Iman dan Doa
Banyak
orang masih mempertanyakan hubungan antara iman dan doa. Padahal, jika penulis
boleh jujur, bagimana mungkin orang mu’min tidak berdoa? Mungkinkah, manusia
yang percaya akan segala kekuasaan-Nya tidak memohon harapan apapun kepada-Nya?
Dan haruskah, jika memang orang-orang yang memiliki mentalitas keimanan yang
kuat bermohon atau meminta sesuatu yang ia inginkan kepada dat yang Maha Kaya? Di
sinilah penulis berusaha menjawab dari berbagai pertanyaan di atas.
Menoleh kepada masa silam yang
bercahaya, di mana Nabi Muhammad merupakan Nabi dari sekian banyak para Nabi
yang diberi kelebihan oleh Allah berupa gelar ma’sum dan deberi kelebihan yang
sangat banyak diketahui oleh maraknya orang. Katakanlah nilai dasar ke
imanannya kepada Allah tidak lagi bisa diragukan. Beliau bukan hanya sebagai
Rasull, Nabi, ataupun yang lain. Jauh lebih penting dari pada itu adalah budi
pekertinya yang merupakan al-Qur’an. Oleh sebab itu, beliau di utus ke muka
bumi ini tidak memiliki tujuan yang paling mulia kecuali adalah menyempurnakan
akhlaq. Dan ketika ada salah satu sahabat bertanya kepada Aisyah ra. Tentang
prilaku beliau, maka Aisyah menjwabnya dengan “akhlaqnya (Muhammad) adalah
al-Qur’an”.
Sudah semestinya di katakan bahwa, sekelas
Nabi Muhammad saja yang “Perfect” masih berdoa kepada Allah, apalagi seperti
kita? Hal ini mengajarkan bahwa, semakin kuat imannya seseorang kepada Allah,
semakin kuat pula doanya. Bagaimana tidak? Bukankah orang yang memohon
merupakan orang yang menujukkan jati dirinya dihadapan Allah, Mengaku bahwa
dirinya adalah hina, lemah, dan tidak memiliki daya dan upaya?
Nabi tidak pernah lepas dengan
berdoa dalam setiap harinya. Mu’min, muhsin, apalagi dengan gelar muslim. Tiga gelar
yang diraih secara serentakpun beliau masih saja berdoa. Inilah sebuah gambaran
bahwa manusia tidak akan lekang oleh waktu dan tidak akan pupus ditelan zaman
dengan yang namanya “Permohona”. Kalau mengambil kepada sifat dasar manusia di
hadapan Allah adalah lemah (tidak memiliki daya dan upaya). Bagaimanapun ia
ingin semenah-menah di muka bumi ini, pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Oleh
sebab itu, keluar sebuah ungkapan “senang lupa pada Tuhan, ketika sulit/susah
ia merengek-rengek dihadapa-Nya” kalau bisa meneteskan air mata buaya. Inilah sebuah
permisalan bahwa Orang yang imannya belum kuat, ketika susah saja masih berdoa
(memohon). Apalagi dengan orang mu’min? Semakian dia mu’min, semakin tampak
pula kelemahannya di hadapan Allah. Inilah yang M. Qurais Shihab katakan dalam
bukunya “Lentera al-Qur’an”, orang yang beroda adalah orang yang menunjukkan
dirinya itu lemah. Kelemahan itu merupakan tingkat kesadaran yang paling dasar
bagi orang mu’min di hadapan Allah.
Kiranya bisa di simpulkan bahwa, “Hanya
orang-orang yang lemah saja di hadapan Allah adalah orang yang beriman. Dan hanya
orang yang berimanlah yang menadakan tangannya (berdoa kepada-Nya).
Mungkin ini sebabnya,
mengapa dalam selogan HMI, tidak ada kata doa? Karena iman saja sudah cukup
mewakili ketidak hadiran kata doa di dalamnya. Di HMI di ajarkan untuk meyakini
dengan iman terlebih dahulu agar tahu, betapa mendasarnya nilai keimaman itu. Sedangkan
usaha dengan ilmu di letakkan setalah iman, karena bagaimana mungkin melakukan
sesuatu tanpa ilmu? Sedangkan wujud dari ilmu yang di usahakan tersebut menjadi
amal yang dimakbul oleh Allah. Karena, hanya usaha dengan ilmu lah yang Allah
terima amalnya. Lalu pertanyaan berikutnya adalah kapan doanya? Kenapa hanya
percaya, lalu usaha, ? bukankah tanpa doa juga kurang sempurna? Dalam imanlah
doa akan timbul setelah melakukan usaha. Itulah sebabnya, sifat sabar, taqwa,
dan tawakkal hanya di miliki oleh orang-orang yang mu’min. Tawakkal merupakan
wujud asli dari doa yang penulis singgung di atas yaitu, semua di kembalikan ke
pada Allah karena manusia tidak memliki daya dan upaya untuk menentukan sukses
atau tidaknya. Akan tetapi, Allah lah yang menentukan hal itu semua. Di sinilah,
manusia mengakui kelemahannya yang berbentuk doa dan berisi tawakkal.
No comments:
Post a Comment