Tuesday 11 October 2016

Kajian Gramatika Arab

Bismillah Dari Sudut Pandang Gramatika Arab

          Sebelum dan sesudahnya. Tema yang saya angkat ini merupakan tema dari sekian banyak tema yang dikarang dan dibahas oleh Ulama-ulama. Mulai dari ulama klasik sampai ulama kontemporer. Yang  juga sempat menjadi buah bibir dikalangan elit sampai kalangan menengah, dikalangan santri sampai non santri, dan dari yang berprofesi dektorat hingga mahasiswa. Yang memang sudah menjadi cikal-bakal mereka semua untuk bahan penelitian. Hingga kinipun demikian maraknya kajian tentang bismillah. Yang tiada jera bertukas-tukas untuk mengkupas kalimat yang pendek. Namun, penuh makna. Yang kata orang alim ilmu balghanya adalah kalam ijaz.

Kajian ini sudah berhasil dikupas oleh beliau-beliau yang sudah mendahulukan kita, Mulai dari sudut pandang hasiyat, sastra, sampai ke mahabbahpun ada didalmnya. Oleh justru itu, saya disini hanya mengulang sekilas info dan mengkaji dari hasil tadi malam saya mebaca kitab yang mashur dikenal dan ma’lum dikalangan banyak orang. Yaitu, al-fiyah ibn al-maliky.

Lafad yang dalam ilmu balghanya dikatan kalam ijaz ini, banyak makna jika kita lihat dari sudut pandang gramatika arab yang sering  disebut ilmu nahwu oleh para santri. Coba kita perhatikan mulai dari susunan, kalimat yang digunakan, hingga keserasian dan kelarasan penggunaan kalimat satu dengan yang lainya.

Mulai dari lafad باسم الله , mungkin kita sempat ada sesuatu yang menjanggal dalam hati kita. Mengapa Allah berfirman berwalan dengan huruf “Ba” kog bukan dengan huruf jer lainya? Ada apa di dalam huruf tersebut? Mengapa langsung dengan nama Allah ? sedang diayat lain Allah berfirman dengan lafad باسم ربك الذي خلق ? mengapa tidak berbunyi sperti ini بسم ربك الرحمن الرحيم  ?. Mari kita jawab bersama.
   Pertanyaan pertama: “Ba” disini menurut ulama alim teologi berasumsi "بي كان ما كان وبي يكون ما يكون" yang bermakna “sebab Allah sesuatu itu ada”. Sehingga, sangatlah cocok bagi saya perkataan ulama teologi.
·        Pertanyaan kedau: menggunakan nama Allah langsung dikarnakan, sudah jelas semua orang mendambakan cinta Allah. Jika demikian, sudah barang pasti kita menyebutnya dengan nama yamg spesifik sifatnya. Sekarang anda bayangkan jika kalian dilanda rindu oleh sosok yang kalian kagumkan. Pasti, akan terbersit nama aslinya yang kalian sebut. Sebab, dengan nama itu kalian bisa tersenyum dan merasakan besarnya cinta dan kerinduanya. Sedang, nama-nama Allah yang lain hanya sebagi gombal-gembel kita kepadanya. Semisal, kita mau sesuatu kepadanya, bukankah kita menyebet nama-nama Allah yang ada sangkut pautnya dengan zat yang maha memberi. Nah disini kita bisa menarik kesimpulan. Bahwa, meneyebut nama asli lebih baik bagi kalangan pecinta Allah dari pada masih terisi dengan nama lain. Dan nama-nama yang 99 itu, terkumpul dilafad Allah.
Kita lanjut ke lafad berikutnya الرحمن الرحيم, lagi-lagi kita dibuat berfikir tuk kesekian kalinya. Dalam lafad ini kedudukanya menjadi apa? Jika kita katakan menjadi na’at manut atau sifat mausuf sepertinya tidak pas. Sebab, ini bukan dari sifat Allah. Ini dari salah satu nama-nama Allah yang ada di Asmul Husanah. Dan susunan sifat-mausuf tidak diperkenankan hadir. Jika, terdiri dari isim alam. Dan mengapa para ulama menafsirkan kedua lafad ini dengan makna. “yang berbeda” padahal dari satu akar yang sama. Yaitu, رحم – يرحم yang artinya “menyayangi”. Menjadi “kasih sayang Allah tuk semua alam didunia ini terdapat dalam lafad الرحمن”. Sedang dalam lafad الرحيم hanya untuk orang muslim saja. Ada apa dibalik penafsiran para ulama ini? Mari kita bahas bersama.

·         Pertanyaan pertama: dalam kitab alfiyah diprolognya sudah dijelaskan secara detail. Bahwa “tarkiban dalam lafad tersebut menjadi badal atau a’tof bayan. Sedang fungsi dari a’tof bayan sendiri adalah tuk memperjelas bahwa hanya “Allahlah yang rahman dan yang rohim”. Ini jika dilihat dari ilmu nahwu. Jika dilihat dari sudut pandangan tata bahasa indonesia. Maka, berarti dua. Bisa menjadi sifat dan bisa menjadi a’tof.

·         Pertanyaan kedua: pastinya ulama mempunyai landasan tersendiri. Coba kita lihat lafad الرحمن yang mengikuti wazan فعلان ini. Dan literaratur gramatika arab setiap mauzun yang mengikuti wazan ini, mempunyai makna “luas”. Semisal, lafad غضبان dan عطسان yang memang mengikuti wazan tersebut. Yang sudah sepantasnya mempunyai makna. “luas dalam arti kasih sayangNya di dunia”. Sdangkan, lafad الرحيم ini, jika kita lihat dari literaratur gramatika arab mengikuti wazan فعيل yang mana, setiap mauzun yang mengikuti wazan tersebut sifatnya individual. Sehingga, sudah sepantasnya para penafsir meinterprestasikan lafad ini dengan makna “hanya sbagian oknum yang mendapatkan kasih sayang Allah”. Islamlah yang dimaksud dari lafad ini. Demikian pula seiring adanya pendapat ini, ada pula yang pro-kontra dalam dua lafad ini. Semisal stetmen yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu al-qayyim. Yang berargumentasi bahwa lafad الرحمن ini menunjukkan “sifat kasih sayang kepada dat Allah. Sedang, lafad الرحيم menunjukkan “sifat kasih sayang Allah kepada semua mahluq”. Hal ini, bertentangan dengan hukum hasil pukul rata setatistik literatur gramatika arab.
Demikan selayang pandang saya mengenai kalam ijaz ini. Jika ada yang kurang atau bertentangan dengan hukum hasil pukul rata setatistik literatur gramatika arab. Saya mohon masukanya dan commentnya ok.


No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...