Bagaimana
perkembangan Islam kontemporer ini? Jika saya sendiri sedikit menilik kondisi Islam
sekarang, maka yang terilustrasikan adalah bahwa negara-negara yang memiliki
identitas masyarakat Islam tergolong lemah dalam kekuatan ekonomi dunia, dan
tertinggal jauh dari segi pendidikan, bahkan merambah pada perkembangan ilmu
pengetahuannya adalah Indonesia.
Mari
sedikit kita menengok romantisme sejarah masa lalu. Islam pernah mengalami
puncak masa kejayaannya dan menguasai hampir duapertiga wilayah dunia pada
paruh akhir abad ke-8 sampai paruh abad ke-13 masehi. Pada masa ini, filsuf, penyair,
sarjana, insinyur, seniman, hingga pebisnis dunia, hampir rata-rata dikuasi
oleh kaum muslim. Begitu juga keikut sertaan dalam berkontribusi pada
perkembangan seni, perekonomian, hukum, sastra, filsafat, dan sains dengan cara
memelihara budaya sebelumnya dengan ditambah inovasi mereka sendiri. Yaitu pada
masa-masa pemerintahan dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah dan yang lainnya. hasil
luar biasa dari masa ini adalah lahirnya tokoh-tokoh imam mazhab besar, seperti
Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafii, juga di bidang sains dan teknologi seperti
Al Khawarizmi di bidang matematika, Jabir ibn Hayyan di bidang kimia, sampai Al
Kindi di bidang kedokteran dan farmakologi. Namun, di masa Eropa, non muslim
giat berusaha mengumpulkan dan mempelajari karya umat Islam, semangat umat
Islam justru mulai menurun bahkan memudar dari segi keilmuanya setelah
melampaui batas puncaknya.
Hemat
saya, sebenarnya umat Islam tetap dapat menguasai iptek dengan berasumsi
positif bahwa dunia barat hanya menguasai monopoli dan pasar modal saja.
Bolehlah, kita menikmati romantisme gemilangnya sejarah Islam masa lalu. Tetapi,
pada titik ini, kembali kita bisa menyaksikan kondisi real mental umat Islam
saat ini. Umat Islam tidak ada yang mensupport iptek itu, sehingga hal ini
menyebabkan pengembangan penelitian iptek umat Islam sendiri menjadi
setengah-setengah. Berangkat dari hal itu, maka muncul satu pertanyaan tentang
apa yang sebenarnya terjadi dengan kemerosotan umat Islam kekinian? Mungkinkah kaum
muslim akan merebut api ilmu pengtahuanya? Dan bagimana cara untuk merebutnya
kembali jika itu akan mungkin terjadi?
Kondisi
islam dewasa ini yang terbagi-bagi menjadi beberapa ormas seperti Nu,
Muhammadiyyah, FPI dan lain sebagainya seakan mengalihkan perhatian utama kita
pada makna Islam itu sendiri. Masyarakat Islam sibuk untuk memperdebatkan
hal-hal yang sebenarnya sudah selesai pada tataran ruh islam, benar atau salah,
surga atau neraka. Okelah, kita umat Islam menang dalam hal berpikir, tetapi
kita telah lupa pada ghiroh atau semangat perwujudan suatu gebrakan
menghasilkan karya-karya besar. Dalam hal ini, pemerintahnya pun ikut “lupa”.
Seperti di Indonesia, maka tidak hanya umat Islamnya saja, warga negara secara
keselurahan pun ikut menerima imbas dengan tidak terfasilitasinya kebutuhan
pengembangan iptek dan riset secara baik.
Saya
sendiri meyakini, bahwa Islam tidak pernah salah. Tidak ada satupun
ajaran yang menyimpang di dalamnya, apalagi dengan keagungan Al-Quran yang
sampai detik ini masih eksis keberadaannya. Ilmuwan, saya katakan adalah
seseorang yang berilmu dan dapat mengembangkan ilmunya untuk kemaslahatan umat.
Jika ditarik benang merahnya, maka kualitas ilmuwan di masa sekarang, sangat
erat kaitannya dengan kualitas pendidikan di suatu negara tertentu.
Ketertinggalan pengembangan ilmu pengetahuan adalah dampak dari kesalahan
sistem. Lihat saja pendidikan di Indonesia, secara fisik tidak memihak rata
pada semua elemen masyarakat, sampai-sampai ada semboyan nyentrik yang mengatakan
kalau “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Problem kemiskinan yang sangat sulit
untuk dimerdekakan menjadikan akses untuk merangkul ilmu pengetahuan menjadi
terkendala. Kebijakan pemerintah yang diterapkan pun ternyata masih
diselewengkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Dan akhirnya kembali
pada kebijakan negara. Sistem yang terbangun di Indonesia terkait ilmu
pengetahuan juga tidak menciptakan suatu peningkatan, tidak membangun, dan
hanya diproduksi untuk menjadi “robot”. Padahal, jika negara kita ini adil dan
elit masyarakatnya peduli, maka akses ke arah ini akan semakin terbuka. Tentu
saja, tetap dibutuhkan kesinambungan sistem antara agama dan negara.
Di sisi
lain, umat Islam alergi pada pemikiran sekuler. Itu sebenarnya bagus untuk ruh
keimanan. Sekularisasi di barat memang menciptakan jarak antara sains dan
agama, karena agama dianggap tidak relevan bagi perkembangan sains itu sendiri.
Tetapi, dalam hal ini umat muslim kembali lupa, mereka alergi terhadap
pemikiran sekuler, dan juga meminggirkan berpikir kritis, analisis, dan
rasional. Akibatnya, adakalanya segala sesuatunya menjadi bersifat dogmatis.
Keberadaan Tuhan dalam sains memang tidak masuk dalam pembicaraan sains, tetapi
setidaknya umat Islam dapat memposisikan sains sebagai himpunan informasi yang
rapat dan terbuka dengan perbatasan konsep ketuhanan dan limit sedekat-dekatnya
dengan sains itu.
Selain
itu, kita umat Islam tidak pernah atau bahkan tidak ada kultur atau budaya
untuk mengembangkan pribadi sendiri. Padahal, sudah jelas bahwa kita tidak bisa
berubah tanpa usaha kita sendiri. Dalam Al-Quran disebutkan, “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan
diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d (13) : 11). Menjadi pantas jika umat muslim
mengalami kemunduran karena disebabkan tidak adanya tradisi kritis. Mengapa
kritis? Tradisi kritis dibutuhkan dalam rangka mencari dan membuka hal-hal baru
yang secara tidak langsung akan semakin mendorong gairah belajar ummat muslim umtuk selalu
berkarya.
Saya
sangat setuju dengan Ibnu Rusyd, sarjana ilmuwan dan juga filosof besar yang
pernah lahir di dunia Arab yang mengilhami karya-karya pemikiran Aristoteles
dan mengantarkan kita menjadi seorang muslim yang progresif. Menurutnya,
seorang muslim yang baik adalah muslim yang bisa mempresentasikan zaman, di
saat dan di mana dia hidup. Seorang muslim harus menggunakan akalnya agar tidak
terbelakang. Cak Nur mengemukakan hal ini dengan istilah empirisisme. Contoh
empirisme dalam Al Quran yang bisa kita buktikan secara nalar dan dikembangkan
dalam keilmuan, seperti kita disuruh melihat binatang,melihat langit, melihat
gunung, melihat bumi, dan sebagainya.
Dan
lagi, bukan masanya Islam terjebak pada istilah teks, tetapi sudah harus
berorientasi pada konteks. Coba kita tengok budaya pesantren di tanah air kita.
Mulai dari zaman nenek buyut kita sampai masa kini masih tetap saja
mengabadikan budaya dogmatis (tidak toleran dan terbuka karena hal hal yang
sudah terlalu di percaya), mengambil mentah suatu hal, apalagi menggunakan
metode menghafal secara tekstual dalam pembelajarannya. Metode tersebut
sebenarnya bagus, mengajarkan ketaatan dan kedisiplinan. Tetapi malah memancing
stagnasi ilmu pengetahuan dan tidak kritis. Jika demikian, maka bisa menjadikan
umat Islam yang hanya bisa menghakimi dan selalu memiliki anggapan bahwa
dirinyalah yang paling benar dari sekian juta umat bahkan ribuan. Tentu ini
kesalahan fatal, Akhir-akhirnya, persoalan berakhir pada sisi kotornya.
Melihat
kondisi-kondisi yang terjadi hari ini, sudah sepantasnya kita sebagai generasi
Islam muda ikut berpikir dan melakukan perubahan. Usaha bisa ditargetkan pada
sistem yang ada, khususnya di negeri kita sampai pada pembenahan diri sendiri.
Seperti kata pepatah, “Ibda’ binnafsik”, mulailah dari diri sendiri.
Langkah
awal yang harus digalakkan adalah mengembalikan semangat diri untuk membaca dan
belajar, sesuai dengan wahyu pertama dalam Al Quran, “Bacalah dengan menyebut
nama Tuhan Mu yang menciptakan” (QS Al-’Alaq (96):1). Membaca merupakan gerbang
dari segala macam bentuk ilmu pengetahuan. Teringat pernyataan George Sarton,
bahwasanya kaum muslim telah waktunya mencapai tugas utama kemanusiaan yang
sebenarnya, yaitu sebagai obor pengetahuan di segala bidang. Orang yang membaca
akan secara otomatis memiliki sifat keingintahuan yang besar. Maka dari
kegiatan membaca ini, produktivitas karya kaum muslim akan lahir kembali.
Pentingnya ilmu pengetahuan dirasa perlu untuk menjadi pondasi kekhalifahan
manusia di muka bumi ini lewat berbagai macam segi pembelajaran. Sudah sejak
zaman Nabi Adam yang merupakan simbol manusia primordial, Allah telah
mengutamakan ilmu dari yang lainnya, “Dan Ia mengajarkan kepada Adam
sifat-sifat semua benda (ilmu)” (QS. Al-Baqoroh (2) : 31).
Selanjutnya,
penggalakan penelitian perlu kiranya diakomodir secara besar-besaran dan
sistematis di segala bidang. kenyataan yang menunjukkan ketertinggalan kita
umat Islam dari penelitian. Bagiamana dengan Indonesia sendiri? Saya katakan
sama saja. Maka dari itu, universitas-universitas yang menjadi motor kelahiran
ilmuwan muslim Indonesia, perlu segera berbenah dan memperbaiki orientasi
pendidikannya pada pengembangan diri dan riset penelitian ilmiah sains, atau
pun sosial. Langkah ini dirasa sangat penting. Sama pentingnya dengan
penyelenggaraan pendidikan gratis untuk masyarakat kalangan menengah ke bawah
untuk bisa sama-sama membasmi kebodohan. Saya teringat dengan syi’ir yang
selalu dibacakan oleh teman-teman pondok saya “al-jahlu da’ wal’ilmu yasfi”,
bodoh adalah penyakit penwarnya adalah ilmu.
Di sisi
lain, toleransi dan kebebasan beragama perlu diterapkan serta kebebasan
berpendapat juga dapat menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan semakin
dinamis. saya mencoba menghayati pernyataan dari Bapak Pluralisme kita,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahwa Indonesia tidak butuh menjadi negara Islam,
hanya cukup individu-individunya saja yang Islam. Dalam pandangan saya, niscaya
secara nilai, Indonesia menjadi lebih Islami daripada negara Islam itu sendiri.
“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridlaan Kami, akan Kami
Tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-‘Ankabut (29):69).
Bisa disimpulkan,
bahwa kemerosotan perdaban islam kontemporer ini dikarenakan berbagai macam
faktor. Yang pertama, minimnya ilmu pengtahuan, minimnya nilai kritik ilmiah,
dan terlarutnya kaum muslim dengan sejuta kemegahan dunia. Sedangkan, jika
ingin kembali peradaban islam harus merbuah faktor-faktor di atas menjadi
sebuah keniscayaan dalam arti “Kemampuan dalam ilmu pengatahuanya mempuni,
rasang tanggap dalam menyikapi hal yang harus dikritik, harus dibangun, dan
berhenti dengan kelap-kelip dunia”.
Terakhir, pesan
saya untuk pencari ilmu pengetahuan. Percayalah kamu bisa, usahalah semaksimal
mungkin, dan terapkanlah pada mereka yang telah mengambil alih obor ilmu
pengetahuan kita. Hal ini yang sering disebut-sebut oleh para kader HMI dengan
kata “YAKUSA” Yakin, Usaha, Sampai. .....!!!
Yakinkan dengan iman, usahakan dengan ilmu,
sampaikan dengan amal!
No comments:
Post a Comment