Hymne-HMI dengan al-Qur'an
Dalam organisasi dikenal dengan yang
namanya “kode etik” berorganisasi. Kode etik ini, merupakan sebuah aturan
pakai/main untuk para kader yang ada di bawah naungan organisasi tersebut. Jika
menyalahi aturan main yang ada dalam organisasi akan dikenakan sebuah hukuman
yang tertera dalam konstitusi berorganisasi. Oleh demikian, organisasi memiliki
beberapa komponen dasar di dalamnya. Di antara dari komponen tersebut adalah Konstitusi
(AD/ART), Mission, dan berbagai macam lainya.
Begitu juga dalam organisasi HMI, organisasi yang tidak
serta merta/bin-salabin aba-kadabrak langsung hadir dipermukaan ini. Butuh
beberapa proses untuk membangun dan mendirikan HMI ini. Di antaranya adalah
diadakanya sebuah musyawarah kecil-kecilan. Kalau mengaca kepada masa silam
(sejarah), Lafran Pane beserta 14 teman karibnya, Kartono Zarkasy misalnya, dan
masih banyak lagi lainya.[1]
Melakukan rapat interen, yang melatar belakangi adanya rapat ini adalah sebuah
“Gagasan” yang diprakarsai oleh Lafren pane sendiri, dalam beberapa kerangka
pemikiran. Di antaranya karena kesenjangan menghadapi tindak pola yang
dilakukan oleh PKI. Sehingga, membuat Lafran risih akan keadaan tersebut.
Dalam musyawarah ini, setidaknya Lafran Pane
beserta teman-teman karibnya sudah melakukan hal yang sejalan dengan al-Qur’an.
“Bermusyawarahlah dalam hal sekecil apapun”.
Dan bisa ditarik kesimpulan
bahwa, membangun atau mendirikan sebuah organisasi butuh sebuah perjuangan
dhohir dan bathin. Tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Oleh sebab
itulah, organisasi ini (HMI) bukanlah organisasi canda tawa, hiruk-pikuk, ataupun
senang-senang. Kendati HMI, merupakan organisasi “Perjuangan”, sudah
sepantasnya di katakan sebagai organisasi yang selalu memberontak ketika ada
sesuatu yang menjanggal dalam lini apapaun (Yang Tidak Sesuai Dengan Konstitusi
Negara).
Untuk
lebih jelasnya pembaca bisa membuka modul kembali. Karena, penulis tidak punya
waktu untuk membahas sejarah berdirinya HMI, di sini penulis hanya ingin membuka
tabir dalam arti sebenarnya hymne HMI, apakah sejalan dengan al-Qur’an atau
tidak?
Hymne-HMI
adalah lagu yang dijadikan sebagai ciri
khas Himpunan Mahasiswa Islam yang sering dilantunkan ketika mengawali acara
setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hymne-HMI ini, bukan hanya sekedar
lagu biasa, yang biasanya dilihat disetiap siyaran sinetron televisi. Ada makna
dibalik Hymne-HMI ini. Perlunya, penulis katakan bawah “Lagu (Hymne-HMI)
merupakan Ruh para kader
yang terlupakan”. Mana mungkin para kader bisa hidup bernafas, sedangkan ruh
sudah berpisah dengan jasad? Mana mungkin para kader mampu hidup bertahan lama,
sedangkan ruhnya sendiri sudah tidak bersama jasadnya? Satu lagi yang ingin ditekankan oleh penulis,
mungkinkah para kader-HMI mampu berjuang memberontak kekufuran (kesalah gunaan)
dalam sistem ke-negaraan, sedangkan kadernya sendiri belum mampu mengembalikan
ruh yang ada di tubuhnya? Sejatinya kader adalah orang yang mampu mengambil
ruhnya kembali, lalu disatukan ke dalam jasadnya.
Seperti
yang dijelaskan di atas, para kader-HMI sekarang, khususnya (cabang Ciputat)
sudah kehilangan ruh dalam jasadnya. Kita hidup, bagaikan mati. Kita berjuang pun,
bagaikan cibiran nyamuk yang hanya bisa menyengat orang lain, namun, tidak
membuatnya berhenti untuk memukulnya. Kita bergerak, bagaikan buih dalam
lautan. Dan kesemuan ini, disebabakan karena, hilangnya ruh dalam berorganisasi
secara totalitas. Perlu penulis katakan, bukan hanya agama islam yang memiliki
konstitusi agar pemeluknya memeluk dirinya secara menyeluruh (totalitas),
begitu juga dengan HMI, para kader di tuntut untuk menyelami samudra ke ilmuan
yang ada di dalamnya secara totalitas. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Ketum Cabang Ciputat, Dani Ramdani (Priode 2014-2015), “Ber-HMI-lah
secara utuh dan menyeluruh, niatkan dengan tulus dan ikhlas dalam mengawali
perjuangan wujudkan tujuan himpunan”.[2] Di
sinilah para kader-HMI akan menuai hasil dari pada usahanya. Jika sudah Yakin
dengan Iman, lalu Usaha dengan Ilmu, jangan lupa sampaikanlah dengan amal.
Lagu (Hymne HMI) yang dikarang
oleh R. M. Akbar ini.[3]
Sebenarnya, memiliki korelasi atau hubungan antara Hmyne-HMI dengan al-Qur’an teramat
jelas. jika memang tidak sukar untuk di katakan “Hymne-HMI mengadopsi apa yang
sudah ada dalam al-Qur’an”. Mari, penulis mengajak pemabaca sejenak untuk
mengupas makna yang tersirat dalam Hymne-HMI ini.
Lirik lagu:
Lirik lagu:
Bersyukur dan
Ikhlas
Himpunan
Mahasiswa Islam
Yakin Usaha
Sampai
Untuk Kemajuan
Hidayah dan
Taufiq
Bahagia HMI
Berdoa dan Ikrar
Menjungjung
Tinggi Syiar Islam
Turut Qur’an dan
Hadist
Jalan
Keselamatan
Ya Allah Berkati
Bahagia HMI
Pada
bait pertama, “Bersyukur dan Ikhlas” sempat penulis bertanya-tanya. Mengapa harus
bersyukur lalu disusul oleh ikhlas? Kenapa bukan sebaliknya? Apakah ada
hubungannya antara syukur dan ikhlas? Apakah tidak ada kata lain dari dua kata
itu? Misalnya, kata sabar, tawakkal, atau semacamnya? Kiranya, untuk menjawab
pertanyaan ini, gampang-gampang sulit. Jika dikatakan bahwa, Hymne-HMI ini merupakan
hasil duplikat aktulisasi dari al-Qur’an, maka sudah sewajarnya penulis katakan
bahwa, peletakkan antar kalimat dengan kalimat sesudahnya, sudah cukup absah.
Coba perhatikan, bagaimana pandangan al-Quran tentang Hymne-HMI ini.
Mulai
dari kata “Syukur”, kata ini berasal dari bahasa Arab[4],
dalam pandangan KBBI , kata ini diartikan sebagai: (1). Rasa terima kasih
kepada Allah, dan (2) (untunglah) pernytaan seseorang dalam mengungkapkan
hal-hal yang membuat dirinya legea, senang, dan sebagainya. Lebih meluas lagi,
ketika al-Qur’an menginformasikan kata di atas dengan mengulangnya sebanyak 64
kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya, Maqayis al-Lugha, menyebutkan
empat arti dasar dari kata tersebut yaitu:
A.
Pujian karena
adanya kebaikan yang diperoleh. Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan
sedikit sekalipun karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda
yang gemuk. Namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Pribahasa juga
memperkenalkan ungkapan Asykar min barwaqah (lebih bersykur dari
tumbuhan barwaqah). Barwaqah adalah tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan
awan mendung tanpa hujan.
B.
Kepenuhan dan
kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan kalimat Asyakarat
asy-syajarat.
C.
Sesuatu yang
tumbuh ditangkai pohon (parasit).
D.
Pernikahan, atau
alat kelamin.[5]
Dari
keterangan di atas, kiranya penulis katakan bahwa poin “D” memiliki hubungan
erat dengan poin “B” sedangkan poin “A” sejalan dengan poin “C”, hasil dari
penjelasan Empat poin di atas. Sehingga, menghasilkan kata yang disebut oleh M.
Qurais Shihab “Syukur Adalah Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, maka
ia akan memperoleh banyak, lebat, dan subur.” Bukan menunggu banyak, lalu
bersyukur. Hal ini yang kerap terjadi di dunia kehidupan manusia saat ini. Yang
menggerogoti mentalitas keimanan kita, hingga tak jarang dijumpai orang teramat
kufur dalam nikmat Tuhan.
Kata
“kufur” merupakan antonim dari kata “syukur”, kalau syukur memiliki arti
menampakkan nikmat, sementara kufur menyembunyikanya. Namun, penjelasan tentang “kufur” bukan hanya
berhenti di sini saja, kufurpun memiliki macam-macamnya, bisa lebih jelasnya
pembaca merujuk buku M. Quraish Shihab. [6]
Ayat
yang mendukung bahwa kata “Syukur” di sini bergandeng dan membuahkan rasa “ikhlas”
adalah (baca QS al-Baqarah {2} : 152, QS Shad {38): 82-83, QS al’A’raf {7};
17). Dari sekian banyak ayat, masih banyak ayat lainya yang menjelaskan adanyan
hubungan atau kolerasi antara kata “Syukur” dan “ikhlas”. Itulah sebabnya,
pengarang lagu Hymne-HMI mendahulukan kata “Syukur” dari pada kata “Ikhlas”. Karena,
dari empat ayat, tiga surat yang berbeda-beda di atas dapat diambil kesimpulan
bahawa, syukur mencakupi tiga hal:
1.
Syukur dengan
hati, yaitu kepuasan bathin atas anugrahnya
2.
Syukur dengan
lidah, dengan mengakui anugrah dan memuji pemberinya
3.
Syukur dengan
perbuatan, dengan memanfaatkan anugrah yang diperoleh sesuia dengan tujuan
penganugrahanya. [7]
Syukur
dengan hati di sini, mengandung apa yang di pesankan oleh (QS Shad {38): 82-83) sementara ulama ketika
menafsirkan tiga surat di atas mengatakan bahwa “berykurlah kepadaku dan
jangalah kamu mengingkarinya (nikmat)-ku (baca QS al-Baqarah {2} : 152) untuk
surat ini, ulama menafsirkan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk selalu
mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodai-Nya dengan
kedurhakaan. Syukur yang demikian melahirkan keikhlasan kepada-Nya. Dan karean
itu, ketika syetan menyatakan bahwa, “Demi kemulian-Mu, aku akan menyesatkan
mereka (manusia) semuanya” (baca QS Shad {38): 82), di lanjutkan dengan
pernyataan pengecualian, yaitu “Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara
mereka” (baca QS Shad {38): 83) sedangkan untuk lebih jelasnya, tentang
hubungan antara kata “Syukur dan Ikhlas” bisa di lihat dari pernytaan iblis
dalam firman-Nya “Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka
(manusia) bersyukur” (baca QS al’A’raf {7}; 17). Kalimat “tidak akan menemukan”
di sini serupa maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti
orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang Mukhlis (tulus
hatinya). [8]
Dari
sini bisa diketahui bahwa, pengarang lagu Hymne-HMI bukan hanya serta-merta
dikarang dengan gaya lagu yang mengesankan. Jauh lebih penting dari pada itu
adalah R. M. Akbar mengarang agar bukan hanya untuk dilantunkan ketika adanya
acara, akan tetapi jauh lebih berharga dari pada itu adalah menjadikannya
(lagu) sebagai pedoman untuk memanusiakan para kader-HMI. Itulah sebabnya, dua
kalimat di atas antara kata “syukur” dan “ikhlas” tidak diputar balikkan. Karena,
hanya orang-orang yang bersyukurlah orang-orang yang ikhlas.
Pertanyaan
muncul kembali dalam benak penulis, apakah hanya orang-orang yang bersyukur,
yang akan meraih gelar mukhlis di mata Allah? Bagiaman dengan orang yang sabar?
Tawakkal? Bukankah dua kata ini, lebih mulya dari pada orang yang “mukhlis”?
Kiranya,
hanya satu jawaban yang mewakili pertanyaan di atas adalah orang yang sudah
mukhlis akan merasakan sifat kesabaran dan tawakkal kepada-Nya. Menagapa tidak?
Banyak orang yang sedang patah hati misalnya, ketika dia mengikhlaskan sosok
wanita yang ia cintai menyelingkuhinya atau (musyrik kepada kekasihnya), sudah
barang tentu, laki-laki tersebut sudah sabar menghadapi kelakuan kekasihnya
yang semenah-menah, dan sudah barang pasti, laki-laki tersebut memasrahkan
dirinya secara totalitas kepada Allah inilah yang dinamakan (tawakkal) atas
kepergian wanita yang ia cintai. Dan puncak dari tiga kata itu adalah mukhlis. Orang-orang
yang ikhlas, orang-orang yang akan menuai hasil dar ketulusan hatinya, baik
berupa kesabaran, kelemah lembutan dari segi tingkah lakunya maupun ucapannya
yang akan berkhir kepada kepasrahan diri kepada Allah yang disebut di atas
dengan istilah (tawakkal). Dan tawakkal di sini tidak akan hadir tanpa adanya
ke ikhlasan. [9]
Bait
kedua “Himpunan Mahasiswa Islam” dalam bait ini, penulis tidak
mempunyai pertanyaan. Hanya saja, kata himpunan pada mulanya tidak dinamakan
demikian. Menoleh ke sejarah. Sejarah mengatakan bahwa “terkait dengan nama
HMI, Asmin mengisahkan: “Diwaktu itu saya sendiri duduk sebagai salah seorang
anggota pengurus organisasi internal mahasiswa STI. Mendengar ide yang
dicetuskan oleh saudara Lafrane Pane, saya enthouiast dan kami coba-cobalah
mereka-reka apakah gerangan nama organisasi mahasisiwa islam yang akan
didirikan itu? Persatuan Mahasiswa Islam? Perhimpunan Mahasiswa Islam? Wah !
keduanya kalau disingkat masing-masing menjadi PMI. Tidak kena. Sudah ada
Persatuan Mahasiswa Indonesia yang disingkat dengan PMI. Juga bisa disangka
orang Palang Merah Indonesia.” Lanjut Asmin, “Maka kata “Perhimpunan” kami ganti dengan “Himpunan”. artinya
sama. Jadilah bayi yang akan lahir : Himpunan Mahasiswa Islam”. Peristiwa ini
tejadi pada bulan Febuari 1947.”[10]
Dari
pernyataan Asmin di atas menunjukkan bahwa, kata “Himpunan” di sini bukan
berati apa yang orang bilang, kalau oraganisai HMI hanya mementingkan kuantitas,
hal ini tertuang dalam kalimat “Hiumpunan”, sedangkan kapasitas kadernya “nol”.
Pernyataan ini sangat salah bagi penulis. Mungkin, mereka iri, ataupun belum
mengetahui sejarah di namakannya HMI.
Menilik
kembali apa yang dikatakan oleh Asmin di atas. Bahwa HMI adalah bayi yang
baru lahir. Kiranya bisa difahami, betapa eratnya HMI dengan sifat
Muslim yang berintlektual. Mengapa demikaian? Karena, kalau mengaca kepada
bayi? Keingin tahuanya sangatlah besar dalam bidang apapun. Dan sifat keingin
tahuan kepada sesutau merupakan prinsip dasar kaum intlektual tersebut. Bagaiman
mungkin orang ingin menjadi “intlektual” sedangkan dirinya tidak memiliki rasa
keingintahuan yang besar? Disinilah, HMI di diganti dengan kata himpunan
ataupun kata Perhimpunan memiliki arti mengumpulkan sesuatu (keilmuan) dalam
suatu wadah yang darinya para kader bisa mengkaji dan menikmati manisnya sebuah
organisasi. Kiranya tidak salah untuk dikatakan bahwa, “Di dalam perut (kandungan) HMI inilah, para pemimpin
bangsa dilahirkan”. bisa dilihat dalam buku “Merka Yang Mencipta dan Mengabdi”
KAHMI yang turut menyumbangkan segala kemampuannya kepada negara ini. Sengaja tidak
penulis sebutkan satu persatu, untuk menghilangkan “larutnya diri ini kedalam
keromantisan sejarah”. Sudah waktunya para kader-HMI untuk memupuk kembali rasa
keingintahunya agar menjadi kaum intlektual muslim muda yang terkemuka”. Bukan lagi
membahas keromantisan sejarah. Meskipun tidak bisa dipungkiri, bahwa dari
sejarah manusia mampu mengambil hikmah. Namun, sayangnya banyak para kader-HMI
menyalah gunakan sejarah, bahkan sangking asiknya membaca sejarah, mereka hanya
bisa mengungkit para abang-abangnya kepada junior-juniornya. Hal ini, yang
membuat organisasi dan sesuatu yang ada di dalamnya, hanya mampu menjilat
keromantisan sejarah dan tidak bisa mewujudkan kembali di zamanya mereka. Inilah
yang sangat disayangkan untuk para kader-HMI. Sudah saatnya, Menjadi Insan Akademis,
Pencipta, dan Pengabdi untuk mewujudkan masyrakat adil dan makmur di pandangan
Allah. Berhenti dalam lamunan sejarah yang berkepanjangan.
Bait
ketiga “Yakin Usaha Sampai”
[1] Bidang
PA HMI Cabang Ciputat 2014-2015, “Basic Training Panduan untuk Kader
Himpunan Mahasiswa Islam” Ciputat, Maret 2015, hml 9
[2] Bidang
PA HMI Cabang Ciputat 2014-2015, “Basic Training Panduan untuk Kader
Himpunan Mahasiswa Islam” Ciputat, Maret 2015, hml IV
[3] Agus
Salim Sitompul, “Sejarah Perjuangan HMI 1947-1975”
[4] Prof.
Dr. Quraish Shihab., M.A., “Wawasan al-Qur’an” Mizan, Bandung, Febuari 2014, hlm 286 (bisa lebih lanjutnya, dibaca
keterangan kata “syukur” menurut pandangan ar-Rhgib al-Asfahany dalam bukunya
beliua)
[5] Prof.
Dr. Quraish Shihab., M.A., “Wawasan al-Qur’an” Mizan, Bandung, Febuari 2014, hlm 285-287
[6] Prof.
Dr. Quraish Shihab., M.A., “1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui”
Lentera Hati, Ciputat, Januari 2014, hlm
767
[7] Prof.
Dr. Quraish Shihab., M.A., “Wawasan al-Qur’an” Mizan, Bandung, Febuari 2014, hlm 288
[8] Prof.
Dr. Quraish Shihab., M.A., “Wawasan al-Qur’an” Mizan, Bandung, Febuari 2014, hlm 288
[9] Baca Qs
al-A’raf {29}, Yunus {22}, al-Ankabut {65}, al-Luqman {32} al-Ghafir {14},
al-Bayyinah {5}.
[10] M.
Alfan Alfian dan Tim Penulis KAHMI, “Mereka Yang Mencipta dan Mengabdi”
PT Penjuru Ilmu Sejati, Bekasi, September 2016, hlm 44
No comments:
Post a Comment