Saturday 3 December 2016

Antar Khilafah Dan Demokrasi

Sistem Negara Dalam Pandangan Islam


           
          
            Berbicara demokrasi tentunya akan menyinggung sebagian besar sistem pembentukan dalam suatu negara. Yang mana terbentuknya sebuah negara itu atas kehendak masyarakat yang ada di dalamnya. Masyarakat yang berkompeten dalam membangun sebuah negara ini memiliki sebuah sistem kenegaraan. Dari beberapa sistem kenegaraan di dunia, bisa terbagai menjadi beberapa bagian. Namun, sebelum penulis hidangkan pembahasan Antar Demokrasi Dan agama, penulis ingin katakan bahawa “Dalam kesempatan kali ini, penulis dapat sebuah inspirasi dari salah satu teman kampus, untuk membuat semacam artikel dengan judul yang demikian memikat ini”. Yang memang sedang gencar-gencarnya diperbincangkan disalah satu negara. Katakanlah negara Indonesia.
            Sistem negara yang sering sekali disinggung oleh kaum politikus. Ternyta dalam berbagai aspek dan pandangan sangat marak sekali kerancauan dalam kinerja disuatu negara yang memiliki sisitem kenegaraan tertentu. Katakanlah di zaman klasik, di zaman klasik ini, sistem monarki adalah suatu hal yang sangat diminati, entah karena alasan apa sistem anarki sangat diminati oleh orang-orang di zaman klasik ini. Mungkin, karena terbatasnya ilmu pengetahuan rakyatnya sehingga sistem ini diterima dengan lapang dada atau mungkin karena tidak ada pilihan lain untuk memilih sistem negara pada saat itu. Dalam pandangannya seorang tokoh yang sangat terkenal di belahan Timur Tengah, ia bernama Abul A’la Al-Maududi dengan sistem politik Islam yang di kembangkanya dengan secara tegas ia mengecam system kerajaan atau monarki tersebut. Menurut Maududi sistem monarki memang tidak ada sama sekali memiliki tempat dalam Islam. Maududi mengingatkan bahwa seluruh kerajaan yang ada pasti memaksakan untuk di taatinya kekuasaan secara turun-temurun, dan karena itu pula kerajaan itu menjadi “kerajaan yang menggigit”, yakni menindas rakyat di bidang politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya, baik pada zaman dulu maupun di zaman modern sekarang ini. Semisalnya sebuah kerajaan bisa kita lihat pola tingkanya yang melakukan hal-hal aneh seperti pergelaran tradisi budaya yang bercampur dengan singkretisme dan animisme, rakyatnya di paksakan secara sadar dan tidak sadar untuk patuh terhadap keinginan pihak kerajaan, bentuk kekerajaan yang tidak berorientasi pada agama Islam. Tidak terkecuali, menurut Maududi Kerajaan Arab Saudi pun yang oleh banyak orang disalahmengertikan sebagai penerapan ajaran Islam,  padahal Arab Saudi juga menurut ia keliru dalam memahami Islam dalam rangka membangun Negara pendekatan agama. Bagi Abul A’la Al-Maududi system monarki adalah malapetaka paling besar dan paling tragis yang menimpa kaum muslimin dunia.
Teori politik Islam seperti yang di kembangkan oleh Maududi memang terlihat aneh dan ganjil di matanya para kaum orientalis dan tokoh-tokoh sekuler lainnya. Keunikan teori politik Maududi terletak pada konsep dasarnya yang menegaskan bahwa “kedaulatan (souverenitas) ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia”. Jadi jika kita pertemukan dengan sistem politik demokrasi maka akan bertolak belakang atau berlawanan. Teori politik demokrasi pada umumnya menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat”, dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam prakteknya system demokrasi sering mejadi kata-kata kosong, artinya disini adalah kendali pemerintahan berada di tangan sekelompok kecil penguasa yang menentukan seluruh kebijakan dasar arah tujuan Negara. Manipulasi kekuasaan yang di lakukan sekelompok orang bisa kita lihat misalnya pada Negara Indonesia,  di mana kekuasaan sangat memperioritaskan kestabilan kekuasaannya dan menjaga agar selalu kuat partai pendukungnya, baru kemudian yang terakhir memikirkan rakyatnya itupun jika ada.
Praktek sistem demokrasi memang akan menyadari bahwa yang paling sering berlaku adalah “hukum besi oligarki” (the iron law of oligarchy), yaitu bahwa sekelompok penguasa saling bekerja sama untuk menentukan berbagai kebijaksanaan politik, sosial dan ekonomi Negara tampa harus menayakan bagaimana sesungguhnya aspirasi rakyat yang sebenarnya. Jikapun ada Dewan Perwakilan Rakyat, kecederungan akan selalu berkompromi dengan pihak penguasa dan memperhitungkan untung ruginya bagi partai masing-masing. System kepartaian ini juga tidak bisa di katakan adalah perwakilan suara rakyat, yang perlu di garis bawahi juga adalah kelompok partai politik inipun memperjuangkan kelompoknya yang utama dan yang pertama. Selain itu juga yang penting menjadi catatan adalah kelompok oligarki tersebut yang notabene mengatasnamakan rakyat, mereka akan selalu bersikap oportunis berusaha untuk memperpanjang kekuasaannya, melestarikan, memonopoli demi kekuasaan dan kekayaan, dan hal yang demikian tidak di benarkan oleh Islam.
Penolakan terhadap teori “keudaulatan rakyat” oleh Maududi terutama berdasakan bukti-bukti praktek demokrasi yang selalu menyelewen. Landasan pemikiran Maududi terutama berdasarkan pemahamannya tentanng ayat-ayat Al-qur’an yang menunjukan bahwa otoritas dan souverenitas(kedaulatan) tertinggi adalah berada di tangan Tuhan. Selain itu menurut ia, Tuhan sajalah yang berhak memberikan hukum (law-giver) bagi manusia. Manusia tidak berhak menciptakan hukum, menentukan apa yang boleh (halal) dan apa yang terlarang (haram). Hukum di sini berarti norma-norma dasar bagi penciptaan masyarakat yang adil dan sejahtera.  Bukan hukum–hukum adminitrasi atau hukum-hukum lalu lintas dan lain sebagainya. Dalam pengertian ini sudah barang tentu manusia diperbolehkan membuat peraturan seterperinci mungkin.
Bahwa berdasarkan ayat-ayat Al-qur’an yang menegaskan yaitu otoritas dan souverenitas tertinggi ada di tangan Tuhan dan hanya Tuhan sajalah yang berhak menciptakan hukum, maka dengan demikian Maududi berpegang pada beberapa prinsip, yaitu.Pertama; tidak ada seseorang, sekelompok orang atau bahkan seluruh penduduk suatu Negara dapat melakukan klaim atas souverenitas (kedaulatan). Kedaulatan hanya Allah sajalah yang memengang kedaulatan itu dalam arti yang sebenarnya dan sesungguhya. Jadi manusia di sini hanyalah pelaksana dari kedaulatan Tuhan. Kedua; Tuhan adalah pencipta hukum yang sebenarnya (the real law-giver), sehingga Dia sajalah yang berhak membuat legislasi secara mutlak. Manusia di perkenankan membuat legislasi sepanjang legislasi itu tidak bertentangan dengan legislasi dasar yang berasal dari wahyu. Secara logika maka jika demikian rakyat tidak dapat dan jangan pernah melakukan modifikasi atas hukum yang telah di tetapkan Tuhan. Ketiga; suatu pemerintahan yang menjalankan peraturan dasar dari Tuhan yang sebagaimana di jalankan oleh Nabi-Nya wajib memperoleh ketaatan rakyat, karena pemerintahan yang seperti itu pada prisipnya bertindak sebagai badan politik yang memberlakukan peraturan-peraturan Tuhan.
Demokrasi Barat sama juga dengan kedaulatan rakyat, kedaulatan rakyat sama juga dengan demokrasi Barat, Konsep inilah yang di tentang keras oleh Maududi. Demokrasi Barat mengajarkan bahwa kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan rakyat, bahkan penentuan nilai-nilai norma-norma, dan tingkah laku, berada di tangan rakyat. Pembuatan hukum (law-making) harus sesuai dengan selera opini publik yang menuntutnya. Tidak mustahil suatu ketika tindakan-tindakan non-manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini publik yang menuntutnya. Apabila sebuah legislasi (perancangan pembuatan undang-undang) di kehendaki oleh manyoritas rakyat, betapapun legislasi itu bertentangan dengan ajaran moral dan agama, maka legislasi itu harus berjalan. Karena ia adalah kehendak rakyat. Contoh kecil misalnya Jika ada lokalisasi PSK yang di situ merupakan rakyat yang beraktifitas di tempat itu, maka demokrasi membenarkan kegiatan tersebut. Rakyat sakit dan mati di sebabkan rokok asal rakyat menghedaki tidak jadi masalah. Demikian juga dengan prilaku-prilaku sosial lainya oleh konsep demokrasi Barat di benarkan asal itu menjadi pandangan kolektif oleh rakyat. Jadi suatu pemerintah yang mengamalkan konsep demokrasi ala Barat, seperti Negara Indonesia Ini sudah pasti tidak bisa sanggup pemerintahannya melindunggi rakyatnya secara utuh dan sempurnah, seperti yang di kehendaki agama. Karena Indonesia negara yang sangat besar dan luas, dan Indonesia pun bangga berkiblat demokrasi ala Negara Amerika Serikat.
Dalam demkorasi Barat, suatu legislasi betapapun itu merupakan suatu hal benar dan adil yang berdasarkan nilai, norma, dan agama, dapat di batalkan jika rakyat menghedaki. Contoh kecil misalnya pemakain bikini oleh wanita dan celana dalam oleh pria di tempat umum (pantai), sudut pandang norma dan agama hal yang demikian tidak di benarkan. namun karena suatu Negara menganut faham demokrasi Barat maka larangan dari norma agama tidak berpengaruh. Padahal salah satu dari fungsi agama adalah memperbaiki prilaku manusia. Konsep demokrasi terkadang jatuh menjadi sekedar pembenar apa saja yang di inginkan oleh rakyat yang kadang-kadang irrasional. Agama Islam  malah dapat menggelakkan dua kelemahan dari demokrasi itu, dan Islam tidak bersinggungan atau berhubungan sama sekali dengan konsep demokrasi Barat. Islam menolak filsafat kedaulatan rakyat, dan mengembangkan teori politik dan masyarakat politik yang bersandar padakedaulatan Tuhan dan khilafah (pemimpin versi Islam).
Islam tidak memberikan keudaulatan penuh kepada rakyatnya. Rakyat dalam politik Islam, tidak boleh mengunakan kedaulatannya itu semau-maunya, karena ada peraturan Tuhan yang harus di junjung tinggi oleh manusia baik berupa norma-norma dan nilai-nilai Ilahi yang harus di taati. Malahan Islam menekankan norma-norma dan nilai-nilai Ilahi itu harus menjadi paradigma program-program sosial, politik, dan ekonomi yang di tentukan oleh rakyat lewat para wakilnya. Dalam hal ini Islam memberikan kedaulatan kepada rakyat, akan tetapih kedaulatan itu di batasi oleh norma-norma datannya dari Tuhan.
Bentuk pemerintahan manusia yang di inginkan Islam adalah bedasarkan pandangan Al-qur’an, ialah ada pengakuan Negara akan kepemimpinan kedaulatan Allah dan RasulNya di bidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan tertinggi kepada keduannya dan menyakini bahwa khilafahnya itu mewakili Sang Hakim yang sebenarnya, yaitu Allah SWT.  Hal ini bisa dilihat pada Al-qur’an (surat 38:26). Doktrin tentang khilafah yang di sebutkan dalam Al-qur’an bahwa segala sesuatu di atas bumi ini yang di peroleh seseorang manusia hanyalah karunia dari Allah SWT. Berdasarkan hal ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik, tetapi ia (manusia) hanyalah Khalifah atau wakil Sang Pemilik yang sebenarnya.
Adapun yang disertai khilafah yang sah dan benar yaitu bukanlah perorangan, keluarga, garis keturunan, kelas tertentu. Tetapih ia adalah komunitas secara keseluruhan yang menyakini dan menerima prinsip-prinsip agama. Dalam system khilafah ini tidak di benarkan seseorang, kelas tertentu, dan kelompok dapat mengklaim bahwa khilafah Allah hanya dikhususkan baginya dan bukan bagi kaum mukminin lainnya. Inilah yang membedakan khilafah Islamiyah dari yang berbentuk sistem kerajaan, pemerintahan kelas ataupun pemerintahan para pendeta Agama. Dan ini pulalah yang mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi yang sempurna, meskipun tertdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islam dengan demokrasi Barat. Dasar pemikiran demokrasi Barat adalah bertumpu atas prinsip kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Adapun demokrasi dalam khilafah Islamiyah, rakyat mengakui bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah dan dengan sukarela dan atas keninginannya sendiri. Menjadikan kekuasannya di batasi oleh batasan-batasan perundangan-undangan Allah SWT.
Di antara ciri-ciri sistem kekhalifahan ini ialah terwujutnya kemerdekaan yang sempurna untuk mengkritik dan mengeluarkan pendapat. Para khalifah ini tidak pernah menutup diri dari masyarakat banyak, justru sebaliknya mereka sering sekali duduk bersama para anggota-anggota ahli musyawarah dan ikut serta dalam diskusi-diskusi dan pembahasan-pembahasan, mereka semuanya tidak mempunyai partai politik, sehingga tidak ada politik kepentingan, disini murni yang dilihat adalah permasalahan nasib ummat, dan tidak ada pula partai oposisi yang menetang perkumpulan anggota-anggota ahli musyawarah. Berbeda halnya dalam demokrasi Barat yang mementingkan harus adanya partai politik, sebagai mesin politik menuju kekuasaan dan kekayaan. Sederhananya partai-partai politik itu dalam menentukan kepemimpinan tidak perlu ada, karena ia rawan dengan manipulasi dan kebohongan publik dan tinggkah para elitnya kebanyakan menjijikan, ketimbang ada yang di banggakan. Ciri lainya dalam sistem kekhalifahan adalah bagi setiap orang yang ikut dalam diskusi atau perdebatan, atau hadir dalam permusyawaratan itu dengan mudah memberikan pendapatnya dengan kebebasan penuh sebagaimana keimanannya dan berdasarkan perkataan hati nuraninya. Bukan berdasarkan amanah golongan terterntu, sebagaimana kita lihat elit partai politik yang tidak konsisten pada nasip rakyatnya.
Dasar utama untuk memecahkan atau memutuskan perkara-perkara  di hadapkan kepada mereka (ahli-musyawarah) adalah argumentasi yang ilmiah dan dalil-dalil yang benar, bukan berdasarkan yang lain-lainya, apalagi pesenan kepentingan suatu golongan. Para khalifah bertemu dengan rakyatnya bukan saja pada saat-saat terjadinya permusyawaratan saja, melainkan mereka bertemu bersama selalu sebanyak lima kali sehari (solat berjamaat 5 kali sehari) dalam kesempatan solat berjamaah, pada hari juma’at seminggu sekalai, dan pada hari raya dan musim-musim  haji selama setahun skali. Rumah-rumah mereka berada di antara rumah-rumah rakyat banyak atau kaum awam, dan pintu-pintu rumah mereka terbuka untuk semua orang tampa terkecuali. Mengutip apa yang telah di utarakan oleh Abu Bakar dalam khutbahnya yang pertamanya: “apabila aku berbuat baik bantulah aku, tapi apabila aku berbuat buruk maka luruskanlah jalan aku”. Dan apabila seorang pemimipin telah sadar akan kesalahannya lebih baik langsung menarik pendapatnya yang salah itu, kemudian meminta maaf, dan berterimasih kepada orang yang telah menegurnya.
Dan salah satu ormas di Indonesia yang ingin mendirikan negara atas sistem Khilfah ini adalah HTI (Hizbut Tahrir). Penulis mengetahui hal ini, ketika penulis mengikuti suatu seminar, tidak jauh dari hari ini. Di dalam acara itu, terdapat orang HTI yang melontar suara dengan amat keras kepada narasumber dalam rangka memberi masukan kepadanya. Kendati seminar itu membahasa masalah sistem negara. Maka, orang tersebut (HTI) angkat bicara dengan memberikan solusi “bagaiman kalau negara kita ini mengikuti sistem Khilafah? Bukankah baik!” dengan panjang lebar, dan pada intinya. Kata-kata merujuk dengan apa yang dikemukakan oleh  Abul A’la al-Maududi, dalam bukunya Khilafah Atau Kerajaan, Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam”.

                

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...