Friday 21 October 2016

Cerpen Filsafat

Mengapa kita masuk islam?



          Mungkin malam ini malam yang tak begitu indah di bandingkan dengan malam-malam sebelumnya. Yang biasanya aku dapat kabar darinya, menanyakan kabar dan mengkaji masa depan hubungan kita berdua. Malam ini tiada bunyi henpone yang aku dengar. Padahal penantian tak terbilang dengan lisan.
              Kesedihan selalu menghantuiku, bayanganya selalu ada dalam angan-anganku, aku tak mengerti apa mungkin ini yang dinamakan cinta atau hanya bias nafsu agar lekas bertemu kembali, untuk meluapkan rasa rindu ini hanyala dengan bertemu. Aku ngerti bahakan kelewat faham (ladduni) bahwa rindu akan bisa dijamui dan terobati jika kita berdua saling tatap muka, menuwangkan rasa, dan bercanda gurau di tempat itu.
            Di tempat aku menyatakan cinta, auditorium harun nasutionlah saksi bisu cintaku padanya. Dengan jari jemari yang gemetar, kaki yang tak bisa diam, dan bibir yang agak sedikit struk untuk mengatakan cinta padanya pada waktu itu. Tapi sayang, malam ini seakan sepi tak berwarna. Aku butuh dia, aku butuh kabarnya, aku ingin sekali dia menelponku lalu mengtakan satu ucap kalimat “Kanda Thahir.... semangat ia yang belajar...!!!”. hanya kata-kata ini yang aku tunggu pada malam-malam jemuku. Tapi sudahlah mungkin ini yang dinamakan harapan semu. Harapn yang tak akan terjadi dalam malamku ini.
            Aku pun terdiam dalam asa dan angan. Berfikir bagaiman caranya menepis bayangan-bayangan itu. Tapi kenapa terdengar  bunyi sandal seseorang dari lorong jalan, terdengar keras. Merobek gendang telingaku, hingga membuatku buyar dari lamunan yang berkepanjangan itu.  Ternyta ada sosok laki-laki yang tak asing lagi di muka. Dia adalah lelaki berintlektula tinggi, berkulit putih langsat, dan bermulut kemerah-merahan bak wanita perawan desa. Hafid vanes namanya. Asal madura, kuliah di Universitas Bungkarno.
            Sapahan senyumnya membuat hatiku rapuh, matanya yang berkaca-kaca melihatku membuat diriku tambah kacau-balau. Tapi, aku mendaptkan sedikit kebahagian akan kehadiran sosok laki-laki itu.
“li kamu sendiri aja di sini?”. Tanyanya dengan mimik muka berseri-seri.
“Ouh Kamu kaka, iya nih aku lagi merenungi masa depan yang suram”. Jawabku agak lemas.
“Waduh.... kenapa bisa begitu?”. Tanyanya agak bawel.
“Udahlah kaka.. jangan nanya mulu, hati dan pikiranku belum menyatu”. Bentakku.
“Ouh maaf li, jika ada salah dalam ucapanku”. Serasa bersalah dalam dirinya.
            Ia rangkulkan tanganya kebahu sebelah kananku sembari mengelus-ngelus bahu dan rambutku. Entah apa yang ia maksud? Aku tak tau pasti tujuan ia duduk di sampingku. Tapi, yakinku ia melakukan hal yang baik. Sekiranya aku bisa lepas dari beban fikiranku ini.
            Membuka topik yang baru, dengan sebuah pertanyanya yang memukau pikiran, mengajak ke alam bebas dalam pikiran yang luas. Ya kaka hafid sedang mengoceh layakanya burung perkutut. Bukanya dengan kebiasaan senyumnya.
“Ali.... tidak ada niat sedikitpun ya, untuk mengetes keilmuan yang kamu punya. Krena jujur, aku mau nanya ke kamu. Kenapa kamu masuk islam?”. Tanyanya dengan senyum.
“Ya, krena orang tuaku beragama islam ka”. Jawabku dengan tenang.
“Lah, berarti kamu islam keturunan dong?”. Tanyanya dengan nada sinis.
“Bisa jadi kaka hafid”. Lagi-lagi dengan penuh ketenangan.
“Apakah kamu nerima? Jika ada orang diluar islam menanyakan tentang hal ini. Dan kamu menjawab islam keturunan...!!!”.
“Entahlah, memang apa yang kamu inginkan ka? Apa dengan dalil atau dengan akal saja?” tanya dengan nada nantang.
“Aku minta jawaban dari dua dalil itu li. Naqli dan aqli”. Surunya dengan nada pelan.
“Ok begini aja ka, pertanyaan itu akan saya jawab setelah pikiran saya tenang”. Jawabku dengan nada lemas dan memelan.
“Ok, kita lanjut besok. Saya masih punya kewajiban lain.” Akhirnya dengan senyum kembali.
“Siap Boooos....!!!”. jawabku mulai senyum.
            Beranjak sudah teman sperjuanganku dari samping dudukku. Kepergian dirinya membuat diriku semakin terbebani. Aku mulai merasa jenuh dengan beban pikiran ini. Seakan kehadiran sosok wanita yang aku cintai itu tak berarti. Begitu juga hadirnya teman diskusi tadi. Tapi, aku masih saja berusaha untuk menghempas jauh beban pikiran ini. Mungkin dengan membuka dan membaca kemabali karya beliau saya menemukan puncak ketenangan. Krena buku yang saya baca dan saya genggam  saat ini adalah buku dari sebelum hadirnya kaka hafid tadi hingga kepergianya.
            Mata sudah mulai mengantuk. Baca buku sudah mulai buyar kemana-mana. Memilih tidur dan melanjutkan besok mungkin lebih baik. Krena ada hari esok menungguku dalam kajian ilmiah Tuhan.
            Embun pagi tersenyum lepas, udara yang aku hirup tak sesejuk udara yang ada di madura. Folusi-folusi di DKI sangatlah deras, mencekam rongga-rongga pernafasanku. Denyut jantung tak setabil, badanku mulai lemas. Mungkin, nilai dasar perjuanganku disini dalam menuntut ilmu. Berangkat ke kampus meskipun rasa letih masih menyelimuti tubuhku. Namun itu, bukanlah sebagai penghalang dalam mengejar cita-citaku. Inilah pesan dari AD/Pasal 4/Tujuan HMI. “Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi. Yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyrakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT”. Gumamku dalam hati, semangatku dalam gerak, dan cita-citaku dalam angan. Di mana ada keyakinan yang di sertai dengan usaha, saya akan sampai akan tujuan yang saya cita-citakan. YAKUSA.
            Singkat cerita, jauh-jauh hari sebelum H-5 dari acara makan-makan di rumahku. Aku sudah mengajak teman-temanku, mulai dari ketum komisariat FAH, Ahmed Nagif beserta antek-antekknya. Sperti, kanda fikri, kanda febri, kanda andre, kanda faiz, dan kanda ocid. Mereka semua aku undang dengan hormat untuk bertamu dalam rangka sharing kajian ilmiah tentang keislaman dan peradaban. Dilengkapi dengan kopi manis sebagai teradisi Kanda-kanda HMI dan Rokok belang sebagai ciri khas kesolidan kita semua. Dari kedua nilai ini, HMI Cabang Ciputat menunjukkan nilai-nilai kepesantrenan. Di mana santri tak mengenal merek rokok apapun. Ada sikat, habis diam. Bagi yang tak tipis kantong sakunya, merekalah yang mengerti keadaan satu sama lain. Di sinilah kebenaran kata bahwa HMI “Di HMI teman lebih dari saudara”.
            Setelah acara makan-makan, kami masih sibuk bertabayyun dalam tawa lepas. Fikirku dengan agak bingung. Aku ngundang mereka makan, bukan untuk berbicara hal yang tak manfaat. Tapi, untuk kajian ilmiahlah niat awalku. Aku ikuti pembahasan mereka semua. Hingga titik kejenuhan mereka, semua terdiam. Mungkin sudah tidak ada lagi yang ingin mereka ledek dan canda tawanya. Dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini, mungkin aku bisa menyambung lidah untuk membuka kajian ilmiah.
“Maaf ni bang, gua mau buka kajian tentang islam, boleh gak ni?”. Tanyaku agak malu. Malu dibilang sok dan sebagainya.
“Ayolah... buka aja Hir.. selow..” ucap bang fikri dengan mengganti posisi duduk.
“Ok dah, begini bang. Sebelumnya mungkin permasalahan ini merupakan permasalahan yang sangat banyak orang tau. Namun, tidak ada salahnya bagi kita untuk mengkaji kembalikan?” ujarku sembari mengganti posisi duduk pula. (tak mau kalah dengan kanda Fikri).
“Emang pertanya apa hir?”. Ucap salah satu kanda yang ada dalam forum kajian.
“Begini bang, ada orang nanya ke ane tentang islam. Orang itu nanya ke ane dengan kalimat yang tak lagi asing bagi kita. “Mengapa kamu masuk islam?” ini tanyanya orang itu ke ane.
“Ouh masalah itu hir, ane tanggepin ia, sebenarnya kita masuk islam itu memang atas dasar keturunan. Tapi perlu diingat. Keturunan di sini hanya bisa dibilang ketika orang itu belum mengetahui betul akan keislamanya. Krena sejatinya agama adalah fitroh bagi manusia. Dan kefitrohan agama dalam diri manusia itu tidak akan bisa hilang kecuali dengan sebuah ilmu pengetahuan yang dalam. Kendati manusia akan merasakan tahapan tamyiz, di mana sosok manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Dan mana yang pantas di jadikan agama begitu juga mana yang tak pantas. Itu semua butuh ilmu pengetahuan. Nah, dari pengtahuan inilah manusia akan mengadakan penelitian, pengkajian, dan pembenaran yang akan membuahkan hasil kepada titik sentral dalam mewujudkan selogan ini “Membumi lantakan islam di jati diri seorang muslim”. Ujar ketum ahmed dengan gaya yang tenang dan santai.
“Begitu hir..... kalau gua boleh nyambung lidah ni”. Tanya kanda Fikri.
“Monggo bang fikri”. Waktu dan tempat dihaturkan khusus kepadanya.
“Ok, sekrang begini hir. Anak kecil  yang baru dilahirkan apakah tau sesuatu yang ada di alam ini? Pastinya tidakkan? Nah, ada waktu anak kecil itu akan kebenar semua yang ada di dunia ini. Mana yang baik dan mana yang benar. Nah , ini sesuai sekali dengan pendapat ketum ahmed dengan bahasa tamyiz tadi, krena menurut ane. Dari tingkat ketamyizan seseoranglah. Manusia yang beragama, tidak lagi dikatakan islam keturunan. Mangkanya, dalam NDP-HMI itu dijelaskan secara jelas. Salah satunya teori ketuhahan. Pmateri tidak akan langsung memebnarka Allah sebagai Tuhan. Akan tetapi, keimanan kita diruntuhkan terlebih dahulu dengan tujuan “Ingin mengetahui sejauh mana nilai rasionalitas calon kader-HMI dalam mewejah wantahkan bahwa Allah adalah tuhanya”. Dan setlah itu para kader diluruskan kembali dengan tujuan selogan tadi  “Membumi lantakan islam di jati diri seorang muslim”. Faham??? Tanyanya sambil ketawa.
“Iya bang sekarang ane faham. Jadi, asumsi islam keturunan itu hanya berlaku pada manusia yang blom tamyiz ya bang? Dengan kata lain “Asumsi atau stetmen akan (islam keturunan) itu hanya berlaku bagi manusia yang belum bisa membumi lantahkan islam di jati dirinya sendiri?”. Benerkan bang?. Tanyaku sambil cengnge-ngesan.
“Benar sekali hir, ente memang terbaik”. Capkali ketum berujara sperti ini kepadaku.
“Intinya itu hir, mengislamkan islam di jati diri muslim harus melalui ilmu pengtahuan bukan dengan fanatik manut dan imitasi buta”. Ujar kanda febri sembari nyebat rokok.
“Ok kanda-kandaku. Mungkin ada lagi yang ingin memberi argumen?”. Tanyaku kurang puas.
“Ouh menurut gua si hir, islam itu mudah. Yang mempersulit muslimnya sendiri”. Ujar kanda andre dengan singkat.
“Ouh begitu bang andre..???”. Aku tanggapi dengan penuh kelucuan. Krena spertinya kanda andre ini sudah keluar pembahsaan deh.
“Ya sudah hir kita semua ingin balik ni?”. Ucap kanda faiz. Spertinya dia lesu ngurus acara mu’tamad.
“Monggo bang, maaf ni tidak bisa ngasih apa-apa ke ente”. Lebayku dengan mengulurkan tangan untuk saliman.
“Ouh itu saja sudah cukup kog hir”. Serentak menjawab. Pamit hir, makasih ia hir. Lanjutk kanda ocid.
“Kembali kasih kanda-kandaku”. Jawabku dengan senyum.
            Bunyi motor mereka tak lagi terdengar, petanda mereka sudah jauh di mata. Namun, untuk kader HMI Ciputat. Sejauh apapun teman, bukanlah ukuran juga pikiran. Dan sedekat apapun teman, bukanlah perhitungan juga pertimbangan. Di HMI, teman lebih dari saudara. Next time

`          

            

No comments:

Post a Comment

Dalam Cinta, Air Mataku Tak Akan Pernah Berhenti

في الحب دموعي لا تنتهي بالدمع كتبتُ هذه القصيدةَ بالقلق أصابني كل حين في الحياة فكرتُ ما أخطائي إليكِ لمرَة حتى أشعر أن أحبك بشدة المرة...