Saturday 3 December 2016

Makna Agama Pelbagi Analisis Pakar

Prespektif Makna Agama


          Teringat kembali tugas pribadi untuk mengeluarkan satu karya ilmiah dalam sehari. Entah harus apa yang ingin dijadikan judul pembahasan? Sedangkan pikiran pada pagi hari ini sedang tidak menyatu dengan konsep kerangka ilmu pengetahuan. Tapi, sejenak penulis terdiam dalam lamunan yang tak terbayangkan. Sepintas terbersit kata dalam lamunan yang tak bertepi itu, “Agama”. Bagaimana si pandangan kaum orientalis dalam menyikapi makna agama? apakah sama dengan pandangan sementara ulama muslim yang terkemuka?
            Dari ini, penulis bergegas menuju kamar dan mencari buku di rak buku yang sudah disediakan oleh orang tua. Entah kenapa jari-jemari penulis langsung memandang novel Berfikir Seperti Nabi, dibuka secara perlahan, dibaca secara saksama, hingga menari-nari dalam khayalan menuju inspirasi cemerlang. Ternyata, dalam novel itu agama diartikan sebagai “Kepasrahan total seorang hamba dalam beribadah kepada Sang Khaliq”. Definisi  ini merujuk kepada faham plurisme beragama, yang mengartikan ayat al-Qur’an secara harfiyahnya. Di antaranya sosok Gus Dur, Aktifis JIL, Cak Nur, Dan Gus Mus. Ayatnya berbunyi sebagai berikut :
إن الدين عند الله الإسلام
“Sesungguhnya Agama Yang Ada Di sisi Allah Adalah Islam”. (QS, Ali ‘Imrân ayat 19).
            Dalam pandanganya, agama yang ada disisi Allah adalah agama yang dimana para pemeluknya itu memasrahkan diri secara total kepada Allah. Bukan diartikan sebagai “Agama Islam”. Sehingga dalam pandangan mereka, agama apapun yang memang memasrahkan dirinya kepada Allah secara “Kaffah” maka agama tersebut ada di sisi Allah. Kendati, faham pluralisme beragama ini mengatakan bahwa “Tuhan manusia itu pada hakikatnya Satu, yaitu Allah. Hanya saja, wujud persembahan antar agamalah yang berbeda”. Agar lebih jelas bisa dibaca dalam urain penulis tentang Faham Liar jilid III. Ini linknya:http://muhammadaly234.blogspot.co.id/2016/11/islam-plural.html .
            Pandangan ini sangat bertolak belakang dengan pisau analisisnya Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A. dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an”. Beliau mengomentari ayat diatas kurang lebihnya demikian. “Bahwa ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantah, sehingga jika demikian, hanya keislaman, yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah yang diakui dan diterima di sisi-Nya. Dan Islam dalam arti “penyerahan diri” adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW”.
            Dalam bukunya itu, beliau menganggap bawah islam adalah fitrah bagi seluruh alam. Menurut Quraish Shihab, “keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya sebagaimana Surat al-Rum ayat 30. Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama – boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu”.
               Jika mengulas pengertian agama menurut Quraish Shihab, kiranya penulis bisa menyimpulkan bahwa “Agama dalam diri manusia merupakan kebutuhan. Dan kalau memang agama adalah kebutuhan, maka sudah barang tentu antara agama dengan manusia tidak bisa dipisahkan”. Hal ini bisa dilihat dari pendapatnya William James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih memiliki naluri cemas  dan  mengharap,  selama  itu  pula  ia  beragama (berhubungan  dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan  salah  satu  dorongan  yang  terbesar  untuk beragama.
  
               Sangat tepat, jika agama diartikan sebagai kebutuhan. Karena agama merupakan sebuah realitas telah hidup dan mengiringi kehidupan manusia sejak dahulu kala. Bahkan Agama akan terus mengiringi kehidupan manusia entah untuk beberapa lama lagi. Fenomena ini akhirnya menyadarkan manusia bahwa baik Agama maupun manusia tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan. Sebaliknya, manusia tidak akan menjadi manusia yang memiliki budi pekerti yang manusiawi jika Agama tidak mengajarkan manusia bagaimana cara menjadi manusia yang manusiawi tersebut.

            Namun, kini segelintir manusia telah mencoba untuk menenggelamkan Agama menjadi sebuah barang antik yang sifatnya hanya untuk di pajang dan dikenang. Hal ini di sebabkan antara lain oleh, telah terlalu lamanya Agama mengiringi kehidupan manusia. Sehingga, Agama di anggap sebagai sesuatu yang kuno. Dan dikhawatirkan Agama tidak akan sanggup mengikuti perkembangan zama dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang semakin beraneka ragam. Selanjutnya, sebagai manusia yang menyetujui hal ini beranggapan bahwa kini telah terdapat alternatif lain untuk menggantikan peran Agama, yaitu, teknologi. Agama yang selalu membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis akan dengan mudahnya digantikan oleh teknologi yang dipastikan hanya akan membicarakan hal-hal yang sifatnya logis.
Namun, ternyata anggapan semacam ini adalah anggapan yang sepenuhnya keliru, karena nyatanya hingga kini Agama menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dalam tiap sendi kehidupan manusia. Bahkan manusia yang menganggap dirinya sebagai manusia yang paling modern sekalipun tak lepas dari Agama. Hal ini membuktikan bahwa Agama tidaklah sesempit pemahaman manusia mengenai kebenarannya. Agama tidak saja membicarakan hal-hal yang sifatnya eskatologis, malahan juga membicarakan hal-hal yang logis pula. Agama juga tidak hanya membatasi diri terhadap hal-hal yang kita anggap mustahil. Karena pada waktu yang bersamaan Agama juga menyuguhkan hal-hal yang riil. Begitulah Agama, sangat kompleks sehingga betul-betul membutuhkan mata yang sanggup “melek” (keseriusan) untuk memahaminya.

Dari perspektif antropology sendiri melihat Agama atau menafsirkan Agama adalah: merupakan sebuah sistem budaya, dimana setiap sistemnya terdapat unsur yang memungkinkan terbentuknya sebuah sistem itu. Antropologi memandang sebuah hal penting ini dari terbentuknya sistem budaya. Yakni sistem gagasan yang mendasari terbentuknya sistem budaya “beragama” ini. Sistem gagasan inilah yang akhirnya menuntun pemikiran manusia hingga menuju pada Tuhan yang nantinya akan di sembah. Agama disebut sebagai sebuah sistem budaya karena Agama merupakan sebuah hasil dari “sistem gagasan” manusia
terdahulu. Sistem gagasan disini bermaksud bahwa masyarakat primitif dahulu mengunakan Agama sebagai “alat” penjelas terhadap fenomena-fenomena alam yang terjadi, lambat laun manusia primitif menganggap bahwa segalanya memiliki ruh. Segala fenomena yang disaksikan dan yang mereka nisbahkan pada ruh. Dengan demikian, manusia primitif dapat menafsirkan fenomena-fenomena yang ada diartikanya seperti banjir, gempa, dan lainya dengan pandangan tersebut.
Sedangkan bagi Max Weber melihat gejala Agama adalah: Tuhan tidak ada dan hidup untuk manusia, tetapi manusialah yang hidup demi Tuhan. Lebih jauh mengenai masalah ini, dijelaskan bahwa menjalankan praktek-praktek keAgamaan merupakan upaya manusia untuk merubah Tuhan yang irasional menjadi rasional. Semakin kita menjalankan peritah-perintah Tuhan maka akan semakin terasa kedekatan kita terhadap Tuhan. Berbeda lagi dengan pendapatnya Emile Durkhem yang menyatakan bahwa Agama secara khas merupakan permasalahan sosial, bukan individual. Karena yang empirik (pada saat itu) Agama di praktekkan dalam ritual upacara yang memerlukan partisipasi anggota kelompok dalam pelaksanaanya. Sehingga yang nampak saat itu adalah Agama hanya bisa dilaksanakan pada saat berkumpul dangan anggota sosial, dan tidak bisa dilakukan tiap individu.
Cliford Geertz yang melalui penelitian yang di lakukannya di Mojokuto mulai Mei 1953-September 1954, membagi Agama masyarakat Jawa hanya menjadi tiga bagian, yakni: kalangan “Priyayi, Santri, dan Abangan”. Hal ini disebabkan karena penekanan yang dilakukan  oleh Geertz adalah masalah komplesitas yang ada pada masyarakat Jawa. Dengan pengelompokan ini, yakni:  Priyayi, santri, abangan.
Dalam Sosiologis, Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Oleh karena itu, setiap perilaku yang diperankan akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran Agama yang dianut. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Agama yang menginternalisasi sebelumnya. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan berhubungan secara dialektik. Ketiganya berdampingan dan berhimpit saling menciptakan dan meniadakan. (Dadang Kahmad; 2000).
Agama dalam perjalanannya tidak hanya dijadikan sebagai kebenaran yang diyakini dan dipahami, tetapi sebisamungkin kebenaran Agama itu juga dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui sikap, perilaku, atau tindakan. Manusia dikatakan sebagai manusia yang sebenarnya apabila ia menjadi manusia yang etis yakni manusia yang secara utuh mampu memenuhi hajat hidup dalam rangka mengasah keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, antara jasmani dan rohani, antara makhluk berdiri sendiri dan dengan KhalikNya. Hal ini terjadi  karena hidup manusia mempunyai tujuan terakhir, yang lebih baik dan tertinggi dalam rangka mendapatkan kebahagiaan sempurna. Manusia sebagai objek material, etika dalam melakuan tindakan-tindakan etis tentunya membutuhkan arahan-arahan untuk mencapai kebahagiaan sempurna itu. (Heniy Astiyanto 2006:287).

Bagi Karl Marx: agama adalah sebagai alat melegitimasi kepentingan dunia, & agama membawa keterasingan (agama adalah Candu). Gramcie: Agama sebagai generator pengerak, (agama melakukan perubahan sosial) berlawanan dengan Marx. Durkhem:  Agama sebagai alat perekat. (totem:sesuatu yang suci) Berlawanan dengan Marx.  Albert Einstein:  Ilmu tampa Agama buta, dan agama tampa ilmu adalah lumpuh.

Inilah sekelumit pembahasan tentang agama.[]

----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan.

SOSILOGI ISLAM
ALI SYARIATI





No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...