Prespektif Makna Agama
Teringat
kembali tugas pribadi untuk mengeluarkan satu karya ilmiah dalam sehari. Entah
harus apa yang ingin dijadikan judul pembahasan? Sedangkan pikiran pada pagi
hari ini sedang tidak menyatu dengan konsep kerangka ilmu pengetahuan. Tapi,
sejenak penulis terdiam dalam lamunan yang tak terbayangkan. Sepintas terbersit
kata dalam lamunan yang tak bertepi itu, “Agama”. Bagaimana si pandangan kaum
orientalis dalam menyikapi makna agama? apakah sama dengan pandangan sementara
ulama muslim yang terkemuka?
Dari ini, penulis bergegas menuju
kamar dan mencari buku di rak buku yang sudah disediakan oleh orang tua. Entah
kenapa jari-jemari penulis langsung memandang novel Berfikir Seperti Nabi,
dibuka secara perlahan, dibaca secara saksama, hingga menari-nari dalam
khayalan menuju inspirasi cemerlang. Ternyata, dalam novel itu agama diartikan
sebagai “Kepasrahan total seorang hamba dalam beribadah kepada Sang Khaliq”. Definisi
ini merujuk kepada faham plurisme beragama,
yang mengartikan ayat al-Qur’an secara harfiyahnya. Di antaranya sosok Gus Dur,
Aktifis JIL, Cak Nur, Dan Gus Mus. Ayatnya berbunyi sebagai berikut :
إن الدين عند
الله الإسلام
“Sesungguhnya
Agama Yang Ada Di sisi Allah Adalah Islam”. (QS, Ali ‘Imrân ayat 19).
Dalam pandanganya, agama yang ada disisi Allah
adalah agama yang dimana para pemeluknya itu memasrahkan diri secara total
kepada Allah. Bukan diartikan sebagai “Agama Islam”. Sehingga dalam pandangan
mereka, agama apapun yang memang memasrahkan dirinya kepada Allah secara “Kaffah”
maka agama tersebut ada di sisi Allah. Kendati, faham pluralisme beragama ini
mengatakan bahwa “Tuhan manusia itu pada hakikatnya Satu, yaitu Allah. Hanya saja,
wujud persembahan antar agamalah yang berbeda”. Agar lebih jelas bisa dibaca dalam
urain penulis tentang Faham Liar jilid III. Ini linknya:http://muhammadaly234.blogspot.co.id/2016/11/islam-plural.html
.
Pandangan ini sangat bertolak
belakang dengan pisau analisisnya Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A. dalam bukunya “Wawasan
Al-Qur’an”. Beliau mengomentari ayat diatas kurang lebihnya demikian. “Bahwa ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah
keniscayaan yang tidak terbantah, sehingga jika demikian, hanya keislaman,
yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah yang diakui dan diterima di
sisi-Nya. Dan Islam dalam arti “penyerahan diri” adalah hakikat yang ditetapkan
Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW”.
Dalam bukunya itu, beliau menganggap bawah islam
adalah fitrah bagi seluruh alam. Menurut Quraish Shihab, “keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan
terbawa sejak kelahirannya sebagaimana Surat al-Rum ayat 30. Ini berarti
manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian
karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya
sekian lama – boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada
akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu”.
Jika mengulas
pengertian agama menurut Quraish Shihab, kiranya penulis bisa menyimpulkan
bahwa “Agama dalam diri manusia merupakan kebutuhan. Dan kalau memang agama
adalah kebutuhan, maka sudah barang tentu antara agama dengan manusia tidak
bisa dipisahkan”. Hal ini bisa dilihat dari pendapatnya William
James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan
mengharap, selama itu
pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa
perasaan takut merupakan salah satu
dorongan yang terbesar
untuk beragama.
Sangat tepat,
jika agama diartikan sebagai kebutuhan. Karena agama merupakan sebuah realitas
telah hidup dan mengiringi kehidupan manusia sejak dahulu kala. Bahkan Agama
akan terus mengiringi kehidupan manusia entah untuk beberapa lama lagi.
Fenomena ini akhirnya menyadarkan manusia bahwa baik Agama maupun manusia tidak
dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan. Sebaliknya, manusia tidak akan
menjadi manusia yang memiliki budi pekerti yang manusiawi jika Agama tidak
mengajarkan manusia bagaimana cara menjadi manusia yang manusiawi tersebut.
Namun, kini segelintir manusia telah mencoba untuk menenggelamkan
Agama menjadi sebuah barang antik yang sifatnya hanya untuk di pajang dan
dikenang. Hal ini di sebabkan antara lain oleh, telah terlalu lamanya Agama
mengiringi kehidupan manusia. Sehingga, Agama di anggap sebagai sesuatu yang
kuno. Dan dikhawatirkan Agama tidak akan sanggup mengikuti perkembangan zama dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang semakin beraneka ragam. Selanjutnya,
sebagai manusia yang menyetujui hal ini beranggapan bahwa kini telah terdapat
alternatif lain untuk menggantikan peran Agama, yaitu, teknologi. Agama yang
selalu membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis akan dengan mudahnya
digantikan oleh teknologi yang dipastikan hanya akan membicarakan hal-hal yang
sifatnya logis.
Namun, ternyata anggapan semacam ini adalah anggapan yang
sepenuhnya keliru, karena nyatanya hingga kini Agama menjadi sesuatu yang tak
terpisahkan dalam tiap sendi kehidupan manusia. Bahkan manusia yang menganggap
dirinya sebagai manusia yang paling modern sekalipun tak lepas dari Agama. Hal
ini membuktikan bahwa Agama tidaklah sesempit pemahaman manusia mengenai
kebenarannya. Agama tidak saja membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis,
malahan juga membicarakan hal-hal yang logis pula. Agama juga tidak hanya
membatasi diri terhadap hal-hal yang kita anggap mustahil. Karena pada waktu
yang bersamaan Agama juga menyuguhkan hal-hal yang riil. Begitulah Agama,
sangat kompleks sehingga betul-betul membutuhkan mata yang sanggup “melek” (keseriusan)
untuk memahaminya.
Dari perspektif antropology
sendiri melihat Agama atau menafsirkan Agama adalah: merupakan sebuah sistem
budaya, dimana setiap sistemnya terdapat unsur yang memungkinkan terbentuknya
sebuah sistem itu. Antropologi memandang sebuah hal penting ini dari terbentuknya
sistem budaya. Yakni sistem gagasan yang mendasari terbentuknya sistem
budaya “beragama” ini. Sistem gagasan inilah yang akhirnya menuntun pemikiran
manusia hingga menuju pada Tuhan yang nantinya akan di sembah. Agama disebut
sebagai sebuah sistem budaya karena Agama merupakan sebuah hasil dari “sistem
gagasan” manusia
terdahulu. Sistem gagasan disini bermaksud bahwa masyarakat
primitif dahulu mengunakan Agama sebagai “alat” penjelas terhadap
fenomena-fenomena alam yang terjadi, lambat laun manusia primitif menganggap
bahwa segalanya memiliki ruh. Segala fenomena yang disaksikan dan yang mereka
nisbahkan pada ruh. Dengan demikian, manusia primitif dapat menafsirkan
fenomena-fenomena yang ada diartikanya seperti banjir, gempa, dan lainya dengan
pandangan tersebut.
Sedangkan bagi Max
Weber melihat gejala
Agama adalah: Tuhan tidak ada dan hidup untuk manusia, tetapi manusialah yang
hidup demi Tuhan. Lebih jauh mengenai masalah ini, dijelaskan bahwa menjalankan
praktek-praktek keAgamaan merupakan upaya manusia untuk merubah Tuhan yang
irasional menjadi rasional. Semakin kita menjalankan peritah-perintah Tuhan
maka akan semakin terasa kedekatan kita terhadap Tuhan. Berbeda lagi dengan
pendapatnya Emile
Durkhem yang
menyatakan bahwa Agama secara khas merupakan permasalahan sosial, bukan
individual. Karena yang empirik (pada saat itu) Agama di praktekkan dalam
ritual upacara yang memerlukan partisipasi anggota kelompok dalam
pelaksanaanya. Sehingga yang nampak saat itu adalah Agama hanya bisa dilaksanakan
pada saat berkumpul dangan anggota sosial, dan tidak bisa dilakukan tiap
individu.
Cliford Geertz yang melalui penelitian yang di
lakukannya di Mojokuto mulai Mei 1953-September 1954, membagi Agama masyarakat
Jawa hanya menjadi tiga bagian, yakni: kalangan “Priyayi, Santri, dan Abangan”.
Hal ini disebabkan karena penekanan yang dilakukan oleh Geertz adalah masalah komplesitas yang ada
pada masyarakat Jawa. Dengan pengelompokan ini, yakni: Priyayi, santri, abangan.
Dalam Sosiologis, Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan
yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Berkaitan dengan pengalaman manusia,
baik sebagai individu maupun kelompok. Oleh karena itu, setiap perilaku yang
diperankan akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran Agama yang dianut.
Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang
didasarkan pada nilai-nilai ajaran Agama yang menginternalisasi sebelumnya.
Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya
berdampingan dan berhimpit saling menciptakan dan meniadakan. (Dadang Kahmad;
2000).
Agama dalam perjalanannya tidak hanya dijadikan sebagai kebenaran yang diyakini dan dipahami, tetapi
sebisamungkin kebenaran Agama itu juga dapat dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari, baik melalui sikap, perilaku, atau tindakan. Manusia dikatakan
sebagai manusia yang sebenarnya apabila ia menjadi manusia yang etis yakni
manusia yang secara utuh mampu memenuhi hajat hidup dalam rangka mengasah
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, antara
jasmani dan rohani, antara makhluk berdiri sendiri dan dengan KhalikNya. Hal ini terjadi
karena hidup manusia mempunyai tujuan terakhir, yang lebih baik dan tertinggi
dalam rangka mendapatkan kebahagiaan sempurna. Manusia sebagai objek material,
etika dalam melakuan tindakan-tindakan etis tentunya membutuhkan arahan-arahan
untuk mencapai kebahagiaan sempurna itu. (Heniy Astiyanto 2006:287).
Bagi Karl Marx: agama adalah
sebagai alat melegitimasi kepentingan dunia, & agama membawa keterasingan
(agama adalah Candu). Gramcie: Agama sebagai generator pengerak, (agama
melakukan perubahan sosial) berlawanan dengan Marx. Durkhem: Agama
sebagai alat perekat. (totem:sesuatu yang suci) Berlawanan dengan Marx.
Albert Einstein: Ilmu tampa Agama buta, dan agama tampa ilmu adalah
lumpuh.
Inilah
sekelumit pembahasan tentang agama.[]
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan.
SOSILOGI ISLAM
ALI SYARIATI
No comments:
Post a Comment