Wednesday, 16 November 2016

Ijtihad, Terorisme, Dan Liberalisme

ITL 


          Dari sekian marak perbincangan akan tiga istilah di atas, penulis ingin menyuguhkan hubungan dan pertentangan dari tiga istilah tersebut yang mana sempat menyisahkan bekas sejarah bagi negeri ini. Negeri yang penuh dengan sejuta faham, budaya dan keyakinan ini, sebagai landasan demi kesesuian tempat dan toleransi sesama ummat yang beragama. Kendati toleransi yang selalu dijung-jung tinggi, ummat yang satu kepada ummat lainnya saling mengasah dan mengasuh akan adanya toleransi beragama.
            Bagi penulis, toleransi agama itu memang harus ada. Karena, hal ini sebagai upaya agar tidak adanya konflik atau permasalahan antar agama. Namun, toleransi beragam bukan berarti sebagai terbukanya pintu agar faham-faham luar bisa masuk leluasa. Karena tidak jarang jika dilihat dan ditinjau kembali pemahaman ummat akan kata “Toleransi” itu sebagai “memberikan leluasa kepada orang lain dengan rasa iba dan kasihan”. Yang perlu digaris bawahi adalah toleransi beragama harus sesuai dengan hukum atau aturan pakai yang sudah dibuat oleh masing-masing agama. karena, jika tidak demikian akan berdampak negatif. Sehingga, tidak salah adanya liberalisme ini sebagai toleransi untuk berfikir leluasa. Tak mandang aturan pakai yang telah dijadikan konstitusi agama. hal ini membuat manusia menjadi linglung dengan apa yang harus dianut. Manusia yang menggunakan faham ini, sering sekali melupakan dasar-dasar agama. karena bagi mereka, akal merupakan pusat kebenaran yang absolut.
            Ijtihad merupakan dinamika agama. bisa dilihat kembali artikel penulis dengan judul “ijitihad dinamika agama”. Menurut imam tajuddin abdul wah’hab as’subki dalam kitabnya jamul jawami, ijtihad menurut istilah adalah :
الاجتهاد هو استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم
"ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan dari orang yang alim fiqhi untuk menghasilkan sesuatu yang dhonni dari hukum islam”.
Menurut imam abi ishaq ibrahim bin ali bin yusuf dalam kitabnya al-luma, ijtihad menurut istilah adalah :
الاجتهاد في عرف الفقهاء استفراغ الوسع وبذل المجتهد في طلب الحكم الشرعي
ijtihad dalam pandang ulama fiqhi adalah pengerahan segala kemampuan dan upaya seorang mujtahid dalam menentukan hukum syar’i”.
Dari sini ijtihad bisa disimpulkan dengan kata, “bersungguh-sungguhnya seorang penggali hukum Allah untuk mengetahui mana dalil yang bersifat dhonni dan dalil yang bersifat qota’i”.
            Landasan atau dasar hukum diperbolehkanya ijtihad atas dasar argumentasi yang bersifat naqil adalah:
فاعتبروا يا أولى الأبصار
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS, al-Hasyr:2)
                Kata i’tibar dalam ayat di atas adalah qiyas. Dan qiyas adalah ijtihad. Hal ini dikemukakan oleh Dr. Muhammad Hassan Hitou dalam kitabnya “al-Wajiz fi Ushul al-Tasyri al-Islami, hal. 368. Ayat ini sebagai dalil atas diperkenankanya ijtihad dalam agama. Sedangkan jika dilihat dari sisi hadisnya banyak seakali hadis-hadis nabi yang membuka peluang bagi ummatnya untuk melakukan observasi hukum agama. Salah satu yang sangat familiar adalah hadis yang tertuang dalam sunan Abi Daud yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, dalam hadis itu salah satu dialektika antar Nabi dengan Mu’adz dalam persoalan memutuskan hukum dari al-Qur’an dan hadis. Hanya saja, ada segelintir kalimat yang dijadikan  sebagai kajiann oleh sebgai pakar. Dalam kalimat :
أجتهد في رأيي ولا ألو
“Aku akan berijtihad dan aku tidak mengabaikanya”
            Dalam kalimat ajtahidu ra’yi (aku akan berijtihad dengan menggunakan pendapatku) maksudnya adalah “Mu’adz bin jabal bermaksud untuk berijtihad dalam mengembalikan keputusan hukum melalui qiyas kepada makna (implisit) al-Qur’an dan Hadist”. Bukan bemaksud untuk menggunakan pendapatnya sendiri tampa tinjaun dalil naqli (semenah-menah). Hal ini tertuang dalam kitab Ma’alim al-Sunan, IV/18, dicetak bersama kitab Sunan Abi Dawud.
            Dari dua dalil naqli di atas menurut penulis cukup untuk mengantarkan pembaca akan makna ijtihad sendiri. Karena bagimanapun ijtihad, hanya berlaku ketika suatu kejadian tidak ada hukumnya dalam dua sumber. Lantas bagaimana untuk sementara asumsi seseorang mengenai terorisme sebagai ijtihad agama? apakah dibenarkan? Atau mungkin sebagai bias untuk melucutkan islam? Adakah ada dalil naqli untuk terorisme beragama? Bukankah terorisme sebagai pencitraan untuk menghilangkan nilai-nilai toleransi? Manusia yang sejatinya memiliki hak untuk hidup, di bom-bardir oleh kalangan garis keras ini. Maka justru itu, sekarang penulis mengajak pembaca untuk memhami kolerasi antara ijtihad denga n terorisme.
            Kata terorisme dalam KBBI memiliki makna “kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan politik”. Terorisme dalam pengertian ini spertinya sudah mengena kepada sasaran yang kerap terjadi dibangsa ini. Terorisme yang isunya sebagai ijitahad bagi kaum muslim dengan cara membom-bardirkan wilayah yang penduduknya mayoritas non muslim. Semisal, organisasi Al-Qaeda (Tanzhim al-Qa’idah) yang lebih familiar dengan sebutan laskar islam atas bimbingan Usmah Bin Ladin.
            Organisasi ini sebagai organisasi yang sempat muncul dipermukaan bumi. Ketika  terjadinya perang antara Afganistan dan Uni Soviet yang didalamnya terdapat militansi dari kalangan Usamah bin ladin. Di sana, Usamah mengatakan ke pada militansi “Bahwa peperangan ini merupakan wujud untuk mendirikan kembali Negara Islam di dunia”. Begitu juga, sperti mana yang telah dikemukakan oleh Syaikh Mamduh al-Harbi dalam bukunya Mausu’ah al-Firaq wa al-Mazhahib wa al-Adyan al-Mu’ashirah, hal.209-210. “Front Islam Dunia untuk jihad melawan Yahudi dan Kristen; Bahwa: “Setiap orang islam wajib membunuh orang Amerika, baik sipil maupun militer, dan para sekutu mereka di mana saja berada.”  
            Prof. Dr. Ali Mustofa Ya’qub., M.A. menyebutnya sebagai metode “Tepuk Nyamuk”. Karena, ketika ada seekor nyamuk menggigit seseorang. Maka, tindakan yang paling cepat dilakukan oleh orang tersebut adalah menggebuk nyamuk itu dengan tanganya. Namun sayangnya nyamuk tersebut lari menyisahkan bentol. Setelah nyamuk melarikan diri, kemudian orang itu mencarinyan dan berhasil menemukan nyamuk yang lain. Ketika ia hendak menggebuknya. Maka, nyamuk yang lain ini berkata. “Wahai manusia, aku tidak menggigit dan tidak menyedot darahmu.” Manusia menjawab, “Ya, tapi kamu sama-sama nyamuk, jadi aku akan tetap menggebukmu.” Mungkin dengan metode inilah para pemimpin al-Qaidah berijtihad. Lanjut beliau.
            Begitu juga yang terjadi di bangsa ini, di mana bali sebagai incaran para kaum teroris. Bali yang penduduknya lebih banyak non muslim dari pada muslimnya sebagai bias atas iming-iming al-Qur’an. Karena dalil-dalil yang mereka gunakan adalah dalil yang disalah artikan. Maka, sudah jelas kalau terorisme yang dibungkus dengan syara ini hanya dusta belaka. Menagapa demikian? Mari kita lihat kembali argumentasi mereka yang sudah menyalah artikan al-Qur’an.
واقتلوهم حيث ثقفتهم وأخرجوهم من حيث أخرجكم والفتنة أشد من القتل
“Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusirmu. Dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan” (QS, al-Baqarah:191)
                Mereka (para teroris) sudah sangat menunjukkan kebodohanya di bidang bahasa Arab. Lebih-lebih ilmu al-Qur’an. Ayat di atas yang sebenarnya memiliki kesinambungan erat dengan ayat yang sebelumnya ini. Hanya diartikan sepotong saja. Sehingga, arti dan makna yang tersurat di dalamnya dijadikan pacuan hukum “Bahwa memerangi untuk membunuh non muslim sebagai kewajiban agama”. Ayat selanjutnya yang bisa meluruskan faham miring ini yang dianut oleh beberapa kaum teroris bahkan dijadikan landasan hukum akan diperbolehkanya membunuh orang yang beda agama dengan mereka. Meskipun orang itu tidak melakukan keburukan kepdanya.
وقاتلوا في سبيل الله الذين يقاتلونكم ولاتعتدوا إن الله لايحب المعتدين
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memperangimu, tetapi jangan melampui batas, sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas.” (QS, al-Baqarah:190)
            Maksud dari dari kata ganti “hum” (mereka) pada ayat 191, sebagaimana tersurat dalam ayat 190 di atas adalah orang-orang yang memerangi kaum muslimin, bukan yang lain. Sehingga, bisa disederhankan menjadi “Orang-orang kafir yang wajib diperangi adalah orang kafir yang rusuh/merusuhi kaum muslimin. Bukan yang baik dan yang tidak melakukan kesalahan.”
            Sedangkan teroris melakukan hal yang keluar sekali dalam ajaran islam tentunya. Kendati, di atas sudah dijelaskan bahwa teroris memiliki tujuan untuk membangun negara islam dengan cara membunuhn orang-orang non kafir yang tidak rusuh atau membuat onar bagi kaum muslim. Tindakan ini, sangat jelas tida selaras dengan apa yang dikemukakan oleh al-Qua’an.

            Ijtihad yang dianggap sebagai terorisme atau sebaliknya itu, hanya sebagai topeng untuk menutupi cella dalam menghancurkan agama lain. Mereka semua tidak sadar, padahal agama mereka sendirilah yang pencitraanya ternodai oleh tingkah lakunya. Lalu di mana istilah “Ijtihad Teroris”? apa mungkin hanya sebagai taming dalil buta? Merekalah yang dalam istilah al-Qur’an disebut dengan “orang-orang yang hanya bisa menggunakan dhoni sebagai argumentsi/pegangan hidup dalam segala keputusan”. Padahal, orang-orang yang hanya bisa berperasangka itu tidak jauh beda dengan syetan.

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...