Menuju
islam yang tak lekang oleh waktu dengan sejuta kajian ilmiah dan hasil
penelitian hepotesis pembaca dari buku-buku yang berbobot. Sehingga, kehadiran
makahlah ini, akan membuat pembaca tergugah hatinya. Kendati di dalam makalah
ini membahas tentang “arti gaib menurut pandangan al-qur’an”.
Tak lepas dari
segala usaha, penulis ingin sekali mencurahkan rasa syukur dan ta’dim kepada
dat yang maha pemabantu semangat penulis dalam merampungkan kajian ilmiah ini
yang berupa makalah. Karena, sehabat apapaun manusia. Jika tidak disertai doa,
maka tidak bisa dibilang sukses. Doa tampa usaha, bagai pohon tak berbuah.
Begitu juga sebaliknya.
Karena penulis
telah berusaha semaksimal mungkin. Baik itu berupa membaca maupun mendengar
dari orang-orang yang intlektualnya mempuni dalam membantu penulis untuk
merampungkan kajian ilmiah ini. Maka, tak lepas dari itu semua. Penulis hanya
tinggal bersyukur akan apa yang telah jadi di dalam makalah ini.
Segala puji bagi
Allah yang maha entah dari hal-hal apapaun. Sholawat dan salam kepada prophet
for time yang telah membimbing kami dari jalan yang gelapa-gumintang menuju
jalan yang terang gemilang.
Maka lengkaplah
karya tulis ilmiah ini, dirampungkan pada tanggal 06, November, 2016 bertepatan
bulan syafar, tanggal 06,
Tahun 1438 H.
Berbicara masalah
gaib yang sempat menjadi trending topic di kalangan ummat yang beragama.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa setiap agama menyembah kepada sesuatu yang
gaib, sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh mata ataupun alat indera
lainnya. Begitu pun dengan agama Islam,
agama yang memiliki enam pilar ke imanan di setiap masing- masing pemeluknya.
sebagai umat Islam kita dituntut untuk mengimani sesuatu yang
bersifat gaib. Ini dapat dilihat dari rukun iman. Tapi sayangnya, pilar-pilar
ke imanan seseorang tidak akan sempurna jika tidak disertai satu dengan yang
lainya. Semisal, iman ke pada Allah saja belum cukup jika kita belum mengimani
yang lima secara utuh. Kendati kata iman sebagai nilai dasar ke islaman. Maka,
tidak dipungkiri lagi apa-apa yang ada dalam pilar-pilar iman harus di jalani
secara utuh dan menyeluruh.
Sesuai dengan definisi iman, iman adalah membenarkan dengan hati,
mengucapkan dengan lisan, dan mengerjakan dengan amal. Maka, sudah tampak
jelas. Bahwa yang dimaksud dengan iman kepada hal yang gaib di sini adalah iman
yang harus dengan 3 kategori di atas yang sesuai dengan difinisi iman sendiri.
Terlepas dari permasalahan di atas, bahwa setiap agama tidak akan
luput dengan yang namanya “iman kepada hal yang gaib”. Sehingga, dari sini
pemakalah ingin sekali menuangkan hasil baca penulis dalam rangka membumikan
keimanan yang telah lama pudar di kalanga ummat islam yang awam”
Menurut etimologi, kata gaib merupakan
teradopsi dari bentuk kata masdar. Dan awal katanya dari kata غاب – يغيب = ضد حضر yang artinya lawan dari hadir atau dengan kata
lain gaib artinya tidak ada. (Kamus Munjid, hal 562). Sedangkan, menurut
terminologi, sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan panca indra (kasat mata).
Dalam tafsir al-misbah disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ghaib adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat, diraba, dan
tidak diketahui hakikatnya. Dan lanjut Qurais Shihab dalam tafsirnya, ghaib
dalam ajaran islam itu dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah ghaib
mutlak dan ghaib relatif.
Adapun yang dimaksud dengan ghaib mutlak
adalah sesuatu yang tidak dapat diungkapkan sama sekali akan hakikatnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ghaib relatif adalah sesuatu yang dapat
diungkapakan hakikatnya. Semisal, iblis, jin, dan malaikat dalam alqur’an.
Sedangkan contoh dari ghaib mutlak adalah Allah.
Bisa disimpulkan bahwa maksuda dari pada kata
ghaib adalah “Di antara tampak dan tak tampak, di antara bisa diraba dan tidak
dirabah, begitu juga antara terlihat dan tak terlihat”. Inilah pengertian ghaib
meneurut pakar tafsir Indonesia terkemuka
Adapun unsur-unsur ghaib dalam tinjauan
al-qur’an sebagai berikut :
·
Tidak terlihat dengan panca indra
·
Tidak teraba dengan panca indra
·
Tidak diketahui hakikatnya
Yang dimaksud dengan pon 1 adalah ghaib yang
tak terlihat dengan panca indra. Semisal,
Allah tidak bisa dilihat dengan panca indra. Kendati, kata terlihat
menggunakan alat “Mata” dalam diri manusia. Maka, sudah jelas bahwa mata
manusia tidak mampu melihat Allah SWT.
Yang dimaksud dengan poin 2 adalah ghaib yang
tak teraba dengan panca indra. Semisal,
jin dan mahluk halus lainya. Jin dan mahluk halus tidak bisa dirabah.
Kendati, panca inda yang berupa “meraba” ini menggunakan tangan, lebih umumnya
kulit. Maka, sudah jelas, bahwa alat rabah manusia tidak akan mampu untuk
merabah wujud asli dari pada setan itu sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan poin 3 adalah
ghaib yang tidak diketahui hakikatnya. Semisal, Allah. Dengan kedua panca
indera diatas yaitu melihat dan meraba tidak dapat mengetahui hakikat Allah itu
sebenarnya seperti apa.
Surat
Al-baqarah ayat 3 yang sangat jelas berbicara ciri-ciri orang yang bertaqwa :
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوة ومما رزقنهم ينفقون (2)
Ayat 3 menyebutkan sebagian sifat-sifat orang yang
bertakwa: Pertama adalah percaya kepada yang gaib. Dijelaskan disini bahwa
sifat-sifat orang yang bertakwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib,
yang puncaknya adalah beriman kepada Allah swt.
Jika sesuatu telah dapat dilihat, diraba atau
diketahui hakikatnya, sesuatu itu bukan lagi gaib, sebaliknya jika tidak
diketahui hakikatnya, tidak dapat meilhat atau merabanya, dan atau Sunnah, ia
gaib dan menjadi objek iman.
Jika demikian, apa yang diimani pastilah
bersifat sesuatu yang abstrak, tidak terlihat atau terjangkau. Puncaknya adalah
percaya kepada wujud dan keesaan Allah serta informasi
informasi dariNya. Itulah sebabnya ada yang memahami kata بالغيب pada ayat di atas adalah Allah swt. Jadi, sifat pertama orang bertakwa adalah percaya kepada Allah swt. Kalau anda telah percaya kepada puncak itu dengan akal dan kalbu anda tanpa paksaan, apa yang diinformasikan olehNya itu terlepas apakah Anda tahu hakikatnya atau tidak tahu, Anda pasti akan tetap percaya.
informasi dariNya. Itulah sebabnya ada yang memahami kata بالغيب pada ayat di atas adalah Allah swt. Jadi, sifat pertama orang bertakwa adalah percaya kepada Allah swt. Kalau anda telah percaya kepada puncak itu dengan akal dan kalbu anda tanpa paksaan, apa yang diinformasikan olehNya itu terlepas apakah Anda tahu hakikatnya atau tidak tahu, Anda pasti akan tetap percaya.
Iman kepada yang ghaib adalah tangga yang
dilalui untuk meningkatkan diri dari tingkat binatang menuju tingkat yang
sering orang bilang dengan istilah “Insan Kamil”, sesuatu yang tidak
diketahui, tidak akan bisa dijangkau oleh pancaindranya. Sehingga, manusia yang
mendambakan sifat ini harus melalui tahapan-tahapan iman kepada yang ghaib.
Agar bisa menuju ke tingkat kemanusiaan yang hakiki.
Adapun cara-cara agar bisa mengimani yang
ghaib adalah bermula dari ketidak tahuan akan sesuatu yang tidak diketahui
olehnya. Semisal, contoh nabi ibrahim yang mencari hakikat Tuhan dalam
sayumbaranya. Pencarin Tuhan yang dilakukan oleh nabi Ibarahim ini sebagai
bukti bahwa beliau dari sifat ketidak tahuanya menjadi penasaran untuk ingin
tahu hakikat Tuhan yang memiliki alam dunia ini. Sehingga, benar pendapat
sementara pakar yang mengatakan bahwa “Anda harus percaya bukan karena anda
tahu, tetapi justru karena tidak tahu”.
Yang kedua dari pada ciri-ciri agar bisa
mengimani yang ghaib adalah seseorang harus menyadari wujud jauh lebih besar
dan lebih luas dari pada wilayah kecil dan terbatas yang dijangkau oleh indra
atau alat-alat yang merupakan kepanjangan tangan dari indra. Hal ini
dikemukakan oleh Sayyid Qutub dalam bukunya tafsir al-mannar. Semisal, wujud
Tuhan yang besar dan luas dari pada tempat yang terbatas baginya. Sehingga,
benar sementara judul buku yang dikarang oleh Prof. Dr. Qurais Shihab., M.A. “Dia
di mana-mana dan tak ke-mana-mana”. Yang memiliki arti bahwa Tuhan tak memiliki
tempat yang sifarnya terbatas dan kecil.
Bisa disimpulkan bahwa Gaib adalah sesuatu
yang tidak bisa dilihat, diraba ataupun diketahui hakikatnya. Kendati demikian,
maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa Tuhan kita adalah sesuatu yang gaib
karena tidak dapat dilihat, diraba apalagi diketahui hakikatnya. Namun, sebagai
manusia yang hakiki kita kita harus percaya terhadap sesuatu yang gaib. Karena
keimanan tertinggi itu ada jika kita mengimani sesuatu yang tidak nampak.
Unsur-unsur ghaib adalah tidak bisa dilihat,
dirabah, diketahui hakikatnya. Dan cara mengimani hal yang ghaib itu bermula
dari ketidak tahuan dan sadar akan wujud lebih luas dan lebih besar dari pada
wilayahnya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMantaaaap
ReplyDeleteTerimakasih atas ilmunya. Seperti biasa, typonya tolong lebih diperhatikan lagi. Sukses terus menulisnya Kanda Ali
ReplyDeleteDiterima kritik dan sarannya Yunda
Delete