Sunday 20 November 2016

Islam Progresif

Menuju Muslim Yang Berintlektual



Bagaimana perkembangan Islam kontemporer ini? Jika saya sendiri sedikit menilik kondisi Islam sekarang, maka yang terilustrasikan adalah bahwa negara-negara yang memiliki identitas masyarakat Islam tergolong lemah dalam kekuatan ekonomi dunia, dan tertinggal jauh dari segi pendidikan, bahkan merambah pada perkembangan ilmu pengetahuannya adalah Indonesia.
Mari sedikit kita menengok romantisme sejarah masa lalu. Islam pernah mengalami puncak masa kejayaannya dan menguasai hampir duapertiga wilayah dunia pada paruh akhir abad ke-8 sampai paruh abad ke-13 masehi. Pada masa ini, filsuf, penyair, sarjana, insinyur, seniman, hingga pebisnis dunia, hampir rata-rata dikuasi oleh kaum muslim. Begitu juga keikut sertaan dalam berkontribusi pada perkembangan seni, perekonomian, hukum, sastra, filsafat, dan sains dengan cara memelihara budaya sebelumnya dengan ditambah inovasi mereka sendiri. Yaitu pada masa-masa pemerintahan dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah dan yang lainnya. hasil luar biasa dari masa ini adalah lahirnya tokoh-tokoh imam mazhab besar, seperti Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafii, juga di bidang sains dan teknologi seperti Al Khawarizmi di bidang matematika, Jabir ibn Hayyan di bidang kimia, sampai Al Kindi di bidang kedokteran dan farmakologi. Namun, di masa Eropa, non muslim giat berusaha mengumpulkan dan mempelajari karya umat Islam, semangat umat Islam justru mulai menurun bahkan memudar  dari segi keilmuanya setelah melampaui batas puncaknya.
Hemat saya, sebenarnya umat Islam tetap dapat menguasai iptek dengan berasumsi positif bahwa dunia barat hanya menguasai monopoli dan pasar modal saja. Bolehlah, kita menikmati romantisme gemilangnya sejarah Islam masa lalu. Tetapi, pada titik ini, kembali kita bisa menyaksikan kondisi real mental umat Islam saat ini. Umat Islam tidak ada yang mensupport iptek itu, sehingga hal ini menyebabkan pengembangan penelitian iptek umat Islam sendiri menjadi setengah-setengah. Berangkat dari hal itu, maka muncul satu pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan kemerosotan umat Islam kekinian? Mungkinkah kaum muslim akan merebut api ilmu pengtahuanya? Dan bagimana cara untuk merebutnya kembali jika itu akan mungkin terjadi?
Kondisi islam dewasa ini yang terbagi-bagi menjadi beberapa ormas seperti Nu, Muhammadiyyah, FPI dan lain sebagainya seakan mengalihkan perhatian utama kita pada makna Islam itu sendiri. Masyarakat Islam sibuk untuk memperdebatkan hal-hal yang sebenarnya sudah selesai pada tataran ruh islam, benar atau salah, surga atau neraka. Okelah, kita umat Islam menang dalam hal berpikir, tetapi kita telah lupa pada ghiroh atau semangat perwujudan suatu gebrakan menghasilkan karya-karya besar. Dalam hal ini, pemerintahnya pun ikut “lupa”. Seperti di Indonesia, maka tidak hanya umat Islamnya saja, warga negara secara keselurahan pun ikut menerima imbas dengan tidak terfasilitasinya kebutuhan pengembangan iptek dan riset secara baik.
Saya sendiri meyakini, bahwa Islam tidak pernah salah.  Tidak ada satupun ajaran yang menyimpang di dalamnya, apalagi dengan keagungan Al-Quran yang sampai detik ini masih eksis keberadaannya. Ilmuwan, saya katakan adalah seseorang yang berilmu dan dapat mengembangkan ilmunya untuk kemaslahatan umat. Jika ditarik benang merahnya, maka kualitas ilmuwan di masa sekarang, sangat erat kaitannya dengan kualitas pendidikan di suatu negara tertentu. Ketertinggalan pengembangan ilmu pengetahuan adalah dampak dari kesalahan sistem. Lihat saja pendidikan di Indonesia, secara fisik tidak memihak rata pada semua elemen masyarakat, sampai-sampai ada semboyan nyentrik yang mengatakan kalau “Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Problem kemiskinan yang sangat sulit untuk dimerdekakan menjadikan akses untuk merangkul ilmu pengetahuan menjadi terkendala. Kebijakan pemerintah yang diterapkan pun ternyata masih diselewengkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Dan akhirnya kembali pada kebijakan negara. Sistem yang terbangun di Indonesia terkait ilmu pengetahuan juga tidak menciptakan suatu peningkatan, tidak membangun, dan hanya diproduksi untuk menjadi “robot”. Padahal, jika negara kita ini adil dan elit masyarakatnya peduli, maka akses ke arah ini akan semakin terbuka. Tentu saja, tetap dibutuhkan kesinambungan sistem antara agama dan negara.
Di sisi lain, umat Islam alergi pada pemikiran sekuler. Itu sebenarnya bagus untuk ruh keimanan. Sekularisasi di barat memang menciptakan jarak antara sains dan agama, karena agama dianggap tidak relevan bagi perkembangan sains itu sendiri. Tetapi, dalam hal ini umat muslim kembali lupa, mereka alergi terhadap pemikiran sekuler, dan juga meminggirkan berpikir kritis, analisis, dan rasional. Akibatnya, adakalanya segala sesuatunya menjadi bersifat dogmatis. Keberadaan Tuhan dalam sains memang tidak masuk dalam pembicaraan sains, tetapi setidaknya umat Islam dapat memposisikan sains sebagai himpunan informasi yang rapat dan terbuka dengan perbatasan konsep ketuhanan dan limit sedekat-dekatnya dengan sains itu.
Selain itu, kita umat Islam tidak pernah atau bahkan tidak ada kultur atau budaya untuk mengembangkan pribadi sendiri. Padahal, sudah jelas bahwa kita tidak bisa berubah tanpa usaha kita sendiri. Dalam Al-Quran disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d (13) : 11). Menjadi pantas jika umat muslim mengalami kemunduran karena disebabkan tidak adanya tradisi kritis. Mengapa kritis? Tradisi kritis dibutuhkan dalam rangka mencari dan membuka hal-hal baru yang secara tidak langsung akan semakin mendorong  gairah belajar ummat muslim umtuk selalu berkarya.
Saya sangat setuju dengan Ibnu Rusyd, sarjana ilmuwan dan juga filosof besar yang pernah lahir di dunia Arab yang mengilhami karya-karya pemikiran Aristoteles dan mengantarkan kita menjadi seorang muslim yang progresif. Menurutnya, seorang muslim yang baik adalah muslim yang bisa mempresentasikan zaman, di saat dan di mana dia hidup. Seorang muslim harus menggunakan akalnya agar tidak terbelakang. Cak Nur mengemukakan hal ini dengan istilah empirisisme. Contoh empirisme dalam Al Quran yang bisa kita buktikan secara nalar dan dikembangkan dalam keilmuan, seperti kita disuruh melihat binatang,melihat langit, melihat gunung, melihat bumi, dan sebagainya.
Dan lagi, bukan masanya Islam terjebak pada istilah teks, tetapi sudah harus berorientasi pada konteks. Coba kita tengok budaya pesantren di tanah air kita. Mulai dari zaman nenek buyut kita sampai masa kini masih tetap saja mengabadikan budaya dogmatis (tidak toleran dan terbuka karena hal hal yang sudah terlalu di percaya), mengambil mentah suatu hal, apalagi menggunakan metode menghafal secara tekstual dalam pembelajarannya. Metode tersebut sebenarnya bagus, mengajarkan ketaatan dan kedisiplinan. Tetapi malah memancing stagnasi ilmu pengetahuan dan tidak kritis. Jika demikian, maka bisa menjadikan umat Islam yang hanya bisa menghakimi dan selalu memiliki anggapan bahwa dirinyalah yang paling benar dari sekian juta umat bahkan ribuan. Tentu ini kesalahan fatal, Akhir-akhirnya, persoalan berakhir pada sisi kotornya.
Melihat kondisi-kondisi yang terjadi hari ini, sudah sepantasnya kita sebagai generasi Islam muda ikut berpikir dan melakukan perubahan. Usaha bisa ditargetkan pada sistem yang ada, khususnya di negeri kita sampai pada pembenahan diri sendiri. Seperti kata pepatah, “Ibda’ binnafsik”, mulailah dari diri sendiri.
Langkah awal yang harus digalakkan adalah mengembalikan semangat diri untuk membaca dan belajar, sesuai dengan wahyu pertama dalam Al Quran, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhan Mu yang menciptakan” (QS Al-’Alaq (96):1). Membaca merupakan gerbang dari segala macam bentuk ilmu pengetahuan. Teringat pernyataan George Sarton, bahwasanya kaum muslim telah waktunya mencapai tugas utama kemanusiaan yang sebenarnya, yaitu sebagai obor pengetahuan di segala bidang. Orang yang membaca akan secara otomatis memiliki sifat keingintahuan yang besar. Maka dari kegiatan membaca ini, produktivitas karya kaum muslim akan lahir kembali. Pentingnya ilmu pengetahuan dirasa perlu untuk menjadi pondasi kekhalifahan manusia di muka bumi ini lewat berbagai macam segi pembelajaran. Sudah sejak zaman Nabi Adam yang merupakan simbol manusia primordial, Allah telah mengutamakan ilmu dari yang lainnya, “Dan Ia mengajarkan kepada Adam sifat-sifat semua benda (ilmu)” (QS. Al-Baqoroh (2) : 31).
Selanjutnya, penggalakan penelitian perlu kiranya diakomodir secara besar-besaran dan sistematis di segala bidang. kenyataan yang menunjukkan ketertinggalan kita umat Islam dari penelitian. Bagiamana dengan Indonesia sendiri? Saya katakan sama saja. Maka dari itu, universitas-universitas yang menjadi motor kelahiran ilmuwan muslim Indonesia, perlu segera berbenah dan memperbaiki orientasi pendidikannya pada pengembangan diri dan riset penelitian ilmiah sains, atau pun sosial. Langkah ini dirasa sangat penting. Sama pentingnya dengan penyelenggaraan pendidikan gratis untuk masyarakat kalangan menengah ke bawah untuk bisa sama-sama membasmi kebodohan. Saya teringat dengan syi’ir yang selalu dibacakan oleh teman-teman pondok saya “al-jahlu da’ wal’ilmu yasfi”, bodoh adalah penyakit penwarnya adalah ilmu.
Di sisi lain, toleransi dan kebebasan beragama perlu diterapkan serta kebebasan berpendapat juga dapat menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan semakin dinamis. saya mencoba menghayati pernyataan dari Bapak Pluralisme kita, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahwa Indonesia tidak butuh menjadi negara Islam, hanya cukup individu-individunya saja yang Islam. Dalam pandangan saya, niscaya secara nilai, Indonesia menjadi lebih Islami daripada negara Islam itu sendiri. “Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridlaan Kami, akan Kami Tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-‘Ankabut (29):69).
Bisa disimpulkan, bahwa kemerosotan perdaban islam kontemporer ini dikarenakan berbagai macam faktor. Yang pertama, minimnya ilmu pengtahuan, minimnya nilai kritik ilmiah, dan terlarutnya kaum muslim dengan sejuta kemegahan dunia. Sedangkan, jika ingin kembali peradaban islam harus merbuah faktor-faktor di atas menjadi sebuah keniscayaan dalam arti “Kemampuan dalam ilmu pengatahuanya mempuni, rasang tanggap dalam menyikapi hal yang harus dikritik, harus dibangun, dan berhenti dengan kelap-kelip dunia”.
            Terakhir, pesan saya untuk pencari ilmu pengetahuan. Percayalah kamu bisa, usahalah semaksimal mungkin, dan terapkanlah pada mereka yang telah mengambil alih obor ilmu pengetahuan kita. Hal ini yang sering disebut-sebut oleh para kader HMI dengan kata “YAKUSA” Yakin, Usaha, Sampai. .....!!!
Yakinkan dengan iman, usahakan dengan ilmu, sampaikan dengan amal!


No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...