Dari sekian
marak perbincangan akan tiga istilah di atas, penulis ingin menyuguhkan
hubungan dan pertentangan dari tiga istilah tersebut yang mana sempat
menyisahkan bekas sejarah bagi negeri ini. Negeri yang penuh dengan sejuta
faham, budaya dan keyakinan ini, sebagai landasan demi kesesuian tempat dan
toleransi sesama ummat yang beragama. Kendati toleransi yang selalu dijung-jung
tinggi, ummat yang satu kepada ummat lainnya saling mengasah dan mengasuh akan
adanya toleransi beragama.
Bagi penulis, toleransi agama itu
memang harus ada. Karena, hal ini sebagai upaya agar tidak adanya konflik atau
permasalahan antar agama. Namun, toleransi beragam bukan berarti sebagai terbukanya
pintu agar faham-faham luar bisa masuk leluasa. Karena tidak jarang jika
dilihat dan ditinjau kembali pemahaman ummat akan kata “Toleransi” itu sebagai
“memberikan leluasa kepada orang lain dengan rasa iba dan kasihan”. Yang perlu
digaris bawahi adalah toleransi beragama harus sesuai dengan hukum atau aturan
pakai yang sudah dibuat oleh masing-masing agama. karena, jika tidak demikian
akan berdampak negatif. Sehingga, tidak salah adanya liberalisme ini sebagai
toleransi untuk berfikir leluasa. Tak mandang aturan pakai yang telah dijadikan
konstitusi agama. hal ini membuat manusia menjadi linglung dengan apa yang
harus dianut. Manusia yang menggunakan faham ini, sering sekali melupakan
dasar-dasar agama. karena bagi mereka, akal merupakan pusat kebenaran yang
absolut.
Ijtihad merupakan dinamika agama.
bisa dilihat kembali artikel penulis dengan judul “ijitihad dinamika agama”. Menurut
imam tajuddin abdul wah’hab as’subki dalam kitabnya jamul jawami, ijtihad
menurut istilah adalah :
الاجتهاد هو
استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم
"ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan dari orang yang alim fiqhi
untuk menghasilkan sesuatu yang dhonni dari hukum islam”.
Menurut imam abi ishaq
ibrahim bin ali bin yusuf dalam kitabnya al-luma, ijtihad menurut istilah
adalah :
الاجتهاد في
عرف الفقهاء استفراغ الوسع وبذل المجتهد في طلب الحكم الشرعي
“ijtihad
dalam pandang ulama fiqhi adalah pengerahan segala kemampuan dan upaya seorang
mujtahid dalam menentukan hukum syar’i”.
Dari sini
ijtihad bisa disimpulkan dengan kata, “bersungguh-sungguhnya seorang penggali
hukum Allah untuk mengetahui mana dalil yang bersifat dhonni dan dalil yang
bersifat qota’i”.
Landasan atau dasar hukum diperbolehkanya ijtihad atas
dasar argumentasi yang bersifat naqil adalah:
فاعتبروا يا أولى الأبصار
“Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan”. (QS, al-Hasyr:2)
Kata i’tibar dalam ayat di atas adalah qiyas. Dan qiyas adalah ijtihad.
Hal ini dikemukakan oleh Dr. Muhammad Hassan Hitou dalam kitabnya “al-Wajiz
fi Ushul al-Tasyri al-Islami, hal. 368. Ayat ini sebagai dalil atas
diperkenankanya ijtihad dalam agama. Sedangkan jika dilihat dari sisi hadisnya
banyak seakali hadis-hadis nabi yang membuka peluang bagi ummatnya untuk
melakukan observasi hukum agama. Salah satu yang sangat familiar adalah hadis
yang tertuang dalam sunan Abi Daud yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal,
dalam hadis itu salah satu dialektika antar Nabi dengan Mu’adz dalam persoalan
memutuskan hukum dari al-Qur’an dan hadis. Hanya saja, ada segelintir kalimat
yang dijadikan sebagai kajiann oleh
sebgai pakar. Dalam kalimat :
أجتهد في رأيي ولا ألو
“Aku akan berijtihad dan aku tidak
mengabaikanya”
Dalam kalimat ajtahidu ra’yi
(aku akan berijtihad dengan menggunakan pendapatku) maksudnya adalah “Mu’adz
bin jabal bermaksud untuk berijtihad dalam mengembalikan keputusan hukum
melalui qiyas kepada makna (implisit) al-Qur’an dan Hadist”. Bukan bemaksud
untuk menggunakan pendapatnya sendiri tampa tinjaun dalil naqli
(semenah-menah). Hal ini tertuang dalam kitab Ma’alim al-Sunan, IV/18,
dicetak bersama kitab Sunan Abi Dawud.
Dari dua dalil naqli di
atas menurut penulis cukup untuk mengantarkan pembaca akan makna ijtihad
sendiri. Karena bagimanapun ijtihad, hanya berlaku ketika suatu kejadian tidak
ada hukumnya dalam dua sumber. Lantas bagaimana untuk sementara asumsi
seseorang mengenai terorisme sebagai ijtihad agama? apakah dibenarkan? Atau
mungkin sebagai bias untuk melucutkan islam? Adakah ada dalil naqli untuk
terorisme beragama? Bukankah terorisme sebagai pencitraan untuk menghilangkan
nilai-nilai toleransi? Manusia yang sejatinya memiliki hak untuk hidup, di
bom-bardir oleh kalangan garis keras ini. Maka justru itu, sekarang penulis
mengajak pembaca untuk memhami kolerasi antara ijtihad denga n terorisme.
Kata terorisme dalam
KBBI memiliki makna “kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai
tujuan politik”. Terorisme dalam pengertian ini spertinya sudah mengena kepada
sasaran yang kerap terjadi dibangsa ini. Terorisme yang isunya sebagai ijitahad
bagi kaum muslim dengan cara membom-bardirkan wilayah yang penduduknya
mayoritas non muslim. Semisal, organisasi Al-Qaeda (Tanzhim al-Qa’idah) yang
lebih familiar dengan sebutan laskar islam atas bimbingan Usmah Bin Ladin.
Organisasi ini sebagai organisasi
yang sempat muncul dipermukaan bumi. Ketika
terjadinya perang antara Afganistan dan Uni Soviet yang didalamnya
terdapat militansi dari kalangan Usamah bin ladin. Di sana, Usamah mengatakan
ke pada militansi “Bahwa peperangan ini merupakan wujud untuk mendirikan
kembali Negara Islam di dunia”. Begitu juga, sperti mana yang telah dikemukakan
oleh Syaikh Mamduh al-Harbi dalam bukunya Mausu’ah al-Firaq wa al-Mazhahib wa
al-Adyan al-Mu’ashirah, hal.209-210. “Front Islam Dunia untuk jihad melawan
Yahudi dan Kristen; Bahwa: “Setiap orang islam
wajib membunuh orang Amerika, baik sipil maupun militer, dan para sekutu mereka
di mana saja berada.”
Prof. Dr. Ali Mustofa
Ya’qub., M.A. menyebutnya sebagai metode “Tepuk Nyamuk”. Karena, ketika ada
seekor nyamuk menggigit seseorang. Maka, tindakan yang paling cepat dilakukan
oleh orang tersebut adalah menggebuk nyamuk itu dengan tanganya. Namun
sayangnya nyamuk tersebut lari menyisahkan bentol. Setelah nyamuk melarikan
diri, kemudian orang itu mencarinyan dan berhasil menemukan nyamuk yang lain.
Ketika ia hendak menggebuknya. Maka, nyamuk yang lain ini berkata. “Wahai
manusia, aku tidak menggigit dan tidak menyedot darahmu.” Manusia menjawab,
“Ya, tapi kamu sama-sama nyamuk, jadi aku akan tetap menggebukmu.” Mungkin
dengan metode inilah para pemimpin al-Qaidah berijtihad. Lanjut beliau.
Begitu juga yang terjadi
di bangsa ini, di mana bali sebagai incaran para kaum teroris. Bali yang
penduduknya lebih banyak non muslim dari pada muslimnya sebagai bias atas
iming-iming al-Qur’an. Karena dalil-dalil yang mereka gunakan adalah dalil yang
disalah artikan. Maka, sudah jelas kalau terorisme yang dibungkus dengan syara
ini hanya dusta belaka. Menagapa demikian? Mari kita lihat kembali argumentasi
mereka yang sudah menyalah artikan al-Qur’an.
واقتلوهم حيث ثقفتهم
وأخرجوهم من حيث أخرجكم والفتنة أشد من القتل
“Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusirmu. Dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan” (QS, al-Baqarah:191)
“Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusirmu. Dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan” (QS, al-Baqarah:191)
Mereka (para teroris) sudah sangat menunjukkan kebodohanya di bidang
bahasa Arab. Lebih-lebih ilmu al-Qur’an. Ayat di atas yang sebenarnya memiliki
kesinambungan erat dengan ayat yang sebelumnya ini. Hanya diartikan sepotong
saja. Sehingga, arti dan makna yang tersurat di dalamnya dijadikan pacuan hukum
“Bahwa memerangi untuk membunuh non muslim sebagai kewajiban agama”. Ayat
selanjutnya yang bisa meluruskan faham miring ini yang dianut oleh beberapa
kaum teroris bahkan dijadikan landasan hukum akan diperbolehkanya membunuh
orang yang beda agama dengan mereka. Meskipun orang itu tidak melakukan
keburukan kepdanya.
وقاتلوا في سبيل الله
الذين يقاتلونكم ولاتعتدوا إن الله لايحب المعتدين
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memperangimu, tetapi jangan melampui batas, sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas.” (QS, al-Baqarah:190)
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memperangimu, tetapi jangan melampui batas, sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas.” (QS, al-Baqarah:190)
Maksud dari dari kata
ganti “hum” (mereka) pada ayat 191, sebagaimana tersurat dalam ayat 190 di atas
adalah orang-orang yang memerangi kaum muslimin, bukan yang lain. Sehingga, bisa
disederhankan menjadi “Orang-orang kafir yang wajib diperangi adalah orang
kafir yang rusuh/merusuhi kaum muslimin. Bukan yang baik dan yang tidak
melakukan kesalahan.”
Sedangkan teroris
melakukan hal yang keluar sekali dalam ajaran islam tentunya. Kendati, di atas
sudah dijelaskan bahwa teroris memiliki tujuan untuk membangun negara islam
dengan cara membunuhn orang-orang non kafir yang tidak rusuh atau membuat onar
bagi kaum muslim. Tindakan ini, sangat jelas tida selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh al-Qua’an.
Ijtihad yang dianggap
sebagai terorisme atau sebaliknya itu, hanya sebagai topeng untuk menutupi
cella dalam menghancurkan agama lain. Mereka semua tidak sadar, padahal agama
mereka sendirilah yang pencitraanya ternodai oleh tingkah lakunya. Lalu di mana
istilah “Ijtihad Teroris”? apa mungkin hanya sebagai taming dalil buta? Merekalah
yang dalam istilah al-Qur’an disebut dengan “orang-orang yang hanya bisa
menggunakan dhoni sebagai argumentsi/pegangan hidup dalam segala keputusan”. Padahal,
orang-orang yang hanya bisa berperasangka itu tidak jauh beda dengan syetan.
No comments:
Post a Comment