Monday 28 November 2016

Benarkah Al-Qur'an Hasil Plagiat ?

Al-Qur’an Kitab Hasil Plagiat


          Terbersit dalam benak penulis ketika membaca suatu buku yang dikarang oleh kaum orientalis barat dalam bukunya yang berjudul “Al-Qur’an yang menakjubkan”, di dalam buku ini, Prof. Dr. Issa J. Boullata menjelaskan pandangan Theodor Nöldeke kaum orientalis miring bahwa “Sebagian besar kaum orientalis meyakini bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang dipengaruhi tradisi agamaYahudi dan Kristen. Keterpengaruhan itu meliputi: ajarankeimanan,hukum-moral, dan kisah-kisah para nabi. Tulisanini mengkaji pandangan Theodor Nöldeke, seorang orientalis berkebangsaan Jerman. Nöldeke berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang banyak dipengaruhi agama Yahudi dan beberapa dari unsur agama Kristen. Melalui Bible sebagai tolok ukurnya, Nöldeke juga memandang bahwa beberapa nama diri, term agama, dan kisah-kisah nabi terdahulu yang dijiplak Muhammad dalam al-Qur’an telah dipahami secara keliru.”
            Penulis berfikir sejenak, apakah mungkin al-Qur’an kitab jiplakan dari kitab-kitab orang yahudi dan kristen? Apakah mungkin nabi Muhammad plagiat? Bukankah nabi Muhammad tidak bisa baca dan menulis? Mungkinkah manusia seperti Muhammad mampu mengarang seperti al-Qur’an? Pertannyaan ini semua penulis bahas dengan secara singkat.
            Jika ingin membuktikan bahwa al-Qur’an bukan hasil plagiat sangatlah mudah. Pertama harus melalui dari segi historis dan metodologis. In sya Allah dari dua pendekatan ini penulis bisa uraikan secara jelas dan singkat dari berbagai buku yang penulis pernah baca.
1.      Dari pendekatan “Historis”
Pendekatan historis adalah salah satu upaya untuk mencari fakta yang tidak lepas dari maksud dan kronogi sejarah yang mengiringi suatu peristiwa. Dalam kajian orientalis terhadap Al-qur’an ini tidak akan lepas dari hal tersebut. Seperti halnya pernyataan berikut, beberapa sebab atau alasan para Orientalis dari zaman ke zaman yang menilai perlu adanya kajian terhadap kitab suci Al-Qur’an.
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa,”sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadapa kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahjasa Yunani. Mengapa Orientalis-misionaris satu itu menyeru demikian? Seruan semacam ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci mereka yaitu Al-Qur’an. Di satu sisi mereka juga sudah meragukan otentitas Bible, mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa keotentikan Bible yang ada di tangan mereka sekarang sudah berbeda jauh dari teks aslinya. Menurut pandangan mereka bahwa kitab Injil yang mereka yakini itu ternyata adalah bukan asli alias palsu, terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan wahyu.
Hal yang senada dikatakan oleh Saint Jerome yang merupakan Orientalis pengakaji teks bible yang dikabarkan mengeluhkan fakta banyaknya penulis Bible yang diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi malah menuliskan dari apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan.
Disebabkan rasa kecewa dengan kenyataan semacam itu, maka pada tahun 1720 Master of Trinity College, R. Bentley, menyeru umat Kristen agar mengabaikan kitab suci mereka, yakni naskah perjanjian baru yang diterbitkan pada tahun 1592 versi Paus Clement,…the ‘textus receptus’ [is] to be abandoned altogether! Seruan tersebut diikuti oleh munculnya “edisi kritis” perjanjian baru hasil suntingan Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort (1828-1892).
Jauh sebelum Mingana dan Orientalis-Misionaris lainnya, ada yang pertama kali jauh sebelum mereka, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman) yaitu seorang Orientalis bernama Gustav Flugel menerbitkan “mushaf” hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus Arabicus. Kemudian muncul Theodor Noldeke yang ingin merekonstruksi sejarah Al-Qur’an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh segelintir kaum liberal di Indonesia.
Dari pendekatan garis historis, bisa disimpulkan bahwa para kaum orientalis barat memang memiliki ambisi untuk mengkaji al-Qur’an. Setelah mereka semua merasakan kekecewaan terhadap hasil kajian mereka terhadap Bibble. Mereka semua menyatakan “kitab Bibble ini sudah tidak orsinil, kendati, banyak hasil pikir para umat terdahulu”. Perkatan ini bisa dilihat dari pernyataan Saint Jerome. Oleh sebab itu, dari hasil kekecewaan merekalah, mreka semua ingin sekali mengupas dan meneliti al-Qur’an. Sehingga, tidak jarang para kaum orientalis di zaman sekarang, lebih-lebih di zaman Theodor Noldeke, salah satu kaum orientalis yang berani mengatkan bahwa al-Qur’an hasil plagiat dari kitab-kitab sebelumnya.
2.      Pendekatan Secara Metodolgis
Secara metodologi kajian al-qur’an yang dilakukan oleh para Orientalis adalah dengan menggunakan metode hermeunetika layaknya mereka lakukan pada kajian Bible. Hermeneutika sebenarnya adalah bentuk dari metode keilmuan filsafat yang mendasarkan pada pemahaman teks. Teks di sini dimaksudkan adalah teks-teks suatu naskah yang perlu dikaji secara mendalam dan hasilnya ditemukan makna sesuai dengan konteks.
Secara harfiah hermeunetik, artinya ‘tafsir’. Secara etimologis, istilah hermeunetika dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh metologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama hermeneutika (Mercurius). Di kalangan pendukung hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris. Dalam mitologi Yunani Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani, Hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filsafat barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Di satu sisi banyak yang ditemui oleh para Orientalis ketika mengkaji teks Bibel yang mereka anggap teks itu sudah direkayasa dan bersifat manusiawi, maka berangkat dari itu Bible memungkinkan menerima berbagai metode penafsiran Hermeneutika, dan menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarah.
Sejarah mencatat bahwa jauh sebelum gerakan ini, telah banyak penulis yang mengajukan hermeneutika sebagai alternatif metode penafsiran Al-Qur’an, namun mereka gagal dan tidak berhasil. Alphonse Mingana misalnya, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham-Inggris, pada tahun 1927 mengatakan, “sudah saatnya untuk melakukan kritik terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana telah dilakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arani dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”.
Berdasarakan pengalaman yang menimpa penganut Kristen, hermeneutika telah menimbulkan pertikaian hingga pertumpahan darah. Pecahnya Kristen menjadi Katholik dan Protestan adalah hasil sumbangan dari hermeneutika. Jadi, semboyan pengusung hermeneutika “untuk menghindarkan perpecahan umat dalam penafsiran Al-Qur’an maka dibutuhkan alternatif baru (sebenarnya sudah klasik) yaitu hermeneutika yang masih perlu dikaji maksud dan tujuannya.
Ilmuwan barat menjelaskan bahwa maksud dan tujuan hermeneutik adalah sebagai metode tafsir tersendiri atau salah satu filsafat tentang penafsiran yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir alqur-an. Di kalangan Kristen penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bibel sudah sangat lazim digunakan walaupun tidak jarang menimbulkan perdebatan.
Kalau kita kembali untuk mengkaji ilmu-ilmu alqur’an seperti ilmu Asbabun nuzul, nasakh mansukh,dll. Sebenarnya adalah suatu keniscayaan yang harus dipelajari umat Islam terlebih dahulu sebelum mengkaji metode hermeneutika. Karena seperti apa yang diungkapkan oleh Dr.V.Groenen salah satu pemuka Kristen yang sadar akan perbedaan antara konsep teks al-qur’an dengan Bibel. Al-qur’an bukanlah kitab yang mendapatkan inspirasi dari tuhan sebagaimana dalam konsep Bibel, tetapi al-qur’an adalah kitab tanzil, lafdzhan wa ma’nan (lafadz dan maknanya) dari Allah. Konsep ini berbeda dengan konsep teks dalam Bibel, yang merupakan teks yang ditulis manusia yang mendapatkan inspirasi dari Roh kudus.
Menanggapi upaya untuk membedakan antara metode interpretasi kitab suci ‘tafsir’ yang digunakan oleh umat Islam dan Hermeneutika oleh kaum Orientalis barat. Seorang sarjana muslim terkemuka, Syekh Muhammad Naquib al-Attas, secara jelas menyatakan perbedaan antara tafsir dan hermeneutika. Ia mengemukakan bahwa Hermeneutika yang digunakan dalam teologi Kristen itu mempunyai latar belakang yang tersendiri yang berbeda dengan tafsir dalam tradisi Islam. Boleh jadi penemuan-penemuan melalui hermeneutika Bibel itu nantinya akan lebih menunjukkan lagi kebenaran al-Qur’an. Sehingga apa yang hilang pada Bibel dapat ditemukan dalam al-Qur’an.
Dalam dua pendekatan ingin memahami isi yang ada dalam al-Qur’an ini. Ternyta tidak mampu mereka semua (kaum orientalis) untuk menjtuhkan keontentikan al-qur’an. Sperti mana yang dikemukakan oleh Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham-Inggris, “sudah saatnya untuk melakukan kritik terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana telah dilakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arani dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani”.
Bahasa yang dia gunakan sebagai rasa kekecewaan, karena bagaimanpun mereka meneliti al-Qur’an hanya untuk mencari kesalahan dalam al-Qur’an bukan mencari kebenaran. Sehingga, teori metodologis yang pendekatanya melalui jalur teori hermeunetika, banyak melahirkan aliran-aliran yang memiliki faham untuk menyalahkan al-Qur’an dengan kata lain mengkredibilitaskan al-Qur’an. Maka keluarlah di tahun 1086 Theodor Noldeke yang mengatakan al-Qur’an tidak lain adalah kitab plagiatnya Muhammad dari kitab-kitab terdahulu.
Jika kembali ke pada bukunya Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A. “Mukjizat Al-Qur’an”
 maka ditemukan penjelasan tentang apakah al-Qur’an sebagai kitab plagiat? Atau hanya anggapan dusta dari kaum orientalis barat?
Dalam bukunya, Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A. Menyatakan “Al-Qur’an sendiri mengakui adanya persamaan, walaupun dalam saat yang sama, al-Qur’an menggaris bawahi bahwa disamping mempertegas dan membenarkan kitab-kitab suci yang lalu, al-Qur’an juga meluruskan kekeliruan-kekeliruan yang termaktub di dalam kitab para nabi terdahulu. Kekeliruan yang diakibatkan pleh campur tangan manusia dalam mengubah teks Wahyu Allah.” Pernyataan ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Al-Qur’an :
وأنزلنا إليك الكتاب مصدقا لما بين يديه من الكتب ومهيمنا عليه
“Kami telah turunkan al-Qur’an kepada mu dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang (dikandung) sebelumnya dan kitab (para nabi), serta batu ujian (tolok ukur kebenaran) terhadap( kitab-kitab itu).” (QS. Al-Maidah {5} : 48).
Dalam ayat lain dinyatakan :
وما كان هذا القران أن يفترى من دون الله ولكن تصديق الذي بين يديه وتفصيل الكتاب لاريب فيه من رب العالمين
“Tidak mungkin al-Qur’an ini bersumber dari selain Allah, tetapi (al-Qur’an) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Tiada keraguan di dalamnya (diturungkan) dari Tuhan semesta Alam.” (QS. Yunus {10} : 37).
                Sangat jelas sekali di ayat yang ke dua ini, pada hakikatnya al-Qur’an merupakan kitab paripurna yang tidak disempurnakan lagi oleh kitab-kitab yang lain. Sekaligus kitab yang membenarkan kitab-kitab sebekumnya. Meskiupun pada hakikatnya banyak kitab-kitab terdahulu sudah dirubah oleh umat nabi terdahulu.
            Dalam bukunya Prof. Dr. Issa J. Boullata, dia membantah pendapat kaum orientalis yang mengatakan al-Qur’an kitab plagiat sekaligus mengakui bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang sangat menakjubkan. Dia mengutip dari berbagi macam karya kaum intlektual muslim terkemuka. Semisal, Sayyid Qutub, Imam Syuty, dan masih banyak karya-karya lainya yang dia kutip untuk membantah pandang kaumnya dalam menyikapi hal keontentikan al-Quran.
            Lebih jelasnya pembaca bisa merujuk kembali karya penulis di link dibawah ini :

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...