Monday, 26 December 2016

Emansipasi Wanita Dalam pandangan Islam

Emansipasi Wanita


          Emansipasi berasal dari bahasa latin “emancipatio” yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dulu, membebaskan seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua, sama halnya dengan mengangkat hak dan derajatnya. Adapun makna emansipasi wanita adalah perjuangan sejak abad ke 14 M, dalam rangka memperoleh persamaan hak dan kebebasan seperti hak kaum laki-laki (Kamus ilmiah Populer hal 74-75).
Jadi para penyeru emansipasi wanita menginginkan agar para wanita disejajarkan dengan kaum pria di segala bidang kehidupan. Gerakan emansipasi wanita ini sebenarnya tumbuh subur dari akar system sekuler tatkala mereka memisahkan nilai agama dari kehidupan, mengganti dengan pemikiran yang bersumber dari ideology materialisme, rasionalisme, komunisme, kapitalisme, nasionalisme, sosialisme serta liberalisme. Semua pemikiran tersebut berangkat dari sikap penolakan wahyu dan mengingkari adanya Allah sehingga menuhankan diri sendiri dan membuat aturan sendiri. Emansipasi wanita sangat giat dalam memutarbalikkan fakta yang ada dan pemahaman yang dipengaruhi oleh kepentingan materi serta pemikiran social untuk menghilangkan nilai agama dan melunturkan aqidah bahkan mempromosikan pemikiran atheis.
Hak asasi wanita menurut konsep mereka adalah dengan menelantarkan pekerjaan rumah tangga, mengabaikan dalam mengasuh anak, karena pekerjaan rumah tangga adalah sebagai bentuk usaha yang tidak menghasilkan keuntungan materi, dan merupakan tugas sampingan yang bersifat sukarela dan menyibukkan wanita di rumah akan membunuh kreatifitas dan potensi SDM. Bagaimana bisa mendidik anak, menjaga martabat, membina keutuhan keluarga dan menciptakan ketenangan jiwa, jika semua itu mereka anggap merugikan dan membunuh kreatifitas? Justru orang yang tidak kreatiflah yang berfikiran seperti itu. Wanita sebagai ibu rumah tangga tetap bisa mengeluarkan kreatifitasnya. Yaitu dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah yang sesuai dengan tabiatnya. Seperti menjahit, memasak, merawat tanaman, dan sebagainya.
Jauh sebelum barat memplokamirkan emansipasi wanita, islam telah lebih dahulu mengangkat derajat wanita dari masa pencapakan di era jahiliah ke masa kemuliaan wanita. “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.(Al-Ahzab : 35)” Dari ayat diatas kita bisa melihat betapa islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki, semua sama dihadapan Allah Ta’ala, yang membedakan adalah mereka yang paling tinggi taqwanya. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa ayat diatas (AlAhzab:35) turun berkenaan dengan pertanyaan para wanita.”mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan para laki-laki sementara para wanita tidak?” . Maka turunlah ayat ini.
Islam memberikan hak-hak wanita dengan sempurna Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yg sesuai pada tiga bidang : 1. Bidang Kemanusiaan : Islam mengakui haknya sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria. Umat-umat yg lampau mengingkari permasalahan ini. 2. Bidang Sosial : Telah terbuka lebar bagi mereka di segala jenjang pendidikan di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya semakin bertambah pula hak-hak mereka usia kanak-kanak; kemudian sebagai seorang istri sampai menjadi seorang ibu yang menginjak lansia yang lebih membutuhkan cinta kasih dan penghormatan. 3. Bidang Hukum Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dgn sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak ada seorang pun yg berkuasa atasnya baik ayah suami atau kepala keluarga. Hukum Islam mengikuti hukum emansipasi , yakni kedudukan wanita sebagaimana kodratnya, karena ia memilki watak dan ketentuan sendiri (QS. An Nisa : 32).
Misalnya karena haid dan nifas maka diperbolehkan meninggalkan sholat dan puasa karena kondisinya tidak memungkinkan maka tidak dibebani kewajiban perang, mencari nafkah, poliandri, sholat jum’ah, dll ... Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum wanita dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah subhanahu wata’ala adalah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat: 33). Lebih dari itu Allah subhanahu wata’alamenegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya): “Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97) Ada lagi nihh suatu peristiwa, kaum muslimah pernah meminta Rasul supaya diadakan pertemuan khusus bagi mereka dalam mempelajari ilmu karena mereka melihat bahwa para sahabat mendapat kesempatan berkumpul lebih banyak untuk mendapatkan ilmu. Ternyata Rosulullah mengabulkan permintaan tersebut. Ini bukti yang menunjukan betapa perempuan di zaman Rasulullah dan Khulafaaraasyidin mendapat kedudukan yang sama sebagaimana laki – laki, namun bukan emansipasi yang kebablasan, sehingga membuat seorang wanita melupakan tugasnya sebagai “Madrasatul uula”madrasah pertama bagi anak – anaknya, Wanita mempunyai peran penting dalam mencetak anak – anak nya menjadi generasi – generasi penerus yang memberikan bobot pada bumi ini dengan kalimat laa ilaaha illaLlah. Bahkan Ibu Kartini sebagai tokoh pergerakan wanita Indonesia menulis ; "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. “ [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].
Dalam ajaran Islam, wanita juga mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir, dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah mampu berkarir disegala bidang. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Namun demikian, pada kenyataannya diberbagai bidang kehidupan masih banyak terjadi pertentangan pendapat tentang jabatan yang digeluti. Dalam konteks kekinian hal ini masih menjadi problema yang masih terus dibicarakan.
Prof. Dr. Quraish Shihab., M.A. dalam bukunya, “Membumikan Al-Qur’an” memberikan komentar kepada orang-orang yang membatasi wanita dari segala bidang. Baik itu dalam bidang pekerjaan, lebih umumnya pada bidang yang digeluti oleh kaum Adam. Semisal, dalam bidang politik. Kaum hawa sering sekali diisukan untuk tidak ikut serta dalam bidang ini. Dengan alasan yang bahwa politik itu hanya pantas dan layak bagi kaum laki-laki. Pola pikir ini, sangat dangkal. Karena, kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum hawa yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan salah satu aspek bidang politik), bahkan istri Nabi sendiri, yakni Aisyah r.a., memipin langsung peperangan melawan Ali bin abi thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya khlafiah ketiga Ustman bin affan.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah islam dengan nama perang unta (656 M). Keterlibatan aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersam para pengikutnya itu menganut faham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
Hak-hak perempuan dalam memilih pekerjaan, lanjut beliau. Untuk masalah hak perempuan dalam memilih pekerjaan ini bisa dilihat pada masa awal islam. Pada hakikatnya wanita pada masa itu boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun suwasta, selama pekerjaan tersebut dilakukanya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya. Serta dapat pula menghindarai dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkunganya.
Pada masa Nabi misalnya, cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum adam. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shofiyah, Layla al-ghaffariyah, Ummu Sinam al-Aslamiyah, dan masih banyak yang lain. Tercatat sebagai tokoh-tokoh dalam peperangan. Dalam hal ini, ahli hadis, Imam Bukhori, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya yang menginfomasikan kegitan-kegitan kaum wanita, seperti bab keterlibatan perempuan dalam jihad, bab-bab peperangan perempuan di lautan, bab keterlibatan perempuan merawat korban, dan lain-lain.
Begitu juga, para perempuan pada masa Nabi. Dalam berbagai bidang pekerjaan secara pro-aktif. Diantaranya, ada yang bekerja sebagai perias pengantin “Ummu Salim Binti Malhan” yang merias, antara lain, Shofiyah Bin Huyay istri nabi. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, ada pula sebagai pedagang seperti, Khodijah Binti Khuwailid, istri nabi, tercatat sebagai seseorang yang sangat sukses dalam persoalan perdagangan.
Kiranya, bisa ditarik benang merahnya. Bahwa “perempuan memiliki hak bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkanya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut.”
Rujukan buku :
jilbab
perempuan
Membumikan al-Quran
Karya : Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A.
Terbitan Mizan, cetakan, ke III (edisi Lukas).


No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...