Sunday 4 December 2016

Arti Jumud Dalam Pandangan Syaikh Muhammad Abduh

Islam Dan Kejumudan


            Mungkin dari sekian banyak pandangan dari berbagai macam analisa dan prespektif dari para pakar terkemuka mengenai kata jumud sangat banyak sekali. Namun, penulis di sini ingin sekali mengupas kata jumud dari pakar Fiqhi tersohor namanya “Muhammad Abduh”. Nama yang sering sekali penulis jumpai dalam karyanya Prof. Dr. Qurais Shihab ini ternyata menyimpan sejuta ilmu. Khususnya dalam pengertian jumud.
            Sebelumnya, penulis ingin uraikan arti jumud dalam kamus bahasa Arab. Kata jumud ini bentuk masdar dari kata Jamada – Yaj’mudu – Jamdan/Jumudan, yang memiliki arti “beku”. Dalam pengertian ini, kata jumud selalu aja beridentik dengan sesuatu yang mulanya cair lalu membuku. Semisal “Es”. Dalam Kamus Al-Azhar, hal 72. Dikatakan bahwa pembekuan air menjadi Es dinamai “Jamadun/Jamdun”. Sehingga, bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kata jumud adalah keadaan yang awalnya mengalir layaknya air menjadi beku layaknya es. Disinilah kata jumud diartikan sebagai “hilangnya masa keemasan Islam menjadi masa kefakuman total”.
Menurut pandangan Muhammad Abduh, “sebab terjadinya yang membawa umat Islam kepada kemunduran (kolot, tidak maju) adalah di akibatkan pada umat Islam terdapat pemahaman Jumud”. Kata Jumud itu sendiri mengandung arti suatu yang keadaan dimana selalu membeku, statis, dan tidak ada perubahan. Oleh sebab itu yang di pengaruhi faham jumud maka umat Islam tidak menghendaki perubahan dan umat Islam terlena dalam berpegang teguh pada tradisi.
Inilah sekelumit dari sekian banyak padangan Muhammad Abduh mengenai fenomena umat Islam dalam beragamanya. Pertanyaan kecil kemudian timbul, siapakah sebenarnya Muhammad Adduh itu, dan kenapa bisa beliau melontarkan hal yang demikian mencolok yang bisa menggugat umat Islam seluruh dunia, di eranya dan pasca beliau hingga sekarang ini. Tulisan singkat ini pun, oleh penulis ingin juga sedikit memasukan otobiografi Muhammad Abduh secara singkat saja, sebelum membahas pemikirannya yang begitu luas itu, agar pembaca yang budiman mengenal sosok Muhammad Abduh secara konfrehensif. Dalam banyak literatur, beliau di sebutkan bahwa lahir di suatu desa tepatnya di Mesir Hilir, namun tak pasti beliau di desa apa lahirnya. Hal ini di akibatkan bahwa, masyarakat desa di Mesir mempunyai pandangan bahwa waktu itu mengganggap tak begitu penting tanggal kelahiran anaknya. Mengenai tahun banyak penulis yang sepakat bahwa beliau lahir pada tahun 1849. Bapak Muhammad Abduh sendiri senantiasa berpidah dari desa satu ke desa yang lain, hal ini di akibatkan oleh kesewenangan penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam mengumpulkan pajak yang tidak adil. Dan akhirnya bapaknya itu menetap di desa Mahallah Nasr, yang telah membeli sebidang tanah di situ. Bapak Muhammad  Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah yang  berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari sisilah sampai ke suku bangsanya Umar Ibn Al-Khatab.
Setelah mahir dalam menulis dan menghafal isi Al-qur’an, pada tahun 1862 beliau di kirim ke Tanta untuk belajar Agama di mesjid  Syekh Ahmad. Setelah 2 tahun beliau belajar di situ mengenai bahasa Arab, sintaksis, morfologi, fiqhi dan sebagainya, beliau merasa tidak mengerti apa-apa. Muhammad Abduh mengatakan pengalaman belajarnya ini, “Satu setengah tahun saya belajar di Mesjid Syekh Ahmad dengan tidak mengerti apapun. Hal ini terjadi adalah karena metodenya yang salah, guru-guru mulai mengajak kita untuk menghafal istilah-istilah tentang nahu atau fiqh yang tidak tau artinya. Guru-guru itu tak merasa penting apa kita mengerti, atau tidak mengerti arti-arti istilah itu.” Metode yang di pakai pada saat itu adalah metode menghafal luar kepala. Pengaruh metode ini kemudian masih terdapat dalam zaman kita sekarang ini terutama di sekolah-sekolah agama, apalagi di pasantren tradisional. Sehingga banyak kita jumpai santrinya banyak menghafal doa-doa yang mereka sendiri tidak tau artinya doa tersebut dan ketimbang melakukan ibadah yang teratur.
Sikap jumud atau umat Islam berpegang teguh pada tradisi sebagai mana di teranggkan Muhammad Abduh bahwasanya hal tersebut masuk kedalam tubuh Islam atas upayanya orang-orang bukan dari kalangan Arab, mereka melakukan ini untuk dapat merampas kekuasaan politik di dunia Islam. dengan masuknya mereka ke dalam dunia Islam maka adat-istiadat dan faham animisme telah mempengaruhi umat Islam takala itu, dan umat Islam lebih dominan dalam berbagai hal. Mereka yang melakukan sabotase ini berasal dari bangsa yang jahil dan tidak mengenali mengenai ilmu pengetahuan. Bagi kelompok ini, rakyat perlu di tinggalkan dalam keadaan kebodohan agar mudah untuk di perintah. Untuk itu mereka membawa ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti sikap pemujaan berlebihan kepada syekh-syekh, wali, kyai, kepatuhan membuta kepada ulama terdahulu, dan tawakal serta penyerahan bulat dalam keadaan segala-galanya  pada kada dan kadar. Dengan demikian membekulah akal dan berhentilah pemikiran dalam Islam. Lama-kelamaan faham jumud ini meluas dalam masyarakat di seluruh dunia Islam.
Muhammad Abduh dan Jamaluudin Al-Afghani berpendapat bahwa, masuknya berbagai macam bid’ah ke dalam Islamlah yang membuat umat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Modifikasi-modifikasi itulah yang mewujutkan umat Islam di seluruh dunia kemudian jauh menyeleweng keluar dari rel ajaran Islam yang sebenarnya. Oleh sebab itu, menurutnya umat muslimin harus di beri peluasan pemahaman dari kekakuannya dan faham-faham yang jauh dari ajaran Islam harus di keluarkan dari tubuh Islam. Selain itu, umat muslimin harus kembali ke ajaran Islam yang seperti yang pernah di praktekan oleh Muhammad SWA, sahabat, dan ulama-ulama besar seperti di era mereka yang penuh kegemilangan.
Tentunya hal yang seperti ini masih terlihat sempit, dimana konteks sekarang akan di bawa ke konteks yang zaman dulu. Dalam padangan Muhammad Abduh yang menarik juga adalah ia menilai bahwa untuk umat muslimin tidak sekedar cukup hanya kembali kepada ke ajaran-ajaran asli itu, dalam pengertian metode klasik yang di sesuaikan dengan zaman klasik. karena zaman dan suasana umat muslimin dunia sekarang telah jauh berubah dari zaman klasik maka semestinya harus ada penyesuaian dengan keadaan modern sekarang ini. Penyesuaian yang di maksut dalam padangan Muhammad Abduh  lebih ber-orientasi pada pandangan faham Ibn Taimiyah, yang mengatakan bahwa ajaran-ajaran Islam itu memiliki dua kajian utama yaitu di bidang ibadah dan mu’amallah (hidup kemasyarakatan manusia). Muhammad Abduh menilai bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis yang mengenai hal ibadah adalah bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran yang mengenai hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan prinsip umum  yang merupakan dasar-dasar dan prinsip-prisnsip umum yang tidak terperinci. Karena prinsip itu bersifat umum tampa perincian, Muhammad Abduh berpendapat semua itu mengenai kebutuhan manusia hubungan sosial di bumi dapat di sesuaikan dengan tuntutan di setiap eranya, atau mengikuti perkembangan zaman.
Penyesuaian itu atau mengenai hal mu’ammalah yang di singkronisasikan dengan kondisi modern perlu di adakan interpretasi baru, oleh karena itu menurut Muhammad Abduh pintu ijtihad perlu di buka. Malahan ia menganggap bukan hanya boleh, malahan sudah menjadi penting untuk di adakan. Kemudian ia menegaskan kembali bahwa untuk melakukan ijtihad  haruslah dan wajib memenuhi syarat-syarat yang di perlukan  bagi yang orang terpilih saja untuk mengadakan ijtihad itu. Artinya tidak sembarang orang boleh melakukan ijtihad itu, melainkan harus memiliki kapasitas pengetahuan Islam yang sangat bagus dan luas itulah yang boleh melakukannya. Bagi kalangan yang tidak memiliki kapasitas itu ia menganjurkan mengikuti pendapatnya mujtahid, hal ini sesuai seperti yang tertera dalam (An-Nahl;43) “Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya”. Upaya ijtihad ini haruslah dijalankan berdasarkan pada sumber primer yaitu Al-qur’an dan hadis, dan bukannya kepada kitab-kitab karangan ulama-ulama, dan pendapat-pendapat ulama yang lama sifatnya tidak mengikat. bahkan ijma mereka pun tidak memiliki sifat ma’sum (tak memiliki salah & berpotensi juga keliru). Lapangannya untuk ijtihad sebenarnya adalah persoalan-persoalan mengenai mu’amalah saja. Hukum-hukum kemasyarakatan inilah yang perlu di sesuaikan dengan zaman. Adapun mengenai perihal ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan lapangannya ijtihad juga tidak boleh dalam hal itu terjadi perubahan dengan alasan apapun, walaupun zaman berubah hingga menjelang akhir zaman. Jika dalam proses perjalanannya umat muslimin terjadi pergeseran dalam hal Aqidah dan Ibadah maka Islam secara tegas dan terang menggolongkan kelompok tersebut itu sesat dan meyesatkan.
Mengenai perihal taklik kepada ulama-ulama lama dan mengsakralkannya, tidak perlu tradisi ini di pertahankan secara berlebihan, kepasrahan yang buta. Bahkan hal yang demikian menjadi tidak penting karena sikap taklikberlebihan inilah yang kemudian membawa kepada kebekuan dalam berpikir, yang pada ujungnya mengantar umut muslimin kejurang kemunduran dan tak dapat maju. hal ini di sebabkan bahwa asumsi segala permasalahan hanya dapat di selesaikan oleh pemuka agama atau ulama tertentu dan menunggu ilham darinya. Prilaku masyarakatpun jika demikian maka cenderung akan statis dan tidak berkembang.
Kritikan yang di lontarkan Muhammad Abduh kepada sikap ulama-ulama klasik yang menyuburkan faham taklid buta inilah yang menjadi salah satu dari sekian banyak padangan Muhammad Abduh dalam karangan-karangannya. Faham taklik oleh sebahagian ulama mengakibatkan umat Islam berhenti dalam berfikir mengakibatkan kemajuan peradaban Islam  berhenti di tempat dan kemudian peradaban Barat melaju kencang meninggalkan peradaban Islam hingga dewasa ini bisa kita lihat. Perlu di garis bawahi bahwa Barat dalam kemajuannya awalnya juga Islam dijadikannya sebagai referensi, namun bukan sebagai keyakinan agama. Ajaran faham taklik buta ini telah menghambat perkembangan bahasa Arab (santri di ajarkan menghafal, bukan memahami makna), menghambat susunan masyarakat Islam, pengetahuan Syari’at, sistem pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik dan besikap taklik, hal yang demikian di pandang Muhammad Abduh sangat berlawanan dengan sikap umat Islam di masa dahulu pada era kemegahan peradaban Islam, yang terbukti bisa mempengaruhi ke seluruuh penjuru belahan dunia.
Islam memandang bahwa akal itu memilki kedudukan tinggi, dan Allah menunjukan perintah-perintah dan larangan-laranganNya kepada akal. Oleh sebab itu bagi akal, Islam adalah agama yang rasional. Dan ke-rasional-lan Islam telah tebukti sepanjang tahun akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mempergunakan akal adalah salah satu dari anjurang-anjuran Islam, dan seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada berfungsi dan bekerjanya akal dengan baik. Namun jika akal telah mengalami kegangguan maka Islam tidak mewajibkan pada seseorang untuk melakukan aktifitas ibadah, contohnya pada orang hilangnya akal sehat akibat gila. Melihat dari kategori maka akal itu terbagi dua macam. pertama, akal naluri (gharizi) yaitu; yang di berikan oleh Allah kepada manusia berupa kekuatan untuk memahami dan merasakan perkara-perkara agama dan dunia. Akal naluri tumbuh seiring dengan tumbuhnya manusia hingga mencapai kedewasaan dan hingga ajalnya tiba.  Kedua, akal yang di peroleh dari upaya, atau diasah (muktasab) yaitu; ketika akal yang di peroleh dari usaha ini tergabung dalam akal naluriah, maka menjadi keteguhan dan kejelian bagi si pemilik akal itu. Akalmuktazab inipun terbagi menjadi dua jalan untuk pertumbuhannya. (a) pertubuhannya akal muktazab ini melalui suatu sikap dan prilaku dengan cara berkumpul dengan para ulama dan meyerap dari pemikiran dan pengalaman mereka. (b) pertumbuhan akal muktazab ini melalui kesibukan dengan ilmu-ilmu yang bermamfaat. Dengan meyibukan diri pada ilmu pengetahuan yang bermanfaat, maka akan mendapatkan faedah dalam setiap hal, ilmu itu juga akan mengenalkan seseorang kepada Allah.
Kepercayaan kepada kekuatan akal adalah dasar dari peradaban yang besar suatu bangsa. Bagi Muhammad Abduh akal mempunyai kedudukan tinggi di matanya, sehingga ia secara terang-terangan mengkritik akal yang statis dan beku yang di wariskan dari tradisi lama, termasuk dalam hal mewarisi prilaku faham taklik. Dan perlu di garis bawahi bahwa, pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu-ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern ia ada berdasarkan pada hukum-hukum alam dan ia tidak bertentangan dengan Islam, hukum-hukum alam adalah ciptaan Tuhan yang di temukan oleh akal karena di perlihatkan oleh Tuhan, dan wahyu berasal dari Tuhan. Karena hukum-hukum dengan wahyu kedua-duanya berasal dari Tuhan, maka ilmu-ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan pada hukum alam dan Islam yang berdasarkan dari wahyu “tidak bisa dan tidak mungkin keduannya saling bertentangan”. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern, dan ilmu pengetahuan modern mesti sesuai dengan Islam.
Dalam zaman keemasan Islam, ilmu pengetahuan kerkembang di bawah naungan pemerintahan-pemerintahan Islam yang solit pada waktu itu. Ilmu pengetahuan adalah salah satu  dari sebab terjadinya kemajuan umat muslimin di masa lampau, dan hal ini kemudian telah mencerahkan cara hidup orang-rang Barat kemudian hari. Oleh sebab itu kemajuan yang hilang yang melanda kaum muslimin sudah seharusnya dan menjadi sangat penting kembali mempelajari ilmu pengetahuan dengan tidak mempenjara kemampuan akal, dan sudah saatnya menghilangkan metode-metode ke-kaku-an dalam dunia pendidikan. Jika metode kekakuan di lestarikan secara tegas dalam dunia pendidikan dengan alasan memperlihatkan status derajat seseorang yang berpengetahuan, maka di pastika lembaga pendidikan tersebut sangat sulit mengalami progres atau ke arah kemajuan, (statis).
Muhammad Abduh dengan kepercayaannya pada kekuatan akal telah membawanya kepada paham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Selanjutnya ia menyebutkan bahwa manusia mewujutkan perbuatannya dengan kemampuan dan usahanya sendiri dengan tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuatan yang lebih tinggi, yaitu Tuhan adalah maha yang menentukan segala-galanya.
Menurut analisa dari kaum orientalis, bahwa masyarakat dunia Islam terjatuh kejurang kemunduran yang begitu dalam karena menganut “terbius” pada faham jabariahatau fatalisme yang mereka tidak sadari efeknya. Jabariah itu merupakan golongan fanatik Islam yang berpendirian bahwa manusia dalam segala kehendaknya atau perbuatannya  berpikiran “pesimistis” hari ini dan esok menerima apa adanya sebagai wujut kodrat Tuhan, dan tak ada upaya untuk memperbaiki cara-cara hidup kedepan lebih baik. Kepercayaan kedua yaitu pada pemahaman fatatalisme yang sempit, yang merupakan kepercayaan bahwa  kejadian-kejadian  itu sudah di putuskan atau ditetapkan oleh Tuhan. Sehingga kemudian berasumsi usaha manusia tidak dapat untuk mengubahnya. Takut, pasra, tidak berusaha, tidak bisa berfiki atau kaku, dan lain sebagainya.

Faham jumud menurut Muhammad Abduh dapat di hilangkan dari masyarakat Islam dengan pemahaman dinamika. Dengan mengerti dan bisa memahami proses perubahan sosial yang terjadi baik sebab-sebab dan akibanya, maka umat Islam akan mudah melakukan penyesuaian dirinya dengan perkembang zaman, dan umat Islam akan berusaha untuk merubah nasibnya dengan usaha sendiri, karena pikirannya tidak lagi di penjara oleh sistem. Kosekwensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan dan mementingkan pendidikan, selain itu sekolah modernpun di adakan untuk membuka ruang dalam dunia Islam terlibat aktif dalam proses pembangunan, bukan hanya sekedar menjadi konsumen belaka.

3 comments:

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...