untuk melakukan sesuatu, menanyakan fakta, atau
memberikan ucapan termakasih.
Dalam
kaitannya dengan tindak tutur ini Austin dalam Ainin dan Asrori (2008: 144)
membedakan tindak tutur menjadi tiga bagian, yaitu tindak lokusi, tindak
ilokusi, dan tindak perlokusi.
1.
Tindak Lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan
sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai The act of saying something. Dalam
tindak lokusi, tuturan dilakukan hanya untuk menyatakan sesuatu tanpa ada
tendensi atau tujuan yang lain, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
Tindak lokusi relatif mudah untuk diindentifikasikan dalam tuturan karena
pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks
tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (Wijana melalui Hidayati, 2009:83).
Dalam kajian pragmatik, tindak lokusi ini tidak begitu berperan untuk memahami
suatu tuturan.
2.
Tindak Ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi ialah tindak tutur yang tidak hanya
berfungsi untuk menginformasikan sesuatu namun juga untuk melakukan sesuatu.
Tuturan ini disebut sebagai The act of doing
something. Contoh, kalimat ‘Saya tidak dapat datang’ bila
diucapkan kepada teman yang baru saja merayakan pesta pernikahannya tidak saja
berfungsi untuk menyatakan bahwa dia tidak dapat menghadiri pesta tersebut,
tetapi juga berfungsi untuk melakukan sesuatu untuk meminta maaf. Tindak
ilokusi sangat sukar dikenali bila tidak memperhatikan terlebih dahulu siapa
penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan
sebagainya.
Searle
dalam Leech (1993:164-166) membagi tindak ilokusi ini menjadi lima yaitu
asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi.
§ Tindak asertif merupakan tindak yang menjelaskan apa dan
bagaimana sesuatu itu adanya, artinya tindak tutur ini mengikat penuturnya pada
kebenaran atas apa yang dituturkannya (seperti menyatakan, mengusulkan,
melaporkan)
§ Tindak komisif ialah tindak tutur yang berfungsi
mendorong penutur melakukan sesuatu. Ilokusi ini berfungsi menyenangkan dan
kurang bersifat kompetitif karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi
pada kepentingan lawan tuturnya (seperti menjanjikan, menawarkan, dan
sebagainya)
§ Tindak direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi
mendorong lawan tutur melakukan sesuatu. Pada dasarnya, ilokusi ini bisa
memerintah lawan tutur melakukan sesuatu tindakan baik verbal maupun nonverbal
(seperti memohon, menuntut, memesan, menasihati)
§ Tindak ekspresif merupakan tindak tutur yang
menyangkut perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan
dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap lawan tutur (seperti
mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam)
§ Tindak deklaratif ialah tindak tutur yang berfungsi
untuk memantapkan atau membenarkan sesuatu tindak tutur yang lain atau tindak
tutur sebelumnya. Dengan kata lain, tindak deklaratif ini dilakukan penutur
dengan maksud untuk menciptakan hal, status, keadaan yang baru (seperti
memutuskan, melarang, mengijinkan).
Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa pemahaman terhadap tindak ilokusi
merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
3.
Perlokusi (perlocutionary act)
Tindak perlokusi yaitu hasil atau efek yang
ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi
pengucapan kalimat (Nababan dalam Lubis, 1999:9). Tuturan ini disebut
sebagai The act of affecting someone. Sebuah tuturan yang
diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force)atau efek bagi yang mendengarnya.
Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan
oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi lawan tutur disebut dengan perlokusi. Tindak perlokusi ini biasa
ditemui pada wacana iklan. Sebab wacana iklan meskipun secara sepintas
merupakan berita tetapi bila diamati lebih jauh daya ilokusi dan perlokusinya
sangat besar.
Pada kalimat “Om Telolet Om” jika
diartikan sebagaimana yang tertera dalam setatus teman penulis tersebut
sangatlah dangkal. Karena, bagi penulis pengertian kata tersebut hanya tinjauan
sisi semantik. Di mana semantik hanya meberikan faham makna sesuai teks. Sehingga,
jika diuraikan secara semantik, kata Om memiliki makna “Tuhan”
sedangkan kata Telolet memiliki arti “Yahweh”. Dalam
hal ini, penulis kurang setuju. Sebab, jika dilihat kembali kata “Om” sering
dipakai di Indonesia sebagai nama panggilan terhadap “paman/orang yang lebih
tua dari padanya” bahasa “Om” ini sering digunakan di daerah sulawesi bahkan
dimanapun daerahnya tidak jarang dijumpai kata om terlontar sebagai panggilan
saudara dari bapak atau ibu dan orang yang lebih tua dari pada orang yang
memanggilnya. Kendati demikian, apakah benar kata “Om” memiliki arti seperti
mana yang diungkapkan oleh teman facebook? Mari dilihat kembali terjemahan kata
“Om” diwikpedia.
Diwikpedia
kata Om diartikan sebagaiadalah suku kata suci dan keramat dalam agama-agama dari India, yaitu agama Hindu, Buddha,
dan Jaina.
Om juga dieja Oṃ, ditulis
dalam aksara
Dewanagari sebagai ॐ dan औम्, dalam bahasa Sanskerta dikenal
sebagai praṇava प्रणव (Suara Kosmis) atau auṃkāra (juga dieja Omkāra) ओंकार (secara harfiah berarti "suku kata auṃ").
sebagai praṇava प्रणव (Suara Kosmis) atau auṃkāra (juga dieja Omkāra) ओंकार (secara harfiah berarti "suku kata auṃ").
Om biasanya dilafalkan sebagai vokal bulat hampir tertutup panjang atau lantang yang disengaukan (IPA: [õːː]).
Kata tersebut terkandung pada bagian awal mantra-mantraHindu sebagai kata yang paling suci yang
dilantunkan pada pendahuluan dan akhir pembacaan Weda atau sebelum memulai doa atau mantra.
Kitab Māndukya Upanishadsecara
garis besar mengandung penjelasan tentang suku kata tersebut. Kata tersebut
terdiri dari tiga fonem, [a], [u] dan [m],
melambangkan Trimurti atau tiga jenjang kehidupan
(kelahiran, kehidupan dan kematian).
Dalam hal ini, kiranya bisa disimpulkan bahwa kata “Om” bukan
hanya memiliki arti “Tuhan”. Bisa berarti kata “suara Kosmis” atau memiliki
arti “Suku”. Sehingga, kurang tepat jika melarang seseorang mengatakan kalimat
di atas hanya dengan satu rujukan. Sedangkan kata telolet, penuis tidak
menjumpai makna kata tersebut. Apalagi makna kata yang ditersirat di dalam
setatus di atas. Nah, jika dilihat dari katanya. Kata “Telolet” sebagai wujud
bunyi kelakson Bus. Yang memang berbunyi senada dengan apa yang dilontarkan
oleh orang-orang kini.
Dalam hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa “yang dimaksud dari
kalimat {Om Telolet Om} adalah tidak sama dengan apa yang diungkapkan oleh
orang yang hanya bisa mengadu domba sesama manusianya. Padahal, jika diuraikan
lebih dalam sangatlah jauh dengan apa yang dipresepsikan. Dalam hal ini,
penulis sajikan kajian pragmatik.
Dalam kajian pragmatik kata {Om Telolet Om} harus dilihat dari
segi situasi dan kondisisnya. Itulah sebabnya, ilmu ini disajikan untuk
memabahas kalimat diluar konteks. Ada yang namanya teori “Tindak tutur” di mana
penulis sudah jelaskan di atas bahwa dalam teori ini ada tiga bagian. Yang pertama
adalah tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Dari tiga hal ini,
yang termasuk dalam pembahasan kalimat tersebut adalah tindak tutur tinjaun
sisi ilokusi dan perlokusi.
Dalam kalimat {Om Telolet Om} sisi ilokusinya adalah ketika si
penutur melontarkan kalimat tersebut memberikan informasi “untuk membunyi
kelakson bus” kepada mitra tuturnya (penyupir bus). Tindak tutur ilokusi ini
dinamakan ilokusi ekspresif dan direktif. Di mana tindak tutur ilokusi
ekspresif ini mewujudkan perasaan dan sikap. Tindak tutur
ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur
terhadap lawan tutur. Sedangkan dalam tindak tutur ilokusi direktif bertujuan
untuk mendorong lawan tutur melakukan sesuatu. Pada dasarnya, ilokusi ini bisa
memerintah lawan tutur melakukan sesuatu tindakan baik verbal maupun nonverbal.
Sehingga, tidak jarang ketika si penutur mengatakan kalimat tersebut kepada
lawan tutur. Dan lawan tutur menuruti apa yang dipinta oleh si penutur. Hal ini,
akan timbul ekspresi kegembiraan dalam sikap psikologinya.
Bisa disimpulkan bahwa “kata {Om Telolet Om} di sini jika
dilihat dari tinjauan sisi pragmatiknya memiliki arti “Permintaan si penutur
terhadap lawan tutur untuk membunyi kelakson” yang memilik dampak vital bagi si
penutur. Yaitu, kegembiraan tiada tara”. Kiranya, penulis tidak salah jika
peulis katakan “Bahagia Itu Sederhana...!!!”
No comments:
Post a Comment