المفاهم عن معان البدعة
كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas;
Dalam Ilmu Balaghah dikatakan,
حدف الصفة على الموصوف
“membuang sifat dari benda yang bersifat”.
Jadi jika ditulis lengkap dengan sifat dari bid'ah kemungkina nnya adalah
a. Kemungkina n pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Semua "bid’ah yang baik" itu sesat (dholalah) , dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
b. Kemungkina n kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِىالنَّاِ ر
Semua "bid’ah yang jelek" itu sesat (dholalah) , dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka
Jadi kesimpulan nya bid'ah yang sesat masuk neraka adalah bid'ah sayyiah (bid'ah yang jelek).
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda “Jauhilah oleh kalian perkara baru, karena sesuatu yang baru (di dalam agama) adalah bid’ah , kullu bid''ah dholalah (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi & Hakim)
Telah menceritak an kepada kami Ya’qub telah menceritak an kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallah u ‘anha berkata; Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam "urusan kami " ini yang tidak ada perintahny a maka perkara itu tertolak“. Diriwayatk an pula oleh ‘Abdullah bin Ja’far Al Makhramiy dan ‘Abdul Wahid bin Abu ‘Aun dari Sa’ad bin Ibrahim (HR Bukhari 2499)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguh nya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggal kan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjaka n berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamk an sesuatu (dikerjaka n berdosa), maka jangan kamu pertengkar kan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincang kan dia.” (Riwayat Daraquthni , dihasankan oleh an-Nawawi)
Dari keempat hadits di atas dapat diketahui bahwa bid'ah yang sayyiah (jelek) adalah bid'ah dalam urusan agama atau "urusan kami" atau perkara syariat (segala perkara yang telah disyariatk anNya/ diwajibkanN ya) atau mengada-ad a dalam urusan yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkan nya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNy a, mengharamk an sesuatu yang tidak diharamkan Nya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Nya.
Sedangkan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam menyampaik an bahwa contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat , baik atau buruk, ke dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَش ِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَن ِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِي ِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَا بِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْه ُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَة ِ فَأَبْطَئُ وا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَا رِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُو ا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَا مِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِم ْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَا مِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِه ِمْ شَيْءٌ
Telah menceritak an kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritak an kepada kami Jarir bin ‘Abdul Hamid dari Al A’masy dari Musa bin ‘Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari ‘Abdurrahm an bin Hilal Al ‘Absi dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhati kan kondisi mereka yang menyedihka n. Selain itu, mereka pun sangat membutuhka n pertolonga n.
Akhirnya, Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam menganjurk an para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanak an anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata; ‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbang kan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-oran g Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallah u ‘alaihi wasallam.’ Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatka n pahalanya dan pahala orang-oran g yang mengamalka n sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pah ala mereka sedikitpun . Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatka n dosanya dan dosa orang-oran g yang mengamalka n sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun .” (HR Muslim 4830)
Hadits di atas diriwayatk an juga dalam Sunan An-Nasa‘i no.2554, Sunan At-Tirmidz i no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203, Musnad Ahmad 5/ 357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang lainnya.
Arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah bukanlah sunnah Rasulullah atau hadits atau sunnah (mandub) karena tentu tidak ada sunnah Rasulullah yang sayyiah, tidak ada hadits yang sayyiah dan tidak ada perkara sunnah (mandub) yang sayyiah
Jadi arti kata sunnah dalam sunnah hasanah atau sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru, sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya
Kesimpulan nya,
Sunnah hasanah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah hasanah
Sunnah sayyiah adalah contoh atau suri tauladan atau perkara baru di luar perkara syariat yang bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits , termasuk ke dalam bid’ah dholalah
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh, contohnya Imam Syafi’i ~rahimahul lah menyampaik an
قاَلَ الشّاَفِعِ ي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْ دَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah ) dan bertentang an dengan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataa n sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah ) dan tidak bertentang an dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth- Thalibin –Juz 1 hal. 313).
Contoh sunnah sayyiah (termasuk bid’ah dholalah) yakni perkara baru atau mencontohk an atau meneladank an perkara di luar perkara syariat yang bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits, perbuatan memperguna kan jejaring sosial facebook untuk bergunjing , menghasut, mencela, menghujat saudara muslim lainnya
Contoh sunnah hasanah (termasuk bid’ah hasanah) perkara baru atau mencontohk an atau meneladank an perkara di luar perkara syariat yang tidak bertentang an dengan Al Qur’an dan Hadits, perbuatan memperguna kan jejaring sosial facebook untuk menyampaik an apa yang disampaika n oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam atau sekedar memperguna kannya untuk membaca dan memahami uraian agama dalam rangka tholabul ilmi.
Jadi kullu bid'ah menerima pengecuali an pada bid'ah di luar perkara syariat yang tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits
Hal ini sesuai pula jika ditinjau dari ilmu nahwu
Kalimat bid'ah (بدعة) di sini adalah bentuk ISIM (kata benda) bukan FI'IL (kata kerja).
Dalam ilmu nahwu menurut kategoriny a Isim terbagi 2 yakni Isim Ma'rifat (tertentu) dan Isim Nakirah (umum).
Nah.. kata BID'AH ini bukanlah
1. Isim dhomir
2. Isim alam
3. Isim isyaroh
4. Isim maushul
5. Ber alif lam
yang merupakan bagian dari Isim Ma'rifat.
Jadi kalimat bid'ah di sini adalah Isim Nakiroh dan KULLU di sana berarti tidak ber-idhofa h (bersandar ) kepada salah satu dari yang 5 di atas. Seandainya KULLU ber-idhofa h kepada salah satu yang 5 di atas, maka ia akan menjadi ma'rifat. Tapi pada 'KULLU BID'AH', ia ber-idhofa h kepada nakiroh. Sehingga dhalalah-n ya adalah bersifat ‘am (umum). Sedangkan setiap hal yang bersifat umum pastilah menerima pengecuali an.
Ulama yang sholeh, bersanad ilmu tersambung kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam seperti Imam Nawawi ra yang bermazhab Syafi'i mengatakan
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامّ ٌ مَخْصٍُوْص ٌ وَالْمُرَا دُ غَالِبُ الْبِدَعِ .
“Sabda Nabi Shallallah u alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauann ya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya .” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Hadits “Kullu Bid’ah dlalalah” berdasarka n ilmu atau menurut tata bahasanya ialah ‘Amm Makhshush, artinya “makna bid’ah lebih luas dari makna sesat” sehingga “setiap sesat adalah bid’ah akan tetapi tidak setiap bid’ah adalah sesat”.
Sebagian ulama berpendapa t bahwa pengecuali an itu pada perkara baru "urusan dunia" atau bid’ah duniawiyya h.
Sangat keliru jika berpendapa t bahwa bid'ah yang diperboleh kan atau bid'ah yang tidak masuk neraka adalah bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyya h) karena bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyya h) ada yang hasanah (baik) dan ada pula yang sayyiah (buruk).
Tidak boleh kita mengeneral isir bahwa setiap bid'ah urusan dunia (bid’ah duniawiyya h) adalah boleh atau baik sebagaiman a kaum sekulerism e menyalahgu nakan hadits, ”wa antum a’lamu bi amri dunyakum, “dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-uru san duniamu”. (HR. Muslim 4358). Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/05/06/ urusan-duni a/
Bidah (perkara baru) "urusan dunia" atau bid'ah duniawiyya h harus pula ditetapkan kedalam hukum taklifi yang lima (haram, makruh, wajib, sunnah, dan mubah). Jika setiap akan melakukan perbuatan dan merujuk kepada hukum taklifi yang lima maka termasuk perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits.
Perbuatan merujuk dengan Al Qur’an dan Hadits seperti itulah termasuk ke dalam dzikrullah (mengingat Allah) atau memandang Allah ta'ala sebelum melakukan perbuatan, sebagaiman a Ulil Albab, kaum muslim yang menggunaka n lubb atau akal qalbu atau muslim yang menundukka n akal pikirannya kepada akal qalbu sebagaiman a yang telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/01/29/ tundukkan-a kal-pikira n/
Ulil Albab sebagaiman a firman Allah yang artinya,
“(yaitu) orang-oran g yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptaka n ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharala h kami dari siksa neraka” (Ali Imran: 191).
“Allah menganuger ahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendak i-Nya. Dan barangsiap a yang dianugerah i hikmah, ia benar-bena r telah dianugerah i karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadan ya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Jadi segala perbuatan atau segala urusan dunia yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallah u alaihi wasallam termasuk dalam perkara baru (bid’ah) di luar perkara syariat atau di luar apa yang telah disyariatk anNya (diwajibka nNya) jika bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk bid'ah dholalah dan jika tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk bid'ah hasanah atau sunnah hasanah.
Kesimpulam akhir adalah,
Siapa yang melakukan sunnah hasanah yakni mencontohk an atau meneladank an atau membuat perkara baru (bid'ah) di luar perkara syariat yang tidak bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits maka ia mendapatka n pahalanya dan pahala orang-oran g yang mengamalka n perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pah ala mereka sedikitpun . Dan siapa melakukan sunnah sayyiah yakni yang mencontohk an atau meneladank an atau membuat perkara baru (bid'ah) di luar perkara syariat yang bertentang an dengan Al Qur'an dan Hadits, maka ia mendapatka n dosanya dan dosa orang-oran g yang mengamalka n perbuatan tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun .
Jadi para ulama yang sholeh yang membuat Ratib al Haddad, sholawat nariyah, sholawat badar, qasidah burdah, maulid barzanji atau orang yang pertama kali mengadakan peringatan Maulid Nabi maka ia akan mendapatka n pahalanya dan pahala-pah ala dari orang-oran g yang mengamalka nnya.
Perlu diketahui, contohnya kitab Barzanji ditulis oleh ulama yang sholeh dari keturunan cucu Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yang mendapatka n pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada lisannya Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatka n pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yakni Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.
Sayyid Ja’far adalah seorang mufti di Madinah , tentu kita tahu bagaimana kompetensi mufti pada zaman dahulu. Datuk-datu k Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihan nya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakku r, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah ,dan pemurah. Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri. Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanj i, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatull ah Al-Hindi.
Sayid Ja’far Al-Barzanj i telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah
Sebaliknya mereka yang melarang peringatan Maulid Nabi, Ratib al Haddad, sholawat nariyah, sholawat badar, qasidah burdah, maulid barzanji menjadikan mereka terjerumus menjadi ahli bid'ah yakni mengada ada dalam urusan agama atau mengada ada dalam "urusan kami" atau mengada ada dalam perkara syariat (segala perkara yang telah disyariatk anNya/ diwajibkanN ya) atau mengada-ad a dalam urusan yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkan nya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNy a.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah ! Tuhanku hanya mengharamk an hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadany a dan apa yang tersembuny i dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutuk an Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui .” (QS al-A’raf: 32-33)
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “Aku ciptakan hamba-hamb aKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokka n mereka dari agamanya, dan mengharamk an atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaru hi supaya mereka mau menyekutuk an Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalk an sesuatu bagi mereka, mereka menganggap nya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamk an bagi mereka sesuatu, mereka mengharamk annya“
Pada riwayat yang lain disebutkan , Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalk an sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutin ya. Yang demikian itulah penyembaha nnya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Demikianla h betapa halusnya hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi agar mereka memahami Al Qur'an dan Hadits dengan makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahk an saja” berdasarka n arti bahasa (lughot) dan istilah (terminolo gi). Hal ini umum terjadi pada mereka yang memahami agama berlandask an muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri.
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits atau berpendapa t atau berfatwa harus berdasarka n ilmu. Sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam dan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.
Mereka tidak memperhati kan ilmu-ilmu yang bersangkut an dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’). Mereka tidak juga memperhati kan sifat lafadz-laf adz dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat dan lain lainnya.
Begitupula dengan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarka n oleh kaum Zionis Yahudi agar mereka memahami Al Qur'an dan Hadits dengan makna dzahir selain dapat menjerumus kan mereka menjadi ahli bid'ah adalah menjurumus kan mereka kedalam kekufuran dalam i'tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaiman a tangan makhluk (jisim-jis im lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
Barangsiap a mengi’tiqa dkan (meyakinka n) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jis im lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhn ya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Salaf yang sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-had its yang di dalamnya ada sifat-sifa t Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanla h ia sebagaiman a ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyalla hu anhu mengatakan :
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه
“Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsiranny a adalah bacaannya (tilawahny a) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyalla hu anhu ingin memalingka n kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu : tafsiranny a adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti huruf-perh urufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-laf azh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqo dkan berdasarka n maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupa an), sebab lafazh-laf azh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.
Terhadap lafazh-laf azh ayat sifat , Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimanin ya dan tidak –secara mendetail– membahasny a dan membicarak annya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh”
Keterjerum usan kekufuran dalam i'tiqod adalah hal yang dialami oleh ulama Ibnu Taimiyyah sebagaiman a yang disampaika n oleh ulama-ulam a terdahulu seperti dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/07/28/ semula-berm azhab-hamb ali/ atau pada http:// mutiarazuhu d.files.wo rdpress.co m/2010/02/ ahlussunnah bantahtaim iyah.pdf
Bahkan karena kesalahpah amannya mengakibat kan Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaiman a dapat diketahui dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/04/13/ ke-langit-d unia
No comments:
Post a Comment