AGAMA
menemukan kenyataan bahwa
agama amat beragam.
Pandangan
seseorang terhadap agama,
ditentukan oleh pemahamannya
terhadap ajaran agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di
Eropa menindas para
ilmuwan akibat penemuan
mereka yang
dianggap bertentangan dengan
kitab suci, para ilmuwan pada
akhirnya menjauh dari agama bahkan meninggalkannya.
Persoalan yang menjadi topik
pembicaraan kita mau
tak mau
harus muncul, "Apakah
agama masih relevan dengan
kehidupan
masa kini yang cerminannya
seperti digambarkan di
atas?"
Sebelum menjawab, perlu
terlebih dahulu dijawab:
Apakah
manusia dapat melepaskan diri
dari agama?" Atau,
"Adakah
alternatif lain yang dapat menggantikannya?"
Dalam pandangan Islam,
keberagamaan adalah fithrah (sesuatu
yang melekat pada
diri manusia dan
terbawa sejak
kelahirannya):
Fitrah Allah yang menciptakan
manusia atas fitrah itu
(QS Ad-Rum [30]: 30)
Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan
diri dari agama.
Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan
hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian
lama
--boleh jadi sampai dengan menjelang
kematiannya. Tetapi pada
akhirnya, sebelum ruh rmeninggalkan jasad, ia akan
merasakan
kebutuhan itu. Memang,
desakan pemenuhan kebutuhan
bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia
terhadap air dapat
ditangguhkan lebih lama dibandingkan kebutuhan udara. Begitu
juga kebutuhan manusia
makanan, jauh lebih
singkat
dibandingkan dengan kebutuhan manusia untuk menyalurkan naluri
seksual. Demikian juga kebutuhan manusia terhadap agama dapat
ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.
Ketika terjadi konfrontasi
antara ilmuwan di Eropa dengan
Gereja, ilmuwan meninggalkan agama, tetapi tidak lama kemudian
mereka sadar akan
kebutuhan kepada pegangan yang pasti, dan
ketika itu, mereka menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif
pengganti agama. Namun
tidak lama kemudian mereka menyadari
bahwa alternatif ini,
sangat labil, karena
yang dinamai
"nurani" terbentuk oleh
lingkungan dan latar
belakang
pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda dengan
Si B,
dan dengan demikian
tolok ukur yang
pasti menjadi sangat
rancu.
Setelah itu lahir
filsafat eksistensialisme, yang
mempersilakan manusia melakukan
apa saja yang dianggapnya
baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai.
Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena
seperti dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri manusia,
walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui oleh
kebanyakan
manusia itu sendiri.
William James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih memiliki
naluri cemas dan mengharap,
selama itu pula
ia beragama
(berhubungan dengan Tuhan)."
Itulah sebabnya mengapa perasaan
takut merupakan salah
satu dorongan yang
terbesar untuk
beragama.
I1mu mempercepat Anda sampai ke
tujuan, agama
menentukan arah yang dituju.
I1mu menyesuaikan manusia dengan
lingkungannya, dan
agama menyesuaikan dengan jati
dirinya.
I1mu hiasan 1ahir, dan agama
hiasan batin.
I1mu memberikan kekuatan dan
menerangi jalan, dan agama
memberi harapan dan dorongan
bagi jiwa.
I1mu menjawab pertanyaan yang
dimulai dengan
"bagaimana", dan agama
menjawab yang dimulai dengan
"mengapa."
Ilmu tidak jarang mengeruhkan
pikiran pemiliknya,
sedang agama selalu menenangkan
jiwa pemeluknya yang
tulus.
Demikian Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi
dan
peranan agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan
oleh ilmu dan teknologi. Bukankah kenyataan
hidup masyarakat
Barat membuktikan hal tersebut?
Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan
jasmani. Akal atau rasio
ada wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa
diselesaikan atau
bahkan dihadapi oleh
akal. Karya seni tidak dapat dinilai
semata-mata oleh akal, karena
yang lebih berperan
di sini
adalah kalbu. Kalau demikian, keliru apabila seseorang
hanya
mengandalkan akal semata-mata.
Akal bagaikan kemampuan berenang. Akal berguna saat
berenang
di sungai atau
di laut yang tenang, tetapi bila ombak dan
gelombang telah membahana, maka yang pandai berenang dan yang
tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung.
Dalam hubungannya dengan
pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama sesungguhnya sangat berperan, terutama
jika
manusia tetap ingin
jadi manusia. Ambillah sebagai contoh
bidang bio-teknologi. Ilmu manusia sudah sampai kepada
batas
yang menjadikannya dapat berhasil melakukan rekayasa genetika.
Apakah keberhasilan ini akan dilanjutkan sehingga menghasilkan
makhluk-makhluk hidup yang dapat menjadi tuan bagi penciptanya
sendiri? Apakah ini baik atau buruk?
Yang dapat menjawabnya
adalah nilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula filsafat.
Jika demikian, maka
tidak ada alternatif
lain yang dapat
menggantikan agama. Mereka
yang mengabaikannya, terpaksa
menciptakan "agama baru" demi memuaskan jiwanya.
Dalam pandangan sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan
Tuhan, benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia
pertama di pentas bumi. Di sini ia
memerlukan tiga hal, yaitu
keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai
suci. Manusia ingin mengetahui siapa atau apa Yang
Mahasuci,
dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan sejak itu pula
ia
berusaha berhubungan dengan-Nya
bahkan berusaha untuk
meneladani sifat-sifat-Nya. Usaha
itulah yang dinamai
beragama, atau dengan
kata lain, keberagamaan
adalah
terpatrinya rasa kesucian dalam
jiwa beseorang. Karena
itu
seorang yang beragama akan selalu berusaha untuk mencari
dan
mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.
Mencari yang benar
menghasilkan ilmu, mencari
yang baik
menghasi1kan akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni.
Jika demikian, agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia,
tetapi juga selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia
yang tidak mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan?
IDE DASAR PERDAMAIAN
Agaknya, cukup dengan
memahami makna nama agama ini yakni
Islam, seseorang telah dapat mengetahui bahwa ia adalah agama
yang mendambakan perdamaian.
Cukup juga dengan mendengarkan
ucapan yang dianjurkan
untuk disampaikan pada
setiap
pertemuan. "Assalamu 'Alaikum" (Damai untuk Anda), seseorang
dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan bukan
hanya
untuk diri sendiri,
tetapi juga untuk
pihak lain. Kalau
demikian, tidak heran jika salah
satu ciri seorang
Muslim,
adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw.
Siapa yang menyelamatkan orang
lain (yang mendambakan
kedamaian) dari gangguan
lidahnya dan tangannya.
Perdamaian merupakan salah satu ciri
utama agama Islam.
Ia
lahir dari pandangan
ajarannya tentang Allah,
Tuhan Yang
Mahakuasa, alam, dan manusia.
Allah, Tuhan Yang
Maha Esa, adalah
Maha Esa, Dia
yang
menciptakan segala sesuatu
berdasarkan kehendak-Nya semata.
Semua ciptaan-Nya adalah baik
dan serasi, sehingga
tidak
mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan
dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara
seluruh
ciptaan-Nya.
Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber: "Kami
menciptakan
semua yang hidup dan air" (QS Al-Anbiya' [21]: 22).
Manusia,
yang merupakan salah
satu unsur yang
hidup itu, juga di
ciptakan dari satu sumber yakni
thin (tanah yang
bercampur
air) melalui seorang ayah dan seorang ibu, sehingga
manusia,
bukan saja harus hidup
berdampingan dan harmonis
bersama
manusia lain, tetapi
juga dengan makhluk hidup lain, bahkan
dengan alam raya, apalagi yang berada di
bumi ini. Bukankah
eksistensinya lahir dari tanah, bumi
tempat dia berpijak, dan
kelak ia akan kembali ke sana?
Demikian ide dasar ajaran
Islam, yang melahirkan
keharusan
adanya kedamaian bagi seluruh makhluk.
Benar bahwa agama
ini memerintahkan untuk
mempersiapkan
kekuatan guna menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain
kecuali --menurut istilah
Al-Quran-- adalah untuk
menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan kekacauan dan
disintegrasi) (QS Al-Anfal
[8]: 60). Peperangan
--kalau
terjadi-- tidak dibenarkan
kecuali untuk menyingkirkan
penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak,
orang tua, kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan
atas dasar ini, datang petunjuk Tuhan yang menyatakan:
Kalau mereka cenderung kepada
perdamaian, maka
sambutlah kecenderungan itu, dan
berserah dirilah
kepada Allah (QS Al-Anfal [8]:
61).
KERUKUNAN DAN DEMOKRASI
Biasanya yang paling berharga bagi
sesuatu adalah dirinya
sendiri. Ini berarti
yang paling berharga buat agama adalah
agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan
apa pun dari
pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya.
Namun demikian, Islam
datang tidak hanya bertujuan
mempertahankan eksistensinya sebagai
agama, tetapi juga
mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk
hidup berdampingan sambil
menghormati pemeluk-pemeluk agama
lain.
Jangan mencerca yang tidak
menyembah Allah (penganut
agama lain) ... (QS Al-An'am
[6): 108).
Tiada paksaan untuk menganut
agama (Islam) (QS
Al-Baqarah [2]: 256).
Bagimu agamamu dan bagiku
agamaku (QS Al-Kafirun [109]:
6)
Surat Al-Hajj (22): 40 menyatakan:
"Seandainya Allah tidak
meno1ak keganasan sebagian
orang atas sebagian yang lain
(tidak mendorong kerja
sama antara manusia), niscaya
rubuhlah biara-biara,
gereja~gereja, rumah-rumah
ibadah orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya
banyak disebut nama
Allah."
Ayat ini dijadikan oleh sebagian
ulama, seperti Al-Qurthubi
(w. 671 H),
sebagai argumentasi keharusan
umat Islam
memelihara tempat-tempat ibadah
umat non-Muslim. Memang,
A1-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,
Seandainya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikan
seluruh manusia menjadi satu
umat saja (QS Al-Nahl
[16]: 93).
Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu
Dia
memberikan kebebasan kepada manusia
untuk memilih sendiri
jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya
secara
jelas dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik kesimpulan
bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama,
adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.
Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan salah
satu
benih dari ajaran
demokrasi, hal mana kemudian akan
nampak
dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab
Suci. Salah satu
yang dapat dikemukakan
di sini adalah pengalaman Nabi
Saw.
dalam peperangan Uhud
serta kaitannya dengan
ayat yang
memerintahkan musyawarah. Sejarah
menginformasikan bahwa
ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi Saw.
dari Makkah ke Madinah, Nabi Saw. berpendapat bahwa lebih baik
menunggu mereka hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas
sahabat-sahabatnya dengan penuh
semangat mendesak beliau agar
menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena desakan
itu, akhirnya Nabi
menyetujui. Tetapi, ternyata,
puluhan
sahabat Nab~ gugur
dalam peperangan tersebut
sehingga
menimbulkan penyesalan. Setelah
pengalaman pahit mengikuti
pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi petunjuk
kepada Nabi Muhammad Saw., agar tetap melakukan musyawarah dan
selalu bertukar pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali
'Imran [3]: 159).
Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat,
dan demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan
tentang banyaknya jalan
yang dapat ditempuh umat manusia.
Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan
(QS
Al-Baqarah [2]: 148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:
Allah memberi petunjuk melalui
wahyu-Nya siapa yang
mengikuti keridhaan-Nya dengan
menelusuri jalan-jalan
kedamaian (QS Al-Maidah [5]:
16).
Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung
selama bercirikan kedamaian.
Bahkan dalam rangka mewujudkan
kedamaian dengan pihak lain, Islam
menganjurkan dialog yang
baik (QS Al-Nahl
[16]: 125). Dan dalam dialog itu,
seorang
Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya
bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya.
Katakanlah, Kami atau Anda yang
berada dalam kebenaran
atau kesesatan yang nyata (QS
Saba' [34]: 24).
Bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat
Islam mengajarkan
kata atau kalimat-kalimat dialog
yang pada lahirnya dapat
dinilai "merugikan". Perhatikan terjemahan ayat berikut:
Kamu sekalian tidak akan diminta
untuk
mempertanggungjawabkan dosa-dosa
kami. Kami pun tidak
akan mempertanggungjawabkan
perbuatan-perbuatan kalian.
(QS Saba' [34]: 25) .
Kita menamai perbuatan
kita dosa, dan
tidak menamakan
perbuatan mitra dialog
non-Muslim sebagai dosa,
tetapi
menyebutnya sebagai "perbuatan".
Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah yang
bersifat semu, tetapi yang memberi
rasa aman pada jiwa setiap
insan. Karena itu, langkah pertama
yang dilakukannya adalah
mewujudkannya dalam jiwa
setiap pribadi. Setelah
itu ia
melangkah kepada unit
terkecil dalam masyarakat
yakni
keluarga. Dari sini ia beralih ke
masyarakat luas, seterusnya
kepada seluruh bangsa di
permukaan bumi ini,
dan dengan
demikian dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud
hubungan harmonis serta toleransi dengan semua pihak.
Demikian, sekelumit ajaran Islam.
Kalau kenyataan di
dunia
Islam berbeda dengan
apa yang tersurat dalam petunjuk agama
ini, maka yang keliru adalah pelaku ajaran dan bukan ajarannya
itu sendiri. Sungguh tepat pernyataan Syaikh Muhammad
Abduh,
"Al-Islam mahjub bil
muslimin" (Keindahan ajaran
Islam
ditutupi oleh kelakuan sementara umat Islam).
AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN MODERN
Berbicara tentang agama Islam dalam kehidupan modern, terlebih
dahulu perlu digarisbawahi
keharusan pemisahan antara agama
dan pemeluk agama seperti
ucapan Syaikh Muhammad
Abduh di
atas.
Ajaran Islam tertutup oleh
perilaku kaum Muslim.
Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap
dan aktivitas pemeluknya.
Puncak dari prinsip
itu adalah
tauhid. Di sekelilingnya beredar
unit-unit bagaikan
planet-planet tata surya yang beredar
di sekeliling matahari,
yang tidak dapat melepaskan diri
dari orbitnya. Unit-unit
tersebut antara lain:
a. Kesatuan alam semesta. Dalam
arti, Allah
menciptakannya dalam keadaan
amat serasi, seimbang, dan
berada di bawah pengaturan dan
pengendalian Allah Swt.
melalui hukum-hukum yang
ditetapkan-Nya.
b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia
ini berarti bahwa
kehidupan duniawinya menyatu
dengan kehidupan akhirnya.
Sukses atau kegagalan ukhrawi,
ditentukan oleh amal
duniawinya.
c. Kesatuan ilmu. Tidak ada
pemisahan antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu umum, karena
semuanya bersumber dari
satu sumber yaitu Allah Swt.
d. Kesatuan iman dan rasio. Karena
masing-masing
dibutuhkan dan masing-masing
mempunyai wilayahnya
sehingga harus saling
melengkapi.
e. Kesatuan agama. Agama yang
dibawa oleh para Nabi
kesemuanya bersumber dari Allah
Swt., prinsip-prinsip
pokoknya menyangkut akidah,
syariah, dan akhlak tetap
sama dari zaman dahulu sampai
sekarang.
f. Kesatuan kepribadian manusia.
Mereka semua
diciptakan dari tanah dan Ruh
Ilahi.
g. Kesatuan individu dan
masyarakat. Masing-masing
harus saling menunjang.
Islam --dalam hal urusan hidup duniawi-- tidak memberi rincian
petunjuk, karena
Kamu lebih mengetahui tentang
urusan duniamu (ketimbang
aku).
Demikian sabda Nabi Muhammad Saw.
sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Muslim.
Dari prinsip-prinsip semacam
di atas, seorang Muslim dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan
positif masyarakatnya,
dan karena itu
pula Islam memperkenalkan dirinya sebagai
"Agama yang selalu sesuai dengan setiap waktu dan tempat."
Kitab suci Al-Quran
mempersilakan umat Islam
untuk
mengembangkan ilmu, menggunakan
akalnya menyangkut segala
sesuatu yang berada dalam wilayah
nalar, yaitu alam
fisika
ini. Namun harus disadari oleh manusia, bahwa jangankan
alam
raya yang sedemikian luas,
dirinya sendiri sebagai
manusia
belum sepenuhnya ia kenal.
Islam tidak menghalangi
umatnya untuk memperoleh kekayaan
sebanyak mungkin. Bahkan harta yang
banyak dinamainya khair
(baik) dalam arti
perolehan dan penggunaannya harus
dengan
baik. Islam juga tidak melarang
umatnya bersenang-senang di
dunia, hanya digarisbawahinya bahwa
kesenangan duniawi
bersifat sementara, dan
karena itu jangan
sampai ia
melengahkan dari kesenangan
abadi, atau melengahan
dari
kewajiban kepada Allah dan masyarakat.
Umat Islam diperkenalkan
oleh Al-Quran sebagai
ummattan
wasathan (umat pertengahan) yang
tidak larut dalam
spiritualme, tetapi tidak juga hanyut dalam alam materialisme.
Seorang Muslim, adalah memenuhi
kebutuhannya dan mewarnai
kehidupannya bukan ala
malaikat, tetapi tidak
juga ala
binatang.
Hubungan seks dibenarkannya, tetapi
karena manusia adalah
makhluk terhormat, yang terdiri dari ruhani dan jasmani maka
hubungan tersebut harus terjadi hubungan lahir dan batin, dan
karena itu ia
harus dikukuhkan atas
nama Tuhan, melalui
perkawinan yang sah
menurut agama. Nabi
Muhammad saw.
bersabda:
Kamu mengawini mereka
(istri-istrimu) berdasarkan
amanat Allah dan berhak
menggaulinya karena kalimat
(izin) Allah.
Manusia diakui sebagai makhluk yang amat mulia, dan jagat raya
ditundukkan Tuhan kepadanya. Ia diberi kelebihan atas banyak
makhluk-makhluk yang lain,
tetapi sebagian kelebihan
dan
keistimewaannya --material dan
material-- diperoleh melalui
bantuan masyarakat.
Bahasa dan istiadat adalah
produk masyarakatnya. Keuntungan
material, tidak dapat diraihnya tanpa partisipasi masyarakat
dalam membeli bagi
pedagang, dan adanya
irigasi walau
sederhana bagi petani,
serta stabilitas keamanan bagi semua
pihak, yang tidak diwujudkan oleh seorang saja.
Kalau demikian, wajar jika hak asasinya harus dikaitkan dengan
kepentingan masyarakatnya serta
ketenangan orang banvak.
Pandangan Barat yang menyatakan:
"Anda boleh melakukan
apa
saja selama tidak
melanggar hak orang lain",
tidak sejalan
dengan tuntutan moral Al-Quran yang
menyatakan: "Hendaklah
Anda mengorbankan sebagian
kepentingan Anda guna kepentingcan
orang lain."
Mereka (kelompok Anshar)
mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka
sendiri sekalipun mereka
dalam kesusahan. Siapa yang
dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka dalam kekikiran
dunianya, mereka itulah
orang-orang beruntung (QS
Al-Hasyr [59]: 9).
Demikian sekelumit pembahasan tentang agama.[]
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
No comments:
Post a Comment