Emansipasi Wanita
Emansipasi berasal dari bahasa latin
“emancipatio” yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi
dulu, membebaskan seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua, sama
halnya dengan mengangkat hak dan derajatnya. Adapun makna emansipasi wanita
adalah perjuangan sejak abad ke 14 M, dalam rangka memperoleh persamaan hak dan
kebebasan seperti hak kaum laki-laki (Kamus ilmiah Populer hal 74-75).
Jadi para penyeru emansipasi wanita
menginginkan agar para wanita disejajarkan dengan kaum pria di segala bidang
kehidupan. Gerakan emansipasi wanita ini sebenarnya tumbuh subur dari akar
system sekuler tatkala mereka memisahkan nilai agama dari kehidupan, mengganti
dengan pemikiran yang bersumber dari ideology materialisme, rasionalisme, komunisme,
kapitalisme, nasionalisme, sosialisme serta liberalisme. Semua pemikiran
tersebut berangkat dari sikap penolakan wahyu dan mengingkari adanya Allah
sehingga menuhankan diri sendiri dan membuat aturan sendiri. Emansipasi wanita
sangat giat dalam memutarbalikkan fakta yang ada dan pemahaman yang dipengaruhi
oleh kepentingan materi serta pemikiran social untuk menghilangkan nilai agama
dan melunturkan aqidah bahkan mempromosikan pemikiran atheis.
Hak asasi wanita menurut konsep
mereka adalah dengan menelantarkan pekerjaan rumah tangga, mengabaikan dalam
mengasuh anak, karena pekerjaan rumah tangga adalah sebagai bentuk usaha yang
tidak menghasilkan keuntungan materi, dan merupakan tugas sampingan yang
bersifat sukarela dan menyibukkan wanita di rumah akan membunuh kreatifitas dan
potensi SDM. Bagaimana bisa mendidik anak, menjaga martabat, membina keutuhan
keluarga dan menciptakan ketenangan jiwa, jika semua itu mereka anggap
merugikan dan membunuh kreatifitas? Justru orang yang tidak kreatiflah yang
berfikiran seperti itu. Wanita sebagai ibu rumah tangga tetap bisa mengeluarkan
kreatifitasnya. Yaitu dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah yang sesuai
dengan tabiatnya. Seperti menjahit, memasak, merawat tanaman, dan sebagainya.
Jauh sebelum barat memplokamirkan
emansipasi wanita, islam telah lebih dahulu mengangkat derajat wanita dari masa
pencapakan di era jahiliah ke masa kemuliaan wanita. “Sesungguhnya laki-laki
dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.(Al-Ahzab : 35)” Dari ayat diatas kita bisa melihat
betapa islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki, semua sama dihadapan
Allah Ta’ala, yang membedakan adalah mereka yang paling tinggi taqwanya. Imam
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa ayat diatas
(AlAhzab:35) turun berkenaan dengan pertanyaan para wanita.”mengapa dalam
Al-Qur’an disebutkan para laki-laki sementara para wanita tidak?” . Maka
turunlah ayat ini.
Islam memberikan hak-hak wanita
dengan sempurna Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yg sesuai pada
tiga bidang : 1. Bidang Kemanusiaan : Islam mengakui haknya sebagai manusia dengan
sempurna sama dengan pria. Umat-umat yg lampau mengingkari permasalahan ini. 2.
Bidang Sosial : Telah terbuka lebar bagi mereka di segala jenjang pendidikan di
antara mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat
sesuai dengan tingkatan usianya masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan
semakin bertambah usianya semakin bertambah pula hak-hak mereka usia
kanak-kanak; kemudian sebagai seorang istri sampai menjadi seorang ibu yang
menginjak lansia yang lebih membutuhkan cinta kasih dan penghormatan. 3. Bidang
Hukum Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dgn sempurna dalam
mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun
yg berkuasa atasnya baik ayah suami atau kepala keluarga. Hukum Islam mengikuti
hukum emansipasi , yakni kedudukan wanita sebagaimana kodratnya, karena ia
memilki watak dan ketentuan sendiri (QS. An Nisa : 32).
Misalnya karena haid dan nifas maka
diperbolehkan meninggalkan sholat dan puasa karena kondisinya tidak memungkinkan
maka tidak dibebani kewajiban perang, mencari nafkah, poliandri, sholat jum’ah,
dll ... Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk
kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya
sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi
Allah subhanahu wata’ala adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al
Hujurat: 33). Lebih dari itu Allah subhanahu wata’alamenegaskan dalam
firman-Nya yang lain (artinya): “Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (An Nahl: 97) Ada lagi nihh suatu peristiwa, kaum muslimah pernah
meminta Rasul supaya diadakan pertemuan khusus bagi mereka dalam mempelajari
ilmu karena mereka melihat bahwa para sahabat mendapat kesempatan berkumpul
lebih banyak untuk mendapatkan ilmu. Ternyata Rosulullah mengabulkan permintaan
tersebut. Ini bukti yang menunjukan betapa perempuan di zaman Rasulullah dan
Khulafaaraasyidin mendapat kedudukan yang sama sebagaimana laki – laki, namun
bukan emansipasi yang kebablasan, sehingga membuat seorang wanita melupakan
tugasnya sebagai “Madrasatul uula”madrasah pertama bagi anak – anaknya, Wanita
mempunyai peran penting dalam mencetak anak – anak nya menjadi generasi –
generasi penerus yang memberikan bobot pada bumi ini dengan kalimat laa ilaaha
illaLlah. Bahkan Ibu Kartini sebagai tokoh pergerakan wanita Indonesia menulis
; "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak
perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu
menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin
akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. “ [Surat Kartini
kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].
Dalam ajaran Islam, wanita juga
mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir, dengan tidak melalaikan fungsi dan
kedudukannya sebagai wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat agar para
muslimah mampu berkarir disegala bidang. Islam membebaskan wanita dari belenggu
kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Namun demikian, pada kenyataannya
diberbagai bidang kehidupan masih banyak terjadi pertentangan pendapat tentang
jabatan yang digeluti. Dalam konteks kekinian hal ini masih menjadi problema
yang masih terus dibicarakan.
Prof. Dr. Quraish Shihab., M.A.
dalam bukunya, “Membumikan Al-Qur’an” memberikan komentar kepada orang-orang
yang membatasi wanita dari segala bidang. Baik itu dalam bidang pekerjaan,
lebih umumnya pada bidang yang digeluti oleh kaum Adam. Semisal, dalam bidang
politik. Kaum hawa sering sekali diisukan untuk tidak ikut serta dalam bidang
ini. Dengan alasan yang bahwa politik itu hanya pantas dan layak bagi kaum
laki-laki. Pola pikir ini, sangat dangkal. Karena, kenyataan sejarah
menunjukkan sekian banyak di antara kaum hawa yang terlibat dalam soal-soal
politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad
SAW. Ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan
keamanan salah satu aspek bidang politik), bahkan istri Nabi sendiri, yakni
Aisyah r.a., memipin langsung peperangan melawan Ali bin abi thalib yang ketika
itu menduduki jabatan kepala negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut
adalah soal suksesi setelah terbunuhnya khlafiah ketiga Ustman bin affan.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah
islam dengan nama perang unta (656 M). Keterlibatan aisyah r.a. bersama sekian
banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa
beliau bersam para pengikutnya itu menganut faham kebolehan keterlibatan
perempuan dalam politik praktis sekalipun.
Hak-hak perempuan dalam memilih
pekerjaan, lanjut beliau. Untuk masalah hak perempuan dalam memilih pekerjaan
ini bisa dilihat pada masa awal islam. Pada hakikatnya wanita pada masa itu
boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik
secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun suwasta,
selama pekerjaan tersebut dilakukanya dalam suasana terhormat, sopan, serta
selama mereka dapat memelihara agamanya. Serta dapat pula menghindarai
dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkunganya.
Pada masa Nabi misalnya, cukup
beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam
peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum adam. Nama-nama seperti Ummu
Salamah (istri Nabi), Shofiyah, Layla al-ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah,
dan masih banyak yang lain. Tercatat sebagai tokoh-tokoh dalam peperangan. Dalam
hal ini, ahli hadis, Imam Bukhori, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya
yang menginfomasikan kegitan-kegitan kaum wanita, seperti bab keterlibatan
perempuan dalam jihad, bab-bab peperangan perempuan di lautan, bab keterlibatan
perempuan merawat korban, dan lain-lain.
Begitu juga, para perempuan pada
masa Nabi. Dalam berbagai bidang pekerjaan secara pro-aktif. Diantaranya, ada
yang bekerja sebagai perias pengantin “Ummu Salim Binti Malhan” yang merias,
antara lain, Shofiyah Bin Huyay istri nabi. Ada juga yang menjadi perawat atau
bidan, ada pula sebagai pedagang seperti, Khodijah Binti Khuwailid, istri nabi,
tercatat sebagai seseorang yang sangat sukses dalam persoalan perdagangan.
Kiranya, bisa ditarik benang
merahnya. Bahwa “perempuan memiliki hak bekerja, selama pekerjaan tersebut
membutuhkanya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut.”
Rujukan buku :
jilbab
perempuan
Membumikan al-Quran
perempuan
Membumikan al-Quran
Karya
: Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A.
Terbitan Mizan, cetakan, ke III (edisi Lukas).
Terbitan Mizan, cetakan, ke III (edisi Lukas).
No comments:
Post a Comment