Mungkin
malam ini malam yang tak begitu indah di bandingkan dengan malam-malam
sebelumnya. Yang biasanya aku dapat kabar darinya, menanyakan kabar dan
mengkaji masa depan hubungan kita berdua. Malam ini tiada bunyi henpone yang
aku dengar. Padahal penantian tak terbilang dengan lisan.
Kesedihan selalu menghantuiku, bayanganya selalu ada dalam
angan-anganku, aku tak mengerti apa mungkin ini yang dinamakan cinta atau hanya
bias nafsu agar lekas bertemu kembali, untuk meluapkan rasa rindu ini hanyala
dengan bertemu. Aku ngerti bahakan kelewat faham (ladduni) bahwa rindu akan
bisa dijamui dan terobati jika kita berdua saling tatap muka, menuwangkan rasa,
dan bercanda gurau di tempat itu.
Di tempat aku menyatakan cinta,
auditorium harun nasutionlah saksi bisu cintaku padanya. Dengan jari jemari
yang gemetar, kaki yang tak bisa diam, dan bibir yang agak sedikit struk untuk
mengatakan cinta padanya pada waktu itu. Tapi sayang, malam ini seakan sepi tak
berwarna. Aku butuh dia, aku butuh kabarnya, aku ingin sekali dia menelponku
lalu mengtakan satu ucap kalimat “Kanda Thahir.... semangat ia yang
belajar...!!!”. hanya kata-kata ini yang aku tunggu pada malam-malam jemuku.
Tapi sudahlah mungkin ini yang dinamakan harapan semu. Harapn yang tak akan
terjadi dalam malamku ini.
Aku pun terdiam dalam asa dan angan.
Berfikir bagaiman caranya menepis bayangan-bayangan itu. Tapi kenapa
terdengar bunyi sandal seseorang dari
lorong jalan, terdengar keras. Merobek gendang telingaku, hingga membuatku
buyar dari lamunan yang berkepanjangan itu.
Ternyta ada sosok laki-laki yang tak asing lagi di muka. Dia adalah
lelaki berintlektula tinggi, berkulit putih langsat, dan bermulut
kemerah-merahan bak wanita perawan desa. Hafid vanes namanya. Asal madura,
kuliah di Universitas Bungkarno.
Sapahan senyumnya membuat hatiku
rapuh, matanya yang berkaca-kaca melihatku membuat diriku tambah kacau-balau.
Tapi, aku mendaptkan sedikit kebahagian akan kehadiran sosok laki-laki itu.
“li
kamu sendiri aja di sini?”. Tanyanya dengan mimik muka berseri-seri.
“Ouh
Kamu kaka, iya nih aku lagi merenungi masa depan yang suram”. Jawabku agak
lemas.
“Waduh....
kenapa bisa begitu?”. Tanyanya agak bawel.
“Udahlah
kaka.. jangan nanya mulu, hati dan pikiranku belum menyatu”. Bentakku.
“Ouh
maaf li, jika ada salah dalam ucapanku”. Serasa bersalah dalam dirinya.
Ia rangkulkan tanganya kebahu
sebelah kananku sembari mengelus-ngelus bahu dan rambutku. Entah apa yang ia
maksud? Aku tak tau pasti tujuan ia duduk di sampingku. Tapi, yakinku ia
melakukan hal yang baik. Sekiranya aku bisa lepas dari beban fikiranku ini.
Membuka topik yang baru, dengan
sebuah pertanyanya yang memukau pikiran, mengajak ke alam bebas dalam pikiran
yang luas. Ya kaka hafid sedang mengoceh layakanya burung perkutut. Bukanya dengan
kebiasaan senyumnya.
“Ali....
tidak ada niat sedikitpun ya, untuk mengetes keilmuan yang kamu punya. Krena jujur,
aku mau nanya ke kamu. Kenapa kamu masuk islam?”. Tanyanya dengan senyum.
“Ya,
krena orang tuaku beragama islam ka”. Jawabku dengan tenang.
“Lah,
berarti kamu islam keturunan dong?”. Tanyanya dengan nada sinis.
“Bisa
jadi kaka hafid”. Lagi-lagi dengan penuh ketenangan.
“Apakah
kamu nerima? Jika ada orang diluar islam menanyakan tentang hal ini. Dan kamu
menjawab islam keturunan...!!!”.
“Entahlah,
memang apa yang kamu inginkan ka? Apa dengan dalil atau dengan akal saja?”
tanya dengan nada nantang.
“Aku
minta jawaban dari dua dalil itu li. Naqli dan aqli”. Surunya dengan nada
pelan.
“Ok
begini aja ka, pertanyaan itu akan saya jawab setelah pikiran saya tenang”. Jawabku
dengan nada lemas dan memelan.
“Ok,
kita lanjut besok. Saya masih punya kewajiban lain.” Akhirnya dengan senyum
kembali.
“Siap
Boooos....!!!”. jawabku mulai senyum.
Beranjak sudah teman sperjuanganku
dari samping dudukku. Kepergian dirinya membuat diriku semakin terbebani. Aku mulai
merasa jenuh dengan beban pikiran ini. Seakan kehadiran sosok wanita yang aku
cintai itu tak berarti. Begitu juga hadirnya teman diskusi tadi. Tapi, aku
masih saja berusaha untuk menghempas jauh beban pikiran ini. Mungkin dengan
membuka dan membaca kemabali karya beliau saya menemukan puncak ketenangan. Krena
buku yang saya baca dan saya genggam saat ini adalah buku dari sebelum hadirnya
kaka hafid tadi hingga kepergianya.
Mata sudah mulai mengantuk. Baca buku
sudah mulai buyar kemana-mana. Memilih tidur dan melanjutkan besok mungkin
lebih baik. Krena ada hari esok menungguku dalam kajian ilmiah Tuhan.
Embun pagi tersenyum lepas, udara
yang aku hirup tak sesejuk udara yang ada di madura. Folusi-folusi di DKI sangatlah
deras, mencekam rongga-rongga pernafasanku. Denyut jantung tak setabil, badanku
mulai lemas. Mungkin, nilai dasar perjuanganku disini dalam menuntut ilmu. Berangkat
ke kampus meskipun rasa letih masih menyelimuti tubuhku. Namun itu, bukanlah sebagai
penghalang dalam mengejar cita-citaku. Inilah pesan dari AD/Pasal 4/Tujuan HMI.
“Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi. Yang bernafaskan islam, dan bertanggung
jawab atas terwujudnya masyrakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT”. Gumamku
dalam hati, semangatku dalam gerak, dan cita-citaku dalam angan. Di mana ada
keyakinan yang di sertai dengan usaha, saya akan sampai akan tujuan yang saya
cita-citakan. YAKUSA.
Singkat cerita, jauh-jauh hari
sebelum H-5 dari acara makan-makan di rumahku. Aku sudah mengajak
teman-temanku, mulai dari ketum komisariat FAH, Ahmed Nagif beserta
antek-antekknya. Sperti, kanda fikri, kanda febri, kanda andre, kanda faiz, dan
kanda ocid. Mereka semua aku undang dengan hormat untuk bertamu dalam rangka
sharing kajian ilmiah tentang keislaman dan peradaban. Dilengkapi dengan kopi
manis sebagai teradisi Kanda-kanda HMI dan Rokok belang sebagai ciri khas
kesolidan kita semua. Dari kedua nilai ini, HMI Cabang Ciputat menunjukkan
nilai-nilai kepesantrenan. Di mana santri tak mengenal merek rokok apapun. Ada sikat,
habis diam. Bagi yang tak tipis kantong sakunya, merekalah yang mengerti
keadaan satu sama lain. Di sinilah kebenaran kata bahwa HMI “Di HMI teman lebih
dari saudara”.
Setelah acara makan-makan, kami masih
sibuk bertabayyun dalam tawa lepas. Fikirku dengan agak bingung. Aku ngundang
mereka makan, bukan untuk berbicara hal yang tak manfaat. Tapi, untuk kajian
ilmiahlah niat awalku. Aku ikuti pembahasan mereka semua. Hingga titik kejenuhan mereka, semua terdiam. Mungkin sudah tidak ada lagi yang ingin mereka
ledek dan canda tawanya. Dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini, mungkin
aku bisa menyambung lidah untuk membuka kajian ilmiah.
“Maaf
ni bang, gua mau buka kajian tentang islam, boleh gak ni?”. Tanyaku agak malu. Malu
dibilang sok dan sebagainya.
“Ayolah...
buka aja Hir.. selow..” ucap bang fikri dengan mengganti posisi duduk.
“Ok
dah, begini bang. Sebelumnya mungkin permasalahan ini merupakan permasalahan
yang sangat banyak orang tau. Namun, tidak ada salahnya bagi kita untuk
mengkaji kembalikan?” ujarku sembari mengganti posisi duduk pula. (tak mau
kalah dengan kanda Fikri).
“Emang
pertanya apa hir?”. Ucap salah satu kanda yang ada dalam forum kajian.
“Begini
bang, ada orang nanya ke ane tentang islam. Orang itu nanya ke ane dengan
kalimat yang tak lagi asing bagi kita. “Mengapa kamu masuk islam?” ini tanyanya
orang itu ke ane.
“Ouh
masalah itu hir, ane tanggepin ia, sebenarnya kita masuk islam itu memang atas dasar keturunan. Tapi
perlu diingat. Keturunan di sini hanya bisa dibilang ketika orang itu belum
mengetahui betul akan keislamanya. Krena sejatinya agama adalah fitroh bagi
manusia. Dan kefitrohan agama dalam diri manusia itu tidak akan bisa hilang
kecuali dengan sebuah ilmu pengetahuan yang dalam. Kendati manusia akan
merasakan tahapan tamyiz, di mana sosok manusia bisa membedakan mana yang baik
dan mana yang benar. Dan mana yang pantas di jadikan agama begitu juga mana
yang tak pantas. Itu semua butuh ilmu pengetahuan. Nah, dari pengtahuan inilah
manusia akan mengadakan penelitian, pengkajian, dan pembenaran yang akan membuahkan
hasil kepada titik sentral dalam mewujudkan selogan ini “Membumi lantakan islam
di jati diri seorang muslim”. Ujar ketum ahmed dengan gaya yang tenang dan
santai.
“Begitu
hir..... kalau gua boleh nyambung lidah ni”. Tanya kanda Fikri.
“Monggo
bang fikri”. Waktu dan tempat dihaturkan khusus kepadanya.
“Ok,
sekrang begini hir. Anak kecil yang baru
dilahirkan apakah tau sesuatu yang ada di alam ini? Pastinya tidakkan? Nah, ada
waktu anak kecil itu akan kebenar semua yang ada di dunia ini. Mana yang baik
dan mana yang benar. Nah , ini sesuai sekali dengan pendapat ketum ahmed dengan
bahasa tamyiz tadi, krena menurut ane. Dari tingkat ketamyizan seseoranglah. Manusia
yang beragama, tidak lagi dikatakan islam keturunan. Mangkanya, dalam NDP-HMI
itu dijelaskan secara jelas. Salah satunya teori ketuhahan. Pmateri tidak akan
langsung memebnarka Allah sebagai Tuhan. Akan tetapi, keimanan kita diruntuhkan
terlebih dahulu dengan tujuan “Ingin mengetahui sejauh mana nilai rasionalitas
calon kader-HMI dalam mewejah wantahkan bahwa Allah adalah tuhanya”. Dan setlah
itu para kader diluruskan kembali dengan tujuan selogan tadi “Membumi lantakan islam di jati diri seorang
muslim”. Faham??? Tanyanya sambil ketawa.
“Iya
bang sekarang ane faham. Jadi, asumsi islam keturunan itu hanya berlaku pada
manusia yang blom tamyiz ya bang? Dengan kata lain “Asumsi atau stetmen akan (islam
keturunan) itu hanya berlaku bagi manusia yang belum bisa membumi lantahkan
islam di jati dirinya sendiri?”. Benerkan bang?. Tanyaku sambil cengnge-ngesan.
“Benar
sekali hir, ente memang terbaik”. Capkali ketum berujara sperti ini kepadaku.
“Intinya
itu hir, mengislamkan islam di jati diri muslim harus melalui ilmu pengtahuan
bukan dengan fanatik manut dan imitasi buta”. Ujar kanda febri sembari nyebat
rokok.
“Ok
kanda-kandaku. Mungkin ada lagi yang ingin memberi argumen?”. Tanyaku kurang
puas.
“Ouh
menurut gua si hir, islam itu mudah. Yang mempersulit muslimnya sendiri”. Ujar
kanda andre dengan singkat.
“Ouh
begitu bang andre..???”. Aku tanggapi dengan penuh kelucuan. Krena spertinya
kanda andre ini sudah keluar pembahsaan deh.
“Ya
sudah hir kita semua ingin balik ni?”. Ucap kanda faiz. Spertinya dia lesu
ngurus acara mu’tamad.
“Monggo
bang, maaf ni tidak bisa ngasih apa-apa ke ente”. Lebayku dengan mengulurkan
tangan untuk saliman.
“Ouh
itu saja sudah cukup kog hir”. Serentak menjawab. Pamit hir, makasih ia hir. Lanjutk
kanda ocid.
“Kembali
kasih kanda-kandaku”. Jawabku dengan senyum.
Bunyi motor mereka tak lagi terdengar,
petanda mereka sudah jauh di mata. Namun, untuk kader HMI Ciputat. Sejauh apapun
teman, bukanlah ukuran juga pikiran. Dan sedekat apapun teman, bukanlah
perhitungan juga pertimbangan. Di HMI, teman lebih dari saudara. Next time
`
No comments:
Post a Comment