Islam Dan Kejumudan
Mungkin dari
sekian banyak pandangan dari berbagai macam analisa dan prespektif dari para
pakar terkemuka mengenai kata jumud sangat banyak sekali. Namun, penulis di
sini ingin sekali mengupas kata jumud dari pakar Fiqhi tersohor namanya “Muhammad
Abduh”. Nama yang sering sekali penulis jumpai dalam karyanya Prof. Dr. Qurais
Shihab ini ternyata menyimpan sejuta ilmu. Khususnya dalam pengertian jumud.
Sebelumnya,
penulis ingin uraikan arti jumud dalam kamus bahasa Arab. Kata jumud ini bentuk
masdar dari kata Jamada – Yaj’mudu – Jamdan/Jumudan, yang memiliki arti “beku”.
Dalam pengertian ini, kata jumud selalu aja beridentik dengan sesuatu yang
mulanya cair lalu membuku. Semisal “Es”. Dalam Kamus Al-Azhar, hal 72. Dikatakan
bahwa pembekuan air menjadi Es dinamai “Jamadun/Jamdun”. Sehingga, bisa
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kata jumud adalah keadaan yang awalnya
mengalir layaknya air menjadi beku layaknya es. Disinilah kata jumud diartikan
sebagai “hilangnya masa keemasan Islam menjadi masa kefakuman total”.
Menurut pandangan Muhammad Abduh,
“sebab terjadinya yang membawa umat Islam kepada kemunduran (kolot, tidak maju)
adalah di akibatkan pada umat Islam terdapat pemahaman Jumud”. Kata Jumud
itu sendiri mengandung arti suatu yang keadaan dimana selalu membeku, statis,
dan tidak ada perubahan. Oleh sebab itu yang di pengaruhi faham jumud maka umat
Islam tidak menghendaki perubahan dan umat Islam terlena dalam berpegang teguh
pada tradisi.
Inilah sekelumit dari sekian banyak
padangan Muhammad Abduh mengenai fenomena umat Islam dalam beragamanya.
Pertanyaan kecil kemudian timbul, siapakah sebenarnya Muhammad Adduh itu, dan
kenapa bisa beliau melontarkan hal yang demikian mencolok yang bisa menggugat
umat Islam seluruh dunia, di eranya dan pasca beliau hingga sekarang ini.
Tulisan singkat ini pun, oleh penulis ingin juga sedikit memasukan otobiografi
Muhammad Abduh secara singkat saja, sebelum membahas pemikirannya yang begitu
luas itu, agar pembaca yang budiman mengenal sosok Muhammad Abduh secara konfrehensif.
Dalam banyak literatur, beliau di sebutkan bahwa lahir di suatu desa tepatnya
di Mesir Hilir, namun tak pasti beliau di desa apa lahirnya. Hal ini di
akibatkan bahwa, masyarakat desa di Mesir mempunyai pandangan bahwa waktu itu
mengganggap tak begitu penting tanggal kelahiran anaknya. Mengenai tahun banyak
penulis yang sepakat bahwa beliau lahir pada tahun 1849. Bapak Muhammad Abduh
sendiri senantiasa berpidah dari desa satu ke desa yang lain, hal ini di
akibatkan oleh kesewenangan penguasa-penguasa Muhammad Ali dalam mengumpulkan
pajak yang tidak adil. Dan akhirnya bapaknya itu menetap di desa Mahallah Nasr,
yang telah membeli sebidang tanah di situ. Bapak Muhammad Abduh bernama
Abduh Hasan Khairullah yang berasal dari Turki yang telah lama tinggal di
Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari sisilah sampai ke suku bangsanya
Umar Ibn Al-Khatab.
Setelah mahir dalam menulis dan
menghafal isi Al-qur’an, pada tahun 1862 beliau di kirim ke Tanta untuk belajar
Agama di mesjid Syekh Ahmad. Setelah 2 tahun beliau belajar di situ
mengenai bahasa Arab, sintaksis, morfologi, fiqhi dan sebagainya, beliau merasa
tidak mengerti apa-apa. Muhammad Abduh mengatakan pengalaman belajarnya ini,
“Satu setengah tahun saya belajar di Mesjid Syekh Ahmad dengan tidak mengerti
apapun. Hal ini terjadi adalah karena metodenya yang salah, guru-guru mulai
mengajak kita untuk menghafal istilah-istilah tentang nahu atau fiqh yang tidak
tau artinya. Guru-guru itu tak merasa penting apa kita mengerti, atau tidak
mengerti arti-arti istilah itu.” Metode yang di pakai pada saat itu adalah
metode menghafal luar kepala. Pengaruh metode ini kemudian masih terdapat dalam
zaman kita sekarang ini terutama di sekolah-sekolah agama, apalagi di pasantren
tradisional. Sehingga banyak kita jumpai santrinya banyak menghafal doa-doa
yang mereka sendiri tidak tau artinya doa tersebut dan ketimbang melakukan
ibadah yang teratur.
Sikap jumud atau umat
Islam berpegang teguh pada tradisi sebagai mana di teranggkan Muhammad Abduh
bahwasanya hal tersebut masuk kedalam tubuh Islam atas upayanya orang-orang
bukan dari kalangan Arab, mereka melakukan ini untuk dapat merampas kekuasaan
politik di dunia Islam. dengan masuknya mereka ke dalam dunia Islam maka
adat-istiadat dan faham animisme telah mempengaruhi umat Islam takala itu, dan
umat Islam lebih dominan dalam berbagai hal. Mereka yang melakukan sabotase ini
berasal dari bangsa yang jahil dan tidak mengenali mengenai ilmu pengetahuan.
Bagi kelompok ini, rakyat perlu di tinggalkan dalam keadaan kebodohan agar
mudah untuk di perintah. Untuk itu mereka membawa ke dalam Islam ajaran-ajaran
yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti sikap pemujaan
berlebihan kepada syekh-syekh, wali, kyai, kepatuhan membuta kepada ulama
terdahulu, dan tawakal serta penyerahan bulat dalam keadaan
segala-galanya pada kada dan kadar. Dengan demikian membekulah akal dan
berhentilah pemikiran dalam Islam. Lama-kelamaan faham jumud ini meluas dalam
masyarakat di seluruh dunia Islam.
Muhammad Abduh dan Jamaluudin
Al-Afghani berpendapat bahwa, masuknya berbagai macam bid’ah ke dalam Islamlah
yang membuat umat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.
Modifikasi-modifikasi itulah yang mewujutkan umat Islam di seluruh dunia
kemudian jauh menyeleweng keluar dari rel ajaran Islam yang sebenarnya. Oleh
sebab itu, menurutnya umat muslimin harus di beri peluasan pemahaman dari
kekakuannya dan faham-faham yang jauh dari ajaran Islam harus di keluarkan dari
tubuh Islam. Selain itu, umat muslimin harus kembali ke ajaran Islam yang
seperti yang pernah di praktekan oleh Muhammad SWA, sahabat, dan ulama-ulama
besar seperti di era mereka yang penuh kegemilangan.
Tentunya hal yang seperti ini masih
terlihat sempit, dimana konteks sekarang akan di bawa ke konteks yang zaman
dulu. Dalam padangan Muhammad Abduh yang menarik juga adalah ia menilai bahwa
untuk umat muslimin tidak sekedar cukup hanya kembali kepada ke ajaran-ajaran
asli itu, dalam pengertian metode klasik yang di sesuaikan dengan zaman klasik.
karena zaman dan suasana umat muslimin dunia sekarang telah jauh berubah dari
zaman klasik maka semestinya harus ada penyesuaian dengan keadaan modern
sekarang ini. Penyesuaian yang di maksut dalam padangan Muhammad Abduh
lebih ber-orientasi pada pandangan faham Ibn Taimiyah, yang mengatakan bahwa
ajaran-ajaran Islam itu memiliki dua kajian utama yaitu di
bidang ibadah dan mu’amallah (hidup kemasyarakatan
manusia). Muhammad Abduh menilai bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Hadis yang mengenai hal ibadah adalah bersifat tegas, jelas dan
terperinci. Sebaliknya ajaran yang mengenai hidup kemasyarakatan umat hanya
merupakan prinsip umum yang merupakan dasar-dasar dan prinsip-prisnsip
umum yang tidak terperinci. Karena prinsip itu bersifat umum tampa perincian,
Muhammad Abduh berpendapat semua itu mengenai kebutuhan manusia hubungan sosial
di bumi dapat di sesuaikan dengan tuntutan di setiap eranya, atau mengikuti
perkembangan zaman.
Penyesuaian itu atau mengenai
hal mu’ammalah yang di singkronisasikan dengan kondisi modern perlu
di adakan interpretasi baru, oleh karena itu menurut Muhammad Abduh
pintu ijtihad perlu di buka. Malahan ia menganggap bukan hanya boleh,
malahan sudah menjadi penting untuk di adakan. Kemudian ia menegaskan kembali
bahwa untuk melakukan ijtihad haruslah dan wajib memenuhi
syarat-syarat yang di perlukan bagi yang orang terpilih saja untuk
mengadakan ijtihad itu. Artinya tidak sembarang orang boleh
melakukan ijtihad itu, melainkan harus memiliki kapasitas pengetahuan
Islam yang sangat bagus dan luas itulah yang boleh melakukannya. Bagi kalangan
yang tidak memiliki kapasitas itu ia menganjurkan mengikuti
pendapatnya mujtahid, hal ini sesuai seperti yang tertera dalam
(An-Nahl;43) “Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu
tidak mengetahuinya”. Upaya ijtihad ini haruslah dijalankan berdasarkan
pada sumber primer yaitu Al-qur’an dan hadis, dan bukannya kepada kitab-kitab
karangan ulama-ulama, dan pendapat-pendapat ulama yang lama sifatnya tidak
mengikat. bahkan ijma mereka pun tidak memiliki sifat ma’sum (tak
memiliki salah & berpotensi juga keliru). Lapangannya
untuk ijtihad sebenarnya adalah persoalan-persoalan
mengenai mu’amalah saja. Hukum-hukum kemasyarakatan inilah yang perlu
di sesuaikan dengan zaman. Adapun mengenai perihal ibadah merupakan hubungan
manusia dengan Tuhan, dan bukan lapangannya ijtihad juga tidak boleh
dalam hal itu terjadi perubahan dengan alasan apapun, walaupun zaman berubah
hingga menjelang akhir zaman. Jika dalam proses perjalanannya umat muslimin
terjadi pergeseran dalam hal Aqidah dan Ibadah maka Islam secara tegas dan
terang menggolongkan kelompok tersebut itu sesat dan meyesatkan.
Mengenai
perihal taklik kepada ulama-ulama lama dan mengsakralkannya, tidak
perlu tradisi ini di pertahankan secara berlebihan, kepasrahan yang buta.
Bahkan hal yang demikian menjadi tidak penting karena
sikap taklikberlebihan inilah yang kemudian membawa kepada kebekuan dalam
berpikir, yang pada ujungnya mengantar umut muslimin kejurang kemunduran dan
tak dapat maju. hal ini di sebabkan bahwa asumsi segala permasalahan hanya
dapat di selesaikan oleh pemuka agama atau ulama tertentu dan menunggu ilham
darinya. Prilaku masyarakatpun jika demikian maka cenderung akan statis dan
tidak berkembang.
Kritikan yang di lontarkan Muhammad
Abduh kepada sikap ulama-ulama klasik yang menyuburkan faham taklid buta
inilah yang menjadi salah satu dari sekian banyak padangan Muhammad Abduh dalam
karangan-karangannya. Faham taklik oleh sebahagian ulama
mengakibatkan umat Islam berhenti dalam berfikir mengakibatkan kemajuan
peradaban Islam berhenti di tempat dan kemudian peradaban Barat melaju
kencang meninggalkan peradaban Islam hingga dewasa ini bisa kita lihat. Perlu
di garis bawahi bahwa Barat dalam kemajuannya awalnya juga Islam dijadikannya
sebagai referensi, namun bukan sebagai keyakinan agama. Ajaran
faham taklik buta ini telah menghambat perkembangan bahasa Arab
(santri di ajarkan menghafal, bukan memahami makna), menghambat susunan
masyarakat Islam, pengetahuan Syari’at, sistem pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik dan
besikap taklik, hal yang demikian di pandang Muhammad Abduh sangat
berlawanan dengan sikap umat Islam di masa dahulu pada era kemegahan peradaban
Islam, yang terbukti bisa mempengaruhi ke seluruuh penjuru belahan dunia.
Islam memandang bahwa akal itu
memilki kedudukan tinggi, dan Allah menunjukan perintah-perintah dan
larangan-laranganNya kepada akal. Oleh sebab itu bagi akal, Islam adalah agama
yang rasional. Dan ke-rasional-lan Islam telah tebukti sepanjang tahun akibat
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mempergunakan akal adalah salah
satu dari anjurang-anjuran Islam, dan seseorang tidak sempurna kalau tidak
didasarkan pada berfungsi dan bekerjanya akal dengan baik. Namun jika akal
telah mengalami kegangguan maka Islam tidak mewajibkan pada seseorang untuk
melakukan aktifitas ibadah, contohnya pada orang hilangnya akal sehat akibat
gila. Melihat dari kategori maka akal itu terbagi dua
macam. pertama, akal naluri (gharizi) yaitu; yang di berikan
oleh Allah kepada manusia berupa kekuatan untuk memahami dan merasakan
perkara-perkara agama dan dunia. Akal naluri tumbuh seiring dengan tumbuhnya
manusia hingga mencapai kedewasaan dan hingga ajalnya tiba.
Kedua, akal yang di peroleh dari upaya, atau diasah (muktasab)
yaitu; ketika akal yang di peroleh dari usaha ini tergabung dalam akal
naluriah, maka menjadi keteguhan dan kejelian bagi si pemilik akal itu.
Akalmuktazab inipun terbagi menjadi dua jalan untuk pertumbuhannya. (a) pertubuhannya
akal muktazab ini melalui suatu sikap dan prilaku dengan cara
berkumpul dengan para ulama dan meyerap dari pemikiran dan pengalaman mereka.
(b) pertumbuhan akal muktazab ini melalui kesibukan dengan ilmu-ilmu
yang bermamfaat. Dengan meyibukan diri pada ilmu pengetahuan yang bermanfaat,
maka akan mendapatkan faedah dalam setiap hal, ilmu itu juga akan mengenalkan
seseorang kepada Allah.
Kepercayaan kepada kekuatan akal
adalah dasar dari peradaban yang besar suatu bangsa. Bagi Muhammad Abduh akal
mempunyai kedudukan tinggi di matanya, sehingga ia secara terang-terangan
mengkritik akal yang statis dan beku yang di wariskan dari tradisi lama,
termasuk dalam hal mewarisi prilaku faham taklik. Dan perlu di garis
bawahi bahwa, pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu-ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan modern ia ada berdasarkan pada hukum-hukum alam dan ia tidak
bertentangan dengan Islam, hukum-hukum alam adalah ciptaan Tuhan yang di
temukan oleh akal karena di perlihatkan oleh Tuhan, dan wahyu berasal dari
Tuhan. Karena hukum-hukum dengan wahyu kedua-duanya berasal dari Tuhan, maka
ilmu-ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan pada hukum alam dan Islam yang
berdasarkan dari wahyu “tidak bisa dan tidak mungkin keduannya saling
bertentangan”. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern, dan ilmu
pengetahuan modern mesti sesuai dengan Islam.
Dalam zaman keemasan Islam, ilmu
pengetahuan kerkembang di bawah naungan pemerintahan-pemerintahan Islam yang
solit pada waktu itu. Ilmu pengetahuan adalah salah satu dari sebab
terjadinya kemajuan umat muslimin di masa lampau, dan hal ini kemudian telah
mencerahkan cara hidup orang-rang Barat kemudian hari. Oleh sebab itu kemajuan
yang hilang yang melanda kaum muslimin sudah seharusnya dan menjadi sangat penting
kembali mempelajari ilmu pengetahuan dengan tidak mempenjara kemampuan akal,
dan sudah saatnya menghilangkan metode-metode ke-kaku-an dalam dunia
pendidikan. Jika metode kekakuan di lestarikan secara tegas dalam dunia
pendidikan dengan alasan memperlihatkan status derajat seseorang yang
berpengetahuan, maka di pastika lembaga pendidikan tersebut sangat sulit
mengalami progres atau ke arah kemajuan, (statis).
Muhammad Abduh dengan kepercayaannya
pada kekuatan akal telah membawanya kepada paham bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Selanjutnya ia menyebutkan bahwa manusia
mewujutkan perbuatannya dengan kemampuan dan usahanya sendiri dengan tidak
melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuatan yang lebih tinggi, yaitu Tuhan
adalah maha yang menentukan segala-galanya.
Menurut analisa dari kaum
orientalis, bahwa masyarakat dunia Islam terjatuh kejurang kemunduran yang
begitu dalam karena menganut “terbius” pada
faham jabariahatau fatalisme yang mereka tidak sadari efeknya.
Jabariah itu merupakan golongan fanatik Islam yang berpendirian bahwa manusia
dalam segala kehendaknya atau perbuatannya berpikiran “pesimistis” hari
ini dan esok menerima apa adanya sebagai wujut kodrat Tuhan, dan tak ada upaya
untuk memperbaiki cara-cara hidup kedepan lebih baik. Kepercayaan kedua yaitu
pada pemahaman fatatalisme yang sempit, yang merupakan kepercayaan bahwa
kejadian-kejadian itu sudah di putuskan atau ditetapkan oleh Tuhan.
Sehingga kemudian berasumsi usaha manusia tidak dapat untuk mengubahnya. Takut,
pasra, tidak berusaha, tidak bisa berfiki atau kaku, dan lain sebagainya.
Faham jumud menurut
Muhammad Abduh dapat di hilangkan dari masyarakat Islam dengan pemahaman
dinamika. Dengan mengerti dan bisa memahami proses perubahan sosial yang
terjadi baik sebab-sebab dan akibanya, maka umat Islam akan mudah melakukan
penyesuaian dirinya dengan perkembang zaman, dan umat Islam akan berusaha untuk
merubah nasibnya dengan usaha sendiri, karena pikirannya tidak lagi di penjara
oleh sistem. Kosekwensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari dan
mementingkan ilmu pengetahuan dan mementingkan pendidikan, selain itu sekolah
modernpun di adakan untuk membuka ruang dalam dunia Islam terlibat aktif dalam
proses pembangunan, bukan hanya sekedar menjadi konsumen belaka.
kok gak ada footnote-nya, HOAX nih. Hahaha
ReplyDeleteini copas di blog temen...
Deleteadain footnote dong
Delete