Madzhab Mahasiswa
Ditengah
maraknya poros perkembangan ilmu pengetahuan di dunia akademika, tidak jarang
dijumpai para mahasiswa masih saja menganut faham fanatisme terhadap satu
madzhab tertentu. Jika enggan untuk dibilang fanatik, dengan bahasa lain diujarkan
“cukup imam syafi’i saja sebagai barometer atau tolok ukur dalam menentukan
sebuah keislamisasian untuk mengikuti jalur kehidupan dalam beragama”.
Ungkapan ini sering sekali
dilontarkan dalam dunia akademika kampus. Apalagi kampus yang masih dibawah
nangun islam. Lebih-lebih yang keberadaanya di tanah Indonesia. Kendati, negara
indonesia merupakan negara terbesar penduduk islamanya, begitu juga paling
marak imam syafi’i pengikutnya. Khususnya dalam bidang fiqhi. Baik itu berbau
ubudiyyah, mu’amalah, munjiyat, maupun munkahat. Yang mana sub-sub pembahasan
ini merupakan pembagian dari pada ilmu fiqhi.
Dalam pandangan penulis, jika
berbicara madzhab tidak akan luput dengan yang namanya syari’at. Karena, kata
madzhab bisa memiliki arti “aliran” dari kata “sya’ri”. Kendati, bahasa
memiliki karakteristik bermacam-macam dan di antara macam-macam karakternya ada
yang namanya bahasa bersifat “Dinamis”. Kedinamisan bahasa terletak pada
perkemangan bahasa pada era satu ke era yang lain. Oleh karenanyalah, Imam
Al-Qurtuby dalam kitabnya yang bejudul “Tafsir al-Qurtuby” mengartikan kata
syari’at sebagai aliran/madzhab. Hal ini pernah penulis uraikan dalam suatu
bidang kajian ilmiah di dalam blogger penulis dengan judul “Membumikan
Syari’ah”. Yang mengutip dari hasil pisau analisisnya Imam Al-Qurtuby dalam
kitabnya yang bejudul “Tafsir al-Qurtuby”.
Masih dalam pembahsan kata madzhab,
penulis memiliki dua referensi akurat dalam pengertian ini. Dalam tafsirnya,
Imam al-Qurtuby berstetmen tentang makna syari’at :
ولكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan syir’ah dan minhaj”.
(Q.S. al-Maidah ayat 48)
Dalam ayat ini, imam al-qurtuby berpendapat :
وَالشِّرْعَةُ
وَالشَّرِيعَةُ الطَّرِيقَةُ الظَّاهِرَةُ الَّتِي يُتَوَصَّلُ بِهَا إِلَى
النَّجَاةِ ، وَالشَّرِيعَةُ فِي اللُّغَةِ : الطَّرِيقُ الَّذِي يُتَوَصَّلُ
مِنْهُ إِلَى الْمَاءِ ، وَالشَّرِيعَةُ مَا شَرَعَ اللَّهُ لِعِبَادِهِ مِنَ
الدِّينِ ; وَقَدْ شَرَعَ لَهُمْ يَشْرَعُ شَرْعًا.
“Bahwa as-Syir’ah dan as-Syari’ah adalah jalan terang yang denganya bisa sampai pada keselamatan. As-Syari’ah dari segi bahasa memiliki arti jalan yang denganya bisa sampai ke air. Sedangkan dalam pengertian istilah, syari’ah adalah agama yang Allah jalankan untuk hambanya.” Dalam tafsir Al-Qurtuby (6/153)
Dalam ayat
ini, Imam Al-Qurtuby menjelaskan bahwa Syari’ah dari segi bahasa memiliki arti
jalan yang denganya bisa sampai ke air. Sedangkan, dalam berbagai macam faham,
kata madzhab diartikan sebagai aliran atau ajaran. Dikatakan sebagai aliran,
madzhab yang dikenal di kalangan umat muslim nusantara adalah empat madzhab.
Dan empat madzhab ini diyakini sebagai imam yang memiliki ma’mum. Antara imam
dan ma’mum merupakan wujud bukti bahwa ditengah-tengah keberadanya ada yang dinamakan
sebuah aliran atau ajaran.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
"Kemudian
Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat agama.Maka ikutilah ia dan
jangan mengikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui". (QS
al-Jatsiyah ayat 18).
- Kitab
Tafsir Al-qurtuby (16/153) :
الشَّرِيعَةُ
فِي اللُّغَةِ : الْمَذْهَبُ وَالْمِلَّةُ . وَيُقَالُ لِمَشْرَعَةِ الْمَاءِ -
وَهِيَ مَوْرِدُ الشَّارِبَةِ - : شَرِيعَةُ . وَمِنْهُ الشَّارِعُ لِأَنَّهُ
طَرِيقٌ إِلَى الْمَقْصِدِ . فَالشَّرِيعَةُ : مَا شَرَعَ اللَّهُ لِعِبَادِهِ
مِنَ الدِّينِ ، وَالْجَمْعُ : الشَّرَائِعُ . وَالشَّرَائِعُ فِي الدِّينِ :
الْمَذَاهِبُ الَّتِي شَرَعَهَا اللَّهُ لِخَلْقِهِ .
"As
syari'ah dalam segi bahasa artinya adalah madzhab dan aliran, dikatakan bagi
tempat aliran air adalah syari'ah. Disebut juga as-syari' karena merupakan
jalan menuju tempat tujuan. Maka as-syari'ah adalah agama yang Allah jalankan
untuk hamba-NYa dan as-syari'ah dalam agama adalah madzhab yang Allah jalankan
untuk makhluk-Nya."
Di dalam ayat yang ke dua, Imam al-Qurtuby
dalam tafsirnya menjelaskan secara detail makna syariat menurut hasil pisau
analisisnya dari hasil kutip kata “Syari’at” yang lebih jelas dari pada ayat yang
pertama. Menurut pandanganya, syari’at adalah agama yang Allah jalankan
untuk hamba-Nya. Sedangkan madzhab yang sering umat muslim ucapkan
dalam pandangan beliau sebagai “Sya’ri” atau madzhab yang Allah
jalankan untuk makhluk-Nya. Sepertinya, sudah jelas bahwa yang dimaksud
dengan madzhab adlah sebuah aliran yang mengandung sebuah ajaran yang mana di
dalamnya terdapat pemipin (imam) dan pengikutnya (ma’mum).
Berbeda
dengan buku yang dikarang oleh Prof. Dr. Mohammad Hashim Kamali., M.A. yang
berjudul “Membumikan Syariah”. Di dalam buku itu kata syari’ah yang mengutip
pendapatnya Abdullah Yusuf Ali diartikan sebagai “jalan agama yang benar”. Di
mana kehadiran syaru’ah dari sisi Allah sebagai jalan menuju agama yang benar.
Yaitu islam. Sehingga, selaras dengan penulis singgung di atas. Bahwa antara
syari’ah, madzhab, dan islam tidak bisa dipisahkan. Karena, ketiga kata ini
sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lainya.
Jika
di atas sudah membicarakan tentang syari’ah yang ada sangkutanya dengan
madzhab. Sekarang apa yang dimaksud dengan fanatisme? Apakah benar, menurut
pendapat sebagain orang fanatisme itu faham yang sangat menakutkan? Bahkan bisa
dikatakan sebagai faham yang membuat orang buta akan mutiara ilmu yang memiliki
beberapa sisi didalamnya.
Untuk menajwab pertanya ini. Alangkah
baiknya penulis menyajikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan fantisme?
Dalam
kamus KBBI, fanatisme diartikan sebagai
“Keyakinan/kepercayaan yang sangat kuat terhadap suatu ajaran. Baik itu agama
ataupun yang lainya”. Dalam pengertian ini, bisa diambil benang merahnya. Bahwa
yang dimaksud dengan fanatisme adalah sebuah faham yang tida pindah-pindah/absolut
kepada suatu aliran/ajaran.
Sehingga,
fanatisme bermadzhab memiliki arti faham yang hanya terpaku kepada satu aliran
atau satu ajaran. Dalam hal ini, tidak jarang dijumpai di dunia akademika
kampus. Meskipun, ada diantara mereka yang memang menyadari akan pentingnya
faham liberalisme, sekulerimse, dan pluralisme untuk ditumbuhkan di dalam pola
berfikirnya civitas akademika kampus.
Dalam
pandangan mahasiswa, bermadzhab kepada selain Imam Syafi’i seakan asing.
Terlebih di kampus Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Meskipun,
banyak mahasiswa mengikuti faham liar, apalagi dosen-dosennya. Namun tidak
jarang pula dijumpai faham fanatik ini tumbuh dijati diri seorang mahasiswa
yang sebenarnya harus berekembang malah mendapatkan itu-itu saja. Dalam
pandangan ini, penulis mengatakan “Kampus uin meskipun ada sejuta aliran baik
itu aliran dari segi teolog yang meliputi, aliran syi’ah, wahabi, dan pemikir
Muktazilah, dan sunni. Baik itu dari sudut pandang fiqhi, ada yang mengikuti
imam syafi’i sepenuhnya dan imam-imam yang lainya. Dan juga dalam pandangan
ormas-ormas yang sebagai kepanjangan tangan dari aliran tinjaun sisi fiqhi dan
teologi, mereka geluti. Padahal, jika mereka sadar. Adanya semua aliran untuk
dikaji dan dikritisi juga mereka semua berhak untuk memilih dan berganti kesatu
dan ke yang lainnya. Tentunya dengan aturan pakai yang sudah ditentukan di
dalam koredor beragama dan bersyari’ah khususnya.
Dalam
berbagai macam sudut pandang. Madzhab atau aliran/ajaran (khusunya tentang
islam) para mahasiswa masih saja takut untuk terjun kelapangan dalam mewujudkan
nilai kritik ilmiah. Kendati, mayoritas mahasiswa UIN khususnya, banyak dari
lulusan pesantren. Maka, tidak bisa dipungkiri lagi daya guna untuk mewujudkan
nalar kritik ilmiah dalam pelbagi maslah masih enggan bahkan takut untuk
mengkritikinya. Dengan alasan ini sebuah sudah kententuan para ulama terdahulu
atau inilah yang diajarkan oleh ustaz dan kiyaiku. Apakah mungkin daya pikir
mahasiswa akan berkembang, jika hanya selalu menadah hasil karya ulama kelasik
? Penuris rasa tidak mungkin. Karena, bagaimanapun semua yang tertuang dalam
kitab satu imam tidak sama dengan imam yang lainya. Dalam ketidak sama inilah.
Mahasiswa sebenarnya dituntut untuk mengkaji perbedaan bukan lagi mengkaji
sebuah persamaan. Karena pengkajian persamaan itu bukan lagi ditingkat
Universitas. Tapi, dunia TK, SMP, SMA.
Oleh
sebab itu, Hasan Bin Farhan Al-Maliki dalam bukunya yang berjudul “Pilih Islam
Atau Madzhab ?” mengomentari seseorang yang berprilaku bermadzhab dengan bangga
dan tidak melakukan autokritik terhadap apa yng dibanggakanya tersebut. Dalam
buku itu, sangat rinci dampak-dampak yang terjadi jika mengikuti faham
fantisme, bagaimana solusi untuk menanganinya, dan beliau menjelaskan apakah
nabi mengajarkan fantaisme? Khususnya fantasime bermadzhab. Lebih lanjut lagi
pembaca bisa lihat langsung.
Singkatnya,
fanatisme bermadzhab merupakan tradisi yang sulit dipudarkan. Terutama di
kalangan mahasiswa UIN yang notabennya pesantren. Kendati, mereka hanya belajar
kitab-kitabnya imam syafi’i (kitab-kitab kelasik). Maka tidak salah lagi,
ketika keluar dari kandanganya mereka semua ingin sebenarnya bebas namun masih
ada rasa terkonteminasi dari hal-hal yang sudah ditanamkan di dunia pesantren
tersebut.
Hemat
penulis upaya menghilangkan kefantikan tersebut setidaknya ditanamkanya
faham-faham liar yang sempat penulis sajikan di blogger kajian ilmiah. Dengan
judul faham liar 3 jilid yang di jilid pertama membahas tentang faham
liberalisme. Faham ini sebenarnya butuh dikembangkan dalam jati diri seorang
mahasiswa. Mengapa demikian? Karean dengan faham ini, seseorang yang fanatik
bisa berani untuk megeluarkan masalah atau kejanggalan yang ada di dalam
benaknya. Kendati, liberalisme merupakan faham yang mendahulukan akal. Maka,
tak jarang akal sebagai pusat kebenaran yang absolute dalam memahami sebuah
pernyataan-pernyataan di manapun dia berada. Begitu juga dengan faham sekuler,
dan pluralisme. Di mana sekuler untuk memisahkan dunia dan akhirat. Sedangkan,
dalam pluralisme. Mahasiswa diajarakan untuk bertoleransi dalam bentuk apapun.
Kiranya,
hanya ini yang bisa penulis sampaikan. Satu pesan dari penulis jika ingin
membuang sifat fantik dalam disiplin ilmu apapun. Maka gunakanlah kata-kata ini
:
“liberal adalah tuntutan, sekuler adalah
plihan, sedangkan plural adalah kebutuhan”
No comments:
Post a Comment