Bismillah Dari Sudut Pandang Gramatika Arab
Sebelum
dan sesudahnya. Tema yang saya angkat ini merupakan tema dari sekian banyak
tema yang dikarang dan dibahas oleh Ulama-ulama. Mulai dari ulama klasik sampai
ulama kontemporer. Yang juga sempat
menjadi buah bibir dikalangan elit sampai kalangan menengah, dikalangan santri
sampai non santri, dan dari yang berprofesi dektorat hingga mahasiswa. Yang
memang sudah menjadi cikal-bakal mereka semua untuk bahan penelitian. Hingga
kinipun demikian maraknya kajian tentang bismillah. Yang tiada jera
bertukas-tukas untuk mengkupas kalimat yang pendek. Namun, penuh makna. Yang kata
orang alim ilmu balghanya adalah kalam ijaz.
Kajian ini sudah berhasil dikupas oleh beliau-beliau yang sudah
mendahulukan kita, Mulai dari sudut pandang hasiyat, sastra, sampai ke
mahabbahpun ada didalmnya. Oleh justru itu, saya disini hanya mengulang sekilas
info dan mengkaji dari hasil tadi malam saya mebaca kitab yang mashur dikenal
dan ma’lum dikalangan banyak orang. Yaitu, al-fiyah ibn al-maliky.
Lafad yang dalam ilmu balghanya dikatan kalam ijaz ini, banyak
makna jika kita lihat dari sudut pandang gramatika arab yang sering disebut ilmu nahwu oleh para santri. Coba
kita perhatikan mulai dari susunan, kalimat yang digunakan, hingga keserasian
dan kelarasan penggunaan kalimat satu dengan yang lainya.
Mulai dari lafad باسم الله , mungkin kita sempat ada sesuatu yang menjanggal dalam
hati kita. Mengapa Allah berfirman berwalan dengan huruf “Ba” kog bukan dengan
huruf jer lainya? Ada apa di dalam huruf tersebut? Mengapa langsung dengan nama
Allah ? sedang diayat lain Allah berfirman dengan lafad باسم ربك الذي خلق ? mengapa tidak berbunyi sperti ini بسم ربك الرحمن الرحيم ?. Mari kita jawab bersama.
Pertanyaan
pertama: “Ba” disini menurut ulama alim teologi berasumsi "بي
كان ما كان وبي يكون ما يكون" yang bermakna “sebab Allah sesuatu itu
ada”. Sehingga, sangatlah cocok bagi saya perkataan ulama teologi.
· Pertanyaan
kedau: menggunakan nama Allah langsung dikarnakan, sudah jelas semua orang
mendambakan cinta Allah. Jika demikian, sudah barang pasti kita menyebutnya
dengan nama yamg spesifik sifatnya. Sekarang anda bayangkan jika kalian dilanda
rindu oleh sosok yang kalian kagumkan. Pasti, akan terbersit nama aslinya yang
kalian sebut. Sebab, dengan nama itu kalian bisa tersenyum dan merasakan
besarnya cinta dan kerinduanya. Sedang, nama-nama Allah yang lain hanya sebagi
gombal-gembel kita kepadanya. Semisal, kita mau sesuatu kepadanya, bukankah
kita menyebet nama-nama Allah yang ada sangkut pautnya dengan zat yang maha
memberi. Nah disini kita bisa menarik kesimpulan. Bahwa, meneyebut nama asli
lebih baik bagi kalangan pecinta Allah dari pada masih terisi dengan nama lain.
Dan nama-nama yang 99 itu, terkumpul dilafad Allah.
Kita lanjut ke lafad berikutnya الرحمن
الرحيم, lagi-lagi kita dibuat berfikir tuk kesekian kalinya. Dalam
lafad ini kedudukanya menjadi apa? Jika kita katakan menjadi na’at manut atau
sifat mausuf sepertinya tidak pas. Sebab, ini bukan dari sifat Allah. Ini dari
salah satu nama-nama Allah yang ada di Asmul Husanah. Dan susunan sifat-mausuf
tidak diperkenankan hadir. Jika, terdiri dari isim alam. Dan mengapa para ulama
menafsirkan kedua lafad ini dengan makna. “yang berbeda” padahal dari satu akar
yang sama. Yaitu, رحم – يرحم yang artinya
“menyayangi”. Menjadi “kasih sayang Allah tuk semua alam didunia ini terdapat
dalam lafad الرحمن”. Sedang dalam lafad الرحيم hanya untuk orang muslim saja. Ada apa
dibalik penafsiran para ulama ini? Mari kita bahas bersama.
·
Pertanyaan
pertama: dalam kitab alfiyah diprolognya sudah dijelaskan secara detail. Bahwa
“tarkiban dalam lafad tersebut menjadi badal atau a’tof bayan. Sedang fungsi
dari a’tof bayan sendiri adalah tuk memperjelas bahwa hanya “Allahlah yang
rahman dan yang rohim”. Ini jika dilihat dari ilmu nahwu. Jika dilihat dari
sudut pandangan tata bahasa indonesia. Maka, berarti dua. Bisa menjadi sifat
dan bisa menjadi a’tof.
·
Pertanyaan
kedua: pastinya ulama mempunyai landasan tersendiri. Coba kita lihat lafad الرحمن yang mengikuti wazan فعلان ini. Dan literaratur gramatika arab setiap mauzun yang
mengikuti wazan ini, mempunyai makna “luas”. Semisal, lafad غضبان dan عطسان yang memang mengikuti
wazan tersebut. Yang sudah sepantasnya mempunyai makna. “luas dalam arti kasih
sayangNya di dunia”. Sdangkan, lafad الرحيم
ini, jika kita lihat dari literaratur gramatika arab mengikuti wazan فعيل yang mana, setiap mauzun yang mengikuti
wazan tersebut sifatnya individual. Sehingga, sudah sepantasnya para penafsir
meinterprestasikan lafad ini dengan makna “hanya sbagian oknum yang mendapatkan
kasih sayang Allah”. Islamlah yang dimaksud dari lafad ini. Demikian pula
seiring adanya pendapat ini, ada pula yang pro-kontra dalam dua lafad ini.
Semisal stetmen yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu al-qayyim. Yang berargumentasi
bahwa lafad الرحمن ini menunjukkan
“sifat kasih sayang kepada dat Allah. Sedang, lafad الرحيم
menunjukkan “sifat kasih sayang Allah kepada semua mahluq”. Hal ini,
bertentangan dengan hukum hasil pukul rata setatistik literatur gramatika arab.
Demikan selayang pandang saya mengenai kalam ijaz ini. Jika ada
yang kurang atau bertentangan dengan hukum hasil pukul rata setatistik
literatur gramatika arab. Saya mohon masukanya dan commentnya ok.
No comments:
Post a Comment