Sistem Negara Dalam Pandangan Islam
Berbicara demokrasi tentunya akan
menyinggung sebagian besar sistem pembentukan dalam suatu negara. Yang mana
terbentuknya sebuah negara itu atas kehendak masyarakat yang ada di dalamnya. Masyarakat
yang berkompeten dalam membangun sebuah negara ini memiliki sebuah sistem
kenegaraan. Dari beberapa sistem kenegaraan di dunia, bisa terbagai menjadi
beberapa bagian. Namun, sebelum penulis hidangkan pembahasan Antar
Demokrasi Dan agama, penulis ingin katakan bahawa “Dalam kesempatan
kali ini, penulis dapat sebuah inspirasi dari salah satu teman kampus, untuk
membuat semacam artikel dengan judul yang demikian memikat ini”. Yang memang
sedang gencar-gencarnya diperbincangkan disalah satu negara. Katakanlah negara
Indonesia.
Sistem negara yang sering sekali
disinggung oleh kaum politikus. Ternyta dalam berbagai aspek dan pandangan
sangat marak sekali kerancauan dalam kinerja disuatu negara yang memiliki
sisitem kenegaraan tertentu. Katakanlah di zaman klasik, di zaman klasik ini,
sistem monarki adalah suatu hal yang sangat diminati, entah karena alasan apa
sistem anarki sangat diminati oleh orang-orang di zaman klasik ini. Mungkin,
karena terbatasnya ilmu pengetahuan rakyatnya sehingga sistem ini diterima
dengan lapang dada atau mungkin karena tidak ada pilihan lain untuk memilih
sistem negara pada saat itu. Dalam pandangannya seorang tokoh yang sangat
terkenal di belahan Timur Tengah, ia bernama Abul A’la Al-Maududi dengan sistem
politik Islam yang di kembangkanya dengan secara tegas ia mengecam system
kerajaan atau monarki tersebut. Menurut Maududi sistem monarki memang tidak ada
sama sekali memiliki tempat dalam Islam. Maududi mengingatkan bahwa seluruh
kerajaan yang ada pasti memaksakan untuk di taatinya kekuasaan secara
turun-temurun, dan karena itu pula kerajaan itu menjadi “kerajaan yang menggigit”,
yakni menindas rakyat di bidang politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya,
baik pada zaman dulu maupun di zaman modern sekarang ini. Semisalnya sebuah
kerajaan bisa kita lihat pola tingkanya yang melakukan hal-hal aneh seperti
pergelaran tradisi budaya yang bercampur dengan singkretisme dan animisme,
rakyatnya di paksakan secara sadar dan tidak sadar untuk patuh terhadap
keinginan pihak kerajaan, bentuk kekerajaan yang tidak berorientasi pada agama
Islam. Tidak terkecuali, menurut Maududi Kerajaan Arab Saudi pun yang oleh
banyak orang disalahmengertikan sebagai penerapan ajaran Islam, padahal
Arab Saudi juga menurut ia keliru dalam memahami Islam dalam rangka membangun
Negara pendekatan agama. Bagi Abul A’la Al-Maududi system monarki adalah
malapetaka paling besar dan paling tragis yang menimpa kaum muslimin dunia.
Teori
politik Islam seperti yang di kembangkan oleh Maududi memang terlihat aneh dan
ganjil di matanya para kaum orientalis dan tokoh-tokoh sekuler lainnya.
Keunikan teori politik Maududi terletak pada konsep dasarnya yang menegaskan
bahwa “kedaulatan (souverenitas) ada di tangan Tuhan,
bukan di tangan manusia”. Jadi jika kita pertemukan dengan sistem politik
demokrasi maka akan bertolak belakang atau berlawanan. Teori politik demokrasi
pada umumnya menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat”, dari rakyat
untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam prakteknya system demokrasi sering mejadi
kata-kata kosong, artinya disini adalah kendali pemerintahan berada di tangan
sekelompok kecil penguasa yang menentukan seluruh kebijakan dasar arah tujuan
Negara. Manipulasi kekuasaan yang di lakukan sekelompok orang bisa kita lihat
misalnya pada Negara Indonesia, di mana kekuasaan sangat memperioritaskan
kestabilan kekuasaannya dan menjaga agar selalu kuat partai pendukungnya, baru
kemudian yang terakhir memikirkan rakyatnya itupun jika ada.
Praktek
sistem demokrasi memang akan menyadari bahwa yang paling sering berlaku adalah
“hukum besi oligarki” (the iron law of oligarchy), yaitu
bahwa sekelompok penguasa saling bekerja sama untuk menentukan berbagai
kebijaksanaan politik, sosial dan ekonomi Negara tampa harus menayakan
bagaimana sesungguhnya aspirasi rakyat yang sebenarnya. Jikapun ada Dewan
Perwakilan Rakyat, kecederungan akan selalu berkompromi dengan pihak penguasa
dan memperhitungkan untung ruginya bagi partai masing-masing. System kepartaian
ini juga tidak bisa di katakan adalah perwakilan suara rakyat, yang perlu di
garis bawahi juga adalah kelompok partai politik inipun memperjuangkan
kelompoknya yang utama dan yang pertama. Selain itu juga yang penting menjadi
catatan adalah kelompok oligarki tersebut yang notabene mengatasnamakan rakyat,
mereka akan selalu bersikap oportunis berusaha untuk memperpanjang
kekuasaannya, melestarikan, memonopoli demi kekuasaan dan kekayaan, dan hal
yang demikian tidak di benarkan oleh Islam.
Penolakan
terhadap teori “keudaulatan rakyat” oleh Maududi terutama berdasakan
bukti-bukti praktek demokrasi yang selalu menyelewen. Landasan pemikiran
Maududi terutama berdasarkan pemahamannya tentanng ayat-ayat Al-qur’an yang
menunjukan bahwa otoritas dan souverenitas(kedaulatan)
tertinggi adalah berada di tangan Tuhan. Selain itu menurut ia, Tuhan sajalah
yang berhak memberikan hukum (law-giver) bagi manusia. Manusia
tidak berhak menciptakan hukum, menentukan apa yang boleh (halal) dan apa yang
terlarang (haram). Hukum di sini berarti norma-norma dasar bagi penciptaan
masyarakat yang adil dan sejahtera. Bukan hukum–hukum adminitrasi atau
hukum-hukum lalu lintas dan lain sebagainya. Dalam pengertian ini sudah barang
tentu manusia diperbolehkan membuat peraturan seterperinci mungkin.
Bahwa
berdasarkan ayat-ayat Al-qur’an yang menegaskan yaitu otoritas dan souverenitas
tertinggi ada di tangan Tuhan dan hanya Tuhan sajalah yang berhak menciptakan
hukum, maka dengan demikian Maududi berpegang pada beberapa prinsip, yaitu.Pertama;
tidak ada seseorang, sekelompok orang atau bahkan seluruh penduduk suatu Negara
dapat melakukan klaim atas souverenitas (kedaulatan). Kedaulatan hanya Allah
sajalah yang memengang kedaulatan itu dalam arti yang sebenarnya dan
sesungguhya. Jadi manusia di sini hanyalah pelaksana dari kedaulatan Tuhan. Kedua; Tuhan adalah pencipta hukum
yang sebenarnya (the real law-giver), sehingga Dia
sajalah yang berhak membuat legislasi secara mutlak. Manusia di perkenankan
membuat legislasi sepanjang legislasi itu tidak bertentangan dengan legislasi
dasar yang berasal dari wahyu. Secara logika maka jika demikian rakyat tidak
dapat dan jangan pernah melakukan modifikasi atas hukum yang telah di tetapkan
Tuhan. Ketiga;
suatu pemerintahan yang menjalankan peraturan dasar dari Tuhan yang sebagaimana
di jalankan oleh Nabi-Nya wajib memperoleh ketaatan rakyat, karena pemerintahan
yang seperti itu pada prisipnya bertindak sebagai badan politik yang
memberlakukan peraturan-peraturan Tuhan.
Demokrasi Barat sama juga dengan kedaulatan
rakyat, kedaulatan rakyat sama juga dengan demokrasi Barat, Konsep inilah yang
di tentang keras oleh Maududi. Demokrasi Barat mengajarkan bahwa kekuasaan
mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan rakyat, bahkan penentuan
nilai-nilai norma-norma, dan tingkah laku, berada di tangan rakyat. Pembuatan
hukum (law-making) harus sesuai dengan selera opini publik yang menuntutnya.
Tidak mustahil suatu ketika tindakan-tindakan non-manusiawi menjadi legal
sepenuhnya bila opini publik yang menuntutnya. Apabila sebuah legislasi
(perancangan pembuatan undang-undang) di kehendaki oleh manyoritas rakyat,
betapapun legislasi itu bertentangan dengan ajaran moral dan agama, maka
legislasi itu harus berjalan. Karena ia adalah kehendak rakyat. Contoh kecil
misalnya Jika ada lokalisasi PSK yang di situ merupakan rakyat yang
beraktifitas di tempat itu, maka demokrasi membenarkan kegiatan tersebut.
Rakyat sakit dan mati di sebabkan rokok asal rakyat menghedaki tidak jadi
masalah. Demikian juga dengan prilaku-prilaku sosial lainya oleh konsep
demokrasi Barat di benarkan asal itu menjadi pandangan kolektif oleh rakyat.
Jadi suatu pemerintah yang mengamalkan konsep demokrasi ala Barat, seperti
Negara Indonesia Ini sudah pasti tidak bisa sanggup pemerintahannya melindunggi
rakyatnya secara utuh dan sempurnah, seperti yang di kehendaki agama. Karena
Indonesia negara yang sangat besar dan luas, dan Indonesia pun bangga berkiblat
demokrasi ala Negara Amerika Serikat.
Dalam demkorasi
Barat, suatu legislasi betapapun itu merupakan suatu hal benar dan adil yang
berdasarkan nilai, norma, dan agama, dapat di batalkan jika rakyat menghedaki.
Contoh kecil misalnya pemakain bikini oleh wanita dan celana dalam oleh pria di
tempat umum (pantai), sudut pandang norma dan agama hal yang demikian tidak di
benarkan. namun karena suatu Negara menganut faham demokrasi Barat maka
larangan dari norma agama tidak berpengaruh. Padahal salah satu dari fungsi
agama adalah memperbaiki prilaku manusia. Konsep demokrasi terkadang jatuh
menjadi sekedar pembenar apa saja yang di inginkan oleh rakyat yang
kadang-kadang irrasional. Agama Islam malah dapat menggelakkan dua
kelemahan dari demokrasi itu, dan Islam tidak bersinggungan atau berhubungan sama
sekali dengan konsep demokrasi Barat. Islam menolak filsafat kedaulatan rakyat, dan
mengembangkan teori politik dan masyarakat politik yang bersandar padakedaulatan
Tuhan dan khilafah
(pemimpin versi Islam).
Islam tidak memberikan keudaulatan penuh kepada
rakyatnya. Rakyat dalam politik Islam, tidak boleh mengunakan kedaulatannya itu
semau-maunya, karena ada peraturan Tuhan yang harus di junjung tinggi oleh
manusia baik berupa norma-norma dan nilai-nilai Ilahi yang harus di taati.
Malahan Islam menekankan norma-norma dan nilai-nilai Ilahi itu harus menjadi
paradigma program-program sosial, politik, dan ekonomi yang di tentukan oleh
rakyat lewat para wakilnya. Dalam hal ini Islam memberikan kedaulatan kepada
rakyat, akan tetapih kedaulatan itu di batasi oleh norma-norma datannya dari
Tuhan.
Bentuk pemerintahan manusia yang di inginkan
Islam adalah bedasarkan pandangan Al-qur’an, ialah ada pengakuan Negara akan
kepemimpinan kedaulatan Allah dan RasulNya di bidang perundang-undangan,
menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan tertinggi kepada
keduannya dan menyakini bahwa khilafahnya itu mewakili Sang Hakim yang
sebenarnya, yaitu Allah SWT. Hal ini bisa dilihat pada Al-qur’an
(surat 38:26). Doktrin tentang khilafah yang di sebutkan dalam Al-qur’an bahwa
segala sesuatu di atas bumi ini yang di peroleh seseorang manusia hanyalah
karunia dari Allah SWT. Berdasarkan hal ini, maka manusia bukanlah penguasa
atau pemilik, tetapi ia (manusia) hanyalah Khalifah atau wakil Sang Pemilik
yang sebenarnya.
Adapun yang
disertai khilafah yang sah dan benar yaitu bukanlah perorangan, keluarga, garis
keturunan, kelas tertentu. Tetapih ia adalah komunitas secara keseluruhan yang
menyakini dan menerima prinsip-prinsip agama. Dalam system khilafah ini tidak
di benarkan seseorang, kelas tertentu, dan kelompok dapat mengklaim bahwa
khilafah Allah hanya dikhususkan baginya dan bukan bagi kaum mukminin lainnya.
Inilah yang membedakan khilafah
Islamiyah dari yang
berbentuk sistem kerajaan, pemerintahan kelas ataupun pemerintahan para pendeta
Agama. Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi
yang sempurna, meskipun tertdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islam dengan
demokrasi Barat. Dasar pemikiran demokrasi Barat adalah bertumpu atas prinsip
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Adapun demokrasi dalam khilafah
Islamiyah, rakyat mengakui bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah dan
dengan sukarela dan atas keninginannya sendiri. Menjadikan kekuasannya di
batasi oleh batasan-batasan perundangan-undangan Allah SWT.
Di antara ciri-ciri sistem kekhalifahan ini
ialah terwujutnya kemerdekaan yang sempurna untuk mengkritik dan mengeluarkan
pendapat. Para khalifah ini tidak pernah menutup diri dari masyarakat banyak,
justru sebaliknya mereka sering sekali duduk bersama para anggota-anggota ahli
musyawarah dan ikut serta dalam diskusi-diskusi dan pembahasan-pembahasan,
mereka semuanya tidak mempunyai partai politik, sehingga tidak ada politik
kepentingan, disini murni yang dilihat adalah permasalahan nasib ummat, dan
tidak ada pula partai oposisi yang menetang perkumpulan anggota-anggota ahli
musyawarah. Berbeda halnya dalam demokrasi Barat yang mementingkan harus adanya
partai politik, sebagai mesin politik menuju kekuasaan dan kekayaan.
Sederhananya partai-partai politik itu dalam menentukan kepemimpinan tidak
perlu ada, karena ia rawan dengan manipulasi dan kebohongan publik dan tinggkah
para elitnya kebanyakan menjijikan, ketimbang ada yang di banggakan. Ciri
lainya dalam sistem kekhalifahan adalah bagi setiap orang yang ikut dalam
diskusi atau perdebatan, atau hadir dalam permusyawaratan itu dengan mudah
memberikan pendapatnya dengan kebebasan penuh sebagaimana keimanannya dan
berdasarkan perkataan hati nuraninya. Bukan berdasarkan amanah golongan terterntu,
sebagaimana kita lihat elit partai politik yang tidak konsisten pada nasip
rakyatnya.
Dasar
utama untuk memecahkan atau memutuskan perkara-perkara di hadapkan kepada
mereka (ahli-musyawarah) adalah argumentasi yang ilmiah dan dalil-dalil yang benar,
bukan berdasarkan yang lain-lainya, apalagi pesenan kepentingan suatu golongan.
Para khalifah bertemu dengan rakyatnya bukan saja pada saat-saat terjadinya
permusyawaratan saja, melainkan mereka bertemu bersama selalu sebanyak lima
kali sehari (solat berjamaat 5 kali sehari) dalam kesempatan solat berjamaah,
pada hari juma’at seminggu sekalai, dan pada hari raya dan musim-musim
haji selama setahun skali. Rumah-rumah mereka berada di antara rumah-rumah
rakyat banyak atau kaum awam, dan pintu-pintu rumah mereka terbuka untuk semua
orang tampa terkecuali. Mengutip apa yang telah di utarakan oleh Abu Bakar
dalam khutbahnya yang pertamanya: “apabila aku berbuat baik bantulah aku, tapi
apabila aku berbuat buruk maka luruskanlah jalan aku”. Dan apabila
seorang pemimipin telah sadar akan kesalahannya lebih baik langsung menarik
pendapatnya yang salah itu, kemudian meminta maaf, dan berterimasih kepada
orang yang telah menegurnya.
Dan salah
satu ormas di Indonesia yang ingin mendirikan negara atas sistem Khilfah ini
adalah HTI (Hizbut Tahrir). Penulis mengetahui hal ini, ketika penulis
mengikuti suatu seminar, tidak jauh dari hari ini. Di dalam acara itu, terdapat
orang HTI yang melontar suara dengan amat keras kepada narasumber dalam rangka
memberi masukan kepadanya. Kendati seminar itu membahasa masalah sistem negara.
Maka, orang tersebut (HTI) angkat bicara dengan memberikan solusi “bagaiman
kalau negara kita ini mengikuti sistem Khilafah? Bukankah baik!” dengan panjang
lebar, dan pada intinya. Kata-kata merujuk dengan apa yang dikemukakan oleh Abul A’la al-Maududi, dalam bukunya “Khilafah Atau Kerajaan, Evaluasi Kritis atas Sejarah
Pemerintahan Islam”.
No comments:
Post a Comment